“Apa yang telah kalian lakukan saat menjadi pasangan kekasih?” Ageng mendesah gusar, entah bisa apa yang telah disemburkan oleh Davianna hingga Queen melontarkan pertanyaan yang penuh curiga seperti itu. Sungguh Ageng dibuat bingung menjawabnya. Queen meraih tangan Ageng dan menggenggamnya dengan erat. Ĺp“Setiap orang punya masa lalu, saat aku menerimamu sebagai suamiku, aku terima semua masa lalumu, asal kau jadikan aku masa depanmu.” Terdengar menenangkan, tetapi tatap mata Queen tetap menuntut jawab dari Ageng. “Seperti orang pacaran lainnya,” jawab Ageng yang sebenarnya enggan untuk pmengingat kembali segala sesuatu yang berhubungan dengan Davianna. “Jujur … kami pernah hampir lepas kendali.” “Hampir?” Queen memburu jawaban, antara penasaran dan tidak percaya. Queen seperti sedang menggoreskan luka ke hatinya sendiri. Membicarakan masa lalu sang suami dengan mantan, dengan sendirinya menimbulkan rasa cemburu. “Saat dia akan pergi ke London, kami hampir saja melakukannya,” ja
Akhirnya Bryan turun juga untuk menemui Victoria. Jika awalnya merasa harus penuh kelembutan karena berhadapan dengan anak kecil, tampaknya Bryan harus bersikap tegas dan keras terhadap Victoria. Apa yang dilakukakan Victoria sudah sangat keterlaluan, bukan hanya membuat kekacauan di kantornya tetapi juga berpotensi untuk menjatuhkan reputasi perusahaan.“Vicky!”Victoria langsung mengalihkan pandangannya menuju ke sumber suara. Biasanya dia akan mendengar Bryan yang memanggilnya dengan penuh kelembutan dan memanjakan, tetapi kali ini dia mendengar suara keras dan lantang dari Bryan.“Akhirnya kau menemui aku juga,” ucap Victoria dengan seulas senyum di bibirnya, tidak terlihat ketakutan sama sekali di wajahnya.“Ikut aku!” Bryan langsung menarik lengan Victoria dengan kasar, tampak sudah tidak bisa menahan amarahnya.“Kau menyakitiku.” Victoria terlihat kepayahan saat mengikuti langkah lebar Bryan. Belum lagi cekalan tangannya yang keras, terasa hampir meremukkan tulang.Untuk pertam
“Sudah mengatakan rencanamu itu kepada Queen?” tanya Arya Suta untuk memastikan jika semua akan berjalan baik-baik saja.Ageng menggeleng lemah. Dia tidak ingin menunjukkan kekhawatirannya di hadapan sang papa.“Papa memberi izin kau untuk tinggal terpisah karena papa ingin kau belajar untuk menyelesaikan masalah kalian sendiri. Papa tidak ingin terlalu ikut campur dalam rumah tangga kalian, karena dari pengalaman yang papa temui, keterlibatan orang tua dalam masalah rumah tangga anak-anaknya justru semakin memperkeruh suasana.”“Tapi setelah semua yang terjadi, saya merasa tidak tenang meninggalkan Queen sendiri,” ucap Ageng dengan suara yang sedikit gemetar.Arya Suta mengangguk, memahami kekhawatiran anaknya. “Papa tahu. Apa lagi kabar terbaru dari Selo Ardi, Rey sudah berada di kota ini. Bukan papa tidak menerima Queen di rumah kita, tetapi kamu harus membicarakan hal ini baik-baik dengan Queen. Kadang tidak ada masalah sama sekali, tetapi perasaan tidak enak justru membuat jarak
Dalam hubungan dengan perempuan Bryan tidak pernah sekacau ini. Victoria benar-benar membuatnya dalam masalah besar. Pengakuan hamil yang sempat terdengar oleh karyawan dan beberapa klien membuatnya harus memberi penjelasan. Dan yang paling menyeramkan adalah saat dia harus berhadapan dengan kedua orang tuanya.Saat merasa penat dan bingung dengan masalah yang sedang dia hadapi, kafe milik Derrian adalah tempat yang paling nyaman untuk melarikan diri. Di sana dia bisa berbicara sepuasnya mencurahkan semua masalah kepada sahabatnya tersebut.Bryan menatap kosong pada cangkir kopinya, uap panas yang mengepul darinya seolah menirukan kekacauan dalam pikirannya. Kafe Derrian yang biasanya menjadi tempat pelarian kini terasa sempit, menghimpit dengan beban masalah yang menghantui setiap sudut pikirannya.“Siapa suruh main-main sama anak kecil?” ucap Derrian yang justru menertawakan kesusahan yang sedang dihadapi sahabatnya.Derrian menatapnya dengan senyum sinis, menyudahi tawa yang sejak
“Maaf, aku terlambat,” ucap Queen saat berada di hadapan Naya.Queen langsung mengambil posisi duduk di hadapan Naya, lalu mengatur napasnya yang terlihat ngos-ngosan. Meski hasil pemeriksaan mengatakan semua baik-baik saja, tetapi kehamilan pertamanya ini membuatnya mudah merasa lelah. Berjalan dari area parkir sampai ke dalam kafe rasanya seperti jogging mengelilingi lapangan sepak bola.Melihat Queen yang tampak kepayahan membuat Naya merasa sungkan untuk menyampaikan maksud pertemuan mereka kali ini. Ingin rasanya mengurungkan niat, tetapi sisi hati yang lain seolah memaksa Naya untuk tetap dengan tujuan awal.“Bagaimana kabarmu?” tanya Naya penuh basa basi, sungguh dia tidak bisa lepas seperti biasanya.“Kau sedang ada masalah?” todong Queen yang sudah mengenal Naya begitu lama, dia bisa merasakan jika sahabatnya sedang terbebani sesuatu.“Emmm ….” Naya merasa tidak bisa berkata-kata lagi. Tiba-tiba dia merasakan keraguan yang mendalam, ada rasa malu yang menyergap hatinya.“Nay!
Malam itu, setelah menikmati kebersamaan yang mendalam, Ageng dan Queen berbaring dengan napas yang masih tersengal-sengal. Mereka membiarkan keheningan sesaat mengisi ruangan, memberikan waktu bagi mereka untuk merenung dan merasakan kehangatan satu sama lain.Ageng mengusap perut Queen yang mulai membulat, merasakan kehidupan baru yang tumbuh di dalamnya. Pelukan eratnya dari belakang memberikan rasa aman dan nyaman bagi Queen.“Aku benar-benar takut kalau ngrepotin mama,” bisik Queen pelan, memecah kesunyian.Ageng tersenyum dan semakin mengeratkan pelukannya. “Nggak akan, Sayang. Mama pasti senang karena ada temannya. Apalagi dengan kondisi kamu sekarang, akan lebih baik kalau kita tinggal di sana.”Queen terdiam, mempertimbangkan kata-kata suaminya. Ia tahu Ageng benar, tetapi ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman. Mungkin karena perasaan bahwa ia kehilangan kebebasannya, atau mungkin karena ia tidak ingin terlalu bergantung pada orang lain.“Jujur, akhir-akhir ini aku
Queen merasakan detak jantungnya berdentam keras ketika mendengar suara tangis adiknya, Victoria, dari sambungan telepon. Kepanikan segera menyelimuti pikirannya, membuat tubuhnya yang masih polos dan penuh peluh langsung bangkit dari posisinya."Apa yang terjadi?" tanya Queen dengan suara gemetar, mencoba menenangkan dirinya sendiri meskipun tahu hal itu hampir mustahil.Ageng, yang menyadari situasi ini, segera merespons dengan lembut mengusap punggung mulus Queen yang belum berpenutup.“Aku takut, Kak! Aku nggak bisa pulang,” tangis Victoria terdengar lebih putus asa di telinga Queen.“Kamu dimana sekarang?” tanya Queen dengan nada memburu, berharap mendapatkan jawaban yang jelas dari adiknya.Ageng mencoba menenangkan istrinya. “Kamu harus tenang! Aku akan mengurusnya,” ucap Ageng sambil melihat ke arah Queen dengan mata penuh ketegasan. “Tanya di mana dia sekarang, aku akan menjemputnya.”Queen segera bertanya lagi, suaranya terdengar panik namun tegas. “Vicky, kamu di mana sekar
Victoria terus meneteskan air mata. Ada perasaan takut yang tak mau sirna begitu saja. Keadaan terakhir Ageng sebelum akhirnya dimasukkan ke bagasi membuatnya dihantui rasa bersalah. Meskipun hanya sejenak, tetapi Victoria merasakan kepedulian yang diberikan oleh Ageng begitu tulus, dan dia membalasnya dengan begitu keji.“Kita mau kemana, Kak?” tanya Victoria tampak ragu dan takut kepada Zachary yang sedari tadi hanya diam sambil mengendarai mobilnya. Mobil terus melaju, ke arah yang terasa asing bagi Victoria.“Tidak usah banyak bicara, kau ikut saja!” Sikap dingin dan datar yang ditunjukkan oleh Zachary membuat Victoria semakin takut.Gadis belia itu merasa terjebak dalam situasi rumit yang tidak dia ketahui ujung pangkalnya. Dia hanya menjalankan perintah sang kakak, untuk menghubungi nomor Queen dan mengatakan jika dia sedang berada di sebuah klub malam. Zachary mengatakan itu adalah tes untuk mengetahui apakah Queen akan menolongnya atau membiarkannya sendiri di luar.Victoria y
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l