Laras memang penuh kasih, tetapi Queen merasa tidak bisa bergerak leluasa saat berada di dekat mertuanya. Bahkan hanya sekedar untuk keluar bertemu dan berkumpul dengan teman-temannya, Queen merasa sungkan untuk untuk meminta izin.Setelah kembali ke apartemen selama sudah mendapat izin dari Ageng, Queen merasa bebas untuk bepergian. Seperti hari ini, Queen sudah berada di kafe Derrian, berkumpul dengan Melissa, Chiara dan juga Megan yang kebetulan sedang berkunjung ke Indonesia.“Eh … perjanjian pernikahanmu dengan Ageng sempat dibahas sama ustadz kondang,” ucap Chiara sambil menunjukkan ponselnya kepada Queen.Tampak Melisa dan Megan yang penasaran langsung mendekat turut melihat berita yang dimaksud Chiara.“Sampai segitunya kasusmu Queen, sampai-sampai seorang ustadz ikut bicara.” Setelah membaca sedikit, Megan kembali kepada posisi duduknya selalu anggun.“Ustadz itu membahas tentang kawin kontrak yang katanya dilarang agama, dan dijelaskan perjanjian nikah Queen dan Ageng tidak
Queen sedang duduk di sofa, matanya terpaku pada layar televisi di depannya, menonton serial drama favoritnya. Namun, tatap matanya kosong, seolah cerita yang ditayangkan tidak mampu menembus lapisan pikirannya yang tengah bergelut dengan berbagai kekhawatiran.Ageng yang sudah pulang dari tadi kini menghampirinya sambil membawa segelas susu. Sebuah kebiasaan baru yang dia dedikasikan untuk calon anaknya. Berharap mampu menimbulkan ikatan batin sedak dini.“Terima kasih,” Queen memaksakan senyum di bibirnya, berusaha menutupi kegalauan hatinya.Ageng menatap wajah sendu Queen. Satu tahun lebih hidup bersama membuat Ageng bisa mengetahui jika saat ini ada beban yang coba sang istri sembunyikan darinya.Ageng mengambil posisi duduk di samping Queen. Setelah Queen menghabiskan susu dan meletakkan gelas di meja, Ageng segera merengkuh tubuh istrinya lalu membuat dada bidangnya menjadi sandaran.“Sedang mikirin apa?” Dengan lembut Ageng bertanya, tidak ada nada yang mengintimidasi. “Jujur
Keesokan harinya, Ageng menepati janjinya. Dia pulang lebih awal dari biasanya dan menjemput Queen untuk berbelanja bulanan. Mereka tiba di supermarket tak terlalu ramai, dengan trolley belanja yang sudah disiapkan.Ageng dan Queen berjalan beriringan di antara deretan rak yang penuh dengan barang kebutuhan sehari-hari. Queen memasukkan beberapa item ke dalam trolley, sambil sesekali berdiskusi dengan Ageng mengenai produk yang hendak dibeli. Sebenarnya tidak perlu untuk berdiskusi, karena Ageng akan mengangguk memberi izin kepada Queen untuk mengambil apa pun yang dia ingingkan.Mereka terus berjalan, mengisi trolley dengan berbagai kebutuhan. Queen berhenti di bagian sayur dan buah, memilih tomat, wortel, dan beberapa buah apel. Ageng membantu memasukkan belanjaan ke dalam trolley sambil sesekali melontarkan candaan yang membuat Queen tersenyum.Saat mereka sampai di bagian minuman, Queen mengingatkan Ageng tentang susu yang hampir habis di rumah. "Jangan lupa, kita perlu beli susu.
Jika ada yang mengira jika Zachary akan menyerah setelah semua rencana gagal, itu salah. Dalam diam, dia melihat situasi, mencoba menggali apa pun yang bisa dijadikan senjata untuk menyakiti Rania yang sebenarnya sudah sangat sakit.Satu rencana sudah dia kerjakan, kini dia sedang mencoba merayu dan memanfaatkan gadis lugu yang sedang membutuhkan perhatian. Jika sejak kelahiran Victiria, dia sama sekali tidak ingin menggendong atau pun peduli kepada adik tirinya itu, kini dengan suka cita justru dia yang mencari dan akan mendekatinya.Sudah beberapa hari Zachary membuntuti Victoria untuk mengetahui apa saja yang dia lakukan. Dari dalam mobilnya, Zachary memperhatikan Victoria dari kejauhan, tersenyum menyeringai sambil menggelengkan kepala tidak percaya. Dengan mata kepalanya sendiri, Zachary menyaksikan kegilaan dan kenekatan adik tirinya yang terlihat sangat agresif dalam mengejar cinta seorang pria.“Darah jalang sepertinya mengalir begitu kental di tubuhmu,” gumam Zachary saat men
“Sedang sibuk, Pak Boss?”Ageng langsung mengalihkan perhatian ke arah sumber suara. Senyum mereka di bibir Ageng, lalu dia pun mengabaikan berkas-berkas di hadapannya dan menyambut kedatangan Erick, sahabatnya yang selama ini tinggal di Australia. Dua sahabat itu saling berpelukan sebentar, mereka tampak sangat bahagia.“Kemarin aku sempat tidak percaya saat Queen bilang baru saja ngumpul sama Megan.” Setahu Ageng sahabatnya itu layaknya budak cinta yang tidak bisa terpisahkan. Kemana saja mereka selalu bersama. “Pulang ke Indonesia mengapa tidak memberi kabar?”“Karena memang rencananya cuma sebentar, takutnya sudah woro-woro tapi nggak bisa ngumpul bareng,” jawab Erick apa adanya. Mereka sudah saling memahami kesibukan masing-masing.Erick menatap wajah Ageng dengan senyum yang sulit diartikan, lalu dia menghembuskan napas secara kasar.“Maaf,” ucap singkat Erick, setiap kali mengingat sikapnya yang lebih mendukung hubungan Ageng dengan Davianna di masa lalu, selalu meninggalkan ra
Ageng berdiri di dekat jendela ruangannya, menatap keluar dengan tatapan kosong. Matahari senja memancarkan cahaya keemasan, menciptakan bayangan panjang di lantai kayu. Dari balik kaca, ia melihat hiruk-pikuk kota yang tidak pernah tidur. Kendaraan yang berderet, orang-orang yang berlalu-lalang, seolah tidak ada yang peduli pada kekacauan yang melanda pikirannya.Ageng mendesah kasar menatap meja kerjanya. Biasanya jika semua pekerjaan sudah selesai, Ageng akan segera pulang. Bahkan saat pekerjaan belum selesai pun kadang Ageng lebih memilih untuk membawanya pulang agar bisa segera bertemu dengan sang istri. Tetapi tampaknya ada hal yang cukup mengganjal hati Ageng saat ini, hingga membuatnya lebih memilih sejenak berpikir untuk menentukan langkah selanjutnya.Ageng merasa perlu untuk membicarakan hal ini bersama Queen. Terasa dihadapkan kepada sebuah dilema, Ageng tidak ingin membebani pikiran Queen, sudah terlalu banyak beban hidupnya selama ini. Tetapi jika dia diam, takut akan ad
Davianna menatap suasana kafe yang terkesan apa adanya dan sangat murahan. Dia hampir tidak percaya seorang Zachary Wijaya salah satu anak dari pemilik perusahaan Surya Jaya Abadi, mengajaknya bertemu di tempat yang sangat seperti ini.“Kau tidak salah memilih tempat?” Tanpa rasa sungkan Davianna melontarkan pertanyaan.“Saya rasa ini tempat paling aman buat kamu, jika kita memilih tempat yang lebih baik dari tentu akan menarik perhatian public.”Davianna mengangguk pelan membenarkan jawaban Zachary. Sampai saat ini Davianna merasa belum siap secara terang-terangan tampil di depan public.Semantara itu, Victoria dan Rey menatap tamu baru itu dengan kaget. Keduanya mengenali Davianna, bukan hanya karena berita yang sempat viral beberapa saat yang lalu, tetapi juga karena kecantikannya yang sempat menjadi brand amasador beberapa produk yang cukup laris.Meski baru diterpa masalah yang tidak bisa dikatakan kecil, tetapi Davianna tetaplah wanita dengan aura percaya diri yang memancar. Dia
Ageng mengusap punggung tangan Queen dengan lembut, matanya berkaca-kaca. Queen menatap suaminya dengan tatapan penuh tanya, dan hati yang berdebar tak menentu.“Davi kembali?” Entah mengapa air mata tiba-tiba menetes. “Apa itu artinya kau akan kembali kepadanya?” tanya Queen sambil mengusap perutnya yang sudah mulai menyembul.Ageng menggeleng pelan. "Bukan begitu, Queen. Hubunganku dengan Davi benar-benar sudah berakhir. Tapi...""Tapi apa?" Queen mendesak, suaranya bergetar.Ageng menarik napas panjang, mencoba meredakan gejolak di dadanya. Dia kemudian menceritakan pertemuannya dengan Erick dan apa yang diceritakan Erick tentang Davianna. Tentang apa saja yang dilakukan oleh Davianna selama di London. Ageng tidak ingin Queen bernasib seperti Aletha, yang mengalami koma begitu lama karena adanya masalah saat melahirkan.Queen mendengarkan dengan saksama, tanpa memotong pembicaraan Ageng. Setelah Ageng selesai, Queen meremas tangan suaminya dengan lembut. Bukan takut, tetapi tentu s
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l