Hubungan asmara yang telah terjalin selama tiga tahun, sebelum akhirnya Davianna harus pergi ke London untuk menempuh pendidikan S2, meninggalkan begitu banyak kenangan indah. Bagi Ageng, Davianna adalah sosok perempuan cerdas yang selalu asik untuk diajak bicara atau diskusi dalam berbagai topik masalah, terutama pada masalah yang sedang up to date saat itu.Kecantikan dan kecerdasan Davianna membuatnya menjadi pasangan yang begitu membanggakan untuk dipamerkan di depan teman atau juga kliennya. Tetapi, karena alasan sedang mengejar karir, saat itu hubungannya dengan Davianna sangat dirahasiakan, hanya para sahabat dekat yang mengetahui hubungan Istimewa mereka.Sungguh Ageng tidak pernah menduga, terpisah jarak membuat hubungan yang dahulu begitu mesra kini terasa tanpa sisa. Kesibukan masing-masing dan juga perbedaan waktu membuat komunikasi di antara Ageng dan Davianna tidak bisa berjalan lancar. Tak ayal, hal itu membuat rasa cinta di dalam hati mereka terkikis sedikit demi sedik
Davianna menatap Fatima sekali lagi. Bayi mungil itu adalah kunci dari semua rencananya. Dengan merawat dan menunjukkan kasih sayangnya pada Fatima, dia berharap Fajri akan melihatnya sebagai calon ibu yang sempurna bagi putrinya. “Tante terima kasih banget lho, karena kemu mau membawakan makan siang untuk Fajri.” Tampak Sinta sedang sibuk mempersiapkan makanan ke dalam kotak makan siang. “Kebetulan saya juga ada acara di luar, jadi sekalian saja. Kasihan juga kalau Fatima harus ditinggal sendiri.” Sebenarnya Davianna tahu jika untuk merawat Fatima, Fajri sudah menyewa seorang tenaga professional, meskipun tidak bisa seharian penuh merawat bayi mungil tersebut. Davianna hanya ingin menunjukkan betapa pedulinya dia kepada Fatima. “Tadi tante sudah menghubungi Fajri, katanya dia akan makan siang di rumah sakit, sekalian melihat perkembangan Aletha.” Tidak bisa dipungkiri apa yang baru saja diucapkan Sinta menumbuhkan rasa cemburu di hati Davianna. Tetapi pembawaan tenang gadis
Ambisi dan obsesi cintanya kepada Fajri telah membutakan nurani Davianna. Semua yang dia lakukan hanya demi kepentingannya semata, tidak ada ketulusan di sana. Keadaan Aletha yang sangat memprihatinkan justru menjadi penyemangat baginya untuk semakin mendekati Fajri. Bayi mungil yang tidak berdosa pun dia jadikan batu loncatan untuk bisa menarik perhatian pria pujaan hatinya. Apa pun yang terjadi, Davianna hanya fokus pada tujuannya saja, mendapatkan cinta dan bisa menikah dengan Fajri.“Aku lihat Mas Fajri sangat lelah. Sudah enam bulan Mas Fajri selalu menunggu Mbak Aletha, sampai-sampai lupa mengurus diri sendiri.”“Aku hanya ingin, saat Aletha membuka matanya nanti, aku adalah orang pertama yang dia lihat.”“Aku rasa Mas Fajri butuh istirahat sejenak dari semua permasalahan yang ada, mungkin liburan bisa menjadi penambah energi.”Dengan seulas senyum di bibir, Fajri mengalihkan pandangannya sejenak ke arah Davianna. “Aku ini seorang suami, seorang ayah, liburanku ya bersama anak d
Bahagia, itu yang dirasakan oleh Davianna saat ini, bisa bersama dan begitu dekat dengan Fajri. Hanya berdua, tanpa ada Aletha dan keluarga lainnya di antara mereka.Perjalanan menuju apartemen Davianna diisi dengan keheningan. Di dalam mobil yang melaju dengan kecepatan sedang, diselimuti oleh keheningan. Fajri hanya berkonsentrasi pada kemudi dan jalanan di depannya. Sementara itu Davianna sesekali mencuri pandang ke arah ayah satu anak yang duduk di sampingnya itu. Kekaguman semakin mendalam kala melihat Fajri yang selalu tampak begitu tangguh, meski jelas terlihat adanya gurat lelah karena beban berat yang dipikulnya.Sebenarnya Davianna ingin memulai pembicaraan untuk menghidupkan suasana, entah karena terlalu bahagia atau mungkin masih meraba yang ada di dalam benak Fajri saat ini membuat Davianna hanya bisa diam. Senyum tipis tak lepas dari bibirnya, membayangkan betapa indahnya jika momen seperti ini bisa terjadi setiap hari.Setibanya di apartemen Davianna, Fajri memarkir mob
Tampaknya sudah tidak ada lagi penghalang bagi Queen untuk melanjutkan rencananya. Ageng yang sampai saat ini sama sekali tidak memberi kabar kepadanya semakin menambah keyakinan Queen atas keputusan yang dia ambil.“Untuk bukti-bukti KDRT yang dilakukan oleh Ageng, kita bisa meminta bantuan kepada Om Surya,” ucap Ari Nugraha sambil menyerahkan berkas kepada Queen untuk baca dan dikoreksi sebelum diajukan ke pengadilan agama. “Dia juga memiliki uang dan kekuatan yang sepadan dengan keluarga Wardana. Om Surya bisa memaksa pihak rumah sakit untuk menunjukkan rekam medis hasil pemeriksaan dirimu selama di rawat di rumah sakit.”“Sebenarnya aku tidak ingin melibatkan Om Surya dalam masalah ini.”Queen tidak ingin masalah perceraiannya dengan Ageng akan menjalar kemana-mana. Dia tahu ada persaingan bisnis antara kedua keluarga tersebut.Ari menarik napas dalam-dalam, mencoba memberikan penjelasan yang lebih menenangkan. “Queen, aku mengerti perasaanmu. Tapi kita harus realistis.”Dari perc
Ageng mengangkat lengan kirinya untuk melihat jam tangan mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. Tampaknya belum terlalu malam untuk menikmati kopi berdua, Ageng berharap mereka bisa sedikit bertukar cerita sebelum akhirnya mengatakan maksud yang sesungguhnya.Ageng dan Davianna menuju ke sebuah kedai kopi yang berada di dekat apartemen Davianna. Suasana canggung yang tercipta membuat Davianna bisa merasakan ada yang berubah dengan Ageng. Tampaknya satu tahun tidak bertemu membuah mereka seperti dua orang yang baru pertama kali bertemu.Davianna mencoba mencairkan suasana dengan membelitkan tangannya ke lengan kekar Ageng, sesuatu yang dahulu sering dia lakukan saat berjalan bersama dengan Ageng. Meskipun tidak menolak, tetapi Ageng tetap bersikap dingin, tidak seperti dahulu yang akan langsung melabuhkan kecupan setiap kali Davianna bersikap manja di hadapannya.Mereka berjalan dalam diam, hanya suara langkah kaki yang terdengar di trotoar yang basah oleh hujan sebelumnya. Ses
“Papa baru saja mendapat informasi jika ada pihak yang menekan pihak rumah sakit untuk memberikan rekam medis Queen selama menjalani perawatan di rumah sakit.” Terdengar suara hembusan napas yang kasar, seolah Arya Suta sedang mengeluarkan beban masalah yang sedang dia hadapi saat ini.“Kau tahu, papa sudah banyak membayar pihak rumah sakit untuk merahasiakan semua ini, tetapi tampaknya ada pihak yang ingin membongkar masalah ini ke public,” sambung Arya Suta yang terdengar sedang penuh beban.“Maaf,” ucap Ageng terdengar sendu. CEO muda itu menyugar rambutnya dengan kasar hingga rambutnya yang sebelumnya sudah tersisir rapi kembali berantakan. “Semu aini salahku,” sambung Ageng dengan lesu dan penuh rasa bersalah.Seandainya malam itu dia bisa mengedalikan diri dan tidak terbawa emosi saat mendengar pengakuan Queen yang menggunakan IUD selama pernikahan mereka, tentu masalah besar ini tidak akan timbul, dan dia pun masih bisa hidup bahagia bersama dengan Queen. Selain itu mungkin dia
Ageng melangkah cepat keluar dari apartemen mewah milik keluarganya, mengabaikan hiruk-pikuk kota yang terhampar di bawahnya. Sebagai seorang CEO muda dan calon penerus perusahaan keluarga yang ternama, Ageng selalu tampak tenang dan percaya diri. Namun, kali ini hatinya berdebar kencang, seolah berpacu dengan waktu. Ageng harus segera menemui Davianna, untuk mengakhiri kisah cinta mereka yang seharusnya sudah dia lakukan sejak mengucapkan kalimat akad nikah dengan menyebut nama Queen.Sebagai model ternama yang sedang menempuh pendidikan S2 di London, Davianna adalah pesona yang sulit ia hindari saat itu. Ageng begitu mencintai dan tergila-gila dengan pesona Davianna, tetapi setelah menjalani hubungan jarak jauh dan komunikasi yang tidak berjalan lancar, membuat Ageng lambat laun menemukan pesona dari Queen dan membuatnya jatuh cinta kepada istrinya tersebut.Langkahnya yang tergesa-gesa membawa Ageng ke sebuah kafe yang sangat eksklusif, untuk membicarakan hal yang sangat penting Ag
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l