"Jadi, ini alasan kamu nggak fokus saat syuting tadi, Nindy?" Anindya mengangguk atas pertanyaan Daren. "Aku terus mikirin ini dari semalem. Kalo waktu bisa diulang, aku nggak mungkin lakuin kesalahan yang sama lagi, Daren." "Sayangnya, semua udah terjadi nggak bisa diulang lagi. Jadiin semua ini sebagai pajaran dalam hidup kamu, Nindy." Daren memberikan nasihat agar Anindya tidak mengulang kesalahan yang sama. Daren orang yang berpikir logis, meskipun sebagian keluarga besar menyalahkan keluarga Danendra atas kematian George Alessandro. Daren tidak, dia menganggap kematian Kakek merupakan takdir yang tak bisa dihindari. Tidak ada yang tahu soal kematian di dunia ini. Kematian selalu hadir secara tiba-tiba, mengejutkan semua orang untuk berduka atas kehilangan seseorang yang mereka sayangi. "Kamu tau semua ini dari mana, Nindy?" Daren tahu, jika Anindya mengetahui ini dari keluarganya. Namun, jawaban yang keluar dari mulut Anindya membuat Daren terkejut. "Ivander, sema
"Laura, kenapa kamu harus kembali?" Suara Daren tampak panik saat ini. Panggilan telpon dari nomor tidak dikenal tadi langsung dia akhiri tanpa membalas sapaan dari seorang wanita di sebrang sana. Daren mengusap wajahnya kasar, dia harus mencegah kepulangan Laura ke kota Pandora. Wanita itu sedang berada di kota Swinden mengurus bisnisnya sebagai seorang perancang perhiasan yang begitu terkenal. Laura Grizella— seorang wanita karir yang sudah sukses di usia muda. Di umurnya yang menginjak usia 26 tahun, Laura sudah begitu terkenal sebagai perancang perhiasan yang selalu menghasilkan model perhiasan yang bukan hanya indah, tapi memiliki makna yang mendalam. Namun, bukan itu yang menjadi masalah bagi Daren. Melainkan, Laura yang begitu tergila-gila dengan Ivander. Wanita itu sempat dijodohkan oleh William dengan Ivander, tapi Ivander sangat menolak mentah-mentah perjodohan itu. Sampai terjadi perdebatan antara William dan Ivander yang disebabkan oleh keluarga Laura yang tak terim
"Ivander, aku kangen banget sama kamu!" Wanita cantik dengan dress merah yang membungkus tubuh molek bagai gitar spanyol itu berjalan memasuki ruangan Ivander. Kaki jenjangnya yang terbalut sepatu high heels dengan warna senada dengan dress-nya itu mendekati Ivander yang duduk di kursi kebesarannya. Laura Grizella, tersenyum lebar dengan kedua mata berbinar cerah saat menatap wajah tampan Ivander. Dia segera memeluk Ivander dari belakang dengan kedua tangan yang melingkar di leher Ivander.Laura meletakan dagunya pada bahu Ivander. "Apakah kamu kangen sama aku, Ivander?" Laura berbisik sensual tepat pada telinga Ivander. Ivander dengan kasar menyingkirkan kedua lengan Laura pada lehernya. "Jangan menyentuh saya dengan tangan kotormu!" Tidak memperdulikan decakan Laura, yang kini berdiri di samping tubuhnya. Laura menatap Ivander dengan tatapan sedih mendengar ucapan pria itu. "Kamu nggak kangen aku, Ivan? Aku aja kangen banget sama kamu. Maaf, ya aku baru bisa nemuin kamu
"Ivander, kamu, kok, kasar banget sama aku?" Laura nyaris saja terjatuh jika saja dirinya tidak sigap memegangi ujung meja Ivander. Ini pertama kalinya, Ivander berbuat kasar seperti ini padanya. Biasanya hanya tutur kata saja yang kasardan tatapan yang selalu tajam kala menatap dirinya. "Laura, dengar! Ini terakhir kalinya kamu muncul di hadapan saya! Kamu paham?" Ivander mengusap pahanya yang baru saja di duduki oleh Laura, dia menunjukan secara jelas di depan Laura bahwa dirinya jijik atas tingkah murahan Laura beberapa saat yang lalu. "Nggak bisa, Ivan! Aku cinta sama kamu, aku nggak bakal biarin kamu nikah sama wanita lain!" Laura tidak bisa membayangkan jika nanti Ivander bersanding dengan wanita lain. Laura yang sudah menunggu Ivander selama tiga tahun ini, lalu wanita lain yang mendapatkan Ivander. Hati Laura jelas hancur melihat Ivander menjadi milik wanita lain. Hanya Laura yang pantas bersanding dengan Ivander, hanya Laura yang bisa mendapatkan Ivander. Tidak
"Udah tidur, sayang?" Ivander mengetikan sebuah pesan untuk Anindya di sebrang sana. Dia segera mengirim pesan tersebut pada Anindya. Ivander tersenyum tipis kala membuka foto profil Anindya, yang tampak cantik menggunakan dress biru dengan rambut tergerai indah. Wanita itu nyaris membuat Ivander gila setiap harinya, sikapnya yang begitu cuek saat berhadapan dengannya. Lima menit kemudian, sebuah pesan balasan dari Anindya masuk. Dengan cepat Ivander membuka pesan dari Anindya, tapi senyumnya langsung luntur kala membaca pesan yang dikirimkan oleh Anindya. My Love Aku baru selesai telpon Lingga, ini baru mau tidur Lingga? Pikiran Ivander kini mendadak buruk membayangkan Anindya dan Lingga baru saja melakukan panggilan telpon. Dia sangat yakin jika Anindya masih menyimpan perasaan pada Lingga, dia takut jika Anindya kembali pada Lingga nantinya. Ivander Alessandro Ngapain telpon Lingga malem-malem? Setelah mengetikan balasan pesan untuk Anindya. Ivander melempar
"Nindy, kamu pucat sekali." Daren tampak khawatir melihat wajah Anindya yang pucat. Dia menghampiri Anindya setelah meletakan tas ransel miliknya dengan asal. Dia baru saja menginjakan kaki di lokasi syuting langsung panik melihat Anindya yang kondisinya kurang sehat seperti ini. Anindya yang sedang menyesap teh hangat yang diberikan oleh salah satu kru. Menoleh pada Daren dengan senyum tipis yang menghiasi wajah pucatnya. Pertama kali Anindya datang ke lokasi syuting, dia langsung disambut dengan berbagai macam pertanyaan dan para kru saat melihat wajah pucatnya. Pak Antony selaku sopir kediaman keluarga Danendra yang mengantar dirinya tadi, mencegah dirinya untuk turun dan meminta Anindya untuk kembali ke rumah saat melihat kondisi Anindya yang begitu buruk. Anindya menolak permintaan Anthony, bahkan dia mencegah Antony yang ingin mengabari Kanaya di rumah. Dia tidak ingin membuat wanita yang sudah melahirkan dirinya itu panik mendengar keadaan Anindya sekarang. Kanaya tad
"Sakit sekali," ringis Anindya sambil memegangi kepalanya yang terasa pening. Huek! Huek! Anindya terus memuntahkan cairan pada wastafel. Dia meletakan tangan pada pinggiran wastafel sebagai tumpuan tubuhnya agar tidak terjatuh. Pasalnya kedua kakinya begitu lemas untuk menopang kedua tubuhnya. Kepalanya pusing, perutnya terus bergejolak membuat dirinya mual dan ingin terus muntah, wajahnya pucat pasi. Rambut panjang Anindya tampak lepek terkena keringat. Keadaan wanita itu tampak kacau pagi ini. Setelah puas mengeluarkan cairan dari dalam mulutnya, Anindya membasuh wajahnya dengan air menggunakan kedua tangannya. Dia membasahi sedikit rambutnya yang lepek sudah seperti orang terkena penyakit tips. Dia menatap pantulan dirinya di depan cermin. "Aku nggak biasanya kaya gini!" gumam Anindya sambil menutup air kerannya. Anindya memutuskan untuk keluar menemui Daren yang sejak tadi berteriak di luar kamar mandi. Menanyai keadaan Anindya dengan suara panik. Anindya be
"Saya suaminya. Gimana keadaan istri saya?" Ivander maju dengan cepat berhadapan dengan Dokter. Membuat Daren terkejut dan ikut bangkit. Dia tidak menyangka jika Ivander akan memperkenalkan dirinya sebagai suaminya Anindya, padahal dia hanya calon suami saja. Dokter wanita itu tersenyum bahagia menatap wajah panik Ivander. "Setelah melakukan pemeriksaan kondisi pasien atas nama Anindya Prameswari. Saya membawa kabar bahagia untuk keluarga pasien, bahwa Nyonya Anindya dinyatakan positif hamil. Selamat untuk, Tuan akan menjadi seorang Ayah." "Hamil?" Suara Ivander terdengar terkejut. Meskipun dia sudah menduga hal ini, tapi rasa terkejutnya tidak bisa dia hindari. Dokter wanita dengan name tag, Desi Nathali itu mengangguk. "Nyonya Anindya saat ini membutuhkan perawatan untuk kesehatan janin dan dirinya sendiri. Kami akan memindahkan Nyonya Anindya ke ruang rawat inap." Perasaan Ivander saat ini tidak bisa dijelaskan. Dia begitu terkejut dengan kabar bahagia yang baru
"Lingga, akhirnya kamu kembali, Nak!" Marisa yang melihat presensi Lingga yang melangkah memasuki kantor polisi segera berteriak dengan lantang. Dia berlari menerjang putranya dengan pelukan erat. "Astaga, Lingga!" Suaranya bergetar penuh emosi. Pelukannya begitu erat, seolah berusaha memastikan bahwa putranya benar-benar nyata berada di depannya. Seminggu tanpa kabar, seminggu penuh kecemasan yang menggerogoti hatinya setiap detiknya. Lingga meringis pelan saat pelukan sang Ibu menyentuh luka pada punggungnya. Pukulan besi yang dilayangkan oleh anak buah Ivander pada punggungnya menyisakan luka dengan rasa sakit yang luar biasa. Marisa yang mendengar Lingga meringis kesakitan. Buru-buru melepaskan pelukannya. Dia memeriksa tubuh Lingga dengan rasa khawatir dan panik yang begitu kentara. "Maaf, Mama nggak tau, Nak. Bilang sama Mama mana yang luka!" Marisa segera memeriksa seluruh tubuh Lingga. Untuk mengecek semua luka yang memenuhi tubuh putranya. Namun, dengan cepat Li
"Pandora — Dunia hiburan kota Pandora kembali dihebohkan dengan kabar menghilangnya Lingga Aditama, mantan sutradara ternama yang terseret dalam skandal perselingkuhan dengan aktris papan atas, Melani Adisti." Ivander mengambil duduk di samping sang istri yang tengah fokus menatap layar televisi. "Setelah skandal mereka terungkap ke publik sebulan lalu, keduanya secara resmi dipecat dari agensi masing-masing akibat pelanggaran kontrak dan pencemaran nama baik institusi. Pemecatan tersebut langsung menjadi sorotan publik dan media hiburan." Ivander yang semula terkejut. Kini terlihat sangat santai, dia menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. Matanya menatap istrinya dari samping, mengabaikan siaran berita pagi ini di televisi. "Namun kini, perhatian publik kembali tertuju pada kasus ini. Lingga Aditama dilaporkan menghilang sejak tujuh hari yang lalu. Keluarga menyatakan bahwa sejak pekan lalu, Lingga tidak dapat dihubungi sama sekali." Anindya menoleh pada Iva
"Sayang, urusan semalam bener-bener mendadak. Jadi, mereka terpaksa hubungin aku buat bahas masalah perusahaan." Ivander mengambil duduk di samping sang istri, dia menarik pelan dagu Anindya agar menatapnya. "Udah, ya jangan marah lagi. Aku bener-bener minta maaf." Ivander membujuk Anindya dengan nada lembut, berharap istrinya akan luluh dengan bujukannya. Tidak semudah itu, Anindya masih saja kesal dengan Ivander yang meninggalkan dirinya semalaman. Entahlah, dirinya masih tidak mengerti kenapa harus sekesal ini. Padahal, tidak ada yang dirugikan sama sekali. Hanya karena dirinya menahan rasa penasaran sambil menunggu kembalinya Ivander dan berakhir ketiduran. Itu yang membuat Anindya misah-misuh sejak bangun tidur. Beruntung suaminya itu saat dirinya terbangun pagi tadi sudah berada di sisinya tengah memeluk tubuhnya dengan hangat. Jika, tidak ada Ivander di sisinya. Mungkin Anindya semakin marah besar pada Ivander. "Sayang, kita baru menikah tiga hari. Masa udah r
"Kamu semalam pulang jam berapa, Ivan?" Di dalam dapur villa yang luas dan minimalis, suasana hangat dan nyaman memenuhi ruangan. Dinding kaca besar menghadap langsung ke laut, memberikan pemandangan yang sempurna untuk memulai hari. Lantai kayu berwarna terang terasa hangat saat Ivander melangkah, sementara Anindya tengah mempersiapkan sarapan di meja marmer yang mengkilap. Dapur yang dipenuhi dengan peralatan modern dan rak terbuka berisi berbagai macam rempah dan bahan makanan segar, memberikan kesan mewah namun tetap terasa santai. Di atas meja, terdapat satu cangkir kopi hitam pekat yang mengepul, aroma kopi yang khas menyebar memenuhi udara. Di sebelahnya, roti panggang yang masih hangat diletakkan di atas piring, dengan selai buah segar dan mentega yang meleleh perlahan. "Sekitar jam sepuluh. Maaf, ya kamu sampai ketiduran nungguin aku." Ivander mendekat pada sang istri. Dia mengusap surai panjang Anindya yang kini duduk di meja makan bersiap memulai sarapan paginya. Di
"Apakah benar ini kediaman Pak Rizhar?" Salah seorang petugas polisi mendekati salah satu warga yang berkerumun mengelilingi rumah Rizhar. Rumah yang menjadi tujuannya pagi ini untuk mencari keberadaan Lingga, setelah mendapat laporan dari Marisa kemarin atas kehilangan putranya selama hampir satu Minggu. Petugas polisi melacak ponsel Lingga sore itu juga, dan ternyata ponsel Lingga berada di daerah Solora. Tepatnya berada di salah satu kediaman rumah warga di daerah Solora, pagi ini juga polisi segera menuju kediaman Rizhar lokasi ponsel Lingga berada. "Benar, Pak. Tapi, sudah hampir satu Minggu ini saya nggak liat keberadaan Rizhar. Rumahnya juga terkunci, bahkan beberapa hari ini terlihat sepi. Biasanya ada orang nongkrong di depan rumahnya." Salah satu warga bernama Nina itu menjawab apa yang dia ketahui dalam beberapa hari ini. Pasalnya, Nina merupakan tetangga dekat Rizhar. Rumah Nina berada tepat di samping rumah Rizhar. Rumah Rizhar itu tidak pernah sepi setiap
"Dasar bajingan!" Dengan penuh Geraman, Lingga mengumpati Ivander Meskipun takut pada Ivander, Lingga dan Rizhar tetap menyimpan marah pada Ivander. Belum selesai rasa kesal mereka terhadap kemunculan Ivander, suara mesin lain yang lebih bising mendekat dari arah yang sama. Jaguar XJ, dengan desain yang tajam dan elegan, melesat melewati mereka seperti bayangan hitam. Dalam mobil tersebut, Lingga bisa melihat sekilas Zico di kursi pengemudi dan Bima di sebelahnya, wajah mereka tertutup oleh bayangan lampu kabin. Lingga merasakan darahnya mendidih. Kedua mobil itu melaju dengan angkuh, meninggalkan jejak debu yang naik ke udara malam. Mereka tidak hanya melewati Lingga dan Rizhar—mobil-mobil itu seperti simbol ejekan atas ketidakberdayaan mereka. Tapi Lingga tahu bahwa mereka tidak punya pilihan. Membalas dendam sekarang berarti membuka diri terhadap bahaya yang lebih besar. "Liat aja nanti. Hidup kalian akan hancur sebelum kalian menghancurkanku!" Lingga meantap penuh dendam pa
"Kapok aku nggak mau berurusan sama Ivander lagi!" Suara Rizhar terdengar penuh penyesalan. Seandainya hari itu dia menolak ajakan Lingga untuk menculik Anindya, bahkan dia secara tidak langsung menjadi penyebab Anindya mengalami keguguran. "Kenapa kamu nggak bilang kalo mantan istri kamu itu udah punya suami kaya iblis itu!" lanjut Rizhar menyalahkan Lingga yang sejak tadi diam berjalan tertatih di sampingnya. Dengan langkah berat keduanya terus menyusuri lahan luas yang terbentang di depan mereka. Pepohonan kering di sekitar danau menciptakan bayangan menakutkan di bawah cahaya bulan yang redup. Angin malam yang dingin menusuk kulit mereka, membawa aroma hutan yang lembap dan asing. "Aku nggak tau kalo Anindya saat itu lagi hamil." Lingga menjawab dengan napas yang memburu. "Aku pikir nggak akan terjadi apapun kalo aku merkosa Anindya saat itu. Karena, mau gimanapun Anindya itu mantan istri aku."
"Tutup mulut, dengan begitu hidup kalian berdua aman." Ivander menatap mereka berdua yang telah bebas dari rantai besi yang selama ini membelenggu. "Saya bisa menghancurkan hidup kalian kapan saja jika hal ini bocor. Paham?" Lingga dan Rizhar berdiri di depan Ivander, tubuh mereka lemah dan gemetar. Keduanya tampak kehilangan kekuatan setelah seminggu menerima siksaan fisik tanpa henti. Kaki mereka terasa seperti jelly, nyaris tak mampu menahan bobot tubuhnya sendiri setelah terbelenggu dan tak bergerak terlalu lama. Rizhar mengangguk ketakutan. Wajah pria bertato itu terlihat pucat, mencerminkan rasa takut yang mendalam terhadap Ivander. Pria itu, dengan tatapan dingin tanpa emosi, telah menunjukkan bahwa ia tak memiliki rasa iba sedikit pun. Semua siksaan, dari pukulan hingga tendangan, dilakukan tanpa ekspresi—seolah teriakan mereka adalah sesuatu yang tak pernah sampai ke telinganya. "Saya berjanji tidak akan bicara tentang ini. Tolong lepaskan saya," suara Rizhar bergetar, me
"Dengar, ya, Lingga. Saya akan lepasin kamu malam ini juga, tapi jangan pernah katakan apa yang telah terjadi padamu selama hampir satu minggu ini." Ivander melipatkan kedua tangan di depan dada. Di samping pria itu, Bima berdiri dengan jaket kulit berwarna hitam menggunakan topi hitam, kaca mata hitam, dan juga masker berwarna hitam. Bima selalu menggunakan pakaian serba hitam selama hampir seminggu menyiksa Lingga dan juga Rizhar, dia rela menginap di gudang eksekusi milik Ivander.Saat menyiksa Lingga, Bima tidak pernah mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya. Mulutnya diam, tapi tangan dan kakinya tidak. Rasanya begitu puas setiap kali mendengar teriakan penuh kesakitan dari Lingga, tubuh kekar pria itu dipenuhi oleh luka-luka dan juga memar bekas pukulan besi yang dilayangkan oleh dirinya. "Nggak bisa kaya gini! Apa yang kamu dan anak buahmu lakukan itu udsh keterlaluan. Kamu nyulik dan nyiksa saya sama Rizhar, saya nggak mungkin diem aja." Lingga dengan suara lemah melayan