"Ivander, aku kangen banget sama kamu!" Wanita cantik dengan dress merah yang membungkus tubuh molek bagai gitar spanyol itu berjalan memasuki ruangan Ivander. Kaki jenjangnya yang terbalut sepatu high heels dengan warna senada dengan dress-nya itu mendekati Ivander yang duduk di kursi kebesarannya. Laura Grizella, tersenyum lebar dengan kedua mata berbinar cerah saat menatap wajah tampan Ivander. Dia segera memeluk Ivander dari belakang dengan kedua tangan yang melingkar di leher Ivander.Laura meletakan dagunya pada bahu Ivander. "Apakah kamu kangen sama aku, Ivander?" Laura berbisik sensual tepat pada telinga Ivander. Ivander dengan kasar menyingkirkan kedua lengan Laura pada lehernya. "Jangan menyentuh saya dengan tangan kotormu!" Tidak memperdulikan decakan Laura, yang kini berdiri di samping tubuhnya. Laura menatap Ivander dengan tatapan sedih mendengar ucapan pria itu. "Kamu nggak kangen aku, Ivan? Aku aja kangen banget sama kamu. Maaf, ya aku baru bisa nemuin kamu
"Ivander, kamu, kok, kasar banget sama aku?" Laura nyaris saja terjatuh jika saja dirinya tidak sigap memegangi ujung meja Ivander. Ini pertama kalinya, Ivander berbuat kasar seperti ini padanya. Biasanya hanya tutur kata saja yang kasardan tatapan yang selalu tajam kala menatap dirinya. "Laura, dengar! Ini terakhir kalinya kamu muncul di hadapan saya! Kamu paham?" Ivander mengusap pahanya yang baru saja di duduki oleh Laura, dia menunjukan secara jelas di depan Laura bahwa dirinya jijik atas tingkah murahan Laura beberapa saat yang lalu. "Nggak bisa, Ivan! Aku cinta sama kamu, aku nggak bakal biarin kamu nikah sama wanita lain!" Laura tidak bisa membayangkan jika nanti Ivander bersanding dengan wanita lain. Laura yang sudah menunggu Ivander selama tiga tahun ini, lalu wanita lain yang mendapatkan Ivander. Hati Laura jelas hancur melihat Ivander menjadi milik wanita lain. Hanya Laura yang pantas bersanding dengan Ivander, hanya Laura yang bisa mendapatkan Ivander. Tidak
"Nindy, kamu mandul?" Suara tegas Arjuna Aditama menghentikan kegiatan makan malam semua orang. Dia adalah ayah mertua Anindya. Suasana di ruang makan langsung berubah canggung. Bibir Anindya gemetar. "Aku ... aku nggak—"Anindya gugup. Dia baru selesai memasak dan mengatur semua menu di meja makan. Dia bahkan masih memakai celemek dan belum sempat duduk. Anindya Prameswari, 25 tahun. Saat usia 22 tahun, dia kabur dari rumahnya karena perjodohan. Sebelum menikah dengan Lingga Aditama, dia adalah seorang nona muda satu-satunya keluarga Darendra. Keluarga Darendra adalah salah satu dari empat keluarga kaya di Kota Pandora. Tiga keluarga lainnya yaitu keluarga Alessandro, Malik dan Triharjo. Namun setelah menjadi menantu keluarga Aditama, Anindya justru diperlakukan seperti babu. Ibu mertua Anindya menyela, "Mau alesan apa lagi kamu? Keluarga Aditama butuh penerus secepatnya." Sebagai ibu mertua, Marisa Ayudewi tidak pernah mengakui Anindya sebagai menantu keluarga Aditama. Alasann
Bab 2. "Nggak! Ini nggak bener!"Anindya tercengang. Kemarin, dia dan Lingga memang pergi ke rumah sakit Internasional Permata. Namun, pernyataan Dokter kandungan sangat bertentangan dengan surat medis yang diberikan oleh Lingga. Jadi, sudah dapat dipastikan jika surat medis tersebut hanyalah alat untuk memfitnah Anindya. Brak!Arjuna menggebrak meja makan. Dia berdiri. Dia merasa tertipu karena selama ini ternyata menantunya cuma cantik saja, tapi tidak bisa menghasilkan keturunan. "Ternyata kamu bukan perempuan sempurna, Nindy," kata Arjuna, merendahkan. "Punya wajah cantik saja percuma, kalo nggak bisa ngasih keturunan untuk suaminya!" Anindya sakit hati mendengarnya. Dia segera bangkit dari posisinya yang berada di lantai. Anindya menatap kedua mertuanya dengan nanar. 'Pa, Ma ... asal kalian tau aja surat medis itu palsu! Aku nggak mandul selama ini, tapi Lingga yang nggak pernah sentuh aku dari malam pertama kita nikah.' Anindya hanya mampu mengatakan itu dalam hati saja. D
Bab 3. Kejujuran Lingga"Nggak! Aku nggak mau kita cerai, Lingga!"Anindya menggelengkan kepalanya berkali-kali. Dia menatap Lingga penuh permohonan berharap Lingga akan membatalkan keinginannya untuk bercerai.Lingga melangkah mendekati Anindya. "Udah ada Meylani yang bisa ngasih aku anak! Sedangkan kamu cuma perempuan mandul, Nindy!" Anindya sakit hati, marah dan kecewa. Dia sudah tidak memiliki harga diri lagi di depan mereka. Perjuangannya selama 3 tahun berakhir sia-sia. Mencintai Lingga adalah kesalahan yang dia sesali seumur hidup. Melani diam-diam tersenyum senang. Dia menang. Dia akan menjadi Nyonya Aditama selanjutnya menggantikan Anindya. "Cepat tanda tangan, Nindy! Jangan mengulur-ulur waktu kami!" Lingga memaksa Anindya untuk menyentuh pena yang dia siapkan ssjak tadi. Anindya mendongakkan kepala. Menatap Lingga yang menggebu-gebu. "Sayang, apa kamu sama sekali nggak pernah cinta sama aku?" tanya Anindya, memaksakan sedikit senyum.Sebenarnya Anindya hanya ingin mem
"Aargghhh!"Anindya berteriak saat rambut panjangnya dijambak oleh Lingga dari belakang. "Nindy, nggak apa-apa kamu berasal dari keluarga miskin. Tapi seenggaknya, kamu harus tau diri!" Lingga, emosi. "Kamu itu nggak sebanding sama Melani. Dia aktris papan atas, kaya dan bermartabat. Kamu dan dia bagaikan langit dan bumi."Kata-kata Lingga barusan adalah tamparan bagi Anindya. Hidup tanpa latar belakang keluarga Darendra cukup membuat Anindya kesulitan. Apalagi, saat menyandang status menantu keluarga Aditama. Setiap hari, Anindya harus bangun lebih awal sebelum semua anggota keluarga Aditama bangun. Anindya diperlakukan layaknya pembantu oleh keluarga Aditama. Ditambah lagi selama menikah, Lingga tidak pernah memberinya nafkah lahir batin. "Sekarang, tanda tangan surat cerainya dan nggak usah banyak drama lagi!" seru Lingga dengan nada mengancam. Anindya memegangi tangan Lingga yang menjambak rambutnya. Selain menahan sakit hati, dia juga menahan sakit fisik yang Lingga berikan.
"Kenapa kamu ada di sini, Nindy?"Lingga yang melihat Anindya berada di lokasi syuting tampak terkejut. Dia melangkah mendekati Anindya, diikuti oleh Melani di belakangnya. Anindya mengangkat wajahnya menatap Lingga dan Melani dengan datar. "Aku di sini untuk syuting.""Nindy, lebih baik kamu pergi dari sini! Jangan membuat kekacauan!" Lingga menatap sekitar. Faisal dan para kru lainnya menjadikan mereka sebagai pusat perhatian. "Punya hak apa kamu ngusir aku, Lingga? Mau aku di sini juga bukan urusan kamu!"Anindya meletakan script naskah dengan asal. Dia bangkit dari posisi duduknya. "Kamu masih nggak terima kalo aku ngusir kamu? Makanya kamu nekat buat ikutin aku ke lokasi syuting hari ini?" Lingga menggeleng berkali-kali sambil menatap Anindya dengan miris. "Segitunya kamu nggak bisa lepasin aku, Nindy!""Nindy, kamu nggak ada bakat akting. Mending kamu pergi aja sekarang! Jangan mempermalukan diri sendiri!" Melani yang sejak tadi diam membuka suara. Dia menatap Anindya deng
"Sialan! Tolong tahan sebentar saja!"Ivander tampak kualahan menghadapi Anindya yang berada di bawah obat perangsang. Tangan Anindya sejak di mobil tidak bisa diam. Terus bergerak menyentuh beberapa titik sensitif tubuhnya. Seperti saat ini, Anindya terus mengusap rahangnya dengan gerakan sensual. Ivander melangkah lebar saat pintu lift terbuka. Saat ini dia membawa Anindya ke hotel Impremium yang terletak tak jauh dari lokasi syuting. Ivander bukan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Hanya saja keadaan Anindya sudah tidak memungkinkan. "Kamu sangat tampan!" Anindya menatap Ivander dengan sayu. Tangannya merambat naik mengusap pipi Ivander dengan lembut. Ivander segera membuka pintu hotel dengan kesusahan, karena Anindya masih ada dalam gendongannya. Beruntung ada petugas kebersihan yang lewat di depan Ivander.Ivander memanggil pria itu. "Tolong bantu saya bukakan pintu ini!" Pria itu mengangguk dan mulai membantu Ivander. Ivander mengucapkan terima kasih. Lalu, dia sege
"Ivander, kamu, kok, kasar banget sama aku?" Laura nyaris saja terjatuh jika saja dirinya tidak sigap memegangi ujung meja Ivander. Ini pertama kalinya, Ivander berbuat kasar seperti ini padanya. Biasanya hanya tutur kata saja yang kasardan tatapan yang selalu tajam kala menatap dirinya. "Laura, dengar! Ini terakhir kalinya kamu muncul di hadapan saya! Kamu paham?" Ivander mengusap pahanya yang baru saja di duduki oleh Laura, dia menunjukan secara jelas di depan Laura bahwa dirinya jijik atas tingkah murahan Laura beberapa saat yang lalu. "Nggak bisa, Ivan! Aku cinta sama kamu, aku nggak bakal biarin kamu nikah sama wanita lain!" Laura tidak bisa membayangkan jika nanti Ivander bersanding dengan wanita lain. Laura yang sudah menunggu Ivander selama tiga tahun ini, lalu wanita lain yang mendapatkan Ivander. Hati Laura jelas hancur melihat Ivander menjadi milik wanita lain. Hanya Laura yang pantas bersanding dengan Ivander, hanya Laura yang bisa mendapatkan Ivander. Tidak
"Ivander, aku kangen banget sama kamu!" Wanita cantik dengan dress merah yang membungkus tubuh molek bagai gitar spanyol itu berjalan memasuki ruangan Ivander. Kaki jenjangnya yang terbalut sepatu high heels dengan warna senada dengan dress-nya itu mendekati Ivander yang duduk di kursi kebesarannya. Laura Grizella, tersenyum lebar dengan kedua mata berbinar cerah saat menatap wajah tampan Ivander. Dia segera memeluk Ivander dari belakang dengan kedua tangan yang melingkar di leher Ivander.Laura meletakan dagunya pada bahu Ivander. "Apakah kamu kangen sama aku, Ivander?" Laura berbisik sensual tepat pada telinga Ivander. Ivander dengan kasar menyingkirkan kedua lengan Laura pada lehernya. "Jangan menyentuh saya dengan tangan kotormu!" Tidak memperdulikan decakan Laura, yang kini berdiri di samping tubuhnya. Laura menatap Ivander dengan tatapan sedih mendengar ucapan pria itu. "Kamu nggak kangen aku, Ivan? Aku aja kangen banget sama kamu. Maaf, ya aku baru bisa nemuin kamu
"Laura, kenapa kamu harus kembali?" Suara Daren tampak panik saat ini. Panggilan telpon dari nomor tidak dikenal tadi langsung dia akhiri tanpa membalas sapaan dari seorang wanita di sebrang sana. Daren mengusap wajahnya kasar, dia harus mencegah kepulangan Laura ke kota Pandora. Wanita itu sedang berada di kota Swinden mengurus bisnisnya sebagai seorang perancang perhiasan yang begitu terkenal. Laura Grizella— seorang wanita karir yang sudah sukses di usia muda. Di umurnya yang menginjak usia 26 tahun, Laura sudah begitu terkenal sebagai perancang perhiasan yang selalu menghasilkan model perhiasan yang bukan hanya indah, tapi memiliki makna yang mendalam. Namun, bukan itu yang menjadi masalah bagi Daren. Melainkan, Laura yang begitu tergila-gila dengan Ivander. Wanita itu sempat dijodohkan oleh William dengan Ivander, tapi Ivander sangat menolak mentah-mentah perjodohan itu. Sampai terjadi perdebatan antara William dan Ivander yang disebabkan oleh keluarga Laura yang tak terim
"Jadi, ini alasan kamu nggak fokus saat syuting tadi, Nindy?" Anindya mengangguk atas pertanyaan Daren. "Aku terus mikirin ini dari semalem. Kalo waktu bisa diulang, aku nggak mungkin lakuin kesalahan yang sama lagi, Daren." "Sayangnya, semua udah terjadi nggak bisa diulang lagi. Jadiin semua ini sebagai pajaran dalam hidup kamu, Nindy." Daren memberikan nasihat agar Anindya tidak mengulang kesalahan yang sama. Daren orang yang berpikir logis, meskipun sebagian keluarga besar menyalahkan keluarga Danendra atas kematian George Alessandro. Daren tidak, dia menganggap kematian Kakek merupakan takdir yang tak bisa dihindari. Tidak ada yang tahu soal kematian di dunia ini. Kematian selalu hadir secara tiba-tiba, mengejutkan semua orang untuk berduka atas kehilangan seseorang yang mereka sayangi. "Kamu tau semua ini dari mana, Nindy?" Daren tahu, jika Anindya mengetahui ini dari keluarganya. Namun, jawaban yang keluar dari mulut Anindya membuat Daren terkejut. "Ivander, sema
"Cut!"Daren berteriak menginterupsi Anindya dan beberapa kru lainnya untuk menghentikan syuting sementara. Ada beberapa adegan yang tidak sesuai dengan script. Anindya mengusap kasar wajahnya, dia tampak tidak fokus dengan syuting hari ini. Ini bukan sekali dua kali, Anindya salah adegan. Daren bangkit dari posisi duduknya, dia menarik tungkai kakinya mendekati Anindya yang berdiri di samping Arkan— aktor yang menjadi pemeran utama dalam novel."Nindy, kamu ada masalah apa? Kenapa kamu keliatan nggak fokus dari tadi?" Anindya menggeleng sambil menarik napas panjang. Dia menatap para kru lainnya penuh rasa bersalah, sebelum akhirnya dia mendongak menatap Daren yang lebih tinggi darinya. "Maaf, aku punya sedikit masalah. Tapi, nggak papa aku bisa lanjutin syuting hari ini." Anindya tersenyum tak enak pada Daren, dia merasa tidak profesional hari ini. Karena, masalah pribadinya semalam dengan Ivander terbawa pada syuting sehingga beberapa kali dia melakukan adegan selalu salah. "K
"Ivander, nggak ada yang ngajarin kamu buat jadi bajingan!" Brak' Prank' William menendang meja kaca di depannya dengan kasar hingga pecah. Dia begitu emosi mendengar ucapan putranya yang dia didik dengan baik sejak kecil. Ivander terjengkit kaget, dia reflek berdiri menghindari pecahan dari meja kaca yang berserakan. Dia menarik napas panjang untuk menghadapi amukan William dengan tenang. "Maaf." Hanya satu kata itu yang bisa diucapkan oleh Ivander. Dia merasa bersalah sebelumnya, meskipun kebrengsekannya ini membuat dia bisa mengikat Anindya untuk menjadi miliknya seorang. "Kenapa kamu nggak bisa nahan diri dari godaan perempuan murahan itu, Ivander?" William yang kini berdiri berhadapan dengan Ivander dengan wajah penuh emosi. Dia tidak menyangka, Ivander dengan mudah termakan godaan perempuan arogan seperti Anindya. Mendengar ucapan William, wajah Ivander mengeras seketika. Ucapan William yang mengira Anindya yang menggoda dirinya, kenyataannya tidak seperti itu.
"Kematian Kakekku itu takdir, maaf aku nggak maksud buat kamu ngerasa bersalah. Apa yang terjadi sama kamu itu, karena cobaan dari Tuhan bukan karena, Anindya." Ivander menggenggam kedua tangan Anindya dengan lembut. Dia menatap manik indah Anindya dengan sorot lembut. "Karma itu nyata, Ivander. Semua orang pasti mendapatkan karma ketika melakukan kesalahan." Anindya melepaskan genggaman Ivander dengan pelan. "Ini udah malam, aku ingin pulang untuk istirahat." Anindya berjalan terlebih dahulu mendekati mobil Ivander yang terparkir tidak jauh dari mereka berdiri tadi. Ivander hanya diam merenungi ucapannya beberapa saat yang lalu. Dia terlalu jahat sudah membuat Anindya seperti ini. **** "Jadi, kamu mau nikah sama putri Ardiaz itu, Ivan?" William Alessandro— ayah kandung Ivander baru saja kembali dari kota Luton. Dia kembali setelah mendapatkan kabar dari anak buahnya bahwa Ivander akan menggelar pernikahan dalam waktu dekat. Keterkejutannya tidak sampai di sit
"Ulangin ucapan kamu, Anindya." Tatapan Ivander sudah menajam kala menatap Anindya yang berdiri di depannya. Ucapan wanita itu beberapa detik yang lalu membuat emosinya naik seketika. "Kalo kamu mau terus kaya gini, pernikahan ini nggak usah dilanjut, Ivan!" Anindya mengulang lebih jelas ucapannya. Dia tidak sadar, jika ucapannya sudah memancing sisi lain dari Ivander untuk keluar. Ivander terkekeh sarkas. Dia menarik dagu Anindya, sehingga jarak wajah dirinya dengan Anindya begitu dekat. Kini napas hangat Ivander menerpa wajah cantik Anindya yang kini membeku. "Kamu nggak punya hak buat mutusin lanjut atau nggak, Anindya!" Suara Ivander begitu pelan nyaris seperti bisikan tepat di depan wajah Anindya. Anindya mencengkeram kedua sisi dress yang dia gunakan. Tubuhnya sedikit bergetar takut dengan sikap Ivander saat ini. Sungguh, pria itu tampak menakutkan membuat Anindya tidak bisa bergerak di tempat. "Tiga tahun waktu yang cukup buat kamu bebas dari aku, Anindya."
"Ivander, gimana apakah gaun ini cocok untuk calon istri kamu?" Kiana keluar dari ruang ganti bersama Anindya. Dia membantu Anindya menggunakan gaun pengantin yang dipilihkan oleh Ivander. Gaun Ball Gown, gaun yang berbentuk seperti bola, dengan rok yang lebar dan panjang. Gaun yang dikenakan oleh Anindya berwarna merah muda yang tampak feminim dan indah digunakan pada tubuh ramping Anindya. Gaun itu memiliki motif floral yang klasik dan elegan. Terdapat bunga-bunga kecil yang dijahit dan juga dibordil membuat gaun itu tampak cantik."Cantik, saya suka gaun ini." Ivander mengangguk setelah cukup lama menatap Anindya dari atas sampai bawah. "Sayang kamu suka, kan sama gaunnya?" Kanaya maju mendekati putrinya. Anindya menggunakan gaun pernikahan ini membuat kecantikannya bertambah dua kali lipat. "Ma—" "Kamu nyaman, kan sayang pake gaun ini?" Ivander pun ikut maju mendekati Anindya. Membuat Kanaya menggeser tubuhnya memberi ruang untuk Ivander. Anindya mengumpat dalam hati, sa