"Saya yang bilang Bu Anindya penulis novel Dalam Jejak Cinta. Kamu pikir saya cuma drama aja?"Melani mengatup bibirnya rapat mendengar ucapan sarkas Faisal. Dia melirik Lingga yang sejak tadi terus beradu pandang dengan Ivander. "Pak Ivander, kenapa ada di sini?" Melani tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi. Sehingga dia melempar pertanyaan pada Ivander yang berdiri di sisi Anindya dalam diam."Saya ke sini buat jemput Anindya, calon istri saya!" Ivander lagi dan lagi kembali menekankan bahwa Anindya adalah calon istrinya. Anindya hendak protes, tapi tawa Melani lebih dahulu terdengar."Ha! Ha! Ha! Pak Ivander, lagi bercanda, kan?" Melani menutup mulutnya dengan gerakan anggun. Namun, di pandangan Ivander begitu memuakan jalang yang satu ini. "Nggak mungkin CEO seperti Pak Ivander memilih menikah dengan perempuan mandul ini!"Melani sudah tidak peduli dengan reputasinya lagi. Dia lebih mementingkan emosinya pada Anindya. Dia tidak akan pernah berhenti menghina Anindya yang ny
"Saya nyuruh kamu buat hubungin saya untuk ngasih rekening kamu! Saya bakal bayar jasa kamu semalem, kamu nggak usah ngikutin saya sampe ke sini!" Anindya menatap frustasi pada Ivander yang hanya menatapnya datar. Karena kecerobohan Ivander, kedua orang tuanya tahu apa yang dialami semalam. Sialan sekali ini."Kamu masih nganggap saya gigolo, Anindya?" Ivander dengan akrab memanggilnya Anindya. Membuat wanita itu terdiam beberapa saat mendengar panggilan Ivander. Saat ini keduanya berada di parkiran lokasi syuting. Semilir angin sore menerpa wajah Anindya, membuat rambut panjang Anindya tampak berterbangan. Ingin sekali Ivander mengulurkan tangan untuk merapihkan ujung rambut Anindya yang menutupi sebagian wajahnya. "Terus? Aku harus ngikutin kebodohan mereka yang nganggep kamu CEO?" Anindya tertawa singkat dengan nada sarkas sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Udah jelas kamu itu gigolo, kalo bukan nggak mungkin semalem ka—""Nidurin kamu?" tukas Ivander dengan cepat.Anindya
"Kenapa kamu berpikir kalo saya seorang gigolo?"Ivander sebisa mungkin menyembunyikan senyum gelinya di depan Anindya. Ekspresi wanita itu tampak lucu sekali. Wajah memerah karena malu yang tak bisa disembunyikan itu. Membuat Ivander ingin tertawa rasanya, tapi dia memilih untuk menahannya. Anindya memutar otak untuk menjawab pertanyaan Ivander. Sialan, dari sekian banyaknya kosa kata tidak ada yang bisa dia keluarkan untuk penjelasan pada Ivander. 'Bodoh, Nindy! Bisa-bisanya kamu mikir kalo dia gigolo? Kalo dia CEO beneran gimana?' Anindya takut jika Ivander justru akan melakukan hal buruk padanya. Karena, Anindya sudah membuat Ivander tersinggung dengan menganggapnya sebagai seorang gigolo."Kenapa kamu nyelamatin saya dari Lingga?"Bukannya menjawab pertanyaan Ivander. Anindya justru memberikan pertanyaan pada Ivander."Rasa kemanusiaan aja!" Ivander menjawab dengan cepat. "Makasih!" Anindya menundukan wajahnya tidak berani menatap Ivander."Nggak perlu makasih, saya yang min
"Maaf, Ma! Aku udah buat Mama sama Papa malu pasti!"Anindya berpikir, jika kedua orang tuanya merencanakan pernikahan dirinya dengan Ivander dengan cepat. Karena, Ardiaz dan Kanaya tidak ingin apabila Anindya hamil dan mempermalukan keluarga Danendra. Dia tahu, karena kejadian ini dia sudah menjadi aib keluarga Danendra. "Engga, sayang! Mama sama Papa nggak malu. Apa yang terjadi sama kamu itu musibah!" Kanaya memeluk Anindya dari samping. Hatinya terasa nyeri mengingat semua penderitaan Anindya selama tiga tahun ini. Dendamnya pada keluarga Aditama begitu membara. Dia sebagai Ibu ingin keluarga Danendra merasakan apa yang dirasakan oleh Anindya selama ini.Anindya membalas pelukan Kanaya dengan erat. Kedua matanya berkaca-kaca, Kanaya dan Ardiaz masih bersikap baik padanya itu adalah keajaiban luar biasa yang sangat dia syukuri. "Makasih, Ma! Makasih, udah mau nerima aku lagi!"Ardiaz sejak tadi hanya diam. Dia saling beradu tatapan dengan Ivander. "Aku mempercayai Anindya padam
"Kamu memang baru kenal sama saya, tapi saya nggak!"Ivander menghembuskan napas lelah. Dia terlalu malas menjelaskan tentang siapa dirinya pada Anindya. Biarkan Anindya dengan segala pikirannya sendiri. Dia tidak ingin mempermasalahkan Anindya yang tidak mengingat dirinya yang merupakan pria yang dijodohkanya dulu."Maksud kamu apa?" Anindya menatap Ivander menuntut penuh penjelasan.Bertepatan dengan itu, mobil hitam mewah milik Ivander memasuki pekarangan kediaman keluarga Danendra yang luas. Dia melewati beberapa pohon rindang dan taman yang begitu indah. Dia mulai menghentikan mobilnya tepat di depan pintu masuk utama kediaman keluarga Danendra. Ivander turun terlebih dahulu, dan berlari kecil memutari kap mobil untuk membukakan pintu penumpang Anindya. "Makasih, tapi lain kali nggak perlu!"Anindya turun dengan senyum tipis saat bersitatap dengan Ivander. Dia berjalan lebih dahulu memasuki mansionnya. Dia menghentikan langkahnya di depan pintu utama. Anindya menatap lamat pin
"Saya mau berita skandal perselingkuhan Lingga dan juga Melani tersebar besok pagi!"Ardiaz berdiri di dekat sebuah jendela yang berada di ruangan kerjanya di kantor perusahaannya. Tepat pada pukul 08.20 malam kota Pandora, Ardiaz kembali ke perusahaan untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertinggal. Dia tidak sendiri, bersama Wijaya asisten pribadinya. "Saya sudah menyiapkan semuanya, Pak Ardiaz! Saya akan melaksanakan perintah ini dengan baik!"Wijaya merupakan asisten dan juga sahabat untuk Ardiaz. Kedekatan keduanya bukan sekedar atasan dan karyawan saja. Karena, Wijaya sudah menemani Ardiaz sejak dia pertama kali memulai bisnisnya di bidang investasi. Wijaya selalu bisa diandalkan oleh Ardiaz. Ardiaz tidak perlu menjelaskan secara panjang lebar pada Wijaya untuk melakukan sesuatu. Hanya perlu kalimat singkat, Wijaya akan mengerti apa yang diinginkan oleh Ardiaz."Melani dan Lingga, bukan hanya kehilangan pekerjaan mereka saja. Tapi, reputasi mereka juga rusak!" Ardiaz membalika
"Bodoh! Kenapa berita perselingkuhan kalian tersebar begitu saja?!"Teriakan Arjuna di ruang makan membuat semua yang di sana terdiam. "Aku nggak tau, Pa! Aku udah berusaha buat nyembunyiin semua ini selama 3 tahun!" Lingga membalas tatapan tajam Arjuna yang dipenuhi oleh amarah dengan berani. "Dan semua itu aman, Pa!" "Seharusnya kamu nurut sama Papa dari awal buat cepat-cepat gelar pernikahan kamu sama Melani! Biar kedua cucu Papa diakui oleh negara!" Arjuna sudah meminta mereka mengumumkan pernikahan dengan cepat. Keduanya justru menolak dengan segala alasan yang tidak masuk logika. "Pa, aku baru cerai sama Anindya. Beberapa temenku juga tau, apa kata mereka nanti kalo aku langsung gelar pernikahan dengan Melani!" Komentar orang lain yang suka sekali mencampuri urusan orang itu tidak bisa dicegah. Dia juga menghindari lrang-orang yang mengecap Melani dengan buruk nantinya. "Persetan, Papa nggak peduli! Kamu nggak pernah nurutin Papa, Lingga!" Arjuna menunjuk Lingga dengan tat
"Ngapain kamu nelpon calon istri saya?"Anindya segera merebut ponsel dari Ivander. Dia dengan cepat mematikan sambungan telpon Lingga secara sepihak. "Kamu terlalu lancang, Pak Ivander!" Awal paginya sudah diganggu oleh Ivander yang mengajak dirinya untuk sarapan bersama di luar. Anindya sudah menolak, tapi dorongan Kanaya yang membuat Anindya ada di sini. Di restoran yang tidak jauh dari lokasi syutingnya bersama Ivander yang kini duduk di hadapannya. Beberapa menit yang lalu, panggilan telpon dari Lingga masuk. Anindya menolaknya sebanyak 5 kali, tapi saat panggilan ke enam Ivander merebut ponselnya dan mengangkat panggilan telpon dari Lingga. "Itu bukan lancang, aku hanya melindungi calon istriku dari bajingan seperti dia!" Ivander menatap Anindya, dengan mulut yang dipenuhi oleh makanan. "Terlebih dia adalah mantan suami kamu!" Anindya menghela napas lelah, menghadapi pria di depannya ini. Bahkan kosa kata yang digunakan Ivander sudah berganti menjadi aku-kamu. "Pak Ivander
"Mela, kaki kamu kenapa?" Suara Marisa mengejutkan Melani yang tengah mengambil minum di dapur. Marisa melangkah mendekati Melani dengan kening berkerut bingung. Dia sejak tadi mengikuti langkah Melani sejak wanita itu keluar dari kamar. Dia memperhatikan jalan Melani yang tidak seperti biasanya. Wanita yang mengenakan baju tidur berbahan satin itu menoleh dengan terkejut pada Ibu mertuanya. "Mama? Ngapain di sini?" "Kamu itu ditanya bukannya menjawab malah tanya balik." Marisa mengambil gelas di rak dapur. Lalu, menuangkan air putih dari teko pada gelas di tangannya. "Kaki kamu kenapa, Mela?" Melani gelapan saat Marisa mengulang kembali pertanyaan sebelumnya. Dia tidak tahu harus menjawab seperti apa atas pertanyaan Marisa padanya. Dengan pencahayaan minim di dapur. Karena, Melani hanya mengandalkan senter dari ponsel di tangannya. Marisa bisa melihat ekspresi gelagapan yang tergambar pada wajah Melani. "Ak—ku, tadi jat—tuh ... iya, jatuh!" Melani menjawab dengan tergag
"Istirahat, keadaan kamu belum benar-benar pulih!" Ivander bersiap keluar dari kamar mewah bernuansa cerah itu. Dia tidak ingin berlama-lama bersama Anindya di dalam kamar Villa ini, dia harus bergegas pergi dari hadapan wanita itu. "Ivan, sampai kapan kamu marah sama aku? Sampai kapan kamu mau diemin aku kaya gini?" Suara lemah Anindya berhasil menghentikan langkah Ivander yang berada di dekat pintu. Terhitung sudah lima hari semenjak hari di mana dirinya keguguran, Ivander masih setia mendiami dirinya. Ivander berhak marah padanya karena kesalahan yang dia lakukan itu benar-benar fatal. Anindya yang sudah menyebabkan janin dalam dirinya lenyap karena kebodohannya. Anindya sadar bahwa dia Ibu yang buruk, tidak bisa menjaga calon anak dalam kandungannya. Namun, apakah rasa bersalah Anindya tidak cukup untuk Ivander? Apakah permohonan maaf Anindya dengan tangisan di depan Ivander, tidak membuat hati pria itu bergerak untuk memaafkan dirinya? Lima hari, Ivander mendiami diriny
"Aku nggak mau denger penolakan! Cepat layanin pria di kamar 203, Mela!"Seorang wanita berumur 42 tahun dengan pakaian nyentrik yang sangat terbuka itu menatap penuh ancaman pada Melani. Madam Angel, seorang mucikari pemilik rumah bordir yang berada di pusat kota. Lokasinya begitu terpencil, jjarang sekali ada yang lewat ke tempat ini. Sehingga sulit ditemukan oleh orang-orang. Madam Angel, memiliki banyak pelacur yang siap melayani pelanggan. Tentunya semua pelacur yang berada di tangannya sudah terlatih untuk memuaskan pelanggan. Bayaran satu malam dari pelanggan 30% untuk pelacur, 70% untuk dirinya. Itu sudah tidak bisa dibantah oleh siapapun, para pelacur yang bekerja di bawah tekanan Madam Angel hanya bisa pasrah menerima ketidakadilan ini. "Apa? Aku nggak sudi!"Melani menolak dengan kedua mata melotot terkejut mendengar perintah Madam Angel. "Aku bilang nggak mau denger penolakan! Cepat layani pria itu, jangan buat pelanggan menunggu lama!" Madam Angel berdecak melihat Me
"Ivan, aku nggak nyangka ketemu kamu di sini!" Laura yang sejak tadi memperhatikan sosok yang sangat familiar di pandangannya. Bergegas mendekat untuk melihat lebih jelas, dan benar jika sosok itu adalah Ivander Alessandro— calon tunangannya. "Kamu apa kabar, Ivan?" Laura sedikit berteriak agar suaranya dapat di dengar oleh Ivander. Dentuman musik club malam di terangi lampu dengan pencahayaan yang minim. Wanita dengan dress merah yang mempertontonkan belahan dadanya secara jelas dengan panjang dress di atas lutut. Dress itu tampak sangat ketat, sehingga lekuk tubuh Laura terlihat begitu jelas. Wanita itu tampak menggoda dengan wajah cantik yang terpoles make up tebal dan bibir yang merah menyala. Ivander yang tengah menyesap vodka di tangannya itu tidak menggubris kehadiran Laura yang duduk di sampingnya tanpa permisi. Setiap tegukan vodka terasa seperti api yang membakar tenggorokan, memanas hingga dadanya terasa terbakar. Seolah-olah cairan itu menyalakan api kecil di dakam tub
"Maaf, Ivan! Semua ini salah ak—" "Ya, itu salah kamu. Kalo kamu nggak maksain diri kabur dari rumah, calon anak kita masih hidup!" Dengan cepat Ivander memotong ucapan Anindya. Raut wajahnya begitu datar dengan kedua mata yang menatap lurus ke jendela ruang rawat Anindya. Bohong, jika dirinya tidak marah pada Anindya atas kejadian ini. Ivander marah, sangat marah, dia kecewa pada Anindya yang begitu bodoh sampai calon anak mereka menjadi korban. "Maaf, Iv—" "Maaf?" Ivander kembali memotong ucapan Anindya untuk yang kedua kalinya. Dia mengalihkan pandang menatap wajah Anindya yang terduduk di atas brankar rumah sakit sambil terisak pelan. "Dengan mudahnya kamu minta maaf setelah semua yang terjadi?" lanjut Ivander yang berhasil membuat Anindya mengatup bibirnya rapat-rapat. Ivander memasukan kedua tangannya pada saku celananya. Dia menatap Anindya dengan tajam. "Kamu sangat egois, Anindya! Kalo kamu nggak bisa nerima pernikahan kita nanti, kamu seharusnya marah sama aku, b
084"Kami sudah melakukan tes untuk mengetahui faktor keguguran dari Bu Anindya, dan hasilnya tidak ada kelainan genetik apapun. Pada usia kehamilan yang sangat muda ini, trauma fisik seperti jatuh memang bisa memicu terjadinya keguguran. Kami sudah memastikan bahwa janin di dalam kandungan sudah tidak lagi dapat bertahan." Penjelasan Dokter membuat suasana di depan ruang UGD itu semakin mencekam. Untuk sesaat dunia seolah berhenti mendengar kabar yang diberikan oleh Dokter yang menangani Anindya. Semua orang yang berada di sana menundukan wajahnya yang kini memucat. "Tampaknya juga sejak awal kehamilan kondisi janin itu begitu lemah. Dan hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya karena kelelahan atau karena cemas dan stress berlebihan. Dan semakin diperburuk lagi dengan faktor benturan keras karena terjatuh. Sehingga janin terpaksa mengalami abortus atau keguguran." Dokter wanita itu kembali menjelaskan secara lengkap alasan Anindya bisa keguguran. Dia menatap sat
"Saya sebentar lagi sampai di lokasi tujuan. Jangan ada yang bergerak sebelum dapat perintah dari saya."Zico memutuskan panggilan telpon dari salah satu anak buahnya. Beberapa dari mereka sudah sampai di pinggiran kota. Dia sengaja menyuruh mereka untuk diam tanpa bergerak sebelum dirinya sampai di sana. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan terjadi. Zico kembali melanjutkan perjalanannya menuju daerah pinggiran kota Pandora. Sebelum itu dia meletakan ponselnya pada dashboard mobil, tapi suara notfikasi pesan masuk membuat Zico mengurungkan niatnya. Dia kembali membuka ponsenya, ternyata pesan dari Ivander. Suatu keberuntungan, dia langsung membukanya tanpa menunggu lama. Jika, tidak sudahdapat dipastikan jika Ivander akan mengamuk padanya nanti dengan menelponin diriya berulang kali. Sejak dulu, notfikasi pesan atau telpon dari Ivander menjadi prioritas utama. Bahkan kekasih Zico saja berada di urutan nomor dua, karena yang pertama Ivander. "Lingga?"Kening Zico berkerut bi
"Kamu nggak bisa kabur dari aku, Nindy!" Melihat Anindya yang ingin berlari, dengan cepat Lingga menarik rambut panjang Anindya dengan kencang. Lingga sangat kesal dengan tingkah Anindya yang mencoba untuk kabur darinya. "Sakit, Lingga!" Anindya meringis merasakan perih pada rambutnya yang dijambak kencang oleh Lingga. Rasanya rambutnya seperti ingin lepas dari kepalanya, seketika rasa pening langsung menyerang Anindya. Kini keadaan Anindya begitu mengenaskan, rambutnya yang dijambak kuat, wajahnya yang dipenuhi oleh air mata, di tambah perutnya yang sejak tadi terasa sakit. "Itu akibatnya kalo kamu ngelawan aku, Nindy!" Lingga menyeret paksa Anindya agar mengikuti langkah lebarnya kembali pada rumah tua tadi. Rizhar mengikutinya dari belakang sambil bersiul, sejak tadi dia sudah tidak sabar untuk merasakan tubuh molek Anindya. Wanita itu pakai acara kabur-kaburan segala, jadi semakin menghambat waktu. Tidak bisakah Anidnya langsung nurut dan pasrah saja menerima kepuasan yan
"Lingga?" Anindya terkejut bukan main, saat pertama kali membuka mata wajah Lingga begitu dekat dengan dirinya. Reflek Anindya mendorong Lingga agar menjauh dari tubuhnya. Lingga berdecak pelan, selama kurang lebih dua jam Anindya dalam kondisi pingsan. Wanita itu akhirnya sadar tepat saat Lingga baru saja sampai ke tempat tujuan. "Nindy, kamu tadi pingsan makanya aku bawa kamu ke sini. Karena, mungkin kamu butuh istirahat." Lingga menatap Anindya dengan lembut. Menyembunyikan perasaan kesalnya, karena wanita itu sadar lebih cepat dari perkiraannya. Dahi Anindya berkerut, dia tampak kebingungan saat ini selepas mendengar ucapan Lingga beberapa detik yang lalu. "Pingsan?" Anindya mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya pada dirinya. Kenapa Anindya bisa pingsan saat bersama Lingga? Seingatnya, Anindya sedang menunggu Lingga di kursi taman, lalu— "Nindy, kamu nggak usah terlalu banyak mikir. Mending sekarang kamu turun dari mobil, kamu butuh istirahat Anindya.