"Maaf, Ma! Aku udah buat Mama sama Papa malu pasti!"Anindya berpikir, jika kedua orang tuanya merencanakan pernikahan dirinya dengan Ivander dengan cepat. Karena, Ardiaz dan Kanaya tidak ingin apabila Anindya hamil dan mempermalukan keluarga Danendra. Dia tahu, karena kejadian ini dia sudah menjadi aib keluarga Danendra. "Engga, sayang! Mama sama Papa nggak malu. Apa yang terjadi sama kamu itu musibah!" Kanaya memeluk Anindya dari samping. Hatinya terasa nyeri mengingat semua penderitaan Anindya selama tiga tahun ini. Dendamnya pada keluarga Aditama begitu membara. Dia sebagai Ibu ingin keluarga Danendra merasakan apa yang dirasakan oleh Anindya selama ini.Anindya membalas pelukan Kanaya dengan erat. Kedua matanya berkaca-kaca, Kanaya dan Ardiaz masih bersikap baik padanya itu adalah keajaiban luar biasa yang sangat dia syukuri. "Makasih, Ma! Makasih, udah mau nerima aku lagi!"Ardiaz sejak tadi hanya diam. Dia saling beradu tatapan dengan Ivander. "Aku mempercayai Anindya padam
"Kamu memang baru kenal sama saya, tapi saya nggak!"Ivander menghembuskan napas lelah. Dia terlalu malas menjelaskan tentang siapa dirinya pada Anindya. Biarkan Anindya dengan segala pikirannya sendiri. Dia tidak ingin mempermasalahkan Anindya yang tidak mengingat dirinya yang merupakan pria yang dijodohkanya dulu."Maksud kamu apa?" Anindya menatap Ivander menuntut penuh penjelasan.Bertepatan dengan itu, mobil hitam mewah milik Ivander memasuki pekarangan kediaman keluarga Danendra yang luas. Dia melewati beberapa pohon rindang dan taman yang begitu indah. Dia mulai menghentikan mobilnya tepat di depan pintu masuk utama kediaman keluarga Danendra. Ivander turun terlebih dahulu, dan berlari kecil memutari kap mobil untuk membukakan pintu penumpang Anindya. "Makasih, tapi lain kali nggak perlu!"Anindya turun dengan senyum tipis saat bersitatap dengan Ivander. Dia berjalan lebih dahulu memasuki mansionnya. Dia menghentikan langkahnya di depan pintu utama. Anindya menatap lamat pin
"Saya mau berita skandal perselingkuhan Lingga dan juga Melani tersebar besok pagi!"Ardiaz berdiri di dekat sebuah jendela yang berada di ruangan kerjanya di kantor perusahaannya. Tepat pada pukul 08.20 malam kota Pandora, Ardiaz kembali ke perusahaan untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertinggal. Dia tidak sendiri, bersama Wijaya asisten pribadinya. "Saya sudah menyiapkan semuanya, Pak Ardiaz! Saya akan melaksanakan perintah ini dengan baik!"Wijaya merupakan asisten dan juga sahabat untuk Ardiaz. Kedekatan keduanya bukan sekedar atasan dan karyawan saja. Karena, Wijaya sudah menemani Ardiaz sejak dia pertama kali memulai bisnisnya di bidang investasi. Wijaya selalu bisa diandalkan oleh Ardiaz. Ardiaz tidak perlu menjelaskan secara panjang lebar pada Wijaya untuk melakukan sesuatu. Hanya perlu kalimat singkat, Wijaya akan mengerti apa yang diinginkan oleh Ardiaz."Melani dan Lingga, bukan hanya kehilangan pekerjaan mereka saja. Tapi, reputasi mereka juga rusak!" Ardiaz membalika
"Bodoh! Kenapa berita perselingkuhan kalian tersebar begitu saja?!"Teriakan Arjuna di ruang makan membuat semua yang di sana terdiam. "Aku nggak tau, Pa! Aku udah berusaha buat nyembunyiin semua ini selama 3 tahun!" Lingga membalas tatapan tajam Arjuna yang dipenuhi oleh amarah dengan berani. "Dan semua itu aman, Pa!" "Seharusnya kamu nurut sama Papa dari awal buat cepat-cepat gelar pernikahan kamu sama Melani! Biar kedua cucu Papa diakui oleh negara!" Arjuna sudah meminta mereka mengumumkan pernikahan dengan cepat. Keduanya justru menolak dengan segala alasan yang tidak masuk logika. "Pa, aku baru cerai sama Anindya. Beberapa temenku juga tau, apa kata mereka nanti kalo aku langsung gelar pernikahan dengan Melani!" Komentar orang lain yang suka sekali mencampuri urusan orang itu tidak bisa dicegah. Dia juga menghindari lrang-orang yang mengecap Melani dengan buruk nantinya. "Persetan, Papa nggak peduli! Kamu nggak pernah nurutin Papa, Lingga!" Arjuna menunjuk Lingga dengan tat
"Ngapain kamu nelpon calon istri saya?"Anindya segera merebut ponsel dari Ivander. Dia dengan cepat mematikan sambungan telpon Lingga secara sepihak. "Kamu terlalu lancang, Pak Ivander!" Awal paginya sudah diganggu oleh Ivander yang mengajak dirinya untuk sarapan bersama di luar. Anindya sudah menolak, tapi dorongan Kanaya yang membuat Anindya ada di sini. Di restoran yang tidak jauh dari lokasi syutingnya bersama Ivander yang kini duduk di hadapannya. Beberapa menit yang lalu, panggilan telpon dari Lingga masuk. Anindya menolaknya sebanyak 5 kali, tapi saat panggilan ke enam Ivander merebut ponselnya dan mengangkat panggilan telpon dari Lingga. "Itu bukan lancang, aku hanya melindungi calon istriku dari bajingan seperti dia!" Ivander menatap Anindya, dengan mulut yang dipenuhi oleh makanan. "Terlebih dia adalah mantan suami kamu!" Anindya menghela napas lelah, menghadapi pria di depannya ini. Bahkan kosa kata yang digunakan Ivander sudah berganti menjadi aku-kamu. "Pak Ivander
"Buku Novel Dalam Jejak Cinta sangat menarik perhatian banyak orang di kota Swinden. Melihat penjualan pertamanya yang begitu cepat dalam hitungan jam. Membuat saya yakin bahwa buku itu memiliki nilai jual yang tinggi!" Faisal sejak awal memang menyukai semua novel yang ditulis oleh Anindya. Dia terus membaca semua buku milik Anindya, yang selalu berhasil membuat dia jatuh hati disetiap kata yang tertulis di dalam novel. Faisal sudah mengikuti Anindya sejak lama, dia menantikan setiap novel-novel milik Anindya. Tepat saat novel terakhir Anindya yang berjudul Dalam Jejak Cinta yang begitu luar biasa. Dia memutuskan untuk menghubungi Anindya dan menawarkan kerja sama di mana Novel Anindya akan di angkat menjadi sebuah film layar lebar."Selama ini saya sudah membujuk Anindya yang menolak novel Dalam Jejak Cinta ini dijadikan film layar lebar. Katanya, dia memiliki banyak pertimbangan. Sampai akhirnya saya berhasil membuat Anindya menerima kerja sama ini!" lanjut Faisal menceritakan pe
"Karena, ada masalah kemarin, saya mau ngatur ulang ya tim produksi kita. Dari mulai sutradara, aktris dan lain sebagainya." Faisal pagi-pagi sekali sudah mengajak Anindya dan kru lainnya untuk berkumpul. Untuk membahas terkait penentuan tim produksi terbaru dan ada sedikit perubahan alur dalam script. Jam 6 pagi kurang 15 menit, Anindya sudah sampai di rumah produksi milik Faisal. Dia di antar oleh sopir di rumah, tidak membawa mobil sendiri. Faisal menyatukan kedua tangan di atas meja. "Untuk sutradara dan pemeran utama wanita ini saya ganti, ya. Selainnya hanya perubahan posisi saja!" Anindya sejak tadi diam, menatap seorang pria yang duduk di depannya. Wajahnya tampak tak asing baginya, seperti pernah melihat tapi tidak tahu di mana. Daren Alessandro, pria dengan kemeja hitam yang lengannya ditarik sampe siku itu duduk tenang. Wajah tampannya yang selalu melempar senyum ramah pada orang baik dikenal maupun tidak. "Untuk sutradara akan digantikan oleh Daren Alessand
"Baiklah, Pak Faisal. Saya menerima ini, saya harap nggak akan mengecewakan hasilnya."Setelah banyak yang mendukung Anindya dari mulai Daren dan beberapa kru lainnya. Akhirnya dia memutuskan untuk menerima keinginan Faisal. Dia berdoa agar hasilnya tidak mengecewakan. "Saya senang dengan keputusan, Bu Anindya. Jangan khawatir, kami semua di sini akan siap membantu, Bu Anindya kapanpun!" Ucapan Faisal diangguki oleh yang lain. Mereka akan mendukung dan siap membantu Anindya. Anindya bernafas lega. Semoga pilihannya ini tidak akan menjadi masalah di kemudian hari. Dia harap posisinya menjadi pemeran utama wanita tidak menghambat proses syuting. Daren menarik sudut bibirnya tipis mendemgar jawaban Anindya. Dia membuka ponselnya di bawah meja, dia mengetikan sebuah pesan singkat untuk Ivander. Ivander AlessandroCalon istrimu itu menerima tawaran Faisal menjadi pemeran utama.Setelah mengetikan pesan itu untuk Ivander, Daren kembali memasukan ponselnya ke dalam saku celananya. "Kit
"Pandora — Dunia hiburan kota Pandora kembali dihebohkan dengan kabar menghilangnya Lingga Aditama, mantan sutradara ternama yang terseret dalam skandal perselingkuhan dengan aktris papan atas, Melani Adisti." Ivander mengambil duduk di samping sang istri yang tengah fokus menatap layar televisi. "Setelah skandal mereka terungkap ke publik sebulan lalu, keduanya secara resmi dipecat dari agensi masing-masing akibat pelanggaran kontrak dan pencemaran nama baik institusi. Pemecatan tersebut langsung menjadi sorotan publik dan media hiburan." Ivander yang semula terkejut. Kini terlihat sangat santai, dia menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. Matanya menatap istrinya dari samping, mengabaikan siaran berita pagi ini di televisi. "Namun kini, perhatian publik kembali tertuju pada kasus ini. Lingga Aditama dilaporkan menghilang sejak tujuh hari yang lalu. Keluarga menyatakan bahwa sejak pekan lalu, Lingga tidak dapat dihubungi sama sekali." Anindya menoleh pada Iva
"Sayang, urusan semalam bener-bener mendadak. Jadi, mereka terpaksa hubungin aku buat bahas masalah perusahaan." Ivander mengambil duduk di samping sang istri, dia menarik pelan dagu Anindya agar menatapnya. "Udah, ya jangan marah lagi. Aku bener-bener minta maaf." Ivander membujuk Anindya dengan nada lembut, berharap istrinya akan luluh dengan bujukannya. Tidak semudah itu, Anindya masih saja kesal dengan Ivander yang meninggalkan dirinya semalaman. Entahlah, dirinya masih tidak mengerti kenapa harus sekesal ini. Padahal, tidak ada yang dirugikan sama sekali. Hanya karena dirinya menahan rasa penasaran sambil menunggu kembalinya Ivander dan berakhir ketiduran. Itu yang membuat Anindya misah-misuh sejak bangun tidur. Beruntung suaminya itu saat dirinya terbangun pagi tadi sudah berada di sisinya tengah memeluk tubuhnya dengan hangat. Jika, tidak ada Ivander di sisinya. Mungkin Anindya semakin marah besar pada Ivander. "Sayang, kita baru menikah tiga hari. Masa udah r
"Kamu semalam pulang jam berapa, Ivan?" Di dalam dapur villa yang luas dan minimalis, suasana hangat dan nyaman memenuhi ruangan. Dinding kaca besar menghadap langsung ke laut, memberikan pemandangan yang sempurna untuk memulai hari. Lantai kayu berwarna terang terasa hangat saat Ivander melangkah, sementara Anindya tengah mempersiapkan sarapan di meja marmer yang mengkilap. Dapur yang dipenuhi dengan peralatan modern dan rak terbuka berisi berbagai macam rempah dan bahan makanan segar, memberikan kesan mewah namun tetap terasa santai. Di atas meja, terdapat satu cangkir kopi hitam pekat yang mengepul, aroma kopi yang khas menyebar memenuhi udara. Di sebelahnya, roti panggang yang masih hangat diletakkan di atas piring, dengan selai buah segar dan mentega yang meleleh perlahan. "Sekitar jam sepuluh. Maaf, ya kamu sampai ketiduran nungguin aku." Ivander mendekat pada sang istri. Dia mengusap surai panjang Anindya yang kini duduk di meja makan bersiap memulai sarapan paginya. Di
"Apakah benar ini kediaman Pak Rizhar?" Salah seorang petugas polisi mendekati salah satu warga yang berkerumun mengelilingi rumah Rizhar. Rumah yang menjadi tujuannya pagi ini untuk mencari keberadaan Lingga, setelah mendapat laporan dari Marisa kemarin atas kehilangan putranya selama hampir satu Minggu. Petugas polisi melacak ponsel Lingga sore itu juga, dan ternyata ponsel Lingga berada di daerah Solora. Tepatnya berada di salah satu kediaman rumah warga di daerah Solora, pagi ini juga polisi segera menuju kediaman Rizhar lokasi ponsel Lingga berada. "Benar, Pak. Tapi, sudah hampir satu Minggu ini saya nggak liat keberadaan Rizhar. Rumahnya juga terkunci, bahkan beberapa hari ini terlihat sepi. Biasanya ada orang nongkrong di depan rumahnya." Salah satu warga bernama Nina itu menjawab apa yang dia ketahui dalam beberapa hari ini. Pasalnya, Nina merupakan tetangga dekat Rizhar. Rumah Nina berada tepat di samping rumah Rizhar. Rumah Rizhar itu tidak pernah sepi setiap
"Dasar bajingan!" Dengan penuh Geraman, Lingga mengumpati Ivander Meskipun takut pada Ivander, Lingga dan Rizhar tetap menyimpan marah pada Ivander. Belum selesai rasa kesal mereka terhadap kemunculan Ivander, suara mesin lain yang lebih bising mendekat dari arah yang sama. Jaguar XJ, dengan desain yang tajam dan elegan, melesat melewati mereka seperti bayangan hitam. Dalam mobil tersebut, Lingga bisa melihat sekilas Zico di kursi pengemudi dan Bima di sebelahnya, wajah mereka tertutup oleh bayangan lampu kabin. Lingga merasakan darahnya mendidih. Kedua mobil itu melaju dengan angkuh, meninggalkan jejak debu yang naik ke udara malam. Mereka tidak hanya melewati Lingga dan Rizhar—mobil-mobil itu seperti simbol ejekan atas ketidakberdayaan mereka. Tapi Lingga tahu bahwa mereka tidak punya pilihan. Membalas dendam sekarang berarti membuka diri terhadap bahaya yang lebih besar. "Liat aja nanti. Hidup kalian akan hancur sebelum kalian menghancurkanku!" Lingga meantap penuh dendam pa
"Kapok aku nggak mau berurusan sama Ivander lagi!" Suara Rizhar terdengar penuh penyesalan. Seandainya hari itu dia menolak ajakan Lingga untuk menculik Anindya, bahkan dia secara tidak langsung menjadi penyebab Anindya mengalami keguguran. "Kenapa kamu nggak bilang kalo mantan istri kamu itu udah punya suami kaya iblis itu!" lanjut Rizhar menyalahkan Lingga yang sejak tadi diam berjalan tertatih di sampingnya. Dengan langkah berat keduanya terus menyusuri lahan luas yang terbentang di depan mereka. Pepohonan kering di sekitar danau menciptakan bayangan menakutkan di bawah cahaya bulan yang redup. Angin malam yang dingin menusuk kulit mereka, membawa aroma hutan yang lembap dan asing. "Aku nggak tau kalo Anindya saat itu lagi hamil." Lingga menjawab dengan napas yang memburu. "Aku pikir nggak akan terjadi apapun kalo aku merkosa Anindya saat itu. Karena, mau gimanapun Anindya itu mantan istri aku."
"Tutup mulut, dengan begitu hidup kalian berdua aman." Ivander menatap mereka berdua yang telah bebas dari rantai besi yang selama ini membelenggu. "Saya bisa menghancurkan hidup kalian kapan saja jika hal ini bocor. Paham?" Lingga dan Rizhar berdiri di depan Ivander, tubuh mereka lemah dan gemetar. Keduanya tampak kehilangan kekuatan setelah seminggu menerima siksaan fisik tanpa henti. Kaki mereka terasa seperti jelly, nyaris tak mampu menahan bobot tubuhnya sendiri setelah terbelenggu dan tak bergerak terlalu lama. Rizhar mengangguk ketakutan. Wajah pria bertato itu terlihat pucat, mencerminkan rasa takut yang mendalam terhadap Ivander. Pria itu, dengan tatapan dingin tanpa emosi, telah menunjukkan bahwa ia tak memiliki rasa iba sedikit pun. Semua siksaan, dari pukulan hingga tendangan, dilakukan tanpa ekspresi—seolah teriakan mereka adalah sesuatu yang tak pernah sampai ke telinganya. "Saya berjanji tidak akan bicara tentang ini. Tolong lepaskan saya," suara Rizhar bergetar, me
"Dengar, ya, Lingga. Saya akan lepasin kamu malam ini juga, tapi jangan pernah katakan apa yang telah terjadi padamu selama hampir satu minggu ini." Ivander melipatkan kedua tangan di depan dada. Di samping pria itu, Bima berdiri dengan jaket kulit berwarna hitam menggunakan topi hitam, kaca mata hitam, dan juga masker berwarna hitam. Bima selalu menggunakan pakaian serba hitam selama hampir seminggu menyiksa Lingga dan juga Rizhar, dia rela menginap di gudang eksekusi milik Ivander.Saat menyiksa Lingga, Bima tidak pernah mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya. Mulutnya diam, tapi tangan dan kakinya tidak. Rasanya begitu puas setiap kali mendengar teriakan penuh kesakitan dari Lingga, tubuh kekar pria itu dipenuhi oleh luka-luka dan juga memar bekas pukulan besi yang dilayangkan oleh dirinya. "Nggak bisa kaya gini! Apa yang kamu dan anak buahmu lakukan itu udsh keterlaluan. Kamu nyulik dan nyiksa saya sama Rizhar, saya nggak mungkin diem aja." Lingga dengan suara lemah melayan
"Bajingan kaya kamu nggak layak untuk hidup." Ivander dengan tak berperasaan menendang Lingga yang tengah memejamkan kedua matanya di sisi Rizhar. Lingga dan juga Rizhar lagi dan lagi mendapatkan pukulan dari anak buah Ivander, serangan yang diberikan oleh anak buah Ivander membuat Lingga pingsan. Sedangkan Rizhar masih menahan kesadarannya sambil menahan sakit. Lingga yang terkejut dengan tendangan keras Ivander, reflek membuka matanya. Dinding yang catnya sudah pudar dilapisi oleh jamur menjadi hal pertama kali yang Lingga lihat selama beberapa hari terakhir berada di tempat ini. Ivander mendorong dada bidang Ivander, kaki Ivander yang terbalut sneakers itu menekan dada Lingga sampai pria itu terdorong ke belakang. Punggungnya menempel pada tiang besi yang terpasang rantai yang melingkar di kedua tangan Lingga. Napas Lingga terasa sesak, dia mencoba meraup udara segar untuk mengurangi rasa sesak pada rongga dadanya yang penuh. Tangan Lingga mencengkeram kaki Ivander yang