"Selamat pagi!" Seruan dari arah pintu membuat Kenzo dan kedua istrinya menoleh ke arah sumber suara. "Carla?! Kenapa kamu berada di sini?" tanya Kenzo yang terlihat tidak suka mendapati saudara tirinya berada di rumahnya. "Surprise!" seru wanita tersebut dengan sumringah. Kenzo mencebik kesal melihat anak dari istri papanya. Dari dulu Kenzo tidak pernah suka dengan hadirnya anak tiri papanya. Meskipun mereka berbeda jenis, tapi Kenzo merasa iri dengan kedekatan Carla dengan Damian, papa kandung Kenzo. Apalagi Carla yang suka bermanja-manja dan suka mencari perhatian dari sang papa tirinya, sehingga Kenzo seperti tersisih dari keluarganya. 'Apa dia datang ke negara ini untuk mengambil alih harta kakek?' batinnya seraya menatap bengis pada saudari tirinya. 'Tidak. Aku tidak akan membiarkannya. Aku harus segera mendapatkan keturunan, agar semua harta kakek menjadi milikku. Tidak ada satu pun yang boleh didapatkan Carla,' sambungnya dalam hati, sembari mengepalkan kedua tang
Carla hanya tersenyum, sehingga mendapatkan tatapan curiga dari istri saudara iparnya. "Entahlah. Lebih baik aku pergi dari sini, daripada Kenzo mengomel lagi padaku.""Kenapa kamu terkesan seperti sedang menghindar?" tanya Serena dengan tatapan curiga padanya.Carla terkekeh. Dia beranjak dari duduknya dan memakai shoulder bag miliknya."Benarkah? Sepertinya kamu yang terlalu curiga padaku, Serena."Tawa Clara mengiringi tiap langkah kakinya keluar dari rumah mewah tersebut, sehingga menggema di setiap ruangan yang dilewatinya."Sialan kamu, Carla!""Lihat saja, aku pasti akan mencari tahu yang sebenarnya. Dan akan aku pastikan bahwa semua aset kekayaan keluarga Matteo akan menjadi milik Kenzo, suamiku."Umpatan dan makian yang keluar dari mulut Serena tidak dapat didengar oleh Carla. Akan tetapi, saudara tiri Kenzo tersebut seolah mengetahui apa yang sedang terjadi dalam rumah tangga Kenzo, khususnya keluarga Matteo.Clara masih saja tertawa hingga masuk ke dalam mobil mewahnya. Ba
'Bantu aku untuk memberikan keturunan sebagai generasi penerus keluarga Matteo.'Senyum Luna mengembang tatkala mengingat sang suami mengatakan permintaannya di dalam mobil. "Aku mohon, Tuhan. Berilah aku anugerah seorang anak dalam perut ini," ucapnya lirih seraya mengusap lembut perutnya. "Anak dari pria hebat yang bernama Kenzo Matteo, suamiku," sambungnya sembari membayangkan dua anak kecil sedang berlarian dan bermain bersama suaminya.Sangat indah. Semua momen kebahagiaan itu ingin didapatkannya. Luna melakukannya hanya untuk membahagiakan sang suami, hingga dia lupa akan akhir dari perjanjian yang telah mereka sepakati.Tiba-tiba saja suara ketukan pintu menyadarkannya dari lamunan. "Siapa?" tanya Luna tanpa beranjak dari tempatnya.Namun, tidak ada suara yang menjawab pertanyaannya. Merasa penasaran, dia pun beranjak dari tempatnya, dan menghampiri pintu. Bibirnya melengkung ke atas melihat sang pujaan hati yang berdiri di depan pintu kamarnya. Kenzo menatap wanita yang me
"Shit!" Serena mengumpat kesal mendengar cerita dari pelayan wanita yang berniat mengintip dan mencuri dengar melalui pintu kamar Luna."Aku telah bersabar dan berusaha memenuhi janjiku padamu, Ken. Tapi, kamu bersama wanita jalang itu telah menginjak-injak harga diriku!" gumamnya kesal sembari berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya.Tiba-tiba kakinya berhenti tepat di depan ranjang. Dia menatap ranjang yang sudah bertahun-tahun menjadi tempat tidur, bermanja dan bersenang-senang bersama suaminya."Aku akan menunggumu untuk menjelaskan semuanya padaku! Setelah itu, aku akan memutuskan bagaimana sikapku selanjutnya pada wanita jalang yang tidak tau diri itu!" imbuhnya dengan penuh amarah.Sesuai dengan perjanjiannya dnegan sang suami, malam itu Serena menunggu suaminya di dalam kamar mereka. Istri pertama Kenzo merasa gelisah dan tidak sabar menunggu suaminya. "Kenapa lama sekali?" tanyanya seraya melihat jam yang menggantung di dinding."Apa mereka belum selesai? Tidak. Pelayan ta
"Ada apa, Pa? Sepertinya Papa sedang ada masalah," tanya Clara yang sedang menonton televisi sambil menikmati teh bersama papa tiri dan mamanya. Damian tersenyum, dan meletakkan ponselnya di atas meja. Dia menatap anak dari istri keduanya. "Bukan Papa yang sedang bermasalah, tapi Kenzo." "Kenzo? Ada apa dengannya? Bukankah yang menelpon Papa barusan adalah Serena?" tanya Clara dengan rasa ingin tahunya. Pria paruh baya tersebut menganggukkan kepalanya. Dia tersenyum melihat putri tirinya yang selalu antusias jika membicarakan tentang saudara tirinya. "Serena ingin Papa menyingkirkan kepala pelayan di rumah mereka," jawabnya dengan tenang. Dahi Clara mengernyit. Dia terlihat sedang memikirkan sesuatu. Beberapa detik kemudian, dia bertanya kembali pada papa tirinya. "Apa alasannya? Bukankah Nenek pelayan itu sudah seperti nenek sendiri bagi Ken?" "Papa rasa ini kemauan Serena, bukan kemauan Kenzo," tukas pria paruh baya tersebut. Kania meletakkan cangkir teh yang dipe
Seruan amarah dari si pemilik rumah setelah masuk ke dalam kamarnya, membuat sang istri terperanjat kaget. "Ada apa, Sayang? Kenapa kamu berteriak seperti itu?" tanyanya sambil menguap."Apa yang kamu lakukan di belakangku?!" tanya Kenzo dengan amarahnya yang menggebu-gebu.Serena mengernyitkan dahinya. Dia mencoba mengingat-ingat apa saja yang dilakukannya sebelum sang suami masuk ke dalam kamar."Aku menunggumu sedari tadi. Tapi, kamu sangat lama datangnya," jawab sang istri dengan manja.Wanita yang terlihat masih mengantuk tersebut berjalan menghampiri suaminya. "Lihatlah, Sayang. Aku sudah menyiapkan semuanya untukmu. Untuk malam panjang kita yang istimewa," ucapnya seraya tersenyum manis bersamaan dengan membuka piyama kimono yang masih dipakainya.Serena memperlihatkan tubuhnya yang terlihat seksi, dan dibalut lingerie indah berwarna merah menyala. Semua bagian inti tubuhnya dapat terlihat dengan jelas. Tentu saja Kenzo mengangumi keindahan tubuh sang istri yang sangat terawa
Malu. Seorang Serena Hogan berlutut dan meminta maaf pada wanita tua yang menjadi kepala pelayan di rumahnya. Harga dirinya merasa diinjak-injak. Bahkan martabat keluarganya yang tidak kalah dengan keluarga Matteo, seketika tidak bernilai. 'Jangan pernah mengusir Nenek dari rumahku! Ini adalah rumahku, bukan rumahmu! Hak yang aku berikan untuk mengatur rumah ini, tidak bisa kamu gunakan untuk mengeluarkan Nenek dari rumah ini! Jangan pernah memarahi Nenek! Menyentuhnya pun jangan! Jika aku tahu kamu mengganggu Nenek dengan segala caramu, maka akan aku berikan hal yang serupa padamu! Mengerti?!'Ancaman Kenzo yang panjang lebar kembali terbayang di matanya. Dia merasa sangat terhina dengan berlutut dan meminta maaf pada wanita tua yang menjadi kepala pelayan di rumah tersebut. Selama bertahun-tahun dia tidak pernah berkomunikasi terlalu lama dengannya. Dan sekarang, di saat Luna datang untuk menjadi istri kedua suaminya, wanita tua itu pun mulai berulah untuk menentangnya. Di dalam k
Tidur Kenzo tidak nyenyak. Hanya matanya saja yang terpejam. Akan tetapi, hati dan pikirannya masih saja memikirkan perkataan Serena, istri pertamanya. Tentu saja hatinya tidak rela untuk menjauh atau mengabaikan Luna, istri keduanya. 'Aku harus mencari cara untuk mengatasi semua ini. Kenapa jadi seperti ini? Bukankah seharusnya semua berjalan baik-baik saja seperti yang telah direncanakan? Mengapa sekarang jadi seperti ini?' batinnya menggerutu sembari memejamkan matanya.Kenzo tidak pernah membayangkan berada dalam situasi sulit seperti saat ini. Sejak kedatangan Luna dalam hidupnya, ketenangan hati dan pikirannya terusik. Bahkan kini dia harus berada di antara kedua istrinya. Berbeda dengan Serena. Tidurnya kali ini begitu nyenyak. Bahkan lebih nyenyak dari sebelumnya, ketika dia harus menunggu sang suami yang sedang berada di kamar istri keduanya. Pagi pun menjelang. Serena menyambut paginya dengan senyuman. Sama seperti biasanya, dia menyiapkan pakaian kerja suaminya. Entah m
"Aku bertaruh untuk Nyonya Serena. Kalian mau bertaruh untuk siapa?" tanya lirih seorang pelayan wanita, sembari menengadahkan tangannya di hadapan kerumunan para pelayan yang sedang bersembunyi di balik tembok ruang makan untuk menguping. "Kamu mengajak kita taruhan?" tanya pelayan kepercayaan Serena dengan setengah berbisik. Pelayan wanita tersebut menganggukkan kepalanya. Kemudian, dia menunjuk tangannya yang masih dalam posisi menengadah dengan menggunakan dagunya. Tanpa berpikir panjang, pelayan yang merupakan kepercayaan sang nyonya merogoh sakunya dan meletakkan dua lembar uang kertas pada telapak tangan tersebut, sembari menyebutkan pilihannya. "Tentu saja aku bertaruh untuk Nyonya Serena," ucapnya dengan penuh keyakinan. Satu per satu dari mereka pun memilih Serena untuk dijagokan. Sang nyonya memang tidak pernah membiarkan dirinya kalah dari siapa pun. Terlebih lagi dari Luna, istri kedua suaminya yang kini tinggal bersama mereka. "Ada apa ini?!" Tiba-tiba saja terde
"Berhenti!" seru Luna sembari berdiri dari duduknya. Sontak saja semua pasang mata yang ada di ruang makan tersebut mengarah padanya. "Kamu tidak berhak mengatakan itu pada Carla. Dia hanya menyampaikan pesan dari Dokter Ludwig padaku," ujarnya dengan ekspresi datar. Seketika Kenzo sadar bahwa emosinya telah tersulut oleh api kecemburuannya pada Dokter Ludwig. Dengan gerakan cepat, dia meraih kedua tangan istri keduanya, berharap sang istri tidak marah padanya. "Sayang, maaf. Maafkan aku," ucapnya dengan tatapan mengiba pada istrinya yang sedang hamil.Luna menghempaskan tangan suaminya. Wajah dinginnya membuat sang suami mengetahui betapa marah dan kecewanya saat ini. "Aku akan pergi menemui Dokter Ludwig bersama dengan Carla," tuturnya tanpa meminta ijin pada sang suami, seperti sedia kala. Kenzo kembali meraih tangan sang istri, berusaha untuk bisa meyakinkannya. "Aku tidak akan melarang mu, tapi aku akan ikut denganmu," pintanya dengan penuh harap. Carla memang sakit hati
Makan malam kali ini berbeda dengan malam sebelum-sebelumnya. Serena berada dalam satu meja makan dengan madunya. Suasana di ruangan tersebut begitu damai. Bahkan sang nyonya bersikap ramah dan selalu tersenyum pada istri kedua suaminya.Hidangan makanan dan minuman yang tersaji di meja pun sangat beraneka ragam. Semuanya merupakan menu andalan dari keluarga tersebut. Bisa dikatakan jika semua menu makanan kali ini merupakan kesukaan Kenzo. "Apa mataku tidak salah melihat?" celetuk Carla sambil menatap takjub pada semua makanan yang ada di meja makan. "Sebaiknya sekarang juga kamu ke rumah sakit untuk memeriksakan matamu. Jangan mengganggu makan malam kami," ujar Serena dengan ketus.Sayangnya Carla tidak terpengaruh dengan ucapan Serena. Dia bersikap layaknya seorang bocah yang ketika dilarang melakukan sesuatu, maka larangan tersebut malah dikerjakannya."Terima kasih," ucap Carla sambil tersenyum setelah duduk di kursi yang berhadapan dengan sang nyonya.Sontak saja Serena menat
Seketika Serena menoleh ke arah sumber suara. Dia menatap tidak suka pada si pemilik suara yang sedang berdiri di belakangnya. "Ada perlu apa kamu datang ke sini?" tanyanya dengan sewot pada sosok wanita yang baru saja menyapanya. "Kenapa kamu peduli dengan kehadiranku di rumah ini?" tanya balik sang wanita pada sang nyonya rumah tersebut. Serena membalikkan badannya. Dia menatap wanita tersebut seolah sedang menantangnya. "Aku adalah nyonya di rumah ini. Semua yang terjadi di rumah ini harus atas sepengetahuanku," ujarnya sembari menyeringai dan menaikkan dagunya.Sang tamu wanita tersenyum, seolah sedang meremehkannya. Dia menatap nyonya rumah tersebut dengan penuh percaya diri. "Begitu pula dengan tamu. Aku berhak menerima atau mengusir tamu yang tidak aku inginkan," tutur sang nyonya sembari memberikan tatapan layaknya penjahat yang sedang mengancam korbannya. Sang tamu wanita tidak gentar sedikit pun. Kakinya melangkah maju, sehingga berada tepat di hadapan wanita angkuh te
Wajah kesal Kenzo bertahan seharian. Pasalnya, dia tidak terima jika Dokter Ludwig mempunyai nomor Luna, istri keduanya yang kini telah mengandung anaknya. Pikirannya tidak tenang berpisah dengan sang istri, meskipun hanya beberapa jam saja. Sang dokter tidak fokus dengan pekerjaannya. Bahkan makanan yang ada di hadapannya pun hanya dilihat dan diaduk-aduk saja, seolah enggan untuk memakannya. Damian yang sedang makan di depan sang putra pun menyadari kerisauan hati putranya. Seketika dia teringat akan perkataan papanya. Pria paruh baya itu tersenyum tipis menyadari persamaan di antara mereka berdua."Apa rencanamu selanjutnya, Ken?" tanya Damian ketika sedang makan siang bersama sang putra.Kenzo mengalihkan pandangannya pada sang papa yang sedang menunggu jawaban darinya. Dia menatap malas pada pria paruh baya tersebut, seolah tidak ada tenaga untuk berbicara. "Apa malammu tidak menyenangkan?" tanya sang papa kembali. Kenzo menghela nafas mengingat malam yang sangat menguras hati
Saat itu juga Kenzo dan Serena menoleh ke sumber suara. Serena tersenyum puas melihat sosok wanita yang sedang berdiri dan terlihat syok dengan mata yang berkaca-kaca. Berbeda dengan Kenzo, sontak saja matanya terbelalak, terkejut dengan kehadiran wanita tersebut."Luna?!" celetuk Kenzo tanpa sadar, seraya menatapnya tidak percaya. Seketika Luna merasa tubuhnya lemah, tidak bertenaga, sehingga dia tidak bisa menggerakkan kakinya untuk pergi dari tempat itu. Bahkan untuk memaki suaminya saja tidak sanggup. Matanya berkaca-kaca menahan sekuat tenaga air matanya yang terkumpul di pelupuk mata. Bibirnya bergetar, menahan suara tangisnya yang ingin keluar dengan sendirinya. Hati Kenzo benar-benar merasa sakit saat melihat wajah sedih belahan jiwanya. Tanpa sadar kakinya pun melangkah dengan sendirinya. Seketika kaki Luna reflek bergerak dengan sendirinya. Kekuatannya terkumpul karena rasa kecewanya yang begitu dalam pada sang suami."Sayang! Tunggu aku!" seru Kenzo sambil berjalan cepat
Pagi harinya Kenzo kembali dipusingkan dengan keinginan dari kedua istrinya. Setelah pengakuan cinta Kenzo di hadapan istri pertamanya dan sang kakek, Luna seperti mendapatkan kekuatan untuk melawan kelicikan Serena. Akibatnya, kini sang suami yang kerepotan memenuhi keinginan mereka berdua. "Kenapa aku yang harus mengalah dengan wanita udik itu?! Dia yang hadir dalam rumah tangga kita. Dia yang merebut perhatianmu dariku! Seharusnya kamu lebih mengutamakan aku, dibandingkan dengan dia, Ken!" protes Serena meluapkan kekesalannya pada sang suami."Tapi dia sedang hamil anakku, Sayang," ucap Kenzo dengan tatapan mengiba pada istri pertamanya. Saat ini Kenzo hanya ingin ketenangan dalam rumah tangganya. Dia tidak ingin terjadi perdebatan lagi di dalam rumahnya. Karena itulah pria beristri dua tersebut mencoba mengambil hati istri pertamanya, agar tidak lagi membuat masalah dan mau menerima nasehatnya. "Ingat status dia, Ken! Dia hanyalah wanita yang kita sewa untuk menjadi ibu penggan
"Tadi aku sempat jalan-jalan di luar sebelum kalian ada di sini," sahut Kania sambil tersenyum palsu. Ron Matteo mengernyitkan dahinya. Dia menatap tidak percaya pada cucu menantu pertamanya.'Ternyata dia bisa berbohong juga,' batinnya sembari menahan seringainya. Kania terlihat gugup dan salah tingkah. Dia menyadari pandangan kakek mertuanya yang berbeda dari biasanya. 'Apa Kakek mengetahui kebohonganku?' tanyanya dalam hati. Damian menatap istrinya seolah sedang mencari sesuatu darinya. Entah apa yang akan akan ditemukan oleh pria paruh baya itu nantinya, kejujuran atau mungkin kebohongan. Tentu saja dia berharap pikiran buruk tentang istrinya salah.Kania merasakan tatapan suaminya yang membuat dirinya tidak nyaman. 'Sepertinya dia tidak mempercayaiku. Apa dia tadi melihatku di hotel?' batinnya sambil memikirkan cara untuk bisa meyakinkan suaminya. "Sayang, apa kita bisa pulang sekarang? Kepalaku masih sedikit berat. Mungkin aku harus beristirahat lebih lama lagi," pinta
Damian reflek menengadahkan kedua tangannya untuk menahan tubuh Anna yang akan jatuh ke arahnya. 'Mission complete!' batin Anna sambil tersenyum tipis ketika merasakan kedua tangan sang dokter yang berada di punggungnya. 'Sial! Kenapa dia malah pingsan?' umpat Damian dalam hati sembari melihat sekitarnya. Sontak saja tiga orang pria berpenampilan serba hitam berlari menghampirinya. Mereka sangat peka melihat situasi yang sedang dialami bosnya. "Serahkan saja pada kami, Tuan," ucap salah satu dari ketiga pria tersebut. Damian pun menyerahkan tubuh wanita paruh baya yang berpakaian seksi tersebut padanya. Dua orang dari mereka membopongnya dan meletakkan tubuh wanita itu di salah satu sofa yang ada di sekitar mereka. "Maaf, Tuan. Nyonya Kania sudah keluar dari hotel ini," bisik pria yang berpakaian serba hitam pada sang dokter. Seketika Damian membelalakkan matanya. Pandangan matanya beralih pada pintu hotel tersebut. "Apa kamu serius? Kapan dia keluar?" tanyanya dengan tidak sa