Pikiran Kenzo tidak tenang. Dalam benaknya hanya ada Luna, istri keduanya. "Apa dia benar-benar pergi ke rumah sakit?" gumamnya ketika terlintas gambaran Luna yang ingin menumpang ke rumah sakit dengannya.Merasa khawatir pada istri keduanya, sang dokter mengambil ponsel yang baru dibelinya bersama Luna. Dia tersenyum melihat gawai canggih yang sedang dipegangnya. Pasalnya, ponsel tersebut hanya digunakan untuk menghubungi istri keduanya agar tidak menimbulkan kecemburuan istri pertamanya. "Lebih baik aku hubungi saja dia. Daripada aku tidak bisa bekerja karena kepikiran dia terus-menerus," ucapnya seraya mencari nomor sang istri.Namun, dia menghentikan niatnya. Diletakkan kembali ponsel tersebut, ketika teringat betapa kejam dirinya pada Luna, istri keduanya, pada saat di ruang makan pagi ini. Tidak ada cara lain yang bisa dilakukannya saat ini. Sang dokter bergegas keluar dari ruangannya, dan berjalan tergesa-gesa menuju kamar inap ibu mertuanya. "Apa ada orang di ruang VIP?" ta
Serena melambaikan tangan menyapa istri kedua suaminya yang sedang duduk termenung memikirkan sikap yang harus diambilnya saat ini. Sedangkan Luna, dia menghela nafas melihat wanita yang sejak awal dianggapnya sebagai seorang kakak. 'Kenapa dia muncul di saat aku sedang berpikir dan mencari ketenangan?' batinnya menggerutu kesal.Wanita yang memakai pakaian dari brand ternama itu, berjalan anggun dengan menjinjing tas limited edition keluaran terbaru brand internasional. Dia menghampiri madunya sambil tersenyum yang seolah sedang mengejeknya."Bagaimana keadaan ibumu, Luna? Apa ada kemajuan?" tanyanya sembari melihat wanita tua yang terbaring di tempat tidur pasien. "Belum, Nyonya," jawab lirih Luna dengan suara yang bergetar melihat ke arah sang ibu.Serena menghela nafasnya. Dia melihat semua alat yang menempel pada tubuh wanita tua tersebut. "Jadi hidup ibumu bergantung pada semua alat ini?" tanyanya kembali seraya menunjuk semua alat yang mendukung berlangsungnya kehidupan pasi
Kenzo tergesa-gesa keluar dari ruang IGD untuk mencari istri pertamanya. Pasalnya, seorang dokter pria mengatakan padanya tentang sang istri yang memaki putri dari pasien di salah satu ruang VIP.'Pasti Serena menemui Luna. Aku harus segera menemukan dia, dan membawanya pergi dari rumah sakit ini,' batinnya mengiringi langkah kakinya.Tanpa berpikir panjang, Kenzo menuju ke lantai khusus untuk kamar inap pasien VIP. Dalam pikirannya hanya terbayang wajah istri mudanya yang sedang meneteskan air mata. Tidak ada kekhawatiran sedikit pun pada Serena, istri pertamanya. Tring!Pintu lift pun terbuka. Sang dokter bergegas keluar dari ruang sempit tersebut menuju kamar ibu mertuanya. "Dok!" seru seorang perawat wanita yang sedang berjaga di lorong tersebut."Dokter Kenzo!" serunya kembali untuk menghentikan sang dokter yang berlari ke arah kamar ibu mertuanya, tanpa menjawab salam dari beberapa perawat yang berpapasan dengannya.Sang dokter masih saja meneruskan langkahnya yang berjalan de
"Kenapa dia lama sekali?" gerutu Serena sembari menutup majalah bisnis yang baru saja dibacanya.Dia beranjak dari duduknya, dan berjalan menghampiri meja kerja suaminya. Bibirnya melengkung ke atas melihat nama sang suami yang tertera pada papan nama di atas meja tersebut. "Sebentar lagi jabatan kamu akan berubah, Sayang. Dan tentu saja aku tidak akan rela melepas kamu," gumamnya seraya memegang papan nama tersebut.Matanya berbinar tatkala membayangkan dirinya mendampingi sang suami ketika diangkat menjadi penerus kerajaan bisnis keluarga Matteo. Senyumnya pun merekah membayangkan kehidupannya yang semakin gemerlap dengan strata sosial barunya.Namun, bayangan wajah orang yang dibencinya membuat senyuman itu musnah seketika. Kedua tangannya mengepal erat mengingat betapa malunya saat diusir oleh Luna yang kini sudah menjadi madunya. "Brengsek! Aku tidak terima atas penghinaan ini! Dasar wanita udik tidak tahu diri!" umpatnya melampiaskan kekesalan pada istri kedua suaminya.Serena
Bagai tersambar petir di siang bolong. Perkataan Serena membuat seorang Dokter Kenzo Matteo malu pada jas putih yang dipakainya. Kenzo dan Luna tidak melakukan kesalahan. Mereka berdua suami istri, dan hal yang wajar jika berpelukan di mana saja. Akan tetapi, tidak semua orang tahu status mereka."Tutup mulutmu, Serena!" ujar sang dokter dengan mengeratkan gigi-giginya.Serena menatap tajam pada suaminya. Ada kilatan amarah yang terlihat pada sorot matanya. "Kamu marah padaku, Ken?" tanyanya sembari menyeringai."Bukankah aku yang harus marah padamu, karena mempermalukan aku di tempat kerjamu!" sambungnya dengan amarah yang menggebu-gebu.Seketika amarah sang dokter luluh. Dia membenarkan kemarahan istrinya. Tidak ada yang tahu pernikahannya dengan Luna, sehingga pelukan mereka berdua bisa menyebabkan gosip di rumah sakit tersebut.Serena beralih menatap wanita yang berdiri di samping suaminya. Tatapan kebenciannya membuat Luna
Baru kali ini Kenzo merasa lelah berbicara pada istrinya. Pasalnya dia tidak pernah berbohong atau pun mengarang cerita untuk menutup-nutupi sesuatu dari istri pertamanya. Sekarang, dia merasakan hal itu. Seorang Kenzo Matteo yang tidak pernah memikirkan apa pun dalam bertindak, kini dia harus menjaga perasaan istrinya ketika menceritakan tentang dirinya dengan istri keduanya.Namun, Dewi Fortuna masih berpihak padanya. Kenzo dapat meluluhkan kemarahan istri pertamanya. Tidak seperti biasanya yang bertahan dalam hitungan hari. Bahkan sekarang Serena terlihat sangat manja pada suaminya. "Di mana mobilmu, Sayang?" tanya Kenzo pada sang istri ketika mereka sudah berada di tempat parkir. "Aku tidak bawa mobil. Aku sengaja meminta antar sopir agar bisa pulang bersamamu, Sayang," jawab Serena sembari bergelayut manja pada lengan suaminya.Dahi Kenzo mengernyit, dan menatap istrinya dengan heran."Kenapa kita tidak membuat janji untuk bertemu di restoran saja?" Serena menggelengkan kepala
Di setiap sudut rumah sakit terdengar cuitan tentang hubungan Dokter Kenzo dengan putri dari pasien jelata yang dipindahkan secara gratis ke ruang VIP. Tidak hanya itu saja, bahkan pertengkaran antara Serena, istri dari Dokter Kenzo dengan Luna, putri dari pasien VIP tersebut membuat heboh seluruh pelosok Metro Healthy Hospital. Carla, saudara tiri dari Dokter Kenzo mencuri dengar dari mereka semua. Dia menyeringai di balik masker yang menutupi bibirnya. 'Sepertinya akan sangat menarik. Mulai sekarang hariku akan sangat sibuk,' batinnya sambil mendengar pembicaraan mereka. Setelah selesai mencari tahu tentang semua gosip yang beredar di rumah sakit tersebut, Carla menyempatkan dirinya untuk mencari Luna, istri kedua dari saudara tirinya.Tanpa mengetuk terlebih dahulu, Carla membuka pintu salah satu kamar inap VIP yang ditempati oleh pasien yang bernama Lidia. "Permisi. Bolehkah saya masuk?" ucapnya setelah membuka pintu kamar tersebut.Mendengar suara wanita yang asing di telinga
"Ada apa sebenarnya, Ken?!" tanya Serena sembari berjalan menghampiri kedua saudara tiri tersebut. "Tidak. Tidak ada apa-apa, Sayang. Masuklah. Aku akan mengurus anak tiri kesayangan Papa ini," jawab Kenzo seraya menatap tajam pada saudara tirinya. Carla terkekeh mendapatkan ancaman yang tersirat dari tatapan mata saudara tirinya. Dia menatap istri saudara tirinya, seolah ingin mengatakan sesuatu hal untuk membalas ancaman Kenzo. Dengan sigap Kenzo merangkul Serena, dan membawanya masuk ke dalam rumah seraya mengusir saudara tirinya. "Pulanglah, dan jangan kembali ke rumahku!" "Aku pasti akan kembali, Ken! Karena aku mendapatkan tugas penting dari Kakek!" seru Clara dari tempatnya berada. Brak! Suara pintu yang ditutup dengan keras oleh sang pemilik rumah, mengisyaratkan kemarahannya. Carla terkekeh melihat sikap Kenzo yang masih tetap sama padanya. Dia tetap memperlakukannya bak virus yang harus dijauhi dan dibasmi. "Lihat saja, Ken. Aku akan membuat harimu terasa
"Aku bertaruh untuk Nyonya Serena. Kalian mau bertaruh untuk siapa?" tanya lirih seorang pelayan wanita, sembari menengadahkan tangannya di hadapan kerumunan para pelayan yang sedang bersembunyi di balik tembok ruang makan untuk menguping. "Kamu mengajak kita taruhan?" tanya pelayan kepercayaan Serena dengan setengah berbisik. Pelayan wanita tersebut menganggukkan kepalanya. Kemudian, dia menunjuk tangannya yang masih dalam posisi menengadah dengan menggunakan dagunya. Tanpa berpikir panjang, pelayan yang merupakan kepercayaan sang nyonya merogoh sakunya dan meletakkan dua lembar uang kertas pada telapak tangan tersebut, sembari menyebutkan pilihannya. "Tentu saja aku bertaruh untuk Nyonya Serena," ucapnya dengan penuh keyakinan. Satu per satu dari mereka pun memilih Serena untuk dijagokan. Sang nyonya memang tidak pernah membiarkan dirinya kalah dari siapa pun. Terlebih lagi dari Luna, istri kedua suaminya yang kini tinggal bersama mereka. "Ada apa ini?!" Tiba-tiba saja terde
"Berhenti!" seru Luna sembari berdiri dari duduknya. Sontak saja semua pasang mata yang ada di ruang makan tersebut mengarah padanya. "Kamu tidak berhak mengatakan itu pada Carla. Dia hanya menyampaikan pesan dari Dokter Ludwig padaku," ujarnya dengan ekspresi datar. Seketika Kenzo sadar bahwa emosinya telah tersulut oleh api kecemburuannya pada Dokter Ludwig. Dengan gerakan cepat, dia meraih kedua tangan istri keduanya, berharap sang istri tidak marah padanya. "Sayang, maaf. Maafkan aku," ucapnya dengan tatapan mengiba pada istrinya yang sedang hamil.Luna menghempaskan tangan suaminya. Wajah dinginnya membuat sang suami mengetahui betapa marah dan kecewanya saat ini. "Aku akan pergi menemui Dokter Ludwig bersama dengan Carla," tuturnya tanpa meminta ijin pada sang suami, seperti sedia kala. Kenzo kembali meraih tangan sang istri, berusaha untuk bisa meyakinkannya. "Aku tidak akan melarang mu, tapi aku akan ikut denganmu," pintanya dengan penuh harap. Carla memang sakit hati
Makan malam kali ini berbeda dengan malam sebelum-sebelumnya. Serena berada dalam satu meja makan dengan madunya. Suasana di ruangan tersebut begitu damai. Bahkan sang nyonya bersikap ramah dan selalu tersenyum pada istri kedua suaminya.Hidangan makanan dan minuman yang tersaji di meja pun sangat beraneka ragam. Semuanya merupakan menu andalan dari keluarga tersebut. Bisa dikatakan jika semua menu makanan kali ini merupakan kesukaan Kenzo. "Apa mataku tidak salah melihat?" celetuk Carla sambil menatap takjub pada semua makanan yang ada di meja makan. "Sebaiknya sekarang juga kamu ke rumah sakit untuk memeriksakan matamu. Jangan mengganggu makan malam kami," ujar Serena dengan ketus.Sayangnya Carla tidak terpengaruh dengan ucapan Serena. Dia bersikap layaknya seorang bocah yang ketika dilarang melakukan sesuatu, maka larangan tersebut malah dikerjakannya."Terima kasih," ucap Carla sambil tersenyum setelah duduk di kursi yang berhadapan dengan sang nyonya.Sontak saja Serena menat
Seketika Serena menoleh ke arah sumber suara. Dia menatap tidak suka pada si pemilik suara yang sedang berdiri di belakangnya. "Ada perlu apa kamu datang ke sini?" tanyanya dengan sewot pada sosok wanita yang baru saja menyapanya. "Kenapa kamu peduli dengan kehadiranku di rumah ini?" tanya balik sang wanita pada sang nyonya rumah tersebut. Serena membalikkan badannya. Dia menatap wanita tersebut seolah sedang menantangnya. "Aku adalah nyonya di rumah ini. Semua yang terjadi di rumah ini harus atas sepengetahuanku," ujarnya sembari menyeringai dan menaikkan dagunya.Sang tamu wanita tersenyum, seolah sedang meremehkannya. Dia menatap nyonya rumah tersebut dengan penuh percaya diri. "Begitu pula dengan tamu. Aku berhak menerima atau mengusir tamu yang tidak aku inginkan," tutur sang nyonya sembari memberikan tatapan layaknya penjahat yang sedang mengancam korbannya. Sang tamu wanita tidak gentar sedikit pun. Kakinya melangkah maju, sehingga berada tepat di hadapan wanita angkuh te
Wajah kesal Kenzo bertahan seharian. Pasalnya, dia tidak terima jika Dokter Ludwig mempunyai nomor Luna, istri keduanya yang kini telah mengandung anaknya. Pikirannya tidak tenang berpisah dengan sang istri, meskipun hanya beberapa jam saja. Sang dokter tidak fokus dengan pekerjaannya. Bahkan makanan yang ada di hadapannya pun hanya dilihat dan diaduk-aduk saja, seolah enggan untuk memakannya. Damian yang sedang makan di depan sang putra pun menyadari kerisauan hati putranya. Seketika dia teringat akan perkataan papanya. Pria paruh baya itu tersenyum tipis menyadari persamaan di antara mereka berdua."Apa rencanamu selanjutnya, Ken?" tanya Damian ketika sedang makan siang bersama sang putra.Kenzo mengalihkan pandangannya pada sang papa yang sedang menunggu jawaban darinya. Dia menatap malas pada pria paruh baya tersebut, seolah tidak ada tenaga untuk berbicara. "Apa malammu tidak menyenangkan?" tanya sang papa kembali. Kenzo menghela nafas mengingat malam yang sangat menguras hati
Saat itu juga Kenzo dan Serena menoleh ke sumber suara. Serena tersenyum puas melihat sosok wanita yang sedang berdiri dan terlihat syok dengan mata yang berkaca-kaca. Berbeda dengan Kenzo, sontak saja matanya terbelalak, terkejut dengan kehadiran wanita tersebut."Luna?!" celetuk Kenzo tanpa sadar, seraya menatapnya tidak percaya. Seketika Luna merasa tubuhnya lemah, tidak bertenaga, sehingga dia tidak bisa menggerakkan kakinya untuk pergi dari tempat itu. Bahkan untuk memaki suaminya saja tidak sanggup. Matanya berkaca-kaca menahan sekuat tenaga air matanya yang terkumpul di pelupuk mata. Bibirnya bergetar, menahan suara tangisnya yang ingin keluar dengan sendirinya. Hati Kenzo benar-benar merasa sakit saat melihat wajah sedih belahan jiwanya. Tanpa sadar kakinya pun melangkah dengan sendirinya. Seketika kaki Luna reflek bergerak dengan sendirinya. Kekuatannya terkumpul karena rasa kecewanya yang begitu dalam pada sang suami."Sayang! Tunggu aku!" seru Kenzo sambil berjalan cepat
Pagi harinya Kenzo kembali dipusingkan dengan keinginan dari kedua istrinya. Setelah pengakuan cinta Kenzo di hadapan istri pertamanya dan sang kakek, Luna seperti mendapatkan kekuatan untuk melawan kelicikan Serena. Akibatnya, kini sang suami yang kerepotan memenuhi keinginan mereka berdua. "Kenapa aku yang harus mengalah dengan wanita udik itu?! Dia yang hadir dalam rumah tangga kita. Dia yang merebut perhatianmu dariku! Seharusnya kamu lebih mengutamakan aku, dibandingkan dengan dia, Ken!" protes Serena meluapkan kekesalannya pada sang suami."Tapi dia sedang hamil anakku, Sayang," ucap Kenzo dengan tatapan mengiba pada istri pertamanya. Saat ini Kenzo hanya ingin ketenangan dalam rumah tangganya. Dia tidak ingin terjadi perdebatan lagi di dalam rumahnya. Karena itulah pria beristri dua tersebut mencoba mengambil hati istri pertamanya, agar tidak lagi membuat masalah dan mau menerima nasehatnya. "Ingat status dia, Ken! Dia hanyalah wanita yang kita sewa untuk menjadi ibu penggan
"Tadi aku sempat jalan-jalan di luar sebelum kalian ada di sini," sahut Kania sambil tersenyum palsu. Ron Matteo mengernyitkan dahinya. Dia menatap tidak percaya pada cucu menantu pertamanya.'Ternyata dia bisa berbohong juga,' batinnya sembari menahan seringainya. Kania terlihat gugup dan salah tingkah. Dia menyadari pandangan kakek mertuanya yang berbeda dari biasanya. 'Apa Kakek mengetahui kebohonganku?' tanyanya dalam hati. Damian menatap istrinya seolah sedang mencari sesuatu darinya. Entah apa yang akan akan ditemukan oleh pria paruh baya itu nantinya, kejujuran atau mungkin kebohongan. Tentu saja dia berharap pikiran buruk tentang istrinya salah.Kania merasakan tatapan suaminya yang membuat dirinya tidak nyaman. 'Sepertinya dia tidak mempercayaiku. Apa dia tadi melihatku di hotel?' batinnya sambil memikirkan cara untuk bisa meyakinkan suaminya. "Sayang, apa kita bisa pulang sekarang? Kepalaku masih sedikit berat. Mungkin aku harus beristirahat lebih lama lagi," pinta
Damian reflek menengadahkan kedua tangannya untuk menahan tubuh Anna yang akan jatuh ke arahnya. 'Mission complete!' batin Anna sambil tersenyum tipis ketika merasakan kedua tangan sang dokter yang berada di punggungnya. 'Sial! Kenapa dia malah pingsan?' umpat Damian dalam hati sembari melihat sekitarnya. Sontak saja tiga orang pria berpenampilan serba hitam berlari menghampirinya. Mereka sangat peka melihat situasi yang sedang dialami bosnya. "Serahkan saja pada kami, Tuan," ucap salah satu dari ketiga pria tersebut. Damian pun menyerahkan tubuh wanita paruh baya yang berpakaian seksi tersebut padanya. Dua orang dari mereka membopongnya dan meletakkan tubuh wanita itu di salah satu sofa yang ada di sekitar mereka. "Maaf, Tuan. Nyonya Kania sudah keluar dari hotel ini," bisik pria yang berpakaian serba hitam pada sang dokter. Seketika Damian membelalakkan matanya. Pandangan matanya beralih pada pintu hotel tersebut. "Apa kamu serius? Kapan dia keluar?" tanyanya dengan tidak sa