"Apa kita harus melakukannya di tempat ini, Sayang?" tanya Kenzo sembari melepas sabuk pengamannya."Bukankah ini seperti mengulang masa kita pacaran?" tanya Serena dengan sangat antusias.Seketika Kenzo terkesiap. Dia menatap sang istri dengan penuh tanda tanya. 'Jadi perkiraanku benar. Sebelum kita menikah, kamu telah berhubungan dengan laki-laki lain. Sialnya, bukan aku yang mendapatkan kegadisanmu, Serena. Aku hanya mendapatkan gelar sebagai suamimu, dan mahkotamu telah kamu berikan pada laki-laki lain. Brengsek!'"Ada apa, Sayang? Apa ada yang salah dengan ucapanku?" tanya Serena menyelidik."Tidak. Hanya saja sepertinya aku lupa saat-saat kita berada di hotel ini," jawab Kenzo sembari memaksakan senyumnya.Seketika senyum Serena pun pudar. Dia menatap tajam pada sang suami, seolah sedang melampiaskan kemarahannya."Kenapa kamu melupakan saat-saat penting seperti ini? Bukankah kamu memintaku untuk membuktikan rasa cintaku padamu?" "Aku? Memintamu seperti itu?" tanya Kenzo sem
Serena menyeringai melihat reaksi madunya saat melihat pergulatan panasnya bersama sang suami. Bahkan dia memperlihatkan betapa aktifnya dalam permainan ranjang mereka. Sepasang suami istri tersebut berhasil membuat Luna merasakan sakit dalam hatinya. Matanya berkaca-kaca menahan air mata yang terkumpul di pelupuk mata. Tangannya menutup bibir, agar tidak keluar sedikit pun suara dari mulutnya. Sakit. Sungguh sakit hati Luna menyaksikan secara langsung penyatuan suaminya dengan istri pertamanya. Semula dia datang karena mendapatkan pesan dari nomor sang suami yang menyuruhnya untuk datang ke Metro Grand Hotel miliknya, dan meminta kunci kamarnya pada resepsionis yang berjaga di depan. Tentu saja itu semua ulah dari Serena. Dia sudah mengatur segalanya dengan sangat teliti. Bahkan dia pun memerintahkan pada resepsionis untuk memberikan kunci kamar mereka pada madunya. Si cerdik Serena sudah mengetahui kelemahan Luna yang dikatakan udik olehnya. Terlalu mudah baginya untuk menghada
Membutuhkan waktu yang cukup lama bagi Luna untuk bisa sampai di rumah sakit tempat ibunya dirawat. Wajah sedihnya yang berlinang air mata, memperlihatkan kesedihan hatinya yang mendalam. Semua itu tidak luput dari perhatian orang-orang yang berpapasan dengannya di rumah sakit.Luna mengerti arti tatapan mata mereka. Dia memang polos dan lugu, tapi dia tidak bodoh. Dia bisa menyadari dan mengerti arti tatapan tersebut. 'Pasti mereka membicarakan aku,' batinnya diiringi dengan helaan nafasnya.Tidak ingin menjadi bahan pembicaraan semua orang yang berada di rumah sakit tersebut, Luna bergegas masuk ke dalam salah satu toilet yang ada di lantai dasar. Di dalam salah satu bilik tersebut, dia mencoba menghentikan air mata yang kembali memenuhi pelupuk matanya.Namun, tidak sesuai keinginannya. Saat itu juga tangisnya pecah, sehingga yang bisa dilakukan hanya menutup mulutnya, agar suara tangisnya tidak terdengar oleh orang lain. Beruntungnya tidak ada orang di dalam toilet tersebut. Semu
"Dokter Kenzo?!" celetuk Luna dengan ragu-ragu melihat sosok pria tampan yang berdiri, seraya menatap padanya."Kenapa kamu memiliki kunci ini, Luna?" tanya sang dokter menyelidik, sembari memperlihatkan benda yang ada di tangannya.Luna terkesiap. Seketika dia merasa bingung untuk menjawab pertanyaan suaminya. 'Kenapa aku harus bingung? Kenapa aku tidak jujur saja padanya?' batinnya menggerutu.Luna beranjak dari posisinya, dan berdiri tepat di hadapan sang suami. Dengan mengumpulkan keberaniannya, dia pun mengatakan yang sebenarnya."Bukankah dokter yang menyuruh saya untuk datang ke hotel itu? Dokter mengirimi saya pesan untuk cepat datang ke Metro Grand Hotel. Bahkan dokter sendiri yang memberikan nomer kamar yang harus saya datangi.""Apa?! Saya?! Saya menyuruh kamu datang ke sana?!" tanyanya beruntun dengan ekspresi tidak percaya. Luna menganggukkan kepalanya. Lagi-lagi air matanya terkumpul di pelupuk mata, hingga terlihat jelas matanya berkaca-kaca."Tidak. Tidak mungkin aku
"Kenapa kita ke sini?" tanya Luna sembari menatap sekelilingnya.Kenzo tersenyum sambil memilih beberapa ponsel keluaran terbaru yang ada di hadapannya. "Aku akan membeli HP dengan nomer baru yang akan aku gunakan khusus untuk berkomunikasi denganmu."Luna terkesiap. Dia menengadahkan wajahnya pada wajah sang suami, dan menatapnya dengan intens. "Memangnya kenapa jika kita berkomunikasi dengan menggunakan nomer yang biasanya?""Jangan menggodaku, Sayang," ucap lirih Kenzo sembari menatap bibir sang istri yang telah menjadi candunya. Luna mengernyitkan dahinya, dan mencebik kesal padanya."Aku tidak sedang menggoda anda, dok!"Kenzo terkekeh dan mencubit gemas hidung istri keduanya, hingga membuat Luna menjadi kesal. Baru kali ini seorang Kenzo Matteo bisa tertawa lepas bersama dengan seorang wanita. Dan wanita tersebut adalah Luna Ferdinan, istri keduanya yang dinikahi hanya untuk menjadi ibu pengganti anaknya."Nanti pasti akan aku jelaskan semuanya. Sekarang, pilih saja dua nomor
Hembusan angin yang menerpa rambut panjang Luna, membuat sang suami berpeluang merapikannya. "Sangat indah. Terima kasih telah membawaku ke tempat ini, dok," ucap Luna sembari memandang takjub pada matahari yang terbenam, seolah ditelan oleh kumpulan air yang membentang luas di pantai tersebut. "Apa kau senang, Sayang?" tanya sang dokter seraya sibuk merapikan rambut sang istri.Luna menganggukkan kepalanya sambil tersenyum pada sang suami. Matanya yang berbinar seolah memberitahukan betapa bahagianya dia saat ini. Memang benar adanya. Hati Luna dipenuhi oleh bunga warna-warni yang bermekaran memenuhi taman hatinya. Bahkan banyaknya kupu-kupu yang berterbangan, terasa seolah sedang menggelitiknya, sehingga dia tidak berhenti tersenyum.Suara deburan ombak yang memecah keheningan, seketika mengingatkan Luna akan rasa ingin tahunya. Sontak saja dia menghadap sang suami, dan menatapnya dengan serius."Kenapa dokter tiba-tiba mengajakku ke tempat ini?"Kenzo tersenyum mendengar pertanya
Baru kali ini Luna melihat seorang Dokter Kenzo Matteo yang sedang marah. Keramahannya pada pasien membuat Dokter Kenzo memiliki citra sebagai dokter yang sabar, sopan dan ramah. Kini, istri keduanya menjadi saksi luapan amarah sang calon penguasa kerajaan bisnis keluarga Matteo.Luna hanya diam membisu menatap sang suami sedang fokus pada kemudinya. Dia sangat tahu jika saat ini suaminya masih dikuasai oleh amarahnya. 'Tidak, Luna. Lebih baik kamu diam. Jangan bertanya apa pun padanya,' batin Luna mengingatkan diri sendiri.Kenzo merasakan ada yang memperhatikannya. Dia sedikit melirik ke arah sang istri yang duduk di sebelahnya. Calon sang penguasa menyesali situasi mereka saat ini. 'Seandainya tadi tidak bertemu dengan pria brengsek itu, pasti situasi kami tidak akan seperti ini,' batinnya mengumpat marah.Bagaimana dia tidak marah, pasalnya Kenzo sudah merencanakan untuk memberikan kebahagiaan penuh hari ini pada istri keduanya. Akan tetapi, ada maksud dari semua itu. Dia bermak
Kenzo menatap tajam pada istri pertamanya. Kebahagiaan yang didapatkannya bersama dengan istri keduanya hanya bertahan dalam hitungan menit saja. Bahkan senyuman Kenzo pun musnah seketika. 'Please, Serena. Jangan ganggu aku untuk saat ini. Jika kamu bersikap seperti ini, maka perampas kebahagiaanku yang sebenarnya adalah kamu, istriku sendiri,' batinnya seraya menatap penuh amarah padanya.Luna merasakan aura pertengkaran antara sepasang suami istri tersebut. Dia berusaha melepaskan tangannya yang sedang digandeng oleh sang suami. Akan tetapi, Kenzo tidak mau melepaskannya. Pria beristri dua tersebut semakin erat menggandeng tangan istri keduanya. Hal itu tidak luput dari perhatian istri pertamanya. Serena menatap bengis pada tangan suami dan madunya. 'Brengsek! Berani-beraninya kalian bersikap romantis di hadapanku!' batinnya mengumpat marah.Luna menundukkan kepalanya. Dia tidak mau menjadi sasaran amarah dari istri pertama suaminya. Terlebih lagi tatapan wanita tersebut seolah i
"Maafkan Papa, Carla."Tiba-tiba saja terdengar suara pria yang membuat Carla terhenyak dari lamunannya. Wanita muda itu menoleh ke arah sumber suara yang sangat diyakininya milik Damian, papa tirinya. "Papa," ucapnya lemah sambil memaksakan senyumnya. Damian tersenyum menanggapinya. Pria paruh baya tersebut duduk di samping putri tirinya, dan menatap ke arah yang sama dengannya. "Papa tidak mengira jika kamu sudah mengetahuinya," tukas Damian sembari menatap lurus ke depan."Maafkan Carla, Pa. Bukan maksud Carla untuk menutupi atau berada di pihak Mama. Carla hanya butuh waktu untuk membuktikan kecurigaan Carla selama ini pada Mama," tutur putri tiri Damian dengan penuh penyesalan. Pria paruh baya yang berkarisma itu menoleh ke arah sampingnya, di mana putri tirinya sedang duduk bersamanya. "Kenapa kamu meminta maaf pada Papa? Kamu sama sekali tidak bersalah, Carla. Semua ini terjadi karena Papa. Jadi, jangan menyalahkan atau membenci mamamu."Senyuman Damian yang tulus membuat
Tubuh Kania lemas seketika. Tak pernah sedikit pun dia mengira, jika sang suami mengetahui perselingkuhannya. "Bagaimana bisa itu terjadi?" gumamnya sembari duduk lemas di lantai, dan bersandar pada dinding. "Kenapa, Ma? Apa Mama tidak mengira jika Papa Damian akan mengetahuinya?" tanya Carla dengan sinis. Wanita muda itu menyeringai melihat sang mama lemas tidak berdaya, seolah telah kehilangan semangat hidupnya. Kania menatap kesal pada putri tunggalnya. Bagaimana tidak, Carla yang notabenenya adalah putri kandungnya, malah memihak papa tirinya. "Hilangkan pikiran jelek Mama tentangku. Carla tidak memihak siapa pun, Ma. Carla hanya berada di pihak yang benar. Jika memang Mama sudah tidak mencintai Papa Damian, lebih baik katakan baik-baik padanya, dan mintalah untuk berpisah secara baik-baik pula. Carla ingin hubungan baik kita tetap baik dengan keluarga Matteo," tutur Carla yang mencoba menebak isi hati sang mama ketika melihat tatapan kesalnya. "Sok tahu sekali kamu, Carla! K
Luna terkesiap mendengar pertanyaan dari sang ibu yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya. Dia tidak menyangka jika ibunya mengetahui tentang buah hatinya bersama dengan Kenzo yang masih dalam kandungannya."I-ibu," ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Lidahnya kelu, tidak bisa mengeluarkan kata-kata untuk meneruskan apa yang ingin dikatakannya pada sang ibu.Tangan wanita paruh baya itu bergerak perlahan untuk mengusap air mata putrinya. Dia tersenyum tipis, dan menatap dalam pada kedua mata putri kesayangannya. Sang ibu melihat ada kesedihan yang teramat mendalam pada mata indah tersebut. "Maafkan Ibu, Luna," ucapnya dengan susah payah. "Tidak. Tidak, Bu. Ibu tidak salah," sahut Luna dengan cepat, sembari menggelengkan kepalanya. Tanpa sadar air matanya pun kembali menetes di pipinya. Suasana haru itu berlangsung beberapa saat. Ibu dan anak tersebut saling melepaskan kerinduannya. Luna pun menceritakan semua yang terjadi padanya selama sang ibu berada di rumah sakit. Han
Kenzo dapat melihat kekhawatiran sang istri yang mengarah pada kecemburuan. Pria beristri dua itu tersenyum, dan mendekati sang istri, seraya memperlihatkan layar ponselnya. "Dari rumah sakit, Sayang. Sebentar ya, aku akan menjawab panggilan ini dulu. Siapa tahu panggilan ini sangat penting, dan mungkin saja mereka sedang membutuhkanku," ucapnya dengan lembut, sembari tersenyum pada sang istri. Luna menganggukkan kepalanya. Dia mengijinkan suaminya untuk menjawab panggilan tersebut. Hanya saja, wanita yang sedang hamil itu tidak bisa mengalihkan pandangannya dari sang suami. Bahkan dia memasang baik-baik indera pendengarnya untuk bisa mendengarkan percakapan suaminya dengan si penelpon. "Apa?!" ujarnya terperanjat kaget, sembari beranjak dari duduknya. Sontak saja Luna terhenyak, dan berusaha untuk mencari tahu dengan mendekati suaminya. "Lalu, bagaimana keadaannya sekarang? Apa ada yang tidak beres?" tanyanya dengan cemas pada seseorang di seberang sana. Kenzo bernafas lega. Ad
Setelah berkali-kali tersedak, Serena masih saja mengalami kesialan. Madam Anna mengharuskannya untuk mencuci peralatan makan yang telah dipakainya. "Sialan! Apa mereka kira aku pembantu?!" umpatnya sambil berjalan menuju dapur. Omelannya turut menyertai sepanjang perjalanannya menuju dapur yang terletak di ujung paling belakang rumah tersebut. Karena sibuknya merangkai umpatan, Serena tidak memperhatikan sekelilingnya. Keadaan lorong dan sekitarnya yang sangat sepi pun tidak disadarinya. Wanita angkuh itu berjalan dengan sangat percaya diri dengan membawa piring yang di atasnya terdapat sendok, garpu, dan juga gelas bekas dipakainya. Bahkan ketika masuk ke dalam dapur yang sunyi itu pun Serena masih saja mengomel tanpa henti. Piring beserta pelengkapnya itu diletakkan dengan keras pada sink pencuci piring, hingga mengeluarkan bunyi yang membuatnya kaget."Apa piringnya pecah?" gumamnya sembari melihat keadaan piring tersebut. Seketika dia tersenyum melihat kondisi piring tersebut
Selama perjalanan, Luna memperlihatkan wajah kesalnya. Di dalam mobil pun dia duduk menjauh dari suaminya. Melihat hal itu, Kenzo tidak tahan. Apalagi dijauhi oleh istri kesayangannya, ibu dari anak-anaknya. Kenzo meraih pinggang sang istri, dan menariknya hingga berdempetan dengannya. Luna terkesiap. Dengan reflek dia menoleh ke arah sang suami. Kedua mata mereka pun saling bertemu."Sayang, jangan kesal seperti ini. Aku sangat tersiksa," ucap Kenzo sembari mengiba dengan tatapan matanya.Hati Luna benar-benar tidak tega melihatnya. Rasa cintanya pada sang suami begitu besar, sehingga mengalahkan rasa kesalnya pada pria yang berstatus sebagai suaminya. "Aku mohon," sambungnya dengan penuh harap.Hati Luna bergetar. Egonya mengatakan untuk tetap bersikap kesal, dan mengacuhkan suaminya. Akan tetapi, dia tidak bisa membohongi hatinya. Cinta seorang wanita yang telah mengandung buah hati dari pria tersebut, membuatnya luluh. Tanpa sadar dia pun menganggukkan kepalanya.Seketika senyum
Kenzo menghempaskan tangan istri pertamanya, dan menghampiri istri keduanya. Pria beristri dua tersebut memeluk erat istri keduanya, dan menatap tajam pada istri pertamanya. "Luna akan tetap bersamaku. Di mana pun dia berada, aku akan selalu ada di sampingnya," ucapnya dengan tegas. Serena terperangah melihatnya. Kini, dia bagaikan seorang istri yang terbuang. Parahnya lagi posisinya telah digantikan oleh madunya. Semua orang menatapnya seolah sedang menertawakannya. "Baguslah. Ayo kita pulang sekarang. Badanku sudah sangat lelah," ujar Kania sembari memijit tengkuk lehernya. "Tetap di tempat! Semua sudah diputuskan. Hukuman kalian bertiga harus tetap dilakukan hingga selesai. Jika kalian tidak melakukan hukuman dengan baik, maka akan ditambah satu hari lagi untuk setiap kesalahan," tutur Ron Matteo dengan tegas. "Tapi, Pa--" "Diam!" bentak Ron Matteo menyahuti sang menantu yang ingin memprotesnya. Seketika Kania bersembunyi di belakang tubuh suaminya. Tangannya mence
"Ayo turun!" bentak seorang polisi yang membukakan pintu mobil untuk mereka. Kania, Serena, dan Carla turun bergantian dari dalam mobil. Kaki mereka terasa berat, sehingga enggan melangkah. "Kenapa masih berdiri di sini?!" tanya polisi tersebut dengan tegas.Ketiga wanita itu saling mendekat, merasa takut akan wajah garang polisi yang menggertak mereka. "Cepat jalan!" bentak polisi tersebut dengan mempertegas wajah garangnya. Sontak saja mereka bertiga saling mendorong untuk berjalan terlebih dahulu. Tidak hanya itu saja, bahkan suara mereka layaknya lebah yang mendengung untuk saling memerintah."Sepertinya peluru ini tidak akan meleset, meskipun dari jarak jauh," ujar sang polisi dengan meninggikan suaranya. Seketika badan mereka menegang. Saat itu juga ketiga wanita tersebut berjalan cepat, seolah sedang berlomba menuju bangunan yang berjarak tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Para polisi terkekeh melihat tingkah ketiga wanita yang akan dihukum oleh keluarga Matteo, kelua
Seketika senjata yang dipegang oleh beberapa polisi mengarah pada Luna, wanita yang berdiri di samping Kenzo, suami Serena. Sontak saja Luna beringsut ketakutan. Wanitayang sedang hamil tersebut mencengkeram tangan suaminya, dan berpegangan erat padanya."Turunkan senjata kalian!" perintah Kenzo dengan tegas pada polisi-polisi tersebut. Sebagian polisi masih mengarahkan senjatanya pada ketiga wanita yang telah membuat keributan dalam rumah utama keluarga Matteo, dan sebagian lagi mengarahkan senjatanya pada Luna."Apa kalian tuli?! Turunkan senjata kalian! Wanita ini istriku! Dia sedang mengandung anakku!" bentak Kenzo sambil merangkul tubuh istri kecilnya. Ron Matteo memberikan tanda pada sang putra untuk menyelesaikan kekacauan yang ada. Damian pun mengerti. Pria paruh baya tersebut berjalan dengan penuh wibawa mendekati salah satu polisi yang mengarahkan senjatanya ke arah Luna. "Turunkan senjata kalian. Dia menantuku, dan sedang mengandung keturunan Matteo," perintahnya dengan