Kenzo memutuskan untuk meninggalkan Luna di rumah mereka. Bukan karena dia tidak mau istri keduanya ikut dengan mereka, tapi lebih tepatnya Kenzo tidak mau istri pertamanya marah lagi padanya karena kehadiran Luna di antara mereka.Pria beristri dua tersebut mengendarai mobil dengan perasaan bersalah pada istri keduanya. Bayangan akan kejadian tadi membuatnya semakin ingin menemuinya. Di ruang tengah, Luna memberanikan diri untuk menyela perdebatan antara sang suami dengan istri pertamanya. Dengan ragi-ragu dia mengatakan keinginannya untuk menemui sang ibu yang masih dirawat di rumah sakit. "Luna, sebaiknya kamu di rumah saja. Jangan terlalu mengkhawatirkan ibumu, karena di rumah sakit banyak perawat khusus yang telah ditugaskan untuk menjaga perawat VIP," ucap Kenzo dengan lembut, agar istri keduanya tidak merasa sakit hati atas larangannya.Kenzo merasa tidak tega melihat mata Luna yang berkaca-kaca saat membicarakan ibunya. Dia tahu betul bagaimana perasaan seorang anak yang ing
Seperti biasanya, setelah pergulatan ranjang antara Kenzo dan istri keduanya, mereka berdua tidur dalam keadaan polos di bawah selimut tebal yang menghangatkan tubuh mereka. Tiba-tiba kedua mata Luna terbuka. Dia teringat akan sesuatu.Perlahan-lahan kedua mata Kenzo pun terbuka, ketika dia merasakan pergerakan dari sang istri. Akan tetapi, matanya kembali tertutup saat melihat istri keduanya tersebut sedang mengambil ponselnya yang berada di nakas. Dengan senyum bahagianya Luna membuka kamera di ponselnya, dan mengambil fotonya ketika mencium pipi sang suami. Tanpa diketahui oleh Luna, Kenzo menahan senyumnya, dan seketika memeluk erat istri mudanya dengan sangat gemas. "Kenapa kamu mencuri-curi kesempatan untuk mencium ku, Sayang?" bisik Kenzo si telinga sang istri."Karena aku ingin memasang foto kita berdua sebagai foto profilku," jawab lirih Luna dengan ekspresi sedih.Kenzo menatap intens manik mata istri keduanya. Hatinya merasa iba melihat wajah sedih sang istri."Kenapa ber
"Apa kita harus melakukannya di tempat ini, Sayang?" tanya Kenzo sembari melepas sabuk pengamannya."Bukankah ini seperti mengulang masa kita pacaran?" tanya Serena dengan sangat antusias.Seketika Kenzo terkesiap. Dia menatap sang istri dengan penuh tanda tanya. 'Jadi perkiraanku benar. Sebelum kita menikah, kamu telah berhubungan dengan laki-laki lain. Sialnya, bukan aku yang mendapatkan kegadisanmu, Serena. Aku hanya mendapatkan gelar sebagai suamimu, dan mahkotamu telah kamu berikan pada laki-laki lain. Brengsek!'"Ada apa, Sayang? Apa ada yang salah dengan ucapanku?" tanya Serena menyelidik."Tidak. Hanya saja sepertinya aku lupa saat-saat kita berada di hotel ini," jawab Kenzo sembari memaksakan senyumnya.Seketika senyum Serena pun pudar. Dia menatap tajam pada sang suami, seolah sedang melampiaskan kemarahannya."Kenapa kamu melupakan saat-saat penting seperti ini? Bukankah kamu memintaku untuk membuktikan rasa cintaku padamu?" "Aku? Memintamu seperti itu?" tanya Kenzo sem
Serena menyeringai melihat reaksi madunya saat melihat pergulatan panasnya bersama sang suami. Bahkan dia memperlihatkan betapa aktifnya dalam permainan ranjang mereka. Sepasang suami istri tersebut berhasil membuat Luna merasakan sakit dalam hatinya. Matanya berkaca-kaca menahan air mata yang terkumpul di pelupuk mata. Tangannya menutup bibir, agar tidak keluar sedikit pun suara dari mulutnya. Sakit. Sungguh sakit hati Luna menyaksikan secara langsung penyatuan suaminya dengan istri pertamanya. Semula dia datang karena mendapatkan pesan dari nomor sang suami yang menyuruhnya untuk datang ke Metro Grand Hotel miliknya, dan meminta kunci kamarnya pada resepsionis yang berjaga di depan. Tentu saja itu semua ulah dari Serena. Dia sudah mengatur segalanya dengan sangat teliti. Bahkan dia pun memerintahkan pada resepsionis untuk memberikan kunci kamar mereka pada madunya. Si cerdik Serena sudah mengetahui kelemahan Luna yang dikatakan udik olehnya. Terlalu mudah baginya untuk menghada
Membutuhkan waktu yang cukup lama bagi Luna untuk bisa sampai di rumah sakit tempat ibunya dirawat. Wajah sedihnya yang berlinang air mata, memperlihatkan kesedihan hatinya yang mendalam. Semua itu tidak luput dari perhatian orang-orang yang berpapasan dengannya di rumah sakit.Luna mengerti arti tatapan mata mereka. Dia memang polos dan lugu, tapi dia tidak bodoh. Dia bisa menyadari dan mengerti arti tatapan tersebut. 'Pasti mereka membicarakan aku,' batinnya diiringi dengan helaan nafasnya.Tidak ingin menjadi bahan pembicaraan semua orang yang berada di rumah sakit tersebut, Luna bergegas masuk ke dalam salah satu toilet yang ada di lantai dasar. Di dalam salah satu bilik tersebut, dia mencoba menghentikan air mata yang kembali memenuhi pelupuk matanya.Namun, tidak sesuai keinginannya. Saat itu juga tangisnya pecah, sehingga yang bisa dilakukan hanya menutup mulutnya, agar suara tangisnya tidak terdengar oleh orang lain. Beruntungnya tidak ada orang di dalam toilet tersebut. Semu
"Dokter Kenzo?!" celetuk Luna dengan ragu-ragu melihat sosok pria tampan yang berdiri, seraya menatap padanya."Kenapa kamu memiliki kunci ini, Luna?" tanya sang dokter menyelidik, sembari memperlihatkan benda yang ada di tangannya.Luna terkesiap. Seketika dia merasa bingung untuk menjawab pertanyaan suaminya. 'Kenapa aku harus bingung? Kenapa aku tidak jujur saja padanya?' batinnya menggerutu.Luna beranjak dari posisinya, dan berdiri tepat di hadapan sang suami. Dengan mengumpulkan keberaniannya, dia pun mengatakan yang sebenarnya."Bukankah dokter yang menyuruh saya untuk datang ke hotel itu? Dokter mengirimi saya pesan untuk cepat datang ke Metro Grand Hotel. Bahkan dokter sendiri yang memberikan nomer kamar yang harus saya datangi.""Apa?! Saya?! Saya menyuruh kamu datang ke sana?!" tanyanya beruntun dengan ekspresi tidak percaya. Luna menganggukkan kepalanya. Lagi-lagi air matanya terkumpul di pelupuk mata, hingga terlihat jelas matanya berkaca-kaca."Tidak. Tidak mungkin aku
"Kenapa kita ke sini?" tanya Luna sembari menatap sekelilingnya.Kenzo tersenyum sambil memilih beberapa ponsel keluaran terbaru yang ada di hadapannya. "Aku akan membeli HP dengan nomer baru yang akan aku gunakan khusus untuk berkomunikasi denganmu."Luna terkesiap. Dia menengadahkan wajahnya pada wajah sang suami, dan menatapnya dengan intens. "Memangnya kenapa jika kita berkomunikasi dengan menggunakan nomer yang biasanya?""Jangan menggodaku, Sayang," ucap lirih Kenzo sembari menatap bibir sang istri yang telah menjadi candunya. Luna mengernyitkan dahinya, dan mencebik kesal padanya."Aku tidak sedang menggoda anda, dok!"Kenzo terkekeh dan mencubit gemas hidung istri keduanya, hingga membuat Luna menjadi kesal. Baru kali ini seorang Kenzo Matteo bisa tertawa lepas bersama dengan seorang wanita. Dan wanita tersebut adalah Luna Ferdinan, istri keduanya yang dinikahi hanya untuk menjadi ibu pengganti anaknya."Nanti pasti akan aku jelaskan semuanya. Sekarang, pilih saja dua nomor
Hembusan angin yang menerpa rambut panjang Luna, membuat sang suami berpeluang merapikannya. "Sangat indah. Terima kasih telah membawaku ke tempat ini, dok," ucap Luna sembari memandang takjub pada matahari yang terbenam, seolah ditelan oleh kumpulan air yang membentang luas di pantai tersebut. "Apa kau senang, Sayang?" tanya sang dokter seraya sibuk merapikan rambut sang istri.Luna menganggukkan kepalanya sambil tersenyum pada sang suami. Matanya yang berbinar seolah memberitahukan betapa bahagianya dia saat ini. Memang benar adanya. Hati Luna dipenuhi oleh bunga warna-warni yang bermekaran memenuhi taman hatinya. Bahkan banyaknya kupu-kupu yang berterbangan, terasa seolah sedang menggelitiknya, sehingga dia tidak berhenti tersenyum.Suara deburan ombak yang memecah keheningan, seketika mengingatkan Luna akan rasa ingin tahunya. Sontak saja dia menghadap sang suami, dan menatapnya dengan serius."Kenapa dokter tiba-tiba mengajakku ke tempat ini?"Kenzo tersenyum mendengar pertanya
"Aku bertaruh untuk Nyonya Serena. Kalian mau bertaruh untuk siapa?" tanya lirih seorang pelayan wanita, sembari menengadahkan tangannya di hadapan kerumunan para pelayan yang sedang bersembunyi di balik tembok ruang makan untuk menguping. "Kamu mengajak kita taruhan?" tanya pelayan kepercayaan Serena dengan setengah berbisik. Pelayan wanita tersebut menganggukkan kepalanya. Kemudian, dia menunjuk tangannya yang masih dalam posisi menengadah dengan menggunakan dagunya. Tanpa berpikir panjang, pelayan yang merupakan kepercayaan sang nyonya merogoh sakunya dan meletakkan dua lembar uang kertas pada telapak tangan tersebut, sembari menyebutkan pilihannya. "Tentu saja aku bertaruh untuk Nyonya Serena," ucapnya dengan penuh keyakinan. Satu per satu dari mereka pun memilih Serena untuk dijagokan. Sang nyonya memang tidak pernah membiarkan dirinya kalah dari siapa pun. Terlebih lagi dari Luna, istri kedua suaminya yang kini tinggal bersama mereka. "Ada apa ini?!" Tiba-tiba saja terde
"Berhenti!" seru Luna sembari berdiri dari duduknya. Sontak saja semua pasang mata yang ada di ruang makan tersebut mengarah padanya. "Kamu tidak berhak mengatakan itu pada Carla. Dia hanya menyampaikan pesan dari Dokter Ludwig padaku," ujarnya dengan ekspresi datar. Seketika Kenzo sadar bahwa emosinya telah tersulut oleh api kecemburuannya pada Dokter Ludwig. Dengan gerakan cepat, dia meraih kedua tangan istri keduanya, berharap sang istri tidak marah padanya. "Sayang, maaf. Maafkan aku," ucapnya dengan tatapan mengiba pada istrinya yang sedang hamil.Luna menghempaskan tangan suaminya. Wajah dinginnya membuat sang suami mengetahui betapa marah dan kecewanya saat ini. "Aku akan pergi menemui Dokter Ludwig bersama dengan Carla," tuturnya tanpa meminta ijin pada sang suami, seperti sedia kala. Kenzo kembali meraih tangan sang istri, berusaha untuk bisa meyakinkannya. "Aku tidak akan melarang mu, tapi aku akan ikut denganmu," pintanya dengan penuh harap. Carla memang sakit hati
Makan malam kali ini berbeda dengan malam sebelum-sebelumnya. Serena berada dalam satu meja makan dengan madunya. Suasana di ruangan tersebut begitu damai. Bahkan sang nyonya bersikap ramah dan selalu tersenyum pada istri kedua suaminya.Hidangan makanan dan minuman yang tersaji di meja pun sangat beraneka ragam. Semuanya merupakan menu andalan dari keluarga tersebut. Bisa dikatakan jika semua menu makanan kali ini merupakan kesukaan Kenzo. "Apa mataku tidak salah melihat?" celetuk Carla sambil menatap takjub pada semua makanan yang ada di meja makan. "Sebaiknya sekarang juga kamu ke rumah sakit untuk memeriksakan matamu. Jangan mengganggu makan malam kami," ujar Serena dengan ketus.Sayangnya Carla tidak terpengaruh dengan ucapan Serena. Dia bersikap layaknya seorang bocah yang ketika dilarang melakukan sesuatu, maka larangan tersebut malah dikerjakannya."Terima kasih," ucap Carla sambil tersenyum setelah duduk di kursi yang berhadapan dengan sang nyonya.Sontak saja Serena menat
Seketika Serena menoleh ke arah sumber suara. Dia menatap tidak suka pada si pemilik suara yang sedang berdiri di belakangnya. "Ada perlu apa kamu datang ke sini?" tanyanya dengan sewot pada sosok wanita yang baru saja menyapanya. "Kenapa kamu peduli dengan kehadiranku di rumah ini?" tanya balik sang wanita pada sang nyonya rumah tersebut. Serena membalikkan badannya. Dia menatap wanita tersebut seolah sedang menantangnya. "Aku adalah nyonya di rumah ini. Semua yang terjadi di rumah ini harus atas sepengetahuanku," ujarnya sembari menyeringai dan menaikkan dagunya.Sang tamu wanita tersenyum, seolah sedang meremehkannya. Dia menatap nyonya rumah tersebut dengan penuh percaya diri. "Begitu pula dengan tamu. Aku berhak menerima atau mengusir tamu yang tidak aku inginkan," tutur sang nyonya sembari memberikan tatapan layaknya penjahat yang sedang mengancam korbannya. Sang tamu wanita tidak gentar sedikit pun. Kakinya melangkah maju, sehingga berada tepat di hadapan wanita angkuh te
Wajah kesal Kenzo bertahan seharian. Pasalnya, dia tidak terima jika Dokter Ludwig mempunyai nomor Luna, istri keduanya yang kini telah mengandung anaknya. Pikirannya tidak tenang berpisah dengan sang istri, meskipun hanya beberapa jam saja. Sang dokter tidak fokus dengan pekerjaannya. Bahkan makanan yang ada di hadapannya pun hanya dilihat dan diaduk-aduk saja, seolah enggan untuk memakannya. Damian yang sedang makan di depan sang putra pun menyadari kerisauan hati putranya. Seketika dia teringat akan perkataan papanya. Pria paruh baya itu tersenyum tipis menyadari persamaan di antara mereka berdua."Apa rencanamu selanjutnya, Ken?" tanya Damian ketika sedang makan siang bersama sang putra.Kenzo mengalihkan pandangannya pada sang papa yang sedang menunggu jawaban darinya. Dia menatap malas pada pria paruh baya tersebut, seolah tidak ada tenaga untuk berbicara. "Apa malammu tidak menyenangkan?" tanya sang papa kembali. Kenzo menghela nafas mengingat malam yang sangat menguras hati
Saat itu juga Kenzo dan Serena menoleh ke sumber suara. Serena tersenyum puas melihat sosok wanita yang sedang berdiri dan terlihat syok dengan mata yang berkaca-kaca. Berbeda dengan Kenzo, sontak saja matanya terbelalak, terkejut dengan kehadiran wanita tersebut."Luna?!" celetuk Kenzo tanpa sadar, seraya menatapnya tidak percaya. Seketika Luna merasa tubuhnya lemah, tidak bertenaga, sehingga dia tidak bisa menggerakkan kakinya untuk pergi dari tempat itu. Bahkan untuk memaki suaminya saja tidak sanggup. Matanya berkaca-kaca menahan sekuat tenaga air matanya yang terkumpul di pelupuk mata. Bibirnya bergetar, menahan suara tangisnya yang ingin keluar dengan sendirinya. Hati Kenzo benar-benar merasa sakit saat melihat wajah sedih belahan jiwanya. Tanpa sadar kakinya pun melangkah dengan sendirinya. Seketika kaki Luna reflek bergerak dengan sendirinya. Kekuatannya terkumpul karena rasa kecewanya yang begitu dalam pada sang suami."Sayang! Tunggu aku!" seru Kenzo sambil berjalan cepat
Pagi harinya Kenzo kembali dipusingkan dengan keinginan dari kedua istrinya. Setelah pengakuan cinta Kenzo di hadapan istri pertamanya dan sang kakek, Luna seperti mendapatkan kekuatan untuk melawan kelicikan Serena. Akibatnya, kini sang suami yang kerepotan memenuhi keinginan mereka berdua. "Kenapa aku yang harus mengalah dengan wanita udik itu?! Dia yang hadir dalam rumah tangga kita. Dia yang merebut perhatianmu dariku! Seharusnya kamu lebih mengutamakan aku, dibandingkan dengan dia, Ken!" protes Serena meluapkan kekesalannya pada sang suami."Tapi dia sedang hamil anakku, Sayang," ucap Kenzo dengan tatapan mengiba pada istri pertamanya. Saat ini Kenzo hanya ingin ketenangan dalam rumah tangganya. Dia tidak ingin terjadi perdebatan lagi di dalam rumahnya. Karena itulah pria beristri dua tersebut mencoba mengambil hati istri pertamanya, agar tidak lagi membuat masalah dan mau menerima nasehatnya. "Ingat status dia, Ken! Dia hanyalah wanita yang kita sewa untuk menjadi ibu penggan
"Tadi aku sempat jalan-jalan di luar sebelum kalian ada di sini," sahut Kania sambil tersenyum palsu. Ron Matteo mengernyitkan dahinya. Dia menatap tidak percaya pada cucu menantu pertamanya.'Ternyata dia bisa berbohong juga,' batinnya sembari menahan seringainya. Kania terlihat gugup dan salah tingkah. Dia menyadari pandangan kakek mertuanya yang berbeda dari biasanya. 'Apa Kakek mengetahui kebohonganku?' tanyanya dalam hati. Damian menatap istrinya seolah sedang mencari sesuatu darinya. Entah apa yang akan akan ditemukan oleh pria paruh baya itu nantinya, kejujuran atau mungkin kebohongan. Tentu saja dia berharap pikiran buruk tentang istrinya salah.Kania merasakan tatapan suaminya yang membuat dirinya tidak nyaman. 'Sepertinya dia tidak mempercayaiku. Apa dia tadi melihatku di hotel?' batinnya sambil memikirkan cara untuk bisa meyakinkan suaminya. "Sayang, apa kita bisa pulang sekarang? Kepalaku masih sedikit berat. Mungkin aku harus beristirahat lebih lama lagi," pinta
Damian reflek menengadahkan kedua tangannya untuk menahan tubuh Anna yang akan jatuh ke arahnya. 'Mission complete!' batin Anna sambil tersenyum tipis ketika merasakan kedua tangan sang dokter yang berada di punggungnya. 'Sial! Kenapa dia malah pingsan?' umpat Damian dalam hati sembari melihat sekitarnya. Sontak saja tiga orang pria berpenampilan serba hitam berlari menghampirinya. Mereka sangat peka melihat situasi yang sedang dialami bosnya. "Serahkan saja pada kami, Tuan," ucap salah satu dari ketiga pria tersebut. Damian pun menyerahkan tubuh wanita paruh baya yang berpakaian seksi tersebut padanya. Dua orang dari mereka membopongnya dan meletakkan tubuh wanita itu di salah satu sofa yang ada di sekitar mereka. "Maaf, Tuan. Nyonya Kania sudah keluar dari hotel ini," bisik pria yang berpakaian serba hitam pada sang dokter. Seketika Damian membelalakkan matanya. Pandangan matanya beralih pada pintu hotel tersebut. "Apa kamu serius? Kapan dia keluar?" tanyanya dengan tidak sa