Ranjang di kamar tersebut berantakan. Kain berwarna putih yang menutupi ranjang tersebut menjadi kusut, sehingga membuat Serena berpikiran buruk pada si pemilik kamar dan suaminya. Kemudian dia melihat piring dan gelas bekas yang sudah kosong."Apa-apaan ini?!" ujarnya sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang. "Apa yang sudah mereka lakukan?!" sambungnya dengan menatap marah pada ranjang yang ada di hadapannya.Matanya kembali menyusuri kamar berukuran kecil yang sangat anti untuk dimasukinya. Dia kembali kesal, karena tidak menemukan apa yang dicarinya. Dengan kemarahan yang telah merajai hatinya, Serena keluar dari kamar tersebut untuk mencari suaminya.Pikirannya kalut, bayangan antara madunya bersama dengan sang suami yang sedang bersenang-senang dalam kamar tersebut, senantiasa mengganggunya. Terlebih lagi si pemilik kamar dan juga suaminya tidak ada dalam kamar yang didatanginya."Ke mana mereka sebenarnya?""Apa mereka berdua sedang bersama?"Pertanyaan-pertanyaan itu han
"Sayang, bangun. Sudah pagi," bisik Luna di telinga sang suami. Kenzo hanya diam, tanpa bergerak atau pun merespon dengan kata-kata. Kedua matanya masih terpejam, layaknya orang yang masih sibuk di alam mimpinya. "Apa dia masih tidur?" gumamnya sambil menatap kagum pada wajah tampan pria yang ada di hadapannya. Tanpa sadar tangannya menyentuh wajah suaminya. Wajah tampan yang bak pahatan sempurna itu, membuat Luna tidak bisa menahan keinginannnya. Jari tangannya bergerak menyusuri lekuk wajah sang suami, layaknya sedang menggambar pada sebuah kanvas. Kenzo sebisa mungkin menahan gerakan jemari lentik sang istri yang bergerak halus dari alis, hidung, dan berakhir di bibir. Lagi-lagi dia tidak bisa menahan keinginannya. Bibir pink alami milik sang suami membuatnya terpesona, sehingga ingin merasakan kembali sentuhan kenyal dari bibir tersebut. Perlahan wajah Luna bergerak mendekati wajah suaminya, seolah se
Serena terdiam melihat isi dalam salah satu kamar tamu yang dimasukinya. Dia sama sekali tidak menyangka jika bisa menemukan semua itu di kamar tersebut. Perlahan kakinya melangkah menghampiri ranjang yang ada di sana."Apa semua ini nyata?" gumamnya sembari melihat apa yang ada di hadapannya.Perlahan tangannya bergerak menyentuh barang-barang yang ada di atas ranjang. Matanya berkaca-kaca ketika memegang beberapa baju bayi dan perlengkapan bayi yang tertata rapi di sana. "Ternyata Kenzo meletakkan semuanya di sini. Aku pikir dia sudah membuang semua barang-barang ini," gumam Serena seraya tersenyum bahagia, seolah sedang menemukan sesuatu yang berharga. Setelah itu pandangannya beralih pada ranjang bayi yang berada di dekat ranjang tersebut. Dia beranjak dari duduknya, dan menghampirinya. Matanya berbinar melihat mainan yang tergantung di atas ranjang bayi itu.Tanpa sadar tangannya menyentuh mainan tersebut, sehingga bergerak dan mengeluarkan suara musik. Sama seperti dahulu, Ser
Kenzo masih terngiang pertanyaan yang diberikan oleh sang nenek padanya. Dia sendiri tidak tahu sampai kapan bisa menyembunyikan istri keduanya di dalam kamar tamu yang dikhususkan untuk kakeknya ketika berkunjung ke rumahnya. "Sayang, kenapa diam? Apa ada masalah?" tanya Serena ketika melihat sang suami sedang duduk melamun di kursi kerja dalam ruangannya.Seketika Kenzo tersadar. Dia tersenyum pada sang istri, berusaha untuk mengalihkan perhatiannya. "Tidak. Aku hanya tidak sabar menunggu hasil pemeriksaan kehamilanmu tadi," jawabnya sambil berdiri dari duduknya. Sang dokter berjalan menghampiri istrinya yang sedang duduk di sofa. Dia duduk di sebelah istri pertamanya yang baru saja melakukan beberapa tes kehamilan di rumah sakit tersebut.Serena bergeser sehingga duduknya merapat dengan suaminya. Kemudian, dia bersandar pada tubuh sang suami, dan meletakkan kepalanya pada pundak suaminya."Aku juga tidak sabar menggendong bayi kita," ucapnya sambil tersenyum.Kenzo tersenyum get
Kenzo sudah membuat keputusan. Setelah meminum obat dari Dokter Lu dwig untuk mengatasi mualnya, kini sang dokter kembali ke ruangannya. Dengan gerakan cepat, dia membuka semua jendela kaca, dan menyemprot ruangan tersebut menggunakan pengharum ruangan yang mempunyai wangi lembut layaknya Luna, istri keduanya. Serena menatap heran pada suaminya. Baru kali ini dia melihat sang suami seperti itu. Bahkan dia sangat penasaran dengan apa yang sedang dirasakan oleh suaminya. "Sayang, sebenarnya apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu bersikap seperti ini?" tanyanya sambil berjalan menghampiri sang suami."Sepertinya aku sedang mengalami mual di pagi hari, seperti yang biasa dialami oleh ibu hamil," jawab Kenzo sambil berjalan menuju meja kerjanya.Serena mengernyitkan dahinya. Dia memperhatikan sang suami dari ujung kaki hingga ujung kepalanya, seolah sedang mencari sesuatu."Tapi, kamu seorang pria, Sayang. Bagaimana mungkin kamu bisa mengalaminya?" "Buktinya aku sedang mengalaminya. Buka
Seperti biasa, Serena tidak pernah mau kalah atau pun mengalah dari siapa pun. Dia tetap saja pada keyakinannya bahwa dirinya positif hamil. Bahkan suaminya sendiri sebagai seorang dokter yang dikenal hebat, telah menjelaskan padanya. Akan tetapi, semuanya percuma. Serena tetap berkeyakinan bahwa dirinya sedang hamil saat ini.Suasana ruangan Dokter Kenzo menjadi hening sejak Dokter Ludwig berpamitan keluar dari tempat itu. Kenzo sengaja memberikan waktu untuk sang istri menenangkan dirinya, setelah beberapa kali tidak bisa dibujuk olehnya. Istri pertamanya semakin marah padanya."Harusnya kamu membelaku! Bukan membela dokter abal-abal dan orang-orang bodoh di laboratorium rumah sakit ini!" bentak Serena dengan kekesalannya yang menjadi-jadi."Suami macam apa yang diam saja melihat istrinya dipermalukan?!" sambungnya dengan menatap sinis pada suaminya."Jangan-jangan kamu tidak suka dengan kehamilanku ini," imbuhnya dengan ketus menyudutkan sang suami yang masih ditatap sinis olehnya.
Teriakan Serena yang sangat keras membuat semua pelayan yang mendengarnya berlari menghampirinya. Mereka terkejut melihat sang nyonya terbaring di lantai kamar mandi sambil meringis kesakitan. Tidak jauh dari telapak kakinya, terdapat sebuah sabun yang tergeletak bersama dengan sandal sang nyonya."Nyonya!" seru beberapa pelayan yang baru tiba di kamar mandi tersebut."Cepat tolong aku!" perintah Serena dengan tegas, sembari mengulurkan tangannya.Seketika mereka semua memindahkan tubuh sang nyonya keluar dari dalam kamar mandi tersebut hingga ke dalam kamar utama. "Sabun siapa yang telah membuatku terpleset?!" tanya sang nyonya dengan meninggikan suaranya, dan menatap tajam satu per satu para pelayan yang telah membantu memindahkan tubuhnya. Semua pelayan yang ada di sana hanya menunduk, tidak berani menjawab. Terlebih lagi sang nyonya sedang dalam suasana hati yang membuat mereka ketakutan."Jawab!" bentak Serena hingga membuat mereka semua terhenyak, dan reflek memegang dada masi
"Aku bosan," gumam Luna setelah bangun dari posisi tidurnya.Ranjang super empuk dengan desain mewah di dalam kamar super mewah yang berfasilitas sangat lengkap, membuat Luna merasa sangat istimewa. Sayangnya, dia merasa sangat bosan dalam kamar tersebut. Pasalnya, dia hanya layaknya orang bermalas-malasan dalam kamar mewah itu. Kegiatan Luna sebagai istri kedua dari Kenzo Matteo hanya tidur, makan, bermain ponsel, dan menonton televisi. Semua hal dilayani oleh kepala pelayan yang dipercaya oleh Kenzo untuk menjaga istri keduanya. "Apa dia akan marah, jika mengetahui aku keluar dari kamar ini?" tanyanya pada diri sendiri, ketika mengingat amanat sang suami yang menyuruhnya untuk tetap berada di dalam kamar tersebut. Dia pun menghubungi suaminya untuk meminta ijin keluar dari kamarnya. Akan tetapi, panggilan telponnya itu tidak dijawab oleh sang suami, sehingga Luna mengulangi panggilan telpon tersebut."Sudah sepuluh kali, tapi tidak ada jawaban darinya. Apa dia sekarang sedang sib
Serena tersenyum puas berada di antara sang suami dan madunya. Statusnya sebagai istri pertama dari Kenzo Matteo, memberikan keuntungan tersendiri baginya. Tanpa bertanya pada suaminya, wanita angkuh tersebut duduk di kursi depan yang berada di samping sopir. Kenzo hanya bisa menghela nafas, tanpa bisa melarangnya. Bukan karena dia tunduk dan takut pada sang istri, lebih tepatnya karena dia enggan memperburuk situasi saat ini. Sekilas pria beristri dua tersebut melirik ke arah kaca spion yang berada di tengah untuk melihat wanita kesayangannya. Luna pun menyadari hal itu. Dari tempat duduknya yang berada di belakang suaminya, dia hanya bisa tersenyum tipis melihat ke arah kaca spion tersebut. Entah mengapa hatinya merasa gusar saat ini. Keberaniannya yang tiba-tiba datang pada saat menghadapi istri pertama suaminya, kini seketika terkubur oleh kegundahan hatinya. Carla yang duduk di sampingnya dapat dengan mudah merasakannya. Tanpa berpikir panjang, dia pun memegang tangan Luna dan
Di taman belakang yang sangat tenang, berdirilah beberapa pelayan wanita dengan berjejer rapi di tepi kolam renang. Semua kepala menunduk, tidak berani melihat sosok orang yang berdiri di hadapan mereka. "Siapa yang hendak menjelaskan semuanya?" tanya orang tersebut dengan tegas dan menatap satu per satu dari semua pelayan yang berdiri di hadapannya. Seketika semuanya menegang. Jantung mereka berdetak cepat, seolah sedang berpacu, saling berlomba antar satu sama lainnya. Suara gemericik air yang berasal dari kolam ikan di sudut taman tersebut, menjadi alunan penenang ketegangan hati mereka. "Kami ...," ucap ragu salah satu pelayan dengan gugup, sehingga tidak dapat menyelesaikan perkataannya."Jawab!' bentak orang yang berdiri di hadapan para pelayan dengan memperlihatkan ekspresi kemarahannya. Sontak saja mereka semua bergandengan tangan dengan sangat erat, seolah tidak mau terpisahkan dan siap untuk dihukum bersama-sama. "Apa perlu saya pecat kalian semua agar mau bersuara?!"
Luna menganggukkan kepala, ketika kedua matanya bertatapan dengan mata suaminya. Sepasang suami istri tersebut saling mengutarakan perasaan cinta yang mendalam dan kerinduan masing-masing melalui tatapan mata mereka. Bibir Kenzo pun melengkung ke atas, mengulas senyuman manisnya pada sang istri. "Terima kasih," ucapnya tanpa bersuara.Kemudian, pria beristri dua itu mengubah ekspresi wajahnya yang penuh cinta, seketika menjadi serius dan menghadap ke semua orang."Luna akan pergi menemui Dokter Ludwig bersama dengan Carla dan Nenek. Aku sendiri yang akan mengantar jemput mereka. Ini sudah menjadi keputusanku. Tidak ada yang bisa merubahnya," tuturnya dengan tegas, sembari menatap semua pasang mata di hadapannya secara bergantian.Serena menatap kesal pada suaminya. Pasalnya, keputusan sang suami sangat berbeda jauh dari harapannya. Bahkan semua yang dilakukan oleh suaminya sangatlah jauh dari keinginannya. Carla mendekati Luna yang berdiri tidak jauh darinya. Dia pun segera mencari
"Aku bertaruh untuk Nyonya Serena. Kalian mau bertaruh untuk siapa?" tanya lirih seorang pelayan wanita, sembari menengadahkan tangannya di hadapan kerumunan para pelayan yang sedang bersembunyi di balik tembok ruang makan untuk menguping. "Kamu mengajak kita taruhan?" tanya pelayan kepercayaan Serena dengan setengah berbisik. Pelayan wanita tersebut menganggukkan kepalanya. Kemudian, dia menunjuk tangannya yang masih dalam posisi menengadah dengan menggunakan dagunya. Tanpa berpikir panjang, pelayan yang merupakan kepercayaan sang nyonya merogoh sakunya dan meletakkan dua lembar uang kertas pada telapak tangan tersebut, sembari menyebutkan pilihannya. "Tentu saja aku bertaruh untuk Nyonya Serena," ucapnya dengan penuh keyakinan. Satu per satu dari mereka pun memilih Serena untuk dijagokan. Sang nyonya memang tidak pernah membiarkan dirinya kalah dari siapa pun. Terlebih lagi dari Luna, istri kedua suaminya yang kini tinggal bersama mereka. "Ada apa ini?!" Tiba-tiba saja terde
"Berhenti!" seru Luna sembari berdiri dari duduknya. Sontak saja semua pasang mata yang ada di ruang makan tersebut mengarah padanya. "Kamu tidak berhak mengatakan itu pada Carla. Dia hanya menyampaikan pesan dari Dokter Ludwig padaku," ujarnya dengan ekspresi datar. Seketika Kenzo sadar bahwa emosinya telah tersulut oleh api kecemburuannya pada Dokter Ludwig. Dengan gerakan cepat, dia meraih kedua tangan istri keduanya, berharap sang istri tidak marah padanya. "Sayang, maaf. Maafkan aku," ucapnya dengan tatapan mengiba pada istrinya yang sedang hamil.Luna menghempaskan tangan suaminya. Wajah dinginnya membuat sang suami mengetahui betapa marah dan kecewanya saat ini. "Aku akan pergi menemui Dokter Ludwig bersama dengan Carla," tuturnya tanpa meminta ijin pada sang suami, seperti sedia kala. Kenzo kembali meraih tangan sang istri, berusaha untuk bisa meyakinkannya. "Aku tidak akan melarang mu, tapi aku akan ikut denganmu," pintanya dengan penuh harap. Carla memang sakit hati
Makan malam kali ini berbeda dengan malam sebelum-sebelumnya. Serena berada dalam satu meja makan dengan madunya. Suasana di ruangan tersebut begitu damai. Bahkan sang nyonya bersikap ramah dan selalu tersenyum pada istri kedua suaminya.Hidangan makanan dan minuman yang tersaji di meja pun sangat beraneka ragam. Semuanya merupakan menu andalan dari keluarga tersebut. Bisa dikatakan jika semua menu makanan kali ini merupakan kesukaan Kenzo. "Apa mataku tidak salah melihat?" celetuk Carla sambil menatap takjub pada semua makanan yang ada di meja makan. "Sebaiknya sekarang juga kamu ke rumah sakit untuk memeriksakan matamu. Jangan mengganggu makan malam kami," ujar Serena dengan ketus.Sayangnya Carla tidak terpengaruh dengan ucapan Serena. Dia bersikap layaknya seorang bocah yang ketika dilarang melakukan sesuatu, maka larangan tersebut malah dikerjakannya."Terima kasih," ucap Carla sambil tersenyum setelah duduk di kursi yang berhadapan dengan sang nyonya.Sontak saja Serena menat
Seketika Serena menoleh ke arah sumber suara. Dia menatap tidak suka pada si pemilik suara yang sedang berdiri di belakangnya. "Ada perlu apa kamu datang ke sini?" tanyanya dengan sewot pada sosok wanita yang baru saja menyapanya. "Kenapa kamu peduli dengan kehadiranku di rumah ini?" tanya balik sang wanita pada sang nyonya rumah tersebut. Serena membalikkan badannya. Dia menatap wanita tersebut seolah sedang menantangnya. "Aku adalah nyonya di rumah ini. Semua yang terjadi di rumah ini harus atas sepengetahuanku," ujarnya sembari menyeringai dan menaikkan dagunya.Sang tamu wanita tersenyum, seolah sedang meremehkannya. Dia menatap nyonya rumah tersebut dengan penuh percaya diri. "Begitu pula dengan tamu. Aku berhak menerima atau mengusir tamu yang tidak aku inginkan," tutur sang nyonya sembari memberikan tatapan layaknya penjahat yang sedang mengancam korbannya. Sang tamu wanita tidak gentar sedikit pun. Kakinya melangkah maju, sehingga berada tepat di hadapan wanita angkuh te
Wajah kesal Kenzo bertahan seharian. Pasalnya, dia tidak terima jika Dokter Ludwig mempunyai nomor Luna, istri keduanya yang kini telah mengandung anaknya. Pikirannya tidak tenang berpisah dengan sang istri, meskipun hanya beberapa jam saja. Sang dokter tidak fokus dengan pekerjaannya. Bahkan makanan yang ada di hadapannya pun hanya dilihat dan diaduk-aduk saja, seolah enggan untuk memakannya. Damian yang sedang makan di depan sang putra pun menyadari kerisauan hati putranya. Seketika dia teringat akan perkataan papanya. Pria paruh baya itu tersenyum tipis menyadari persamaan di antara mereka berdua."Apa rencanamu selanjutnya, Ken?" tanya Damian ketika sedang makan siang bersama sang putra.Kenzo mengalihkan pandangannya pada sang papa yang sedang menunggu jawaban darinya. Dia menatap malas pada pria paruh baya tersebut, seolah tidak ada tenaga untuk berbicara. "Apa malammu tidak menyenangkan?" tanya sang papa kembali. Kenzo menghela nafas mengingat malam yang sangat menguras hati
Saat itu juga Kenzo dan Serena menoleh ke sumber suara. Serena tersenyum puas melihat sosok wanita yang sedang berdiri dan terlihat syok dengan mata yang berkaca-kaca. Berbeda dengan Kenzo, sontak saja matanya terbelalak, terkejut dengan kehadiran wanita tersebut."Luna?!" celetuk Kenzo tanpa sadar, seraya menatapnya tidak percaya. Seketika Luna merasa tubuhnya lemah, tidak bertenaga, sehingga dia tidak bisa menggerakkan kakinya untuk pergi dari tempat itu. Bahkan untuk memaki suaminya saja tidak sanggup. Matanya berkaca-kaca menahan sekuat tenaga air matanya yang terkumpul di pelupuk mata. Bibirnya bergetar, menahan suara tangisnya yang ingin keluar dengan sendirinya. Hati Kenzo benar-benar merasa sakit saat melihat wajah sedih belahan jiwanya. Tanpa sadar kakinya pun melangkah dengan sendirinya. Seketika kaki Luna reflek bergerak dengan sendirinya. Kekuatannya terkumpul karena rasa kecewanya yang begitu dalam pada sang suami."Sayang! Tunggu aku!" seru Kenzo sambil berjalan cepat