"Jangan terlalu bahagia Cinderella kesiangan, ini mungkin malam terakhir bagimu menikmati semua peranmu. Kamu akan kembali ke asalmu sebagai gadis desa yang antah berantah." Sabar, atur nafas dalam-dalam.
"Hi, ibu tiri. Masih ingat aku, malam ini kami akan menyadarkanmu dimana asalmu berada. Jangan samakan kakak iparku dengan dirimu yang tidak jelas asal usulnya. Jika kamu ingin menjadi nyonya besar aku pastikan akan mengembalikanmu ke habitatmu ibu Ratih yang tak punya malu!" Teriak Rena yang membuat sebagian orang melirik kami. Namun, Rena tak peduli dia menggandengku untuk terus melangkah dengan anggun."Kakak tetap kalem, biar aku saja yang bar-bar malam ini," ucapnya terkekeh. Ya Allah aku seperti merasakan Reza versi wanita yang tetap tenang dengan situasi yang menurutku semakin mendebarkan.Tak terima diperlakukan seperti itu oleh Rena, bu Ratih mengejar kami, tapi Rena langsung mengangkat tangannya seketika bu Ratih langsung dihAku masih shock tidak percaya dengan yang kudengar malam ini. Kali ini Seluruh mata menatapku, apakah ini kenyataan? Sepertinya ini mimpi. Namun, suara ayah begitu tegas tanpa ada sedikit keraguan sedikit pun. Rena memegang tanganku, seperti menguatkan bahwa ini tidak mimpi. Ini nyata! "Nina Humaira adalah putriku satu-satunya. Kami tinggal di desa karena aku ingin menjauhkan keluargaku dari perkara yang namanya bisnis." Semua tamu hening. Tak ada satu pun yang berbicara seperti terhipnotis dengan ucapan ayah. "Mungkin bagi sebagian orang ini mustahil, tapi ini kenyataan. Aku membawa keluargaku untuk hidup tenang di desa di bawah kaki gunung. Nina itu bukan cinderela yang tiba-tiba menikah dengan pangeran. Namun, dialah yang menjadi seorang putri sebenarnya. Bukan abal-abal seperti yang kalian pikirkan dimana seorang gadis des
"Pak kepala ...." Satu bos yang ingin salaman."Pak ketua perkenalkan ...." Lagi, ayah menolak dengan mengangkat tangan."Pak ...." Belum apa-apa sudah ditolak oleh ayah.Banyak yang maju, ayah hanya mengangkat tangannya saja. Sejak kapan ayah menjadi keren seperti ini. Apa aslinya begini."Ayah persis seperti adegan drakoor yang Nina tonton," bisikku."Hahaha ... penjilat seperti mereka jangan diladenin. Bisnis itu mengerikan, meski sangat menjanjikan."Kami bertiga masuk mobil, dan membahas banyak hal. Walau pikiranku hanya nama Reza. Dimana Reza berada sekarang? Mengapa rindu ini begitu berat, tapi aku tak ingin membuat suasana saat ini menjadi tak tenang. Nanti kalau sudah sampai rumah baru aku tanyakan."Rena tak ada niat untuk berbisnis? Beberapa hotel butuh pimpinan yang cekatan dan style nya mirip Rena," tanya ayah. Aku hanya menjadi pengamat yang masih shock dengan semua ini.
Aku bangun dan ada dokter Gunawan yang sedang mengecek kondisiku. Ada ibu dan ayah yang juga memegang tanganku. Sementara Shaka digendong Fatia.Aku tersadar jika aku pingsan karena melihat Reza yang terbaring lemah disana."Mana Reza, yah?" tanyaku. Yang kuingat hanyalah Reza. Tak ada yang lain."Kamu istirahatlah, Nin," ucap ayah, kulihat matanya sembab. Sepertinya beliau khawatir denganku.Kenapa hidupku terasa sulit, orang lain begitu mudah menjalani peran. Namun, kenapa aku merasa hidupku belum menemukan titik temu kebahagiaan yang nyata. Aku berusaha untuk duduk, kulihat Shaka dalam gendongan Fatia. Anak yang harusnya kurawat dengan total dan penuh kasih sayang nyatanya malam ini aku dikejutkan lagi dengan Reza yang terbaring
Dia hanya menatapku, tapi tak sedikit pun memanggil namaku. Aku seperti orang asing didekatnya. Ingin menangis, tapi kutahan walau bagaimana pun Reza yang sudah sadar membuat kami merasa lega."Ini kakak ipar Rena, istri kakak," jawab Rena."Kapan kakak nikah, Ren?" tanyanya. Dia nampak bingung, sementara aku hanya gigit jari ditatap olehnya.Aku semakin mundur, tapi dokter Gunawan menarikku untuk bicara. Ada ibu yang menemani. Dia melihatku yang keluar dari ruangan. Biarlah dia berfikir sejenak barangkali dia akan mengingatku walau sedikit saja."Bagaimana bisa, dok. Dia mengingat saudaranya sementara aku tidak."Dokter Gunawan terlihat atur nafas.&
"Shaka ...." Aku memanggilnya yang sedang berlari kesana kemari dengan Fatia."Unda sini," panggil Shaka. Untuk menghilangkan beban, aku ikut berlari kesana kemari dengannya.Anak kecil memang lebih mudah mengobati kegelisahan orang dewasa."Unda, kenapa?" tanyanya, entah mengapa air mataku keluar. Aku merasa hidup terasa tak adil bagiku. Ibarat roller coaster sebentar merasa di puncak sebentar merasa paling rendah."Yang sabar, Non," ucap Fatia. Entah mengapa aku ingin balas dendam dengannya yang tidak jujur sebagai asisten ayah. Kudiamkan saja dia."Jan cemberut dong, nona manisku," ucapnya lagi."Adiknya abaaang Ezaaa." Eh, dia mulai merayuku."Tu kan manis kalau senyum," sambungnya lagi."Mbaaak ...!" teriakku. Kupukul lengannya. Kesal dikerjain olehnya yang ternyata dia asisten ayah.Dia berlari, kukejar dia kesana kemari entah apa y
Aku tidak berharap kau mengingatku total, tapi aku berharap kau masih merasakan hangatnya pelukan dan belaian yang pernah kita lalui. Menikmati indahnya tegukan cinta dan rindu yang bersemi di hati kita. Merasakan setiap helaian yang pernah kita lalui tanpa sekat diantara kita.****Aku menyuapinya. Entah dia lapar atau doyan dengan masakan yang kubawa. Dia begitu lahap. Meski tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami berdua. Ingin memulai, takut dicuekin lagi olehnya."Kapan kita menikah?" tanyanya. Kali ini suaranya lebih lembut tidak setajam yang kemarin."Tiga tahun yang lalu."Hening.Aku masih menyuapinya dengan lembut.&
Kami saling memandang, Reza terus menatapku dengan lekat membuatku salah tingkah. Bagai sepasang kekasih yang sedang dilanda kasmaran. "Aku merasakan hatiku berdebar didekatmu," ucap Reza sambil membelaiku. "Iya, kah." "Apa aku bucin dulu?" tanyanya lagi. "Dikiit," jawabku, yang membuat dia bersemu merah. Apa begini rasanya orang yang sedang kasmaran. Aku merasa lucu berada di dekatnya. Dia pun terlihat malu-malu berada di sampingku. "Sepertinya aku dulu bucin, entah mengapa ada yang kurang jika aku tak memarahimu, membuatmu kesal. Namun, ada yang hila
Selesai makan kami berkumpul lagi di ruang keluarga. Brayen mengajak Shaka untuk bermain di luar. Sementara ayah dan Reza sedang berbincang-bincang meski dia selalu mencuri pandang padaku. Pesona gadis desa memang tiada duanya 'kan abang Reza!"Tak menyangka Nina jika miss Dora adalah ajudannya ayah," ucapku. Miss Dora terlihat tersipu malu. Saatnya aku menyerang mumpung hanya kami berlima di ruang keluarga."Apalagi tu Fatia. Ih, benar-benar kompak memang ajudannya ayah yang dua ini." Hahaha ... Ibu justru yang tak berhenti tertawa melihat tingkahku yang lucu.Setelah cerita panjang lebar, kami kembali ke kesibukan masing-masing. Reza menuju kamarnya dan langsung istirahat. Meski kami masih sungkan untuk memulai, tapi aku terus melakukan tugasku sebagai istrinya.Dia memejamkan mata sepertinya dia benar-benar lelah walau hanya ke ruang tamu saja. Menurut dokter Gunawan, jangan terlalu paksa dia untuk berfikir karen
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te
Ternyata abang Brayen tidak mau menyerah, dia mengikutiku dari belakang. Tanpa ragu dia bahkan menarik tanganku ke mobilnya. Aku yang ingin melepas diri, kalah dengan tangannya yang begitu kekar. "Biar nanti mobilnya diantar pak sopir saja," katanya enteng."Apa semua wanita begini menyusahkan," katanya lagi. Dia nampak sebal melihat Nugroho mendekatiku. Wajah cemburunya tidak bisa di sembunyikan."Mau kemana?" tanyaku spontan."Aku antar pulang, Daddy sudah menunggumu sejak tadi.""Maksudnya?" apa benar daddy menungguku. Darimana dia tahu. Bisa saja ini hanya akal-akalanya saja agar bisa mendekatiku."Kenapa heran begitu, bukannya kami berdua sama-sama tukang intip," balasnya sambil terkekeh.Dengan santainya dia menyetir, aku dibuat bingung sendiri dengan tingkahnya. Walau entah mengapa ada yang terasa hangat di hatiku. "Singkirkan pikiranmu bisa mencari laki-laki yang lain selain aku," katanya lagi. Kali ini nada bicaranya lebih intens. Ada ketegangan di wajahnya seperti sangat s
Dia terus menatapku membuatku salah tingkah. Dengan entengnya dia minum kopi yang aku pesan. Benar-benar meresahkan. Aku hanya bisa menunduk, tidak berani menatap wajahnya."Sejak kapan dokter Monica bisa minum kopi?" tanyanya lagi. Aku hanya bisa menunduk, tak kuat hanya sekedar memandangnya. Apa rasa ini tumbuh kembali? Mengingat dia jauh lebih fresh, serta hidupnya kulihat lebih teratur."Kenapa tidak berani memandangku?" tanyanya dengan santai. Cemilan yang bahkan kupesan ikut serta dia makan. Aku terus menarik napas agar bisa mengendalikan diri."Apa kerjaan dokter yang dikatakan hebat ini suka ngintip?" tanyaku. Aku tak mau kalah."Kalau bisa aku akan mengintipmu setiap saat, Sayang." Duh, kenapa dia menatapku seperti itu.Aku bangkit dan beranjak dari tempat duduk, tapi abang Brayen langsung menahanku. Mata kami beradu, dia bahkan menatapku dengan lekat."Mau kemana?" tanyanya."Mau kembali ke rumah sakit, gara-gara kalian hidupku tidak tenang, tidak daddy, anda pun demikian.
"Apa tidak salah dokter mau bekerja sama dengan hospital group, mengingat Perusahaan Adytama salah satu perusahaan terbesar di kota ini.""Tidak masalah, Bu. Yang punya kan daddy saya, sementara saya baru merintis." "Oh, baiklah."Ini bukan sekali dua kali ketika pertemuan mereka terlihat heran, tapi sebenarnya aku sengaja membuka identitasku di depan dokter Ika karena aku melihat dia membuka identitasnya waktu berkenalan. Sebagai pembisnis daddy selalu mengajarkan untuk tidak boleh terlihat lemah. Apalagi seperti orang yang heran dengan kekayaan atau kesuksesan orang lain, meski kita terlihat sederhana, tetapi harus tetap untuk menjaga pembawaan diri agar disegani oleh rival. Ini yang aku pegang, ketika menemukan sosok seperti dokter Ika, maka aku pun tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan dia."Mari kita mulai, Dok," sambungnya.Setelah panjang lebar kami berkomunikasi akhirnya kami menemukan kesimpulan. Kami juga sepakat membangun kerja sama kedepannya. Fokus dengan tujuan,
Semalaman aku berpikir keras, amarah daddy masih nampak jelas di depanku. Kurasa itu sangat wajar, orang tua mana yang mau melihat anaknya susah untuk kedua kalinya. Aku pun heran bahkan sekian tahun berganti mengapa harus dia? Mengapa dia masih bertahta padahal kesalahannya begitu fatal. Harusnya aku menyadari bahwa dinding diantara kami begitu tinggi dan kokoh, bahkan aku sadar di kehidupan kedua pun tak ada yang merestui hubungan kami. "Monica, bunda boleh masuk?" tanya bunda yang sedang mengetuk pintu kamarku. "Boleh, Bund. Monica tidak menguncinya."Bunda masuk lalu mengajakku bicara, nampak sekali bunda terlihat cemas melihatku. Apakah aku terus yang akan membuat hatinya terluka? Tanpa berbicara pun, bunda paham dengan apa yang aku rasakan. "Apa ucapan daddy mengganggumu?" tanya bunda. "Gak, Bund. Menurutku itu hal wajar sebagai orang tua. Aku pun sebagai orang tua akan bersikap demikian jika membuat hati anakku sakit.""Apa susah bagimu melupakan cinta pertamamu?" tanya b
Ada hangat dalam hati ini yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, setidaknya aku punya harapan bersamanya lagi tanpa merebut dia dari Aksen. Setitik asa mulai terlihat untuk mengulang kembali di masa depan bersamanya. Wajahnya bahkan senyumnya begitu candu bagiku. Aku rasa ini yang dinamakan cinta yang berbalik padaku, wanita yang pernah menjadi adik angkatku itu membuat hidupku berubah drastis. Apa aku serakah dengan perasaan ini? Walau jujur aku bahagia bisa melihatnya lebih dekat tanpa takut dia milik orang lain."Kenapa melamun begitu?" tanya Aksen tiba-tiba sudah ada di rumah sakit.Dia memang laki-laki tak terduga, kadang aku berpikir kenapa ada laki-laki sebaik dia. Meski aku pernah berkelahi dengannya tak sedikit pun dia membalas, dia justru selalu membantuku dalam diam. Hatinya seluas samudera yang kadang membuatku malu sendiri. Walau jujur aku heran dia belum memiliki keturunan bersama Monica."Sejak kapan di Indo?" tanyaku balik."Sudah seminggu ini," balasnya."Kenapa