"Shaka ...." Aku memanggilnya yang sedang berlari kesana kemari dengan Fatia.
"Unda sini," panggil Shaka. Untuk menghilangkan beban, aku ikut berlari kesana kemari dengannya. Anak kecil memang lebih mudah mengobati kegelisahan orang dewasa. "Unda, kenapa?" tanyanya, entah mengapa air mataku keluar. Aku merasa hidup terasa tak adil bagiku. Ibarat roller coaster sebentar merasa di puncak sebentar merasa paling rendah. "Yang sabar, Non," ucap Fatia. Entah mengapa aku ingin balas dendam dengannya yang tidak jujur sebagai asisten ayah. Kudiamkan saja dia."Jan cemberut dong, nona manisku," ucapnya lagi."Adiknya abaaang Ezaaa." Eh, dia mulai merayuku."Tu kan manis kalau senyum," sambungnya lagi."Mbaaak ...!" teriakku. Kupukul lengannya. Kesal dikerjain olehnya yang ternyata dia asisten ayah. Dia berlari, kukejar dia kesana kemari entah apa yAku tidak berharap kau mengingatku total, tapi aku berharap kau masih merasakan hangatnya pelukan dan belaian yang pernah kita lalui. Menikmati indahnya tegukan cinta dan rindu yang bersemi di hati kita. Merasakan setiap helaian yang pernah kita lalui tanpa sekat diantara kita.****Aku menyuapinya. Entah dia lapar atau doyan dengan masakan yang kubawa. Dia begitu lahap. Meski tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami berdua. Ingin memulai, takut dicuekin lagi olehnya."Kapan kita menikah?" tanyanya. Kali ini suaranya lebih lembut tidak setajam yang kemarin."Tiga tahun yang lalu."Hening.Aku masih menyuapinya dengan lembut.&
Kami saling memandang, Reza terus menatapku dengan lekat membuatku salah tingkah. Bagai sepasang kekasih yang sedang dilanda kasmaran. "Aku merasakan hatiku berdebar didekatmu," ucap Reza sambil membelaiku. "Iya, kah." "Apa aku bucin dulu?" tanyanya lagi. "Dikiit," jawabku, yang membuat dia bersemu merah. Apa begini rasanya orang yang sedang kasmaran. Aku merasa lucu berada di dekatnya. Dia pun terlihat malu-malu berada di sampingku. "Sepertinya aku dulu bucin, entah mengapa ada yang kurang jika aku tak memarahimu, membuatmu kesal. Namun, ada yang hila
Selesai makan kami berkumpul lagi di ruang keluarga. Brayen mengajak Shaka untuk bermain di luar. Sementara ayah dan Reza sedang berbincang-bincang meski dia selalu mencuri pandang padaku. Pesona gadis desa memang tiada duanya 'kan abang Reza!"Tak menyangka Nina jika miss Dora adalah ajudannya ayah," ucapku. Miss Dora terlihat tersipu malu. Saatnya aku menyerang mumpung hanya kami berlima di ruang keluarga."Apalagi tu Fatia. Ih, benar-benar kompak memang ajudannya ayah yang dua ini." Hahaha ... Ibu justru yang tak berhenti tertawa melihat tingkahku yang lucu.Setelah cerita panjang lebar, kami kembali ke kesibukan masing-masing. Reza menuju kamarnya dan langsung istirahat. Meski kami masih sungkan untuk memulai, tapi aku terus melakukan tugasku sebagai istrinya.Dia memejamkan mata sepertinya dia benar-benar lelah walau hanya ke ruang tamu saja. Menurut dokter Gunawan, jangan terlalu paksa dia untuk berfikir karen
Abang Reza sudah siap, aku pun demikian, kali ini kami bersatu melawan penjahat. Kemampuan bela diriku lumayan, tapi sepertinya abang Reza juga demikian."Melawan musuh jangan panik, kita harus tenang agar strategi yang kita pakai pas." Begitu katanya, sebenarnya ingin mengomel karena dia kemarin terluka sampai lupa ingatan karena salah strategi."Jangan kebanyakan gaya kalian, mari lawan kami, kalau bisa!"Tanpa di prediksi abang Reza luar biasa, gerakan tangannya begitu cekatan. Apa dulu ia ikut latihan kung fu begitu mudahnya dia melawan musuh. Setiap yang ingin melawanku dengan sigap dan cekatan dia lawan. Luar biasa abang Reza benar-benar di luar prediksiku.Aku tidak terlalu berperan karena para preman sewaan sepertinya hanya
Pagi menjelang, Reza terus tersenyum. Entah apa yang dipikirkan setiap melihatku. Aku juga begitu berbinar, sebenarnya masih malu untuk bertemu dengannya. Kami baru saja melaksanakan ibadah pagi-pagi. Ekhem.Setelah salat subuh, aku membantu ibu di dapur. Miss Dora dan Fatia juga sudah bangun. Ayah sedang mengobrol dengan Farhan. Firasatku rasanya tidak enak melihat Farhan dan ayah yang sangat serius sekali."Nin, bisa ikut bergabung sebentar?" tanya ayah."Reza dimana?" tanyanya lagi."Tadi sedang baca majalah baru kayaknya, yah, di kamar.""Ini penting, Nin. Perusahaan Reza lagi ada masalah." Ayah begitu serius, aku justru yang berdebar-debar.&
Deretan video Reza yang koma menyebar. Siapa yang menyebar video Reza? Apa ada orang dalam yang melakukan hal ini. Otakku terus berfikir tak menentu. "Mbak siapa yang membocorkan ini?" "Aku juga tidak tahu, Non." Ibu juga terlihat panik, Rena yang akan kembali keluar negeri minggu depan juga terkejut melihat berita hari ini. "Sudah masuk berita nasional, ini berarti perusahaan diambang kritis." Rena dengan serius ikut bersama kami membicarakan perusahaan Reza. Ayah sudah berangkat sejak pagi, Reza memang terhitung hampir dua minggu lebih tidak masuk ke kantor, jika terus ditutupi pasti akan menjadi pertanyaan semua orang. Sekarang aku mulai gelisah lagi, apa, iya aku harus mewakili perusahaan. "Kak, apa kakak dulu yang menggantikan kak Reza?" tanya Rena padaku. Aku justru menggeleng. "Kakak tidak bisa dek. Gak ada bakat disini." Rena terlihat diam. "Apalagi ade
"Ayo bersiap, ikutlah denganku. Mari kita perjuangkan masa depan kita." Kali ini aku tidak bisa menyembunyikan rasa penasaranku. Aku harus menanyakan Reza langsung apa sebenarnya dia sudah sadar atau belum. "Apakah abang sudah ingat semuanya?" tanyaku. Dia cukup lama untuk menjawabnya. "Aku tidak tahu ini ingat atau tidak, aku berusaha mengingat kembali memori yang ada. Namun, semakin aku mengingatnya rasa pusing ini tak tertahankan. Aku merasakan semuanya seperti spontan kulakukan. Semoga saja ini hanya geger otak biasa yang butuh pemulihan." Aku berfikir sejenak, tak ingin memaksa Reza lebih jauh lagi. Kemungkinan beberapa memori dalam dirinya kembali, semoga seiring berjalan waktu memorinya kembali normal.
Turun dari mobil didampingi oleh ayah, sementara Farhan berada di mobil bersama Reza. "Siap mental, tampil seanggun mungkin, apa pun yang diucapkan oleh mereka jangan didengarkan." Reza mengingatkanku. Ketika turun mereka hanya menyalami ayah, tanpa menganggapku ada. Aku semakin penasaran dengan semua ini. "Selamat datang pak Ketua, kami sangat senang pak ketua turun tangan mengatasi masalah pada perusahaan Adytama." Ayah hanya mengangguk tanpa tersenyum. Meski bisik-bisik mulai terdengar. "Aku jadi semakin yakin untuk menarik investasi di perusahaan ini," ucap salah satu dari mereka. Untung Reza mengaktifkan alat perekam di ponselku yang terhubung langsung ke ponselnya. Jadi dia bisa mendengar suara yang meremehkanku. "Bukan backgroundnya untuk memimpin perusahaan ini." Lagi, keluar kata-kata dari mereka. Entah mengapa kali ini aku semakin tertantang. "Santai saja, nak." Ayah