Deretan video Reza yang koma menyebar. Siapa yang menyebar video Reza? Apa ada orang dalam yang melakukan hal ini. Otakku terus berfikir tak menentu.
"Mbak siapa yang membocorkan ini?""Aku juga tidak tahu, Non."Ibu juga terlihat panik, Rena yang akan kembali keluar negeri minggu depan juga terkejut melihat berita hari ini."Sudah masuk berita nasional, ini berarti perusahaan diambang kritis." Rena dengan serius ikut bersama kami membicarakan perusahaan Reza.Ayah sudah berangkat sejak pagi, Reza memang terhitung hampir dua minggu lebih tidak masuk ke kantor, jika terus ditutupi pasti akan menjadi pertanyaan semua orang. Sekarang aku mulai gelisah lagi, apa, iya aku harus mewakili perusahaan."Kak, apa kakak dulu yang menggantikan kak Reza?" tanya Rena padaku. Aku justru menggeleng."Kakak tidak bisa dek. Gak ada bakat disini." Rena terlihat diam."Apalagi ade"Ayo bersiap, ikutlah denganku. Mari kita perjuangkan masa depan kita." Kali ini aku tidak bisa menyembunyikan rasa penasaranku. Aku harus menanyakan Reza langsung apa sebenarnya dia sudah sadar atau belum. "Apakah abang sudah ingat semuanya?" tanyaku. Dia cukup lama untuk menjawabnya. "Aku tidak tahu ini ingat atau tidak, aku berusaha mengingat kembali memori yang ada. Namun, semakin aku mengingatnya rasa pusing ini tak tertahankan. Aku merasakan semuanya seperti spontan kulakukan. Semoga saja ini hanya geger otak biasa yang butuh pemulihan." Aku berfikir sejenak, tak ingin memaksa Reza lebih jauh lagi. Kemungkinan beberapa memori dalam dirinya kembali, semoga seiring berjalan waktu memorinya kembali normal.
Turun dari mobil didampingi oleh ayah, sementara Farhan berada di mobil bersama Reza. "Siap mental, tampil seanggun mungkin, apa pun yang diucapkan oleh mereka jangan didengarkan." Reza mengingatkanku. Ketika turun mereka hanya menyalami ayah, tanpa menganggapku ada. Aku semakin penasaran dengan semua ini. "Selamat datang pak Ketua, kami sangat senang pak ketua turun tangan mengatasi masalah pada perusahaan Adytama." Ayah hanya mengangguk tanpa tersenyum. Meski bisik-bisik mulai terdengar. "Aku jadi semakin yakin untuk menarik investasi di perusahaan ini," ucap salah satu dari mereka. Untung Reza mengaktifkan alat perekam di ponselku yang terhubung langsung ke ponselnya. Jadi dia bisa mendengar suara yang meremehkanku. "Bukan backgroundnya untuk memimpin perusahaan ini." Lagi, keluar kata-kata dari mereka. Entah mengapa kali ini aku semakin tertantang. "Santai saja, nak." Ayah
Suasana rapat terasa horor. Reza terus menatap mereka yang membuat mereka semakin menunduk. Aku benar-benar takjub melihat Reza yang sangat tegas hari ini. Pemandangan yang tak pernah kulihat. Reza tampil sangat memukau hingga semua undur diri untuk pamit dari ruangan. "Sepertinya tuan kita benar-benar kembali, nona." Farhan berbisik yang membuat Reza mendelik. "Hooh." "Eh, asisten minggir sedikit." Dia nampak sangat cemburu. Lucu memang tuan terhormat. "Kita lihat apa dia ingat ruangannya atau tidak? Kalau dia ingat, fix ingatannya sudah pulih." Kembali Farhan berbisik membuatku terkekeh. "Eh, bisik apa lagi kalian. Ayo istriku kita ke ruangan." Farhan mengedipkan mata. Kembali aku terkekeh. Tuan terhormat mah emang sadar tulen, Han.
Tak berselang lama ponselku berdering tertera dokter Gunawan yang video call. Reza bersandar di bahuku sesekali dipukul kepalanya karena kesakitan. "Assalamualaikum, dik Nina." "Waalaikumsalam, dok." "Eh, dokter jomlo, awas manggil dik, dik, lagi." Dokter Gunawan malah terkekeh melihat reaksinya Reza. Sempat-sempatnya ketika sakit dia bisa marah. "Siap, Bro. Maaf aku baru muncul. Pusing selama papaku sakit. Kudengar tuan Reza terhormat ke kantor makanya aku telpon, aku tahu dia belum bisa dipaksa makanya aku khawatir kepalanya kambuh dan sakit." "Iya, ini dok. Bang Reza sedang kesakitan," jawabku yang semakin panik melihat Reza memegang tanganku karena menahan sakit. "Sebentar aku kesana. Minum dulu obat yang kutitip ke Farhan. Kebetulan aku sedang meeting di sekitar sini." Reza terus memegang kepalanya, dia sangat kesakitan. Aku langsung menutup video call dari dokter Gunawan.
"Jangan terlalu bangga sebagai istri dari Tuan Reza Adytama, di luar sana aku yakin masih banyak yang ingin mendekatinya." Dia mulai menyerangku. Aku selangkah lebih maju."Aku tidak peduli dengan pembenaran yang kamu lakukan nona Laras, bagiku memperjuangkan suamiku seperti memperjuangkan nyawaku kecuali jika dia memilih untuk pergi sendiri!"Hening. Farhan dan dokter Gunawan justru semangat mengomporiku. Memang para jomlo ini."Aku katakan sekali lagi nona jangan pernah kau melakukan hal yang sama seperti yang tadi, tidak hanya satu kali tamparan akan mendarat di pipimu. Aku bukan bucin seperti yang kau pikirkan, tapi dia adalah suamiku yang sudah berikrar dengan nama Tuhan."Dia diam. Namun, masih belum bergeming dari tempatnya.
Hal yang paling memberatkan di dunia ini adalah melihat orang yang kita cintai raganya terlihat. Namun, tak bisa saling menyapa, apalagi saling membelai. Hanya bisa melihatnya terbaring lemah tak berdaya. Tanpa sahutan apalagi candaan yang menjadi aktivitas kami berdua. POV Reza Nina terbaring lemah. Baru saja tindakan operasi dilakukan. Nina saat ini berada di ruang ICU. Dia terbaring lemah dengan alat medis yang menempel di tubuhnya. Rasanya aku sudah tidak memiliki gairah hidup lagi, melihatnya terbaring lemah rasanya sangat sakit tak bisa kulukiskan perasaan ini dihatiku. Penembak bahkan sudah dijebloskan ke penjara, Farhan yang mengurus semuanya aku hanya duduk menemani istriku yang lemah tak berdaya. Sudah dua hari dia belum sadarkan diri. Aku mengu
"Kembalilah, sayang ...." Lagi, air mataku luruh. "Aku tidak sekuat kamu sayang, aku tidak kuat berjauhan. Bangunlah sayang ...." "Tuhan begitu adil menguji kita sayang. Merasakan hal yang sama. Merasakan cinta yang semakin bersemi di hati kita. Mematahkan segala prasangka di antara kita. Aku mencintaimu dari dulu sampai sekarang. Aku sangat merindukan suaramu sayang. Nin, bangunlah ... aku merindukanmu, sayang. Aku tak kuat melihatmu seperti ini. Bangunlah, anak kita membutuhkan kita untuk bersama. Jangan lagi ada jarak yang memisahkan kita berdua." Hingga tak tahan akhirnya aku tertidur pulas di dekatnya. Baru kusadar. Ternyata rindu itu sangat menyiksa. Begitu menyiksa hingga rasanya begitu menyesakkan.
"Bersiap!"Dokter mulai memberi instruksi untuk melakukan tindakan CPR. Lututku gemetar, langkah kakiku terasa berat. Debaran di dadaku tidak kuasa untuk melihat Nina di pompa hingga aku terjatuh tak sadarkan diri.****"Alhamdulillah akhirnya kakak sadar juga, kami sangat panik, kak." Rena sedang menungguku, dia terlihat sangat panik. Guratan kesedihan sangat nampak di wajahnya."Istri kakak bagaimana?" tanyaku. Hanya Nina yang ada dipikiranku."Itu ...."Dadaku kembali nyeri. Kenapa Rena begitu gugup."Nina baik-baik saja, Za." Ibu mertuaku tiba-tiba menghampiri. 
Reza dilarikan ke rumah sakit karena ternyata Reza lemas dan mengalami sesak nafas. Kemungkinan yang terjadi karena Reza sempat emosi dan kepikiran Monica sehingga jantungnya kumat."Daddy kenapa, Bund.""Tiba-tiba lemas, padahal paginya daddy segar sekali.""Nafasnya naik turun, ya Allah bunda takut daddymu kenapa-kenapa." Nina menangis dipelukan Shaka. Monica yang mengira hanya chek up biasa ikut panik ketika dikabari abangnya jika Reza masuk ICU. Reza sampai tidak sadarkan diri menambah deretan kepanikan keluarganya."Bukannya tadi bunda bilang hanya chek up saja.""Iya, ternyata daddy lemas untung segera dilarikan ke rumah sakit.""Ya Allah Monica kira tidak separah ini." Terdengar suara serak Monica yang menangis mendengar Reza tidak sadarkan diri."Abang Brayen sudah menuju ke sana.""Iya, Dek. Kamu cepat ke sini," ucap Shaka yang meminta Monica langsung ke rumah sakit. Sementara Brayen shock melihat keadaan Reza, bayangan bersama ketika kecil membuat hati Brayen terenyuh dadd
Misiku kali ini bukan lagi untuk bersatu dengan abang Brayen, tapi memikirkan bagaimana agar abang Brayen bersama daddy seperti dulu lagi. Terkadang kita dipaksa kuat oleh keadaan dan dibuat ikhlas oleh kenyataan, jadi pandai-pandailah menjaga perasaan kita sendiri, karena disaat kita terpuruk, susah dan sedih tidak semua orang akan peduli. “Ikuti saja kata bunda, Dek. Sejauh mana kamu melangkah jika dia jodohmu pasti dia akan kembali mengejarmu.”“Iya, Bang.”“Abang yakin kamu bisa melewatinya, Dek. Demi daddy,” kata abang Shaka.“Makasih, Bang. Demi kalian semua.”Segala sesuatu itu pasti ada hikmahnya. sakitnya daddy pasti jalan agar abang Brayen dan daddy bersatu kembali. Aku juga harus sadar jika usia daddy tidak muda lagi. Aku mau daddy di hari tuanya bahagia tanpa beban."Belajar untuk tidak terlalu berharap kepada siapapun kecuali Allah, karena harapan yang berlebihan kepada manusia hanya akan menyakiti perasaanmu sendiri," ucap ababg Shaka memberi nasehat. "Saatnya kamu le
Reza kembali kumat, ternyata selama ini Reza ada riwayat jantung sehingga harus dikontrol minum obat setiap hari. Nina pun sadar semakin hari usia mereka sudah tidak muda lagi sehingga gampang sekali terkena penyakit.“Kasitahu anak-anak, Bang, kalau jantungmu sedang tidak baik-baik saja,” kata Nina pada Reza yang terbaring. Nina sadar semenjak Monica gagal menikah lagi, suaminya–Reza sering sakit-sakitan. Dia merasa gagal sebagai orang tua.“Bang, coba diubah pola pikirnya bahwa tidak semua keinginan kita selalu sejalan.”“Iya, Sayang. Daddy baik-baik saja, Bund.”“Baik-baik bagaimana, kata dokter abang harus berobat intensif.” “Tenang saja, Bund. Semua pasti baik-baik saja,” kata Reza. Jauh dari lubuk hatinya sebenarnya dia menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Shaka sudah bahagia dengan Gendhis. Sementara Monica masih dilema.“Apa abang memikirkan Monica?” tanya Nina. Dia penasaran akhir-akhir ini suaminya lebih pendiam.“Jangan dipendam, salah satu sumber penyakit adalah
Aku duduk ikut bergabung bersama daddy dan abang Brayen. Walau jujur tanganku gemetar melihat reaksi daddy, sementara abang Brayen tetap santai. “Monica yang memintaku dad, untuk datang menemui daddy. Dia memang tidak sabaran,” katanya begitu renyah. Astagfirullah itu orang benar-benar enteng berucap. Aku langsung melotot tak percaya, eh dia justru senyum-senyum tidak jelas melihatku.“Tanpa diminta pun aku akan tetap menemui daddy,” sambungnya lagi.“Aku tidak bisa hidup tanpa Monica dan Arvian, Dad.”“Paling kamu cuma modus anak nakal!” daddy langsung to the point. Aku kira abang Brayen akan marah ternyata dia tertawa melihat reaksi daddy. Dia memang orang yang sulit untuk ditebak.“Aku serius, Dad. Monica dan Arvian adalah hidupku. Rasanya hari-hari begitu sulit tanpa mereka.” Aku hanya menunduk ketika abang Brayen berucap demikian. Sepertinya kupu-kupu mulai berterbangan. Rasanya malu sekali, apalagi lirikan matanya yang membuat wajah ini tersipu malu.“Luka yang kamu buat begitu
Sampai rumah, daddy dan bunda menunggu di teras. Di mata mereka aku masih gadis kecil, yang jika setiap keluar rumah terlalu lama mereka pasti menungguku. Begitulah orang tua, selalu tersisa rasa yang sama, meski berkali-kali pernah terluka.“Apa Monica terlalu lama?” tanyaku padanya. Tak lupa pelukan hangat dari daddy yang selalu panik jika aku keluar terlalu lama.“Anaknya bukan anak kecil, Bang,” ucap bunda yang tak berhenti tersenyum.“Iya, bukan anak kecil, tapi kadang bikin panik dengan tingkahnya,” jawab daddy. Aku langsung memeluknya, percayalah semakin tua, orang tua pasti lebih protektif pada anaknya.“Apa Arvian bahagia?” tanya daddy. Aku mengangguk.“Syukurlah ….”“Dad ….”“Kenapa?” tanyanya.“Apa daddy merestui jika aku dan abang Brayen bersama lagi?” Daddy diam, sekarang aku yang canggung. Kebahagiaan yang tadi berubah menjadi rasa tidak nyaman.“Apa dia bisa menjamin berubah, sementara sampai detik ini daddy tidak melihat kesungguhannya.”Sekarang aku yang diam. “Jang
Berkali- kali aku menghapus air mata sedih dan bahagia tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku bahagia melihat senyumannya yang tak henti. Sesekali dia memandangku meski terjeda karena fokus menyetir.“Jangan mengatakan apa-apa lagi, jawabanmu membuatku tidak mau kamu mengucapkan hal yang aneh lagi.”“Tulis di sini biar aku akan tempel di sudut kamarku. Apakah kamu menerimaku atau tidak,” balasnya lagi. Dia memberikanku polpen dan selembar kertas, dia niat sekali membuatku tersipu malu. Pernyataannya bahkan seperti tahu jawabannya aku menerimanya kembali. Dasar tuan arogan.“Tulislah apa kamu menerimaku. Karena ini sangat penting bagi hidupku,” sambungnya lagi.“Anda terlalu pede tuan.”Aku langsung menyimpan di dalam tas. Dia mirip dengan daddy, dia pasti akan memaksa aku menjawab sesuai dengan maunya. Laki-laki jika ada maunya dia akan memaksa, tapi kalau sudah dapat apa yang dia mau, tak sedikit yang terkesan cuek.“Kenapa di simpan?”“Nanti pas pulang aku berikan,” balasku. Wa
"Bunda ...." Arvian memanggilku. Cepat sekali anak ini sampai padahal baru saja ayahnya menelponku. Apa sebenarnya mereka ada di sekitar sini."Hai, jagoan. Sama siapa ke sini?” tanya daddy menghampiri langsung Arvian."Sama ayah, Opa. Tapi dia menunggu di luar,” balas Arvian jujur. Apa abang Brayen yang mengajarkan Arvian untuk jujur.Daddy seketika diam. Bunda pun langsung memecahkan suasana agar tidak terlihat canggung. Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam, takut jika daddy kambuh lagi dengan tidak menginginkan kami kembali."Bersiaplah, Mon,” ujar bunda.Meski ragu, aku pun bersiap untuk berangkat dengan Arvian. Layaknya anak muda yang mau ketemuan aku sampai bingung menggunakan baju yang mana. Astagfirullah, kelakuanku makin aneh seperti abege labil. "Mon, lama sekali, kasihan Arvian lama menunggu." Bunda tiba-tiba datang ke kamar. Baru terasa malunya. Ada-ada saja kelakuanku yang makin aneh ini."Kamu kek anak muda saja, Mon. Milih baju saja lama sekali,” ledek Bunda."Haha
Beharap untk kembali Aku dilema bukan karena tidak ingin menerima abang Brayen kembali, tetapi ada rasa trauma takut merasakan kekecewaan lagi. Manusiawi kurasa jika Aku tidak mau kecewa lagi untuk kedua kalinya."Bund, apa Aku harus menerima abang Brayen lagi?" tanyaku pada bunda yang sedang duduk merawat tanamannya. Aku merasa hidup bunda Lebih baik dibanding denganku. Hidupnya tenang di masa tuanya, sementara aku seperti mencari kepastian."Perasaan Monica bagaimana?" tanya bunda."Dilema, Bund. Apa kesempatan kedua itu memang benar adanya?""Jangan pernah mendahului takdir sayang, jika kamu yakin kembalilah bersamanya. Namun, apabila kamu ragu mintalah pada sang pemberi harap yang tidak pernah membuat hambanya kecewa," balas bunda.Entah mengapa setetes bening jatuh di pipiku, dengan banyak hal yang telah kulalui rasanya tidak mudah sampai di titik ini."Dan mintalah restu pada daddymu, barangkali dengan keikhlasannya bisa membuatmu semakin yakin," sambung bunda memberiku nasihat
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat