Pagi menjelang, Reza terus tersenyum. Entah apa yang dipikirkan setiap melihatku. Aku juga begitu berbinar, sebenarnya masih malu untuk bertemu dengannya. Kami baru saja melaksanakan ibadah pagi-pagi. Ekhem.Setelah salat subuh, aku membantu ibu di dapur. Miss Dora dan Fatia juga sudah bangun. Ayah sedang mengobrol dengan Farhan. Firasatku rasanya tidak enak melihat Farhan dan ayah yang sangat serius sekali."Nin, bisa ikut bergabung sebentar?" tanya ayah."Reza dimana?" tanyanya lagi."Tadi sedang baca majalah baru kayaknya, yah, di kamar.""Ini penting, Nin. Perusahaan Reza lagi ada masalah." Ayah begitu serius, aku justru yang berdebar-debar.&
Deretan video Reza yang koma menyebar. Siapa yang menyebar video Reza? Apa ada orang dalam yang melakukan hal ini. Otakku terus berfikir tak menentu. "Mbak siapa yang membocorkan ini?" "Aku juga tidak tahu, Non." Ibu juga terlihat panik, Rena yang akan kembali keluar negeri minggu depan juga terkejut melihat berita hari ini. "Sudah masuk berita nasional, ini berarti perusahaan diambang kritis." Rena dengan serius ikut bersama kami membicarakan perusahaan Reza. Ayah sudah berangkat sejak pagi, Reza memang terhitung hampir dua minggu lebih tidak masuk ke kantor, jika terus ditutupi pasti akan menjadi pertanyaan semua orang. Sekarang aku mulai gelisah lagi, apa, iya aku harus mewakili perusahaan. "Kak, apa kakak dulu yang menggantikan kak Reza?" tanya Rena padaku. Aku justru menggeleng. "Kakak tidak bisa dek. Gak ada bakat disini." Rena terlihat diam. "Apalagi ade
"Ayo bersiap, ikutlah denganku. Mari kita perjuangkan masa depan kita." Kali ini aku tidak bisa menyembunyikan rasa penasaranku. Aku harus menanyakan Reza langsung apa sebenarnya dia sudah sadar atau belum. "Apakah abang sudah ingat semuanya?" tanyaku. Dia cukup lama untuk menjawabnya. "Aku tidak tahu ini ingat atau tidak, aku berusaha mengingat kembali memori yang ada. Namun, semakin aku mengingatnya rasa pusing ini tak tertahankan. Aku merasakan semuanya seperti spontan kulakukan. Semoga saja ini hanya geger otak biasa yang butuh pemulihan." Aku berfikir sejenak, tak ingin memaksa Reza lebih jauh lagi. Kemungkinan beberapa memori dalam dirinya kembali, semoga seiring berjalan waktu memorinya kembali normal.
Turun dari mobil didampingi oleh ayah, sementara Farhan berada di mobil bersama Reza. "Siap mental, tampil seanggun mungkin, apa pun yang diucapkan oleh mereka jangan didengarkan." Reza mengingatkanku. Ketika turun mereka hanya menyalami ayah, tanpa menganggapku ada. Aku semakin penasaran dengan semua ini. "Selamat datang pak Ketua, kami sangat senang pak ketua turun tangan mengatasi masalah pada perusahaan Adytama." Ayah hanya mengangguk tanpa tersenyum. Meski bisik-bisik mulai terdengar. "Aku jadi semakin yakin untuk menarik investasi di perusahaan ini," ucap salah satu dari mereka. Untung Reza mengaktifkan alat perekam di ponselku yang terhubung langsung ke ponselnya. Jadi dia bisa mendengar suara yang meremehkanku. "Bukan backgroundnya untuk memimpin perusahaan ini." Lagi, keluar kata-kata dari mereka. Entah mengapa kali ini aku semakin tertantang. "Santai saja, nak." Ayah
Suasana rapat terasa horor. Reza terus menatap mereka yang membuat mereka semakin menunduk. Aku benar-benar takjub melihat Reza yang sangat tegas hari ini. Pemandangan yang tak pernah kulihat. Reza tampil sangat memukau hingga semua undur diri untuk pamit dari ruangan. "Sepertinya tuan kita benar-benar kembali, nona." Farhan berbisik yang membuat Reza mendelik. "Hooh." "Eh, asisten minggir sedikit." Dia nampak sangat cemburu. Lucu memang tuan terhormat. "Kita lihat apa dia ingat ruangannya atau tidak? Kalau dia ingat, fix ingatannya sudah pulih." Kembali Farhan berbisik membuatku terkekeh. "Eh, bisik apa lagi kalian. Ayo istriku kita ke ruangan." Farhan mengedipkan mata. Kembali aku terkekeh. Tuan terhormat mah emang sadar tulen, Han.
Tak berselang lama ponselku berdering tertera dokter Gunawan yang video call. Reza bersandar di bahuku sesekali dipukul kepalanya karena kesakitan. "Assalamualaikum, dik Nina." "Waalaikumsalam, dok." "Eh, dokter jomlo, awas manggil dik, dik, lagi." Dokter Gunawan malah terkekeh melihat reaksinya Reza. Sempat-sempatnya ketika sakit dia bisa marah. "Siap, Bro. Maaf aku baru muncul. Pusing selama papaku sakit. Kudengar tuan Reza terhormat ke kantor makanya aku telpon, aku tahu dia belum bisa dipaksa makanya aku khawatir kepalanya kambuh dan sakit." "Iya, ini dok. Bang Reza sedang kesakitan," jawabku yang semakin panik melihat Reza memegang tanganku karena menahan sakit. "Sebentar aku kesana. Minum dulu obat yang kutitip ke Farhan. Kebetulan aku sedang meeting di sekitar sini." Reza terus memegang kepalanya, dia sangat kesakitan. Aku langsung menutup video call dari dokter Gunawan.
"Jangan terlalu bangga sebagai istri dari Tuan Reza Adytama, di luar sana aku yakin masih banyak yang ingin mendekatinya." Dia mulai menyerangku. Aku selangkah lebih maju."Aku tidak peduli dengan pembenaran yang kamu lakukan nona Laras, bagiku memperjuangkan suamiku seperti memperjuangkan nyawaku kecuali jika dia memilih untuk pergi sendiri!"Hening. Farhan dan dokter Gunawan justru semangat mengomporiku. Memang para jomlo ini."Aku katakan sekali lagi nona jangan pernah kau melakukan hal yang sama seperti yang tadi, tidak hanya satu kali tamparan akan mendarat di pipimu. Aku bukan bucin seperti yang kau pikirkan, tapi dia adalah suamiku yang sudah berikrar dengan nama Tuhan."Dia diam. Namun, masih belum bergeming dari tempatnya.
Hal yang paling memberatkan di dunia ini adalah melihat orang yang kita cintai raganya terlihat. Namun, tak bisa saling menyapa, apalagi saling membelai. Hanya bisa melihatnya terbaring lemah tak berdaya. Tanpa sahutan apalagi candaan yang menjadi aktivitas kami berdua. POV Reza Nina terbaring lemah. Baru saja tindakan operasi dilakukan. Nina saat ini berada di ruang ICU. Dia terbaring lemah dengan alat medis yang menempel di tubuhnya. Rasanya aku sudah tidak memiliki gairah hidup lagi, melihatnya terbaring lemah rasanya sangat sakit tak bisa kulukiskan perasaan ini dihatiku. Penembak bahkan sudah dijebloskan ke penjara, Farhan yang mengurus semuanya aku hanya duduk menemani istriku yang lemah tak berdaya. Sudah dua hari dia belum sadarkan diri. Aku mengu