"Pak kepala ...." Satu bos yang ingin salaman."Pak ketua perkenalkan ...." Lagi, ayah menolak dengan mengangkat tangan."Pak ...." Belum apa-apa sudah ditolak oleh ayah.Banyak yang maju, ayah hanya mengangkat tangannya saja. Sejak kapan ayah menjadi keren seperti ini. Apa aslinya begini."Ayah persis seperti adegan drakoor yang Nina tonton," bisikku."Hahaha ... penjilat seperti mereka jangan diladenin. Bisnis itu mengerikan, meski sangat menjanjikan."Kami bertiga masuk mobil, dan membahas banyak hal. Walau pikiranku hanya nama Reza. Dimana Reza berada sekarang? Mengapa rindu ini begitu berat, tapi aku tak ingin membuat suasana saat ini menjadi tak tenang. Nanti kalau sudah sampai rumah baru aku tanyakan."Rena tak ada niat untuk berbisnis? Beberapa hotel butuh pimpinan yang cekatan dan style nya mirip Rena," tanya ayah. Aku hanya menjadi pengamat yang masih shock dengan semua ini.
Aku bangun dan ada dokter Gunawan yang sedang mengecek kondisiku. Ada ibu dan ayah yang juga memegang tanganku. Sementara Shaka digendong Fatia.Aku tersadar jika aku pingsan karena melihat Reza yang terbaring lemah disana."Mana Reza, yah?" tanyaku. Yang kuingat hanyalah Reza. Tak ada yang lain."Kamu istirahatlah, Nin," ucap ayah, kulihat matanya sembab. Sepertinya beliau khawatir denganku.Kenapa hidupku terasa sulit, orang lain begitu mudah menjalani peran. Namun, kenapa aku merasa hidupku belum menemukan titik temu kebahagiaan yang nyata. Aku berusaha untuk duduk, kulihat Shaka dalam gendongan Fatia. Anak yang harusnya kurawat dengan total dan penuh kasih sayang nyatanya malam ini aku dikejutkan lagi dengan Reza yang terbaring
Dia hanya menatapku, tapi tak sedikit pun memanggil namaku. Aku seperti orang asing didekatnya. Ingin menangis, tapi kutahan walau bagaimana pun Reza yang sudah sadar membuat kami merasa lega."Ini kakak ipar Rena, istri kakak," jawab Rena."Kapan kakak nikah, Ren?" tanyanya. Dia nampak bingung, sementara aku hanya gigit jari ditatap olehnya.Aku semakin mundur, tapi dokter Gunawan menarikku untuk bicara. Ada ibu yang menemani. Dia melihatku yang keluar dari ruangan. Biarlah dia berfikir sejenak barangkali dia akan mengingatku walau sedikit saja."Bagaimana bisa, dok. Dia mengingat saudaranya sementara aku tidak."Dokter Gunawan terlihat atur nafas.&
"Shaka ...." Aku memanggilnya yang sedang berlari kesana kemari dengan Fatia."Unda sini," panggil Shaka. Untuk menghilangkan beban, aku ikut berlari kesana kemari dengannya.Anak kecil memang lebih mudah mengobati kegelisahan orang dewasa."Unda, kenapa?" tanyanya, entah mengapa air mataku keluar. Aku merasa hidup terasa tak adil bagiku. Ibarat roller coaster sebentar merasa di puncak sebentar merasa paling rendah."Yang sabar, Non," ucap Fatia. Entah mengapa aku ingin balas dendam dengannya yang tidak jujur sebagai asisten ayah. Kudiamkan saja dia."Jan cemberut dong, nona manisku," ucapnya lagi."Adiknya abaaang Ezaaa." Eh, dia mulai merayuku."Tu kan manis kalau senyum," sambungnya lagi."Mbaaak ...!" teriakku. Kupukul lengannya. Kesal dikerjain olehnya yang ternyata dia asisten ayah.Dia berlari, kukejar dia kesana kemari entah apa y
Aku tidak berharap kau mengingatku total, tapi aku berharap kau masih merasakan hangatnya pelukan dan belaian yang pernah kita lalui. Menikmati indahnya tegukan cinta dan rindu yang bersemi di hati kita. Merasakan setiap helaian yang pernah kita lalui tanpa sekat diantara kita.****Aku menyuapinya. Entah dia lapar atau doyan dengan masakan yang kubawa. Dia begitu lahap. Meski tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami berdua. Ingin memulai, takut dicuekin lagi olehnya."Kapan kita menikah?" tanyanya. Kali ini suaranya lebih lembut tidak setajam yang kemarin."Tiga tahun yang lalu."Hening.Aku masih menyuapinya dengan lembut.&
Kami saling memandang, Reza terus menatapku dengan lekat membuatku salah tingkah. Bagai sepasang kekasih yang sedang dilanda kasmaran. "Aku merasakan hatiku berdebar didekatmu," ucap Reza sambil membelaiku. "Iya, kah." "Apa aku bucin dulu?" tanyanya lagi. "Dikiit," jawabku, yang membuat dia bersemu merah. Apa begini rasanya orang yang sedang kasmaran. Aku merasa lucu berada di dekatnya. Dia pun terlihat malu-malu berada di sampingku. "Sepertinya aku dulu bucin, entah mengapa ada yang kurang jika aku tak memarahimu, membuatmu kesal. Namun, ada yang hila
Selesai makan kami berkumpul lagi di ruang keluarga. Brayen mengajak Shaka untuk bermain di luar. Sementara ayah dan Reza sedang berbincang-bincang meski dia selalu mencuri pandang padaku. Pesona gadis desa memang tiada duanya 'kan abang Reza!"Tak menyangka Nina jika miss Dora adalah ajudannya ayah," ucapku. Miss Dora terlihat tersipu malu. Saatnya aku menyerang mumpung hanya kami berlima di ruang keluarga."Apalagi tu Fatia. Ih, benar-benar kompak memang ajudannya ayah yang dua ini." Hahaha ... Ibu justru yang tak berhenti tertawa melihat tingkahku yang lucu.Setelah cerita panjang lebar, kami kembali ke kesibukan masing-masing. Reza menuju kamarnya dan langsung istirahat. Meski kami masih sungkan untuk memulai, tapi aku terus melakukan tugasku sebagai istrinya.Dia memejamkan mata sepertinya dia benar-benar lelah walau hanya ke ruang tamu saja. Menurut dokter Gunawan, jangan terlalu paksa dia untuk berfikir karen
Abang Reza sudah siap, aku pun demikian, kali ini kami bersatu melawan penjahat. Kemampuan bela diriku lumayan, tapi sepertinya abang Reza juga demikian."Melawan musuh jangan panik, kita harus tenang agar strategi yang kita pakai pas." Begitu katanya, sebenarnya ingin mengomel karena dia kemarin terluka sampai lupa ingatan karena salah strategi."Jangan kebanyakan gaya kalian, mari lawan kami, kalau bisa!"Tanpa di prediksi abang Reza luar biasa, gerakan tangannya begitu cekatan. Apa dulu ia ikut latihan kung fu begitu mudahnya dia melawan musuh. Setiap yang ingin melawanku dengan sigap dan cekatan dia lawan. Luar biasa abang Reza benar-benar di luar prediksiku.Aku tidak terlalu berperan karena para preman sewaan sepertinya hanya