Aku langsung menghubungi Fatia agar mengajak Shaka bermain. Sementara aku menuju ke ruang kerja Reza sesuai perkataan Brayen tadi.
Reza masih terlihat sangat sibuk, tapi dia terlihat sangat tegang berbicara denganku. Banyak hal yang kami bicarakan sebagai antisipasi kedepannya.Sedang asyik berdiskusi. Suara teriakan ibu Ratih--Ibu tirinya Reza membuat kami langsung menjeda diakusi kami."Oke, Reza. Aku akan pergi dari rumah ini!" Suaranya berteriak memenuhi isi rumah."Keluar kamu, Za. Demi istrimu dari desa itu kamu berani melawanku sekarang!" teriaknya lagi.Kami segera menuju sumber suara ternyata dia sudah membawa kopernya. Reza justru melipat tangannya mendengar ibu tirinya marah-marah."Tak masalah kamu blokir kartu kreditku Reza Adytama. Tapi ingat saja, aku pastikan hari ini kamu menyesal!" Serunya. Matanya melotot membuatku bergidik ngeri."Hei Nina gadis kampung, lihat saja akAku bersiap untuk melakukan plan B seperti yang dikatakan Reza. Namun, lagi -lagi kami di kepung oleh wartawan di rumah. Aku tidak bisa kemana-mana secepat itu berita tersebar. Luar biasa memang zaman digital ini."Non, ramai sekali di luar." Luar biasa efek media. Bagaimana aku bisa keluar jika di depan penuh dengan wartawan. Semua pengamanan dikerahkan agar mereka tidak bisa masuk.Satu panggilan masuk mengejutkanku."Halo ....""Bagaimana nyonya besar? Masih berani memilih Reza. Reza itu pembunuh!" Dia langsung go the point. Astagfirullah suaranya benar-benar mengerikan."Aku akan bersihkan nama suamimu asalkan kamu serahkan saham kepemilikan Shaka kepadaku." Ow, benar -benar in
Reza memberiku kesempatan untuk membersihkan diri sekaligus menidurkan Shaka yang terlihat sangat mengantuk sekali. Setelah itu kami kumpul berempat membahas tentang masalah yang tiba-tiba ada di media tadi. Kuceritakan bahwa bu Ratih menelponku karena menginginkan saham yang dimiliki oleh Shaka."Memang sesuai perjanjian dan wasiat dari daddy, ibu Ratih hanya diberikan lima persen saja sementara anak yang lahir dari istri abang sebesar dua puluh lima persen sisanya diperuntukkan buatku semua." Reza menjelaskan kepada kami."Perusahaan ini memang sangat menguntungkan karena pendapatannya paling besar dari yang lain. Kalau Rena jelas dia sudah memiliki warisan yang lain. Nah, ibu tiriku ini menganggap dia dizholimi karena mendapatkan bagian sedikit. Padahal sering aku katakan padanya bahwa belanja bulanannya tetap dan itu cukup kalau sekedar untuk dipakai shoping.""Emang satu bulan berapa belanjanya?" tanyaku yang penasaran.
Bergegas kami menemui Farhan. Mata kami terbelalak melihat ibu tiri sedang menangis tersedu-sedu. Aktingnya memang luar biasa."Reza itu anak durhaka, padahal aku merawatnya setelah ibunya tiada." Dia mulai akting menangis."Bayangkan dia menikah dengan gadis yang tidak jelas asal usulnya dari desa, sudah kutolak tapi dia ngotot menikahi gadis itu di desa tanpa mengajakku dan mengundang relasi. Pernikahan macam apa yang diam-diam tanpa mengabari semua orang kalau memang itu pernikahan yang pasti kalian tahu lah," ucapnya lagi.Reza geleng-geleng kepala."Padahal Brayen sangat butuh kasih sayang darinya, memang Reza itu tidak pernah mendengar apa yang aku ucapkan."Dan banyak lagi hinaan
"Bang ...." Rasanya kali ini ada rasa sesak dihatiku."Kenapa?" tanyanya, dia langsung mengecup keningku. Dia tahu aku khawatir padanya."Cepat kembali jangan lama-lama." Dia mengangguk."Hanya ini solusi yang terbaik. Untuk sementara istri abang dan Shaka menepi disini. Dan aku harus mencari solusi semua keonaran ini tidak mungkin abang hanya berdiam diri." Ternyata dia sejak semalam berusaha agar aku tidak panik, padahal sebenarnya dia mungkin justru sangat panik memikirkan Brayen.****Hari ini kami dikejutkan lagi dengan video viral ibu mertua bersama bos Atmadja. Mereka terlihat kompak bersatu untuk menuntut Reza sebagai orang yang tidak bertanggung jawab. Apa maksudnya? Apa hubungan ibu Ratih dengan bos Atmadja yang kudengar dari Fatia, dia adalah ayah dari dokter Gunawan.Kutekan tombol hijau untuk menelpon dokter Gunawan. Namun, nomornya tidak aktif, semenjak aku kembali bersama Reza,
Hari demi hari belum ada kabar dari Reza. Kabar terakhir dia nyebrang ke luar pulau menjemput Brayen. Namun, sampai saat ini belum ada kabar dari Reza. Tentunya aku tidak bisa berdiam diri di rumah menunggu ketidakpastian. Reza kemana? Tidak mungkin selama ini meninggalkan kami. Ini sudah hari kelima dia pergi menjemput Brayen. Meski di media sudah mulai tidak seramai pemberitaan yang kemarin, tapi tentu sebagai istri ini tidak bisa dibiarkan. Dengan tergopoh Fatia datang menghampiriku. Membawa sebuah surat yang datang dari asisten Reza dari kantor. "Surat Persemian Gedung Baru Perusahaan Atmadja." Maksudnya? Apa mereka sengaja mengundangku menggantikan Reza ke perusahaan itu. Lalu tujuannya apa? Mengapa hidupku dilematis begini. Apa sulit gadis desa sepertiku menjadi istri sultan? "Siapa yang mengantar ini Fatia? Mengapa mereka tahu lokasi ini?" tanyaku. "Asisten tuan di kantor yang datang. Katanya tu
Malam ini aku dirias oleh asisten yang diutus. Rena setia menungguku, sesekali dia terus tersenyum padaku. Wajahnya sungguh menawan, wanita berkelas yang pernah kulihat. Dibandingkan Pricilia, masih jauh dari tampilan Rena. "Tak salah kak Reza memilih istri, kakak sungguh cantik sekali. Wanita yang kak Reza selalu sebut dalam do'a." Ha? Maksudnya? "Meski kakak dijodohkan, tapi sudah jauh hari kak Reza sudah mencintai kakak. Berapa banyak wanita yang mendekat, tak satu pun yang membuatnya tertarik. Itu mungkin yng namanya jatuh cinta pada pandangan pertama." Aku diam. Apa Reza begitu mencintaiku. "Rena yakin kakak itu wanita yang sangat berkelas hingga kak Reza jatuh cinta kepada kakak."
"Jangan terlalu bahagia Cinderella kesiangan, ini mungkin malam terakhir bagimu menikmati semua peranmu. Kamu akan kembali ke asalmu sebagai gadis desa yang antah berantah." Sabar, atur nafas dalam-dalam. "Hi, ibu tiri. Masih ingat aku, malam ini kami akan menyadarkanmu dimana asalmu berada. Jangan samakan kakak iparku dengan dirimu yang tidak jelas asal usulnya. Jika kamu ingin menjadi nyonya besar aku pastikan akan mengembalikanmu ke habitatmu ibu Ratih yang tak punya malu!" Teriak Rena yang membuat sebagian orang melirik kami. Namun, Rena tak peduli dia menggandengku untuk terus melangkah dengan anggun. "Kakak tetap kalem, biar aku saja yang bar-bar malam ini," ucapnya terkekeh. Ya Allah aku seperti merasakan Reza versi wanita yang tetap tenang dengan situasi yang menurutku semakin mendebarkan. Tak terima diperlakukan seperti itu oleh Rena, bu Ratih mengejar kami, tapi Rena langsung mengangkat tangannya seketika bu Ratih langsung dih
Aku masih shock tidak percaya dengan yang kudengar malam ini. Kali ini Seluruh mata menatapku, apakah ini kenyataan? Sepertinya ini mimpi. Namun, suara ayah begitu tegas tanpa ada sedikit keraguan sedikit pun. Rena memegang tanganku, seperti menguatkan bahwa ini tidak mimpi. Ini nyata! "Nina Humaira adalah putriku satu-satunya. Kami tinggal di desa karena aku ingin menjauhkan keluargaku dari perkara yang namanya bisnis." Semua tamu hening. Tak ada satu pun yang berbicara seperti terhipnotis dengan ucapan ayah. "Mungkin bagi sebagian orang ini mustahil, tapi ini kenyataan. Aku membawa keluargaku untuk hidup tenang di desa di bawah kaki gunung. Nina itu bukan cinderela yang tiba-tiba menikah dengan pangeran. Namun, dialah yang menjadi seorang putri sebenarnya. Bukan abal-abal seperti yang kalian pikirkan dimana seorang gadis des
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te
Ternyata abang Brayen tidak mau menyerah, dia mengikutiku dari belakang. Tanpa ragu dia bahkan menarik tanganku ke mobilnya. Aku yang ingin melepas diri, kalah dengan tangannya yang begitu kekar. "Biar nanti mobilnya diantar pak sopir saja," katanya enteng."Apa semua wanita begini menyusahkan," katanya lagi. Dia nampak sebal melihat Nugroho mendekatiku. Wajah cemburunya tidak bisa di sembunyikan."Mau kemana?" tanyaku spontan."Aku antar pulang, Daddy sudah menunggumu sejak tadi.""Maksudnya?" apa benar daddy menungguku. Darimana dia tahu. Bisa saja ini hanya akal-akalanya saja agar bisa mendekatiku."Kenapa heran begitu, bukannya kami berdua sama-sama tukang intip," balasnya sambil terkekeh.Dengan santainya dia menyetir, aku dibuat bingung sendiri dengan tingkahnya. Walau entah mengapa ada yang terasa hangat di hatiku. "Singkirkan pikiranmu bisa mencari laki-laki yang lain selain aku," katanya lagi. Kali ini nada bicaranya lebih intens. Ada ketegangan di wajahnya seperti sangat s
Dia terus menatapku membuatku salah tingkah. Dengan entengnya dia minum kopi yang aku pesan. Benar-benar meresahkan. Aku hanya bisa menunduk, tidak berani menatap wajahnya."Sejak kapan dokter Monica bisa minum kopi?" tanyanya lagi. Aku hanya bisa menunduk, tak kuat hanya sekedar memandangnya. Apa rasa ini tumbuh kembali? Mengingat dia jauh lebih fresh, serta hidupnya kulihat lebih teratur."Kenapa tidak berani memandangku?" tanyanya dengan santai. Cemilan yang bahkan kupesan ikut serta dia makan. Aku terus menarik napas agar bisa mengendalikan diri."Apa kerjaan dokter yang dikatakan hebat ini suka ngintip?" tanyaku. Aku tak mau kalah."Kalau bisa aku akan mengintipmu setiap saat, Sayang." Duh, kenapa dia menatapku seperti itu.Aku bangkit dan beranjak dari tempat duduk, tapi abang Brayen langsung menahanku. Mata kami beradu, dia bahkan menatapku dengan lekat."Mau kemana?" tanyanya."Mau kembali ke rumah sakit, gara-gara kalian hidupku tidak tenang, tidak daddy, anda pun demikian.
"Apa tidak salah dokter mau bekerja sama dengan hospital group, mengingat Perusahaan Adytama salah satu perusahaan terbesar di kota ini.""Tidak masalah, Bu. Yang punya kan daddy saya, sementara saya baru merintis." "Oh, baiklah."Ini bukan sekali dua kali ketika pertemuan mereka terlihat heran, tapi sebenarnya aku sengaja membuka identitasku di depan dokter Ika karena aku melihat dia membuka identitasnya waktu berkenalan. Sebagai pembisnis daddy selalu mengajarkan untuk tidak boleh terlihat lemah. Apalagi seperti orang yang heran dengan kekayaan atau kesuksesan orang lain, meski kita terlihat sederhana, tetapi harus tetap untuk menjaga pembawaan diri agar disegani oleh rival. Ini yang aku pegang, ketika menemukan sosok seperti dokter Ika, maka aku pun tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan dia."Mari kita mulai, Dok," sambungnya.Setelah panjang lebar kami berkomunikasi akhirnya kami menemukan kesimpulan. Kami juga sepakat membangun kerja sama kedepannya. Fokus dengan tujuan,
Semalaman aku berpikir keras, amarah daddy masih nampak jelas di depanku. Kurasa itu sangat wajar, orang tua mana yang mau melihat anaknya susah untuk kedua kalinya. Aku pun heran bahkan sekian tahun berganti mengapa harus dia? Mengapa dia masih bertahta padahal kesalahannya begitu fatal. Harusnya aku menyadari bahwa dinding diantara kami begitu tinggi dan kokoh, bahkan aku sadar di kehidupan kedua pun tak ada yang merestui hubungan kami. "Monica, bunda boleh masuk?" tanya bunda yang sedang mengetuk pintu kamarku. "Boleh, Bund. Monica tidak menguncinya."Bunda masuk lalu mengajakku bicara, nampak sekali bunda terlihat cemas melihatku. Apakah aku terus yang akan membuat hatinya terluka? Tanpa berbicara pun, bunda paham dengan apa yang aku rasakan. "Apa ucapan daddy mengganggumu?" tanya bunda. "Gak, Bund. Menurutku itu hal wajar sebagai orang tua. Aku pun sebagai orang tua akan bersikap demikian jika membuat hati anakku sakit.""Apa susah bagimu melupakan cinta pertamamu?" tanya b
Ada hangat dalam hati ini yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, setidaknya aku punya harapan bersamanya lagi tanpa merebut dia dari Aksen. Setitik asa mulai terlihat untuk mengulang kembali di masa depan bersamanya. Wajahnya bahkan senyumnya begitu candu bagiku. Aku rasa ini yang dinamakan cinta yang berbalik padaku, wanita yang pernah menjadi adik angkatku itu membuat hidupku berubah drastis. Apa aku serakah dengan perasaan ini? Walau jujur aku bahagia bisa melihatnya lebih dekat tanpa takut dia milik orang lain."Kenapa melamun begitu?" tanya Aksen tiba-tiba sudah ada di rumah sakit.Dia memang laki-laki tak terduga, kadang aku berpikir kenapa ada laki-laki sebaik dia. Meski aku pernah berkelahi dengannya tak sedikit pun dia membalas, dia justru selalu membantuku dalam diam. Hatinya seluas samudera yang kadang membuatku malu sendiri. Walau jujur aku heran dia belum memiliki keturunan bersama Monica."Sejak kapan di Indo?" tanyaku balik."Sudah seminggu ini," balasnya."Kenapa