Aku menangis tersedu-sedu di pojokan kamar. Bajuku sudah entah kemana rimbanya. Dengan kasar dan brutal Reza menggauliku. Aku bahkan mengingat jelas dia merobek bajuku dengan sangat kasar. Aku merasa dinodai dengan cara tidak terhormat. Aku tidak menyangka Reza datang dengan bau alkohol yang begitu menyengat. Apakah Reza sebenarnya orang yang memiliki dua kepribadian? Ini benar-benar tak bisa aku biarkan lagi.
Setelah menggauliku dengan kasar dan berkali-kali dia terlihat sangat kecapean dan tidak berdaya. Aku segera berkemas tak peduli larut malam, rasa sesak yang kurasa sudah sampai ke ubun-ubun. Reza membuatku benar-benar seperti wanita murahan, wanita yang bukan seperti istrinya. Apa begini cara orang yang terpandang membuat kalangan di bawahnya merasa hina seperti diriku ini. Sungguh aku trauma.
Kuambil beberapa potong pakaianku lalu kumasukkan ke dalam tas ransel yang kupunya. Malam ini aku harus kabur tidak peduli bagaimana caranya yang jelas aku harus pergi d
Bus pun datang, tak ingin meninggalkan jejak aku langsung ikut naik. Tak ada kenalan yang bisa kuandalkan di kota besar ini, bahkan aku tak membawa gawai ditanganku. Saat ini yang ingin kulakukan adalah pergi jauh, sejauh- jauhnya. Sebelumnya di dekat stasiun ada ATM yang kumasuki. Dengan tangan gemetar aku membuka isi ATM itu yang ternyata isinya membuat alisku terangkat. Entah sejak kapan ATM ini diisi oleh Reza, setahuku sebelumnya hanya berisi satu juta uang yang kudapatkan dari transport sukarelawan. Aku hanya mengambil satu juta tak ingin membuat hutang dengan uang yang tidak kutahu keberadaannnya itu. Ternyata selain memberiku kartu-kartu di rumahnya, dia juga mengisi di ATM yang kumiliki. ****Bus berhenti di terminal berikutnya. Kali ini aku semakin bingung mau kemana. Ditengah kebingunganku, suara tidak asing terdengar di telingaku. "Non ...." "Fatia ...." Aku tidak mampu berkata-kata. "Nona mau kemana?" Fatia bertan
***Waktu terus berlalu aku semakin betah disini. Bahkan aku sudah mengenal warga satu demi satu. Aku sudah memiliki planing kedepan membuka klinik psikologi dan beberapa toko agar warga tidak jauh untuk berbelanja. Sesekali beberapa pemuda melirikku. Namun, Fatia selalu sigap menjagaku dan tegas mengatakan bahwa aku memiliki suami yang sedang tugas dinas di kota. Ah, Fatia kau memang orang yang luar biasa bagiku.Belakangan ini aku merasa tak enak badan. Perutku terasa mual, kepalaku sering pusing. Aku bahkan tak kuat mencium bau atau harum-harum yang sejenis parfum. Aku bahkan meminta Fatia kerokan hari ini."Mbak, satu pintaku jangan sampai keluarga Adytama mengetahui keberadaanku disini. Aku tidak tahu mau percaya sama siapa. Namun, aku yakin mbak dapat dipercaya.""Iya, Non. Aku sudah berjanji untuk setia kepada Nona terlepas dari masalah apa. Tapi ....""Tapi apa mbak?""Sebenarnya ada apa? Sampai nona kabur dan rumah Adytama gempar. Bah
"Nona hamil?" tanya Fatia, bahkan aku lupa jika aku hamil saking fokusnya mendengar suara di seberang sana yang mengatakan Reza akan segera menikah. "Nona ...." Dengan sigap Fatia mengambil tespack yang tiba-tiba terjatuh olehku. "Nona, ini benarkah?" Fatia memelukku terharu, aku justru tidak percaya hal ini terjadi menimpaku. Menikah dan dicampakkan begitu saja oleh suami sendiri. "Mbak, kenapa masih berhubungan dengan mereka," ucapku serak. Ingin marah, tapi apa hakku, bahkan Fatia yang lebih banyak membantuku selama ini. "Pengasuhnya Brayen menelponku, Nona. Maafkan aku, apa nona mendengar ...." ucapan Fatia terhenti, ada rasa bersa
**** Waktu terus berlalu, siang berganti malam. Tak terasa usia kehamilan sudah menginjak tujuh bulan. Fatia bahkan sibuk menyiapkan tujuh bulananku padahal aku sudah katakan tidak perlu. Toh juga tak ada suami yang mendampingi , tapi keikhlasan Fatia dan warga di kampung ini acara itu terlaksana dengan lancar. Aku sangat bersyukur bertemu dengan orang yang ikhlas menemaniku disaat aku terpuruk seperti ini. Toko dan apotek yang kami bangun berjalan sangat lancar. Apotek yang masih terbilang belum ada disini paling laris penjualannya karena kami menjual dengan harga yang tidak terlalu mahal, itu yang membuat warga lebih memilih toko dan apotek yang kami punya. Selama di kampung ini aku hanya keluar ketika check kandungan dan ambil uang di bank waktu itu. Fatia sampai kaget melihat uang yang begitu banyak kupunya. Aku juga lebih kaget melihat uang itu justru semakin bertambah, bukan semakin berkurang. Entahlah, apa aku berdosa atau tidak mema
Ternyata itu hanya halusinasiku, Reza tak ada di tempat ini. Apa aku begitu merindukannya? hingga bayangan dirinya selalu nampak di depan mataku? kembali aku mengatur napas, rasa kontraksinya mulai mendera, hingga Fatia mengingatkanku karena bukaan semakin naik. Aku harus kuat demi raga yang ada di dalam rahimku. "Ayo nona, semangat! bukaannya makin naik." Kusisir semua pandangan ke kamar ini lagi. Ternyata tak ada Reza. Lagi-lagi aku berhalusinasi membayangkan Reza yang mendampingiku. Nyatanya itu adalah harapan yang tak mungkin tersampaikan. Hingga kontraksinya semakin kuat dengan jarak kontraksi yang tidak selama tadi. Rasanya begitu nikmat sekali sulit untuk di ungkapkan dengan kata-kata. "Mbak ... semakin sakit!" Aku sedikit berteriak, Fatia berlari memanggil bidan lagi. Rasanya benar-benar ingin buang air. Hm ... rasanya masya Allah. "Masya Allah. Bukaan sudah lengkap. Ayo mbak, semangat untuk mengejan." Bidan dan tim dengan sigap menyiapkan perlengkapan. Keringatku begitu
"Non, kabarnya ada yang mau buka hotel di dekat kita. Bosnya dari Jakarta," ucap Fatia yang sedang sibuk menghitung keuntungan penjualan. Untuk karyawan kami memakai warga disini sekaligus untuk memanfaatkan SDM warga sekitar."Oh, syukurlah kalau begitu, mbak. Tempat ini pasti akan semakin ramai mengingat suasana pedesaan disini sangat cocok untuk wisatawan.""Iya, kemarin kepala desa menyampaikan kalau tempat kita ini terpilih sebagai lokasi wisata sehingga banyak yang ingin membangun hotel.""Alhamdulillah, jangan lupa sedekah untuk jum'at besok, ya, mbak.""Siap, sudah Fatia sampaikan ke Bik Nung untuk sedekah jum'at besok pagi, Non."Sedekah jum'at rutin kami lakukan. Di tempat ini masih banyak yang membutuhkan. Wilayah yang jauh dari perkotaan membuat hatiku tergerak setiap jum'at pagi memberikan ala kadarnya, meski sekedar nasi bungkus disini sangat berarti."Bunda ... Shaka mau ke kebun trowb
*"Iya, Pak. Sepertinya sibuk sekali.""Benar, Bu. Kita akan dikunjungi pengusaha dari kota. Investasinya sangat besar sampai kepala daerah juga turun tangan.""Alhamdulillah, pak. Ada yang melirik desa kita," sambungku sambil menemani Shaka yang sedang aktif-aktifnya berlari.Entah mengapa perasaanku melayang jauh mendengar pengusaha dari kota akan membangun hotel di tempat ini. Fatia juga begitu sibuk hari ini, tapi tetap menyempatkan diri untuk menemani Shaka bermain."Nona gak niat kembali ke kota tempat ayahnya Shaka." Entah mengapa Fatia bertanya kembali ke kota lagi. Apa ada kaitannya dengan pengusaha yang akan datang."Belum, Mbak. Aku masih betah disini.""Hm ....""Kenapa, mbak?"Dia menyodorkan ponselnya kepadaku. Kulihat gambar Reza di instagram gosip bersama Pricilia. Terlihat bahagia seperti pasangan suami istri."Biasa aja, mbak. Aku
"Apakah itu benar Dik Nina?" Kali ini aku tidak bisa mengelak lagi."Terus yang digendong ...." suara dokter Gunawan tercekat, aku tau pasti begitu banyak yang ingin ditanyakan.Namun, aku justru berbalik dan meminta Fatia yang mengurus dokter Gunawan. Aku belum siap untuk bertemu dengan masa laluku. Shaka masih dalam pelukanku. Maafkan aku dokter Gunawan, aku benar-benar belum siap."Dik Nina ...." setengah berlari aku meninggalkan dokter Gunawan. Kulihat Fatia ikut membantu menenangkan dokter Gunawan agar tidak banyak bertanya. Meski aku tahu Fatia tidak kenal dengan dokter Gunawan sebelumnya.Keesokannya, semua toko, apotek dan klinik aku tutup. Mengingat dokter Gunawan yang sudah mengetahui keberadaanku. Setelah ini pasti ada y