Reza ke kamar mandi, aku langsung melancarkan aksiku. Aku berteriak agar dia paham posisinya. Selain itu aku sudah siap untuk dianggap sebagai pelakor, toh juga kami sepadan dan Mall ini adalah milikku. Ternyata aku salah besar, dia jauh lebih berani. Pesona gadis desa ini mampu membuat pengunjung menjadikan kami tontonan, tak ingin kalah kulihat Reza mendekat dan sengaja kubenturkan keningku hingga berdarah agar Reza iba kepadaku. Gayung pun disambut aku mampu membuat istrinya patah hati, dengan spontan Reza meneriaki istrinya dan langsung menggendongku. Aku berpura meringis kesakitan. Puas, satu kata yang aku rasakan ketika melihat wajah istrinya yang hampir menangis.Aku bahkan yakin Reza masih menyimpan rasa kepadaku.****Meski Reza tak mengantarku sampai rumah sakit hanya sampai di mobil Farhan. Namun, aku puas melihat pasangan suami istri itu semakin renggang. Plan berikutnya adalah membuat dia semakin dekat denganku di pesta ulang tahunku hari ini.
Aku menangis tersedu-sedu di pojokan kamar. Bajuku sudah entah kemana rimbanya. Dengan kasar dan brutal Reza menggauliku. Aku bahkan mengingat jelas dia merobek bajuku dengan sangat kasar. Aku merasa dinodai dengan cara tidak terhormat. Aku tidak menyangka Reza datang dengan bau alkohol yang begitu menyengat. Apakah Reza sebenarnya orang yang memiliki dua kepribadian? Ini benar-benar tak bisa aku biarkan lagi. Setelah menggauliku dengan kasar dan berkali-kali dia terlihat sangat kecapean dan tidak berdaya. Aku segera berkemas tak peduli larut malam, rasa sesak yang kurasa sudah sampai ke ubun-ubun. Reza membuatku benar-benar seperti wanita murahan, wanita yang bukan seperti istrinya. Apa begini cara orang yang terpandang membuat kalangan di bawahnya merasa hina seperti diriku ini. Sungguh aku trauma. Kuambil beberapa potong pakaianku lalu kumasukkan ke dalam tas ransel yang kupunya. Malam ini aku harus kabur tidak peduli bagaimana caranya yang jelas aku harus pergi d
Bus pun datang, tak ingin meninggalkan jejak aku langsung ikut naik. Tak ada kenalan yang bisa kuandalkan di kota besar ini, bahkan aku tak membawa gawai ditanganku. Saat ini yang ingin kulakukan adalah pergi jauh, sejauh- jauhnya. Sebelumnya di dekat stasiun ada ATM yang kumasuki. Dengan tangan gemetar aku membuka isi ATM itu yang ternyata isinya membuat alisku terangkat. Entah sejak kapan ATM ini diisi oleh Reza, setahuku sebelumnya hanya berisi satu juta uang yang kudapatkan dari transport sukarelawan. Aku hanya mengambil satu juta tak ingin membuat hutang dengan uang yang tidak kutahu keberadaannnya itu. Ternyata selain memberiku kartu-kartu di rumahnya, dia juga mengisi di ATM yang kumiliki. ****Bus berhenti di terminal berikutnya. Kali ini aku semakin bingung mau kemana. Ditengah kebingunganku, suara tidak asing terdengar di telingaku. "Non ...." "Fatia ...." Aku tidak mampu berkata-kata. "Nona mau kemana?" Fatia bertan
***Waktu terus berlalu aku semakin betah disini. Bahkan aku sudah mengenal warga satu demi satu. Aku sudah memiliki planing kedepan membuka klinik psikologi dan beberapa toko agar warga tidak jauh untuk berbelanja. Sesekali beberapa pemuda melirikku. Namun, Fatia selalu sigap menjagaku dan tegas mengatakan bahwa aku memiliki suami yang sedang tugas dinas di kota. Ah, Fatia kau memang orang yang luar biasa bagiku.Belakangan ini aku merasa tak enak badan. Perutku terasa mual, kepalaku sering pusing. Aku bahkan tak kuat mencium bau atau harum-harum yang sejenis parfum. Aku bahkan meminta Fatia kerokan hari ini."Mbak, satu pintaku jangan sampai keluarga Adytama mengetahui keberadaanku disini. Aku tidak tahu mau percaya sama siapa. Namun, aku yakin mbak dapat dipercaya.""Iya, Non. Aku sudah berjanji untuk setia kepada Nona terlepas dari masalah apa. Tapi ....""Tapi apa mbak?""Sebenarnya ada apa? Sampai nona kabur dan rumah Adytama gempar. Bah
"Nona hamil?" tanya Fatia, bahkan aku lupa jika aku hamil saking fokusnya mendengar suara di seberang sana yang mengatakan Reza akan segera menikah. "Nona ...." Dengan sigap Fatia mengambil tespack yang tiba-tiba terjatuh olehku. "Nona, ini benarkah?" Fatia memelukku terharu, aku justru tidak percaya hal ini terjadi menimpaku. Menikah dan dicampakkan begitu saja oleh suami sendiri. "Mbak, kenapa masih berhubungan dengan mereka," ucapku serak. Ingin marah, tapi apa hakku, bahkan Fatia yang lebih banyak membantuku selama ini. "Pengasuhnya Brayen menelponku, Nona. Maafkan aku, apa nona mendengar ...." ucapan Fatia terhenti, ada rasa bersa
**** Waktu terus berlalu, siang berganti malam. Tak terasa usia kehamilan sudah menginjak tujuh bulan. Fatia bahkan sibuk menyiapkan tujuh bulananku padahal aku sudah katakan tidak perlu. Toh juga tak ada suami yang mendampingi , tapi keikhlasan Fatia dan warga di kampung ini acara itu terlaksana dengan lancar. Aku sangat bersyukur bertemu dengan orang yang ikhlas menemaniku disaat aku terpuruk seperti ini. Toko dan apotek yang kami bangun berjalan sangat lancar. Apotek yang masih terbilang belum ada disini paling laris penjualannya karena kami menjual dengan harga yang tidak terlalu mahal, itu yang membuat warga lebih memilih toko dan apotek yang kami punya. Selama di kampung ini aku hanya keluar ketika check kandungan dan ambil uang di bank waktu itu. Fatia sampai kaget melihat uang yang begitu banyak kupunya. Aku juga lebih kaget melihat uang itu justru semakin bertambah, bukan semakin berkurang. Entahlah, apa aku berdosa atau tidak mema
Ternyata itu hanya halusinasiku, Reza tak ada di tempat ini. Apa aku begitu merindukannya? hingga bayangan dirinya selalu nampak di depan mataku? kembali aku mengatur napas, rasa kontraksinya mulai mendera, hingga Fatia mengingatkanku karena bukaan semakin naik. Aku harus kuat demi raga yang ada di dalam rahimku. "Ayo nona, semangat! bukaannya makin naik." Kusisir semua pandangan ke kamar ini lagi. Ternyata tak ada Reza. Lagi-lagi aku berhalusinasi membayangkan Reza yang mendampingiku. Nyatanya itu adalah harapan yang tak mungkin tersampaikan. Hingga kontraksinya semakin kuat dengan jarak kontraksi yang tidak selama tadi. Rasanya begitu nikmat sekali sulit untuk di ungkapkan dengan kata-kata. "Mbak ... semakin sakit!" Aku sedikit berteriak, Fatia berlari memanggil bidan lagi. Rasanya benar-benar ingin buang air. Hm ... rasanya masya Allah. "Masya Allah. Bukaan sudah lengkap. Ayo mbak, semangat untuk mengejan." Bidan dan tim dengan sigap menyiapkan perlengkapan. Keringatku begitu
"Non, kabarnya ada yang mau buka hotel di dekat kita. Bosnya dari Jakarta," ucap Fatia yang sedang sibuk menghitung keuntungan penjualan. Untuk karyawan kami memakai warga disini sekaligus untuk memanfaatkan SDM warga sekitar."Oh, syukurlah kalau begitu, mbak. Tempat ini pasti akan semakin ramai mengingat suasana pedesaan disini sangat cocok untuk wisatawan.""Iya, kemarin kepala desa menyampaikan kalau tempat kita ini terpilih sebagai lokasi wisata sehingga banyak yang ingin membangun hotel.""Alhamdulillah, jangan lupa sedekah untuk jum'at besok, ya, mbak.""Siap, sudah Fatia sampaikan ke Bik Nung untuk sedekah jum'at besok pagi, Non."Sedekah jum'at rutin kami lakukan. Di tempat ini masih banyak yang membutuhkan. Wilayah yang jauh dari perkotaan membuat hatiku tergerak setiap jum'at pagi memberikan ala kadarnya, meski sekedar nasi bungkus disini sangat berarti."Bunda ... Shaka mau ke kebun trowb
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te
Ternyata abang Brayen tidak mau menyerah, dia mengikutiku dari belakang. Tanpa ragu dia bahkan menarik tanganku ke mobilnya. Aku yang ingin melepas diri, kalah dengan tangannya yang begitu kekar. "Biar nanti mobilnya diantar pak sopir saja," katanya enteng."Apa semua wanita begini menyusahkan," katanya lagi. Dia nampak sebal melihat Nugroho mendekatiku. Wajah cemburunya tidak bisa di sembunyikan."Mau kemana?" tanyaku spontan."Aku antar pulang, Daddy sudah menunggumu sejak tadi.""Maksudnya?" apa benar daddy menungguku. Darimana dia tahu. Bisa saja ini hanya akal-akalanya saja agar bisa mendekatiku."Kenapa heran begitu, bukannya kami berdua sama-sama tukang intip," balasnya sambil terkekeh.Dengan santainya dia menyetir, aku dibuat bingung sendiri dengan tingkahnya. Walau entah mengapa ada yang terasa hangat di hatiku. "Singkirkan pikiranmu bisa mencari laki-laki yang lain selain aku," katanya lagi. Kali ini nada bicaranya lebih intens. Ada ketegangan di wajahnya seperti sangat s
Dia terus menatapku membuatku salah tingkah. Dengan entengnya dia minum kopi yang aku pesan. Benar-benar meresahkan. Aku hanya bisa menunduk, tidak berani menatap wajahnya."Sejak kapan dokter Monica bisa minum kopi?" tanyanya lagi. Aku hanya bisa menunduk, tak kuat hanya sekedar memandangnya. Apa rasa ini tumbuh kembali? Mengingat dia jauh lebih fresh, serta hidupnya kulihat lebih teratur."Kenapa tidak berani memandangku?" tanyanya dengan santai. Cemilan yang bahkan kupesan ikut serta dia makan. Aku terus menarik napas agar bisa mengendalikan diri."Apa kerjaan dokter yang dikatakan hebat ini suka ngintip?" tanyaku. Aku tak mau kalah."Kalau bisa aku akan mengintipmu setiap saat, Sayang." Duh, kenapa dia menatapku seperti itu.Aku bangkit dan beranjak dari tempat duduk, tapi abang Brayen langsung menahanku. Mata kami beradu, dia bahkan menatapku dengan lekat."Mau kemana?" tanyanya."Mau kembali ke rumah sakit, gara-gara kalian hidupku tidak tenang, tidak daddy, anda pun demikian.
"Apa tidak salah dokter mau bekerja sama dengan hospital group, mengingat Perusahaan Adytama salah satu perusahaan terbesar di kota ini.""Tidak masalah, Bu. Yang punya kan daddy saya, sementara saya baru merintis." "Oh, baiklah."Ini bukan sekali dua kali ketika pertemuan mereka terlihat heran, tapi sebenarnya aku sengaja membuka identitasku di depan dokter Ika karena aku melihat dia membuka identitasnya waktu berkenalan. Sebagai pembisnis daddy selalu mengajarkan untuk tidak boleh terlihat lemah. Apalagi seperti orang yang heran dengan kekayaan atau kesuksesan orang lain, meski kita terlihat sederhana, tetapi harus tetap untuk menjaga pembawaan diri agar disegani oleh rival. Ini yang aku pegang, ketika menemukan sosok seperti dokter Ika, maka aku pun tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan dia."Mari kita mulai, Dok," sambungnya.Setelah panjang lebar kami berkomunikasi akhirnya kami menemukan kesimpulan. Kami juga sepakat membangun kerja sama kedepannya. Fokus dengan tujuan,
Semalaman aku berpikir keras, amarah daddy masih nampak jelas di depanku. Kurasa itu sangat wajar, orang tua mana yang mau melihat anaknya susah untuk kedua kalinya. Aku pun heran bahkan sekian tahun berganti mengapa harus dia? Mengapa dia masih bertahta padahal kesalahannya begitu fatal. Harusnya aku menyadari bahwa dinding diantara kami begitu tinggi dan kokoh, bahkan aku sadar di kehidupan kedua pun tak ada yang merestui hubungan kami. "Monica, bunda boleh masuk?" tanya bunda yang sedang mengetuk pintu kamarku. "Boleh, Bund. Monica tidak menguncinya."Bunda masuk lalu mengajakku bicara, nampak sekali bunda terlihat cemas melihatku. Apakah aku terus yang akan membuat hatinya terluka? Tanpa berbicara pun, bunda paham dengan apa yang aku rasakan. "Apa ucapan daddy mengganggumu?" tanya bunda. "Gak, Bund. Menurutku itu hal wajar sebagai orang tua. Aku pun sebagai orang tua akan bersikap demikian jika membuat hati anakku sakit.""Apa susah bagimu melupakan cinta pertamamu?" tanya b
Ada hangat dalam hati ini yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, setidaknya aku punya harapan bersamanya lagi tanpa merebut dia dari Aksen. Setitik asa mulai terlihat untuk mengulang kembali di masa depan bersamanya. Wajahnya bahkan senyumnya begitu candu bagiku. Aku rasa ini yang dinamakan cinta yang berbalik padaku, wanita yang pernah menjadi adik angkatku itu membuat hidupku berubah drastis. Apa aku serakah dengan perasaan ini? Walau jujur aku bahagia bisa melihatnya lebih dekat tanpa takut dia milik orang lain."Kenapa melamun begitu?" tanya Aksen tiba-tiba sudah ada di rumah sakit.Dia memang laki-laki tak terduga, kadang aku berpikir kenapa ada laki-laki sebaik dia. Meski aku pernah berkelahi dengannya tak sedikit pun dia membalas, dia justru selalu membantuku dalam diam. Hatinya seluas samudera yang kadang membuatku malu sendiri. Walau jujur aku heran dia belum memiliki keturunan bersama Monica."Sejak kapan di Indo?" tanyaku balik."Sudah seminggu ini," balasnya."Kenapa