Karissa masih memasang wajah sedih. Dia bahkan mengusap bawah mata padahal tidak ada air mata yang menetes di sana. Karissa melirik pada Aksa yang memasang wajah datar, dia berharap Aksa memberikan respon atas akting yang dilakukannya.Tanpa Aksa tahu, Karissa memasang kamera kecil di tas yang ada di atas meja untuk merekam, bagaimana reaksi Aksa. Namun, sepertinya hasil tak sesuai dengan yang Karissa harapkan.“Kalau Kak Aksa tidak terima, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak berniat tak sopan apalagi menyinggung. Aku hanya bingung bagaimana caranya menghentikan pria itu, makanya aku memakai foto Kak Aksa. Maaf.”Karissa masih berpura-pura lemah dan polos.“Hapus postingan itu!” perintah Aksa dengan nada datar. Bahkan saat melihat Karissa seperti ingin menangis pun, Aksa tak terlihat bersimpati.“Iya,” jawab Karissa bersikap penurut untuk membuat Aksa memercayainya. “Tapi Kak Aksa tidak marah lagi, kan?”Karissa menatap Aksa yang memasang wajah datar. Melihat Aksa tidak membentak da
Bima diam memikirkan semua ucapan Karissa. Entah dia harus percaya atau tidak, tetapi melihat semua bukti yang Karissa berikan, rasanya memang benar kalau Aksa menyembunyikan identitas dari Alina.Untuk apa Aksa melakukannya jika memang cinta dengan Alina? Akhirnya Bima percaya kalau yang dikatakan Karissa benar.Bima memandang foto-foto Aksa ketika di acara besar. Dia benar-benar tidak bisa melihat Alina dimanfaatkan. Dia mungkin kejam sudah menyakiti Alina, tetapi Aksa lebih kejam lagi karena memanfaatkan Alina hanya agar bisa mendapat warisan.“Aku tidak bisa diam,” geram Bima.Namun, Bima tahu kalau Alina sangat membencinya dan mungkin tidak akan memercayainya begitu saja. Jadi, Bima harus tenang dan tidak gegabah untuk saat ini.**Alina berada di mall, tetapi seharian ini dia tidak fokus karena memikirkan percakapan semalam dengan Aksa. Alina ingin percaya tetapi rasanya ada yang mengganjal. Ingin tak percaya, tetapi Aksa suaminya. Alina bingung.“Bu, Anda baik-baik saja?” tanya
Setelah berjalan-jalan. Alina dan Aksa kini sudah berada di apartemen. Keduanya sudah membersihkan diri dan kini sedang duduk di ruang televisi. Tidak ada percakapan di antara keduanya, tatapan mereka tertuju pada televisi yang menyala dan sedang menyiarkan sebuah acara. Namun, mereka diam sedang larut dalam pikiran masing-masing. ‘Semoga Karissa tidak membuat masalah lagi setelah ini,’ batin Aksa. Tentu dia cemas karena dia belum siap membuka fakta tentang statusnya. ‘Apa benar Aksa selingkuh? Aku tidak mau percaya, tapi melihat perubahan sikap Aksa, kenapa aku malah takut?’ batin Alina. Alina merasa aneh karena berpikir jika bisa saja Aksa bersikap manis hanya untuk mengelabuhinya agar dia percaya kalau Aksa hanya menyukainya. Bukankah kebanyakan orang berselingkuh seperti itu? Contohlah Karin, bersikap manis dan manja pada Dani, ternyata berselingkuh di belakangnya! Tidak, kenapa Alina takut jika Aksa benar-benar seperti itu? Aksa menoleh pada Alina. Dia melihat Alina hanya di
“Tidak peduli yang orang katakan atau beritakan. Bisakah kamu hanya fokus dan percaya padaku saja?” tanya Aksa dengan tatapan penuh harap, apalagi sejak tadi Alina hanya diam.“Tergantung, asal kamu bisa membuktikan kalau yang orang katakan tidak benar. Aku akan percaya hanya padamu,” jawab Alina.Aksa lega mendengar Alina bicara. Dia memegang belakang kepala Alina, lalu sedikit menunduk untuk menyentuhkan kening mereka. Dia memejamkan mata, lalu terbit seulas senyum di wajahnya.Alina diam. Dia melihat senyum kelegaan di wajah Aksa. Apa maksud senyum itu? Lega karena dirinya percaya Aksa akan setia atau lega karena Alina tidak curiga lagi?Alina ingin menjerit, kenapa pikirannya penuh dengan pemikiran negatif? Kenapa dia tidak bisa berpikir positif? Apakah karena dia masih takut diselingkuhi lagi.“Aku berjanji tidak akan selingkuh, Alina. Bahkan aku tidak akan membiarkan wanita mana pun masuk ke hidup kita, jika itu yang kamu takutkan. Aku berjanji,” ucap Aksa sambil membuka mata.K
Aksa berbaring miring menghadap Alina. Dia menatap wajah Alina yang sudah tertidur pulas. Bahkan Aksa membetulkan letak selimut, lalu sesekali merapikan helaian rambut Alina yang berantakan.Aksa diam dalam keheningan, sejenak rasa takut menyergah dada. Kenapa dia setakut ini? Dia sudah menghadapi apa pun dari usia belia tanpa rasa takut akan resiko yang didapatnya, menghadapi semua rintangan dan masalah lalu menyelesaikan dengan penuh kepuasan.Namun, entah kenapa tidak dengan kali ini. Dia benar-benar panik dan cemas jika Alina pergi dari hidupnya. Aksa menyadari kesalahannya yang sudah berbohong dari awal dan berlanjut sampai sekarang. Akan tetapi, itu untuk siapa? Tentu untuk mempertahankan Alina di sisinya.‘Jika aku jujur sekarang dan Alina tidak bisa menerimaku. Aku harus bagaimana?’Dalam batinnya Aksa berpikir ribuan kali. Alina bisa membuatnya gelisah dan bahkan membuatnya tak bisa mengambil resiko sama sekali. Dia ingin cara aman. Jika ada duri di jalan mereka, maka dia aka
“Selamat pagi, Pak.” Ilham langsung menyapa Aksa yang baru saja datang.Ilham melihat atasannya itu hendak masuk ruang kerja. Dia mengikuti di belakang, lalu melihat Aksa yang berhenti melangkah, membuat Ilham ikut berhentiIlham waspada. Apa dia ada salah bicara?“Ada apa, Pak?” tanya Ilham.Dia melihat atasannya itu membalikkan badan, lalu kini berhadapan dengannya, sehingga membuat Ilham mendadak tegang.“Apa aku seperti orang yang sedang tertekan?”Ilham terhenyak. Apa maksud pertanyaan atasannya itu? Jebakan untuk mendengar kejujurannya akan pandangannya pada sang atasan, atau memang Aksa ingin dia jujur? “Apa? Kenapa kamu berpikir? Apa sesulit itu menjawab pertanyaanku?” tanya Aksa menatap kesal.“Bu-bukan begitu, Pak.” Ilham langsung menjelaskan, “saya hanya merasa aneh dengan pertanyaan Anda.”Aksa menatap datar. Dia tidak menunggu jawaban Ilham dan memilih langsung masuk ruang kerjanya.“Mungkin Anda hanya lelah saja, Pak. Bukan tertekan,” ucap Ilham sambil berjalan mengikut
Aksa menoleh ke arah Alina menatap. Dia menyipitkan mata memberi isyarat pada semua orang, hingga para staff itu langsung berpura-pura tak melihat dan bersikap biasa.“Entah, mungkin mereka sedang banyak tekanan pekerjaan,” ujar Aksa mengelak.Alina hanya mengangguk-angguk percaya saja.“Oh ya, kira-kira mau makan di mana?” tanya Alina sambil menunjukkan paper bag berisi makanan yang dibawanya.Aksa menoleh ke kanan dan kiri, tidak mungkin dia mengajak Alina makan di ruang tunggu yang bisa menarik perhatian staff.“Aku lihat di samping perusahaan ada taman, apa boleh makan di sana?” tanya Alina sambil menunjuk ke samping.“Boleh.” Aksa mengangguk.Aksa dan Alina makan di taman samping. Alina membuka makanan yang dibelinya, lalu memberikan pada Aksa, bahkan penuh perhatian menyiapkan alat makan dan minumnya.“Terima kasih,” ucap Aksa. Kadang dia tidak pernah berpikir, ada yang begitu peduli menyiapkan hal kecil seperti ini untuknya, selain pelayannya di rumah. Aksa tersenyum.“Kenapa k
Flo memandang pada Karissa yang sedang duduk sambil mengangkat kaki di meja. Modelnya itu sekarang sedang melihat rekaman video dari ponsel.“Apa kamu yakin akan melakukan itu?” tanya Flo sambil mendekat pada Karissa. Dia masih mengamati sikap Karissa.Flo tahu rencana Karissa yang ingin menyebar video pertemuan dengan Aksa di restoran, tetapi akan diblur bagian wajah Aksa.“Yakin,” jawab Karissa, “kenapa?” tanyanya kemudian sambil menatap heran pada Flo.“Apa kamu tidak takut kalau Aksa akan marah dan bertindak. Bukankah kamu tahu, dia adalah orang yang tidak bisa kamu sentuh sembarangan?” tanya Flo agak cemas. Dia takut kalau Karissa terkena masalah karena mengganggu Aksa.Karissa malah tersenyum melihat kecemasan di wajah Flo.“Kenapa harus takut? Lagian Kak Aksa tidak bisa melakukan apa pun padaku karena dia juga menghormati papaku. Jangan lupakan, papaku berjasa besar dalam setiap bisnisnya, jadi palingan juga dia menegurku saja,” jawab Karissa dengan entengnya.“Tapi, kalau Aksa
“Apa itu penting?”Pertanyaan Daniel membungkam Karin. Dia mengulum bibir dan menggeleng.Daniel sendiri tidak mau bersikap baik, jangan sampai sikap baiknya disalahartikan.Daniel melihat Karin yang diam tertunduk. Dia pun memutuskan untuk pergi daripada terlalu lama berinteraksi dengan Karin.“Tunggu, kamu tidak jadi mencari aksesoris? Aku bisa menunjukkan beberapa barang yang mungkin cocok dengan yang kamu inginkan,” ucap Karin membujuk seraya meremat jari.Daniel diam sejenak, tetapi setelahnya mengangguk. Dia mengikuti Karin menuju display khusus aksesoris anak-anak.“Anak itu biasanya suka apa? Bando, jepit rambut, kalung, atau gelang mungkin?” tanya Karin mencoba mengajak bicara Daniel.Daniel tak menjawab pertanyaan Karin. Dia lebih memilih fokus memperhatikan aksesoris yang terpajang di sana, hingga tatapannya tertuju pada gantungan ponsel yang lucu dan menggemaskan.“Itu lucu,” ucap Karin.Daniel tetap tak bicara pada Karin.Karin diam memperhatikan Daniel yang begitu dingin,
Siang itu, Aksa masih berada di ruang kerjanya dengan banyaknya tumpukan berkas di meja. Dia sedang membaca beberapa perencanaan bisnis untuk mengembangkan perusahaannya.“Masih sangat sibuk?”Aksa terkejut mendengar suara Alina. Dia langsung menoleh dan melihat istrinya ternyata sudah berada di ruangannya. Aksa tersenyum lebar, karena terlalu fokus bekerja, membuatnya sampai tidak menyadari kalau Alina datang.“Aku tidak mendengar kamu mengetuk pintu,” ucap Aksa langsung berdiri dari tempat duduknya untuk menghampiri Alina.“Aku memang tidak mengetuk pintu,” balas Alina.Aksa mengajak Alina duduk. Alina membawa paper bag berisi makan siang seperti yang dijanjikannya pagi tadi.“Arlo tidak rewel tahu kamu akan ke sini dan tidak diajak?” tanya Aksa.“Oh, dia pergi bersama Naya dan Bams. Katanya mau main ke rumah Anya. Nanti aku ke sana setelah dari sini,” jawab Alina seraya mengeluarkan kotak makanan dari dalam paper bag.“Ternyata dia mau lepas darimu karena Anya?” Aksa keheranan.“Iya
Aksa sudah sampai di perusahaan. Seperti biasa Ilham akan langsung menemani masuk ruangan lalu membacakan jadwal harian Aksa.“Ada yang mau Anda ubah, Pak?” tanya Ilham setelah selesai membacakan laporannya.Aksa tak langsung menjawab. Dia malah menatap Ilham.“Ada apa, Pak?” tanya Ilham panik karena tatapan Aksa. Apa dia membuat kesalahan?Aksa menghela napas pelan, lalu menyandarkan punggung.“Apa kamu benar-benar tidak mau mengubah keputusanmu untuk mengambil alih perusahaan mertuamu? Bukankah ini menguntungkan untuk kariermu?” tanya Aksa sekali lagi setelah berulang kali Ilham berkata akan tetap menjadi sekretarisnya.Aksa hanya tak ingin dianggap menghambat Ilham berkembang. Meski dia juga berat melepas Ilham yang sudah bertahun-tahun ikut dengannya dan menjadi pekerja terbaiknya, tetapi Aksa juga ingin masa depan Ilham semakin baik.Namun, bukannya mendapat jawaban, Ilham malah membalas, “Anda mau memecat saya?”Pertanyaan Ilham tentu saja membuat Aksa sampai menegakkan badan.“
Hari berikutnya. Alina dan yang lain sarapan seperti biasanya. Rumah itu sekarang begitu ramai dan semakin hangat dengan banyaknya orang yang menempati rumah itu.“Aku lupa bilang,” ucap Daniel di sela sarapan.Semua orang menatap pada pria itu sekarang.“Lupa bilang apa?” tanya Alina penasaran.Daniel menatap ke semua orang lalu membalas, “Waktu itu aku bicara dengan Paman, dia menawariku untuk mengelola perusahaan di sini. Karena Kak Alina akan tinggal di sini, jadi kurasa aku juga akan tetap di sini.”Alina cukup terkejut. Namun, dia juga senang karena adiknya tidak akan jauh darinya.“Itu bagus, aku setuju,” balas Alina.Lagi pula Daniel sekarang pandai mengelola bisnis, perusahaan sang paman pun dipimpin dengan baik.Daniel mengangguk-angguk lega dan senang melihat Alina setuju dengan niatnya.“Kamu akan tinggal di sini? Kalau iya, aku akan meminta orang menyiapkan kebutuhanmu termasuk ruang kerja,” ujar Aksa.“Tidak, aku mau mencari apartemen saja,” balas Daniel.Alina tidak menc
Malam itu Daniel berkumpul dengan Aksa dan Alina di rumah. Mereka berada di ruang keluarga membahas soal Edwin.“Edwin memang ditangguhkan penahanannya, tapi proses hukum tetap berjalan. Pengacaraku juga sudah mengajukan semua berkas laporan dan bukti untuk menjerat pria itu agar mendapatkan hukuman maksimal. Tidak akan kubiarkan dia mendapat hukuman hanya setahun dua tahun,” ujar Aksa.“Ya, pria itu memang layak mendapat hukuman yang berat. Banyak sekali tindak kejahatan yang dilakukannya,” timpal Alina.“Ini juga bagus untuk mempercepat proses perceraian Jia karena kelakuan buruk Edwin semuanya sudah terekspos,” ujar Aksa lagi.Alina mengangguk-angguk. Dia kemudian menoleh pada Daniel yang sejak tadi tak bersuara.“Kamu sedang memikirkan apa?” tanya Alina.Daniel terkejut. Dia baru menyadari kalau kakak dan kakak iparnya kini sedang menatapnya.“Tidak,” jawab Daniel seraya menggeleng pelan.Alina menaikkan kedua sudut alis.“Apanya yang tidak? Aku perhatikan seharian ini kamu banyak
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Akhirnya Jia sudah diperbolehkan pulang. “Papamu sudah menunggu di rumah lama kalian, jadi kami akan mengantarmu ke sana,” ucap Daniel.“Iya, terima kasih,” balas Jia.Akhirnya Jia harus kembali ke rumah keluarganya karena dia tidak mau tinggal di apartemen atau rumah milik Edwin yang penuh dengan kenangan pahit.Alina datang menemani Jia keluar dari rumah sakit sekalian membantu Daniel.“Apa sudah semua?” tanya Alina.Daniel mengangguk.Alina mendorong kursi roda yang Jia duduki. Mereka pergi menuju pintu depan lobby rumah sakit karena mobil yang akan membawa mereka sudah menunggu di sana.“Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot menjemput,” ucap Jia.“Apanya yang repot? Aku tidak pernah merasa repot,” balas Alina, “kita sudah kenal lama, bahkan dulu kamu membantuku memasarkan desainku, jadi anggap saja kita ini saling melengkapi dan menguntungkan,” imbuh Alina.Mereka sampai di depan lobby. Jia dibantu Alina dan Daniel masuk mobil, lalu
Anya masih berada di rumah sakit bersama Daniel. Dia ingin menemani Jia sebelum dijemput Alina saat sore hari. Anya akan bersama Alina sampai Jia keluar dari rumah sakit.“Mama mau ke mana?” tanya Anya saat melihat Jia bergerak ingin menurunkan kaki.“Ke kamar mandi,” jawab Jia agak kesusahan turun karena tubuhnya yang masih kaku dan tangan masih terpasang selang infus.Anya menoleh pada Daniel yang baru saja menerima telepon.“Paman, Mama mau ke kamar mandi tapi tidak bisa bawa infusnya,” kata Anya.Jia terkejut karena Anya sampai memanggil Daniel. Dia menoleh pada pria itu yang sudah memandangnya.“Aku bisa sendiri, kamu selesaikan saja urusanmu,” kata Jia karena tak enak hati jika terus merepotkan Daniel.Namun, ternyata Daniel tetap mendekat. Dia berjalan menghampiri Jia dan Anya.Jia menatap Anya yang tersenyum lebar. Sungguh dia merasa sangat sungkan karena hampir semua bantuan yang dibutuhkannya, Daniel yang mencukupi.“Kamu bisa jalan?” tanya Daniel memastikan lebih dulu.Jia
Di rumah sakit. Daniel menyiapkan sarapan untuk Jia yang tadi diberikan oleh perawat.“Kamu bisa makan sendiri?” tanya Daniel memastikan karena Jia terlihat masih lemah.Jia tersenyum kecil, lalu menjawab, “Bisa, kamu tenang saja.”Daniel mengangguk pelan. Dia kembali duduk menunggu Jia sarapan, siapa tahu Jia membutuhkan bantuannya.Jia berusaha makan sendiri meski seluruh tubuhnya terasa sakit karena lebam di sekujur tubuh. Dia memasukkan suapan pertama, lalu tatapannya tertuju pada Daniel. Dia melihat pria itu hanya diam menunggunya makan, membuat Jia merasa sedikit sungkan.“Kamu tidak sarapan?” tanya Jia.Sejak kemarin Daniel terus menunggunya di sana, bahkan tak terlihat sekalipun keluar dari kamar itu, kecuali saat kedatangan orang tua Edwin.“Kak Alina bilang akan datang membawakan sarapan, jadi aku akan menunggunya,” ujar Daniel.Jia mengangguk-angguk pelan. Dia agak canggung karena makan sendiri, sedangkan Daniel hanya duduk mengamatinya.“Makanlah dan minum obatmu. Kamu har
Alina menemui Anya yang baru saja selesai mandi dibantu pelayan.“Biar aku saja yang membantunya ganti baju, kamu keluarlah,” kata Alina pada pelayan.Pelayan mengangguk lalu keluar dari kamar itu.Alina memulas senyum pada Anya. Dia mendekat lalu duduk di tepian ranjang dan membantu Anya memakai pakaian.“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Alina.Semalam Anya dan Arlo tidur satu kamar atas permintaan Arlo, tetapi disediakan dua ranjang terpisah.Anya mengangguk seraya menatap pada Alina yang sedang memakaikan bajunya.“Kata Arlo, semalam kamu mimpi buruk sampai menangis. Apa benar?” tanya Alina memastikan apakah cerita putranya benar atau tidak.Anya terdiam. Dia menunduk tak menjawab pertanyaan Alina.Alina melihat ekspresi sedih di wajah Anya. Dia tidak bertanya lagi, tetapi memilih segera menyelesaikan membantu Anya memakai baju. Setelah itu dia juga menyisir rambut Anya.“Bagaimana kabar Mama?” tanya Anya.“Mama sudah baik. Hari ini kita ke sana untuk menjenguknya, ya.” Alina bicara ser