“Kenapa kamu?” tanya Aksa masih bersikap biasa meski dalam hatinya sudah panik karena berita itu.Alina meletakkan ponsel, lalu menjawab, “Tidak apa-apa.”Aksa ingin menghela napas lega, tetapi kembali mendengar Alina bicara.“Hanya heran saja, kenapa foto itu mirip dengan siluet tubuhmu?” Alina menatap datar pada Aksa.Aksa diam, sampai Alina kembali bicara.“Tapi mana mungkin, kamu juga tidak punya pakaian seperti itu, kan?” tanya Alina lagi.Aksa menggeleng pelan.Akan tetapi, Alina tiba-tiba ingat, bukankah Aksa pernah pulang-pulang memakai pakaian bagus? Sudah dua kali Alina melihatnya?Aksa mencoba tenang di tengah kepanikan melanda.“Apa mungkin itu kamu? Secara Karissa dekat denganmu?” tanya Alina dengan mata menyipit. Dia terlihat serius seolah menyelidik lewat tatapan matanya.“Mana mungkin aku. Dua hari ini aku benar-benar sibuk. Kamu tahu sendiri, saat kamu mencariku, aku pun ada di perusahaan,” ujar Aksa mengelak.Alina diam. Pikirannya berusaha untuk percaya, tetapi hati
Kaira merasa aneh dengan permintaan Alina. Bahkan dia sampai diam cukup lama. “Kenapa kamu tidak pastiin saja langsung ke suamimu?” tanya Kaira, rasanya itu akan lebih memuaskan daripada mencari tahu dari orang lain.“Sudah, tapi Aksa bilang jika bukan dia.”Dahi Kaira berkerut halus mendengar jawaban Alina.“Terus?” tanya Kaira keheranan.“Ya, aku masih tidak percaya saja, Kai. Entahlah, aku merasa ada yang aneh saja, karena itu aku perlu pembuktian lagi. Tolong bantu aku,” pinta Alina memelas dari seberang panggilan.Kaira menghela napas pelan, lalu akhirnya berkata, “Baiklah, tapi aku janji jika mungkin takkan sesuai ekspektasimu.”“Iya, yang terpenting aku yakin,” balas Alina.Kaira mengakhiri panggilan setelah meyakinkan Alina. Dia menoleh pada Ilham yang sedang menunggunya. Kaira kembali ke sofa menghampiri Ilham.“Ada apa?” tanya Ilham penasaran.“Tidak ada. Biasa curhat masalah wanita,” jawab Kaira.Ilham tak banyak bertanya lagi begitu mendengar jawaban Kaira.Kaira diam sam
Ternyata Aksa pamit keluar untuk membeli sesuatu, karena itu Alina bisa menghubungi Kaira dengan bebas. Aksa sendiri keluar apartemen karena ingin menghubungi Bams untuk membahas soal Karissa.“Dia berulah lagi, Pak.”Aksa mendengar suara Bams dari seberang panggilan. Bawahannya itu seolah paham dengan semua masalah yang sedang menimpanya.“Hapus semua berita itu, bagaimanapun caranya aku ingin berita itu hilang dari akun mana pun yang memostingnya!” perintah Aksa sambil memijat kepala yang terasa pening.“Saya akan segera melakukannya, Pak. Tapi, saya harap Anda bisa lebih tegas pada Karissa karena saya merasa dia tidak bisa diajak berdiskusi. Apalagi masalah berita ini tidak ada habisnya, begitu dihapus satu, akan muncul yang lainnya.” Aksa mendengarkan saran yang diberikan Bams.“Akan kulakukan. Tapi segera hapus berita itu,” perintah Aksa lagi.“Baik, Pak,” balas Bams dari seberang panggilan, “Pak, ada satu lagi yang mau saya sampaikan,” kata Bams.“Apa?” tanya Aksa dengan dahi b
“Apa yang kamu bilang, hah?” Aksa naik pitam. Dia mendekat ke arah Bima.“Aku tidak akan membiarkan Alina terus dimanfaatkan olehmu!” balas Bima dengan sikap menantang.Aksa langsung mencengkram kemeja yang dipakai Bima. Tatapan matanya begitu tajam dan berapi-api.“Berhenti mencampuri urusanku dan Alina!” Aksa bicara dengan nada penekanan sambil mempererat cengkraman pada kemeja Bima.Bima mencoba melepas tangan Aksa, tetapi tidak berhasil.“Aku akan terus mencampuri urusanmu, sampai kamu melepas Alina!” balas Bima.Aksa melayangkan kepalan tangan hingga menghantam pipi Bima dengan sangat keras. Bima tak tinggal diam. Dia membalas pukulan Aksa tepat mengenai pipi, lalu kembali mendapat balasan dari Aksa.Bima terhuyung ke samping dan hampir terjerembab ke batu paving yang terpasang di bawah kakinya. Dia menatap pada Aksa penuh amarah karena berani menghajarnya.“Berani mencampuri urusanku lagi, aku pastikan tamat riwayatmu!” ancam Aksa sambil menunjuk pada wajah Bima.Bima tidak ter
“Untuk apa? Tidak usah. Kamu baru saja menyewakan toko untukku, sekarang mau pindah apartemen. Kamu hanya akan membuang-buang uang saja, lebih baik ditabung,” tolak Alina.Aksa diam menatap datar.“Jika kamu pindah hanya karena ada Bima, kurasa alasan itu tidak bisa digunakan. Kita bisa menghindarinya, jadi jangan berpikir pindah dan melakukan pemborosan!” Alina kekeh menolak.Aksa ingin mendebat Alina, tetapi takut jika membuat Alina semakin marah, akhirnya dia hanya bisa diam. Aksa tidak bicara lagi.**Hari berikutnya. Aksa pergi ke perusahaan seperti biasa. Untung saja pagi ini tidak bertemu Bima, atau emosinya bisa saja meledak.“Anda baru saja berkelahi, Pak?” tanya Ilham ketika melihat ada luka di ujung bibir atasannya itu.Aksa menatap datar.Ilham langsung mengulum bibir. Memaksa bertanya, sama saja dengan mencari masalah.Ilham menunggu Aksa duduk di kursi kerja, lalu dia menyampaikan informasi yang didapatnya semalam.“Pak, semalam Kaira bilang kalau Bu Alina ingin mencari
Aksa berada di perusahaan Rudi, tentu saja dia ingin memperingatkan soal kelakuan Karissa.“Saya sangat menghormati Anda. Tapi jangan sampai rasa hormat itu Anda jadikan senjata untuk menginjak saya.” Aksa bicara dengan tatapan tajam. Dia duduk dengan santai sambil menyilangkan satu kaki.Rudi menatap datar. Dia paham ke mana arah pembicaraan Aksa.“Seharusnya, sebelum kamu membahas ini, kamu juga sudah tahu alasan kenapa ada masalah begini. Aku tidak akan menginjak rekan bisnis yang menguntungkan, bahkan kalau bisa aku akan merangkulnya. Jadi, sebenarnya siapa yang menginjak siapa, itu tergantung orangnya,” ujar Rudi lalu menyesap kopi yang sudah disuguhkan.Satu sudut bibir Aksa tertarik ke atas mendengar ucapan Rudi.“Saya ke sini hanya ingin meminta agar Anda lebih mengawasi putri Anda yang masih labil. Kami memang dekat, tapi tidak seperti yang orang lihat dan pikirkan. Jadi, lebih baik mencegah daripada ada masalah di belakang, bukan?” Aksa menatap mengintimidasi pada pria yang
Aksa pulang agak terlambat karena harus mengurus beberapa berkas. Dia langsung mencari Alina begitu masuk apartemen dan mendapati istrinya duduk diam di meja makan. Aksa melihat Alina murung, ada apa lagi?“Kenapa melamun? Ada apa?” tanya Aksa saat menghampiri Alina. Dia ingin menarik kursi untuk ikut duduk, tetapi Alina langsung berdiri sampai membuatnya terkejut.Alina sudah berdiri. Dia menatap datar pada Aksa.“Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?” tanya Alina dengan tatapan penuh curiga.Aksa diam menatap pada Alina yang terlihat emosi.“Apa maksudmu?” tanya Aksa tak langsung menjawab.Alina hendak mengatakan apa yang Bima sampaikan tadi, tetapi ponsel Aksa berdering lebih dulu, membuat pria itu langsung mengecek ponselnya.“Ini dari Nenek. Aku jawab sebentar,” kata Aksa meminta izin.Mendengar nama ‘nenek’, Alina memilih menahan rasa penasarannya.“Halo.” Aksa menjawab panggilan itu.“Tuan, Nyonya Agni jatuh dan sekarang dibawa ke rumah sakit. Dia minta Anda datang kema
Alina menjaga Nenek Agni dengan baik. Bahkan dia terus menemani Nenek Agni sampai wanita itu tidur.“Pulanglah dulu dan istirahat,” kata Aksa.Alina menoleh pada Aksa, lalu membalas, “Aku di sini saja, lagi pula mamamu bilang kita harus menjaga bergantian Nenek, kan?”“Biar aku saja yang jaga kalau kamu lelah,” ucap Aksa.“Tidak apa-apa,” balas Alina.Alina tersenyum pada Aksa. Dia tidak membahas soal ucapan Bima lagi. Alina berpikir, jika memang Aksa kaya, kenapa Nenek Agni dirawat di ruang biasa? Kenapa tidak di kamar VVIP? Jadi Alina memutuskan mengabaikan rasa penasarannya dan fokus pada Nenek Agni.Setelah Nenek Agni benar-benar tidur. Alina dan Aksa duduk di sofa yang terdapat di kamar itu. Aksa menggenggam telapak tangan Alina begitu erat dan membiarkan istrinya itu bersandar di bahunya.“Sebenarnya kondisi Nenek Agni itu bagaimana?” tanya Alina penasaran.“Ya itu, Nenek mengidap radang persendian, mungkin karena faktor usia juga, tapi selebihnya tidak ada yang fatal,” jawab Ak
“Apa itu penting?”Pertanyaan Daniel membungkam Karin. Dia mengulum bibir dan menggeleng.Daniel sendiri tidak mau bersikap baik, jangan sampai sikap baiknya disalahartikan.Daniel melihat Karin yang diam tertunduk. Dia pun memutuskan untuk pergi daripada terlalu lama berinteraksi dengan Karin.“Tunggu, kamu tidak jadi mencari aksesoris? Aku bisa menunjukkan beberapa barang yang mungkin cocok dengan yang kamu inginkan,” ucap Karin membujuk seraya meremat jari.Daniel diam sejenak, tetapi setelahnya mengangguk. Dia mengikuti Karin menuju display khusus aksesoris anak-anak.“Anak itu biasanya suka apa? Bando, jepit rambut, kalung, atau gelang mungkin?” tanya Karin mencoba mengajak bicara Daniel.Daniel tak menjawab pertanyaan Karin. Dia lebih memilih fokus memperhatikan aksesoris yang terpajang di sana, hingga tatapannya tertuju pada gantungan ponsel yang lucu dan menggemaskan.“Itu lucu,” ucap Karin.Daniel tetap tak bicara pada Karin.Karin diam memperhatikan Daniel yang begitu dingin,
Siang itu, Aksa masih berada di ruang kerjanya dengan banyaknya tumpukan berkas di meja. Dia sedang membaca beberapa perencanaan bisnis untuk mengembangkan perusahaannya.“Masih sangat sibuk?”Aksa terkejut mendengar suara Alina. Dia langsung menoleh dan melihat istrinya ternyata sudah berada di ruangannya. Aksa tersenyum lebar, karena terlalu fokus bekerja, membuatnya sampai tidak menyadari kalau Alina datang.“Aku tidak mendengar kamu mengetuk pintu,” ucap Aksa langsung berdiri dari tempat duduknya untuk menghampiri Alina.“Aku memang tidak mengetuk pintu,” balas Alina.Aksa mengajak Alina duduk. Alina membawa paper bag berisi makan siang seperti yang dijanjikannya pagi tadi.“Arlo tidak rewel tahu kamu akan ke sini dan tidak diajak?” tanya Aksa.“Oh, dia pergi bersama Naya dan Bams. Katanya mau main ke rumah Anya. Nanti aku ke sana setelah dari sini,” jawab Alina seraya mengeluarkan kotak makanan dari dalam paper bag.“Ternyata dia mau lepas darimu karena Anya?” Aksa keheranan.“Iya
Aksa sudah sampai di perusahaan. Seperti biasa Ilham akan langsung menemani masuk ruangan lalu membacakan jadwal harian Aksa.“Ada yang mau Anda ubah, Pak?” tanya Ilham setelah selesai membacakan laporannya.Aksa tak langsung menjawab. Dia malah menatap Ilham.“Ada apa, Pak?” tanya Ilham panik karena tatapan Aksa. Apa dia membuat kesalahan?Aksa menghela napas pelan, lalu menyandarkan punggung.“Apa kamu benar-benar tidak mau mengubah keputusanmu untuk mengambil alih perusahaan mertuamu? Bukankah ini menguntungkan untuk kariermu?” tanya Aksa sekali lagi setelah berulang kali Ilham berkata akan tetap menjadi sekretarisnya.Aksa hanya tak ingin dianggap menghambat Ilham berkembang. Meski dia juga berat melepas Ilham yang sudah bertahun-tahun ikut dengannya dan menjadi pekerja terbaiknya, tetapi Aksa juga ingin masa depan Ilham semakin baik.Namun, bukannya mendapat jawaban, Ilham malah membalas, “Anda mau memecat saya?”Pertanyaan Ilham tentu saja membuat Aksa sampai menegakkan badan.“
Hari berikutnya. Alina dan yang lain sarapan seperti biasanya. Rumah itu sekarang begitu ramai dan semakin hangat dengan banyaknya orang yang menempati rumah itu.“Aku lupa bilang,” ucap Daniel di sela sarapan.Semua orang menatap pada pria itu sekarang.“Lupa bilang apa?” tanya Alina penasaran.Daniel menatap ke semua orang lalu membalas, “Waktu itu aku bicara dengan Paman, dia menawariku untuk mengelola perusahaan di sini. Karena Kak Alina akan tinggal di sini, jadi kurasa aku juga akan tetap di sini.”Alina cukup terkejut. Namun, dia juga senang karena adiknya tidak akan jauh darinya.“Itu bagus, aku setuju,” balas Alina.Lagi pula Daniel sekarang pandai mengelola bisnis, perusahaan sang paman pun dipimpin dengan baik.Daniel mengangguk-angguk lega dan senang melihat Alina setuju dengan niatnya.“Kamu akan tinggal di sini? Kalau iya, aku akan meminta orang menyiapkan kebutuhanmu termasuk ruang kerja,” ujar Aksa.“Tidak, aku mau mencari apartemen saja,” balas Daniel.Alina tidak menc
Malam itu Daniel berkumpul dengan Aksa dan Alina di rumah. Mereka berada di ruang keluarga membahas soal Edwin.“Edwin memang ditangguhkan penahanannya, tapi proses hukum tetap berjalan. Pengacaraku juga sudah mengajukan semua berkas laporan dan bukti untuk menjerat pria itu agar mendapatkan hukuman maksimal. Tidak akan kubiarkan dia mendapat hukuman hanya setahun dua tahun,” ujar Aksa.“Ya, pria itu memang layak mendapat hukuman yang berat. Banyak sekali tindak kejahatan yang dilakukannya,” timpal Alina.“Ini juga bagus untuk mempercepat proses perceraian Jia karena kelakuan buruk Edwin semuanya sudah terekspos,” ujar Aksa lagi.Alina mengangguk-angguk. Dia kemudian menoleh pada Daniel yang sejak tadi tak bersuara.“Kamu sedang memikirkan apa?” tanya Alina.Daniel terkejut. Dia baru menyadari kalau kakak dan kakak iparnya kini sedang menatapnya.“Tidak,” jawab Daniel seraya menggeleng pelan.Alina menaikkan kedua sudut alis.“Apanya yang tidak? Aku perhatikan seharian ini kamu banyak
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Akhirnya Jia sudah diperbolehkan pulang. “Papamu sudah menunggu di rumah lama kalian, jadi kami akan mengantarmu ke sana,” ucap Daniel.“Iya, terima kasih,” balas Jia.Akhirnya Jia harus kembali ke rumah keluarganya karena dia tidak mau tinggal di apartemen atau rumah milik Edwin yang penuh dengan kenangan pahit.Alina datang menemani Jia keluar dari rumah sakit sekalian membantu Daniel.“Apa sudah semua?” tanya Alina.Daniel mengangguk.Alina mendorong kursi roda yang Jia duduki. Mereka pergi menuju pintu depan lobby rumah sakit karena mobil yang akan membawa mereka sudah menunggu di sana.“Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot menjemput,” ucap Jia.“Apanya yang repot? Aku tidak pernah merasa repot,” balas Alina, “kita sudah kenal lama, bahkan dulu kamu membantuku memasarkan desainku, jadi anggap saja kita ini saling melengkapi dan menguntungkan,” imbuh Alina.Mereka sampai di depan lobby. Jia dibantu Alina dan Daniel masuk mobil, lalu
Anya masih berada di rumah sakit bersama Daniel. Dia ingin menemani Jia sebelum dijemput Alina saat sore hari. Anya akan bersama Alina sampai Jia keluar dari rumah sakit.“Mama mau ke mana?” tanya Anya saat melihat Jia bergerak ingin menurunkan kaki.“Ke kamar mandi,” jawab Jia agak kesusahan turun karena tubuhnya yang masih kaku dan tangan masih terpasang selang infus.Anya menoleh pada Daniel yang baru saja menerima telepon.“Paman, Mama mau ke kamar mandi tapi tidak bisa bawa infusnya,” kata Anya.Jia terkejut karena Anya sampai memanggil Daniel. Dia menoleh pada pria itu yang sudah memandangnya.“Aku bisa sendiri, kamu selesaikan saja urusanmu,” kata Jia karena tak enak hati jika terus merepotkan Daniel.Namun, ternyata Daniel tetap mendekat. Dia berjalan menghampiri Jia dan Anya.Jia menatap Anya yang tersenyum lebar. Sungguh dia merasa sangat sungkan karena hampir semua bantuan yang dibutuhkannya, Daniel yang mencukupi.“Kamu bisa jalan?” tanya Daniel memastikan lebih dulu.Jia
Di rumah sakit. Daniel menyiapkan sarapan untuk Jia yang tadi diberikan oleh perawat.“Kamu bisa makan sendiri?” tanya Daniel memastikan karena Jia terlihat masih lemah.Jia tersenyum kecil, lalu menjawab, “Bisa, kamu tenang saja.”Daniel mengangguk pelan. Dia kembali duduk menunggu Jia sarapan, siapa tahu Jia membutuhkan bantuannya.Jia berusaha makan sendiri meski seluruh tubuhnya terasa sakit karena lebam di sekujur tubuh. Dia memasukkan suapan pertama, lalu tatapannya tertuju pada Daniel. Dia melihat pria itu hanya diam menunggunya makan, membuat Jia merasa sedikit sungkan.“Kamu tidak sarapan?” tanya Jia.Sejak kemarin Daniel terus menunggunya di sana, bahkan tak terlihat sekalipun keluar dari kamar itu, kecuali saat kedatangan orang tua Edwin.“Kak Alina bilang akan datang membawakan sarapan, jadi aku akan menunggunya,” ujar Daniel.Jia mengangguk-angguk pelan. Dia agak canggung karena makan sendiri, sedangkan Daniel hanya duduk mengamatinya.“Makanlah dan minum obatmu. Kamu har
Alina menemui Anya yang baru saja selesai mandi dibantu pelayan.“Biar aku saja yang membantunya ganti baju, kamu keluarlah,” kata Alina pada pelayan.Pelayan mengangguk lalu keluar dari kamar itu.Alina memulas senyum pada Anya. Dia mendekat lalu duduk di tepian ranjang dan membantu Anya memakai pakaian.“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Alina.Semalam Anya dan Arlo tidur satu kamar atas permintaan Arlo, tetapi disediakan dua ranjang terpisah.Anya mengangguk seraya menatap pada Alina yang sedang memakaikan bajunya.“Kata Arlo, semalam kamu mimpi buruk sampai menangis. Apa benar?” tanya Alina memastikan apakah cerita putranya benar atau tidak.Anya terdiam. Dia menunduk tak menjawab pertanyaan Alina.Alina melihat ekspresi sedih di wajah Anya. Dia tidak bertanya lagi, tetapi memilih segera menyelesaikan membantu Anya memakai baju. Setelah itu dia juga menyisir rambut Anya.“Bagaimana kabar Mama?” tanya Anya.“Mama sudah baik. Hari ini kita ke sana untuk menjenguknya, ya.” Alina bicara ser