Aksa berbaring miring menghadap Alina. Dia menatap wajah Alina yang sudah tertidur pulas. Bahkan Aksa membetulkan letak selimut, lalu sesekali merapikan helaian rambut Alina yang berantakan.Aksa diam dalam keheningan, sejenak rasa takut menyergah dada. Kenapa dia setakut ini? Dia sudah menghadapi apa pun dari usia belia tanpa rasa takut akan resiko yang didapatnya, menghadapi semua rintangan dan masalah lalu menyelesaikan dengan penuh kepuasan.Namun, entah kenapa tidak dengan kali ini. Dia benar-benar panik dan cemas jika Alina pergi dari hidupnya. Aksa menyadari kesalahannya yang sudah berbohong dari awal dan berlanjut sampai sekarang. Akan tetapi, itu untuk siapa? Tentu untuk mempertahankan Alina di sisinya.‘Jika aku jujur sekarang dan Alina tidak bisa menerimaku. Aku harus bagaimana?’Dalam batinnya Aksa berpikir ribuan kali. Alina bisa membuatnya gelisah dan bahkan membuatnya tak bisa mengambil resiko sama sekali. Dia ingin cara aman. Jika ada duri di jalan mereka, maka dia aka
“Selamat pagi, Pak.” Ilham langsung menyapa Aksa yang baru saja datang.Ilham melihat atasannya itu hendak masuk ruang kerja. Dia mengikuti di belakang, lalu melihat Aksa yang berhenti melangkah, membuat Ilham ikut berhentiIlham waspada. Apa dia ada salah bicara?“Ada apa, Pak?” tanya Ilham.Dia melihat atasannya itu membalikkan badan, lalu kini berhadapan dengannya, sehingga membuat Ilham mendadak tegang.“Apa aku seperti orang yang sedang tertekan?”Ilham terhenyak. Apa maksud pertanyaan atasannya itu? Jebakan untuk mendengar kejujurannya akan pandangannya pada sang atasan, atau memang Aksa ingin dia jujur? “Apa? Kenapa kamu berpikir? Apa sesulit itu menjawab pertanyaanku?” tanya Aksa menatap kesal.“Bu-bukan begitu, Pak.” Ilham langsung menjelaskan, “saya hanya merasa aneh dengan pertanyaan Anda.”Aksa menatap datar. Dia tidak menunggu jawaban Ilham dan memilih langsung masuk ruang kerjanya.“Mungkin Anda hanya lelah saja, Pak. Bukan tertekan,” ucap Ilham sambil berjalan mengikut
Aksa menoleh ke arah Alina menatap. Dia menyipitkan mata memberi isyarat pada semua orang, hingga para staff itu langsung berpura-pura tak melihat dan bersikap biasa.“Entah, mungkin mereka sedang banyak tekanan pekerjaan,” ujar Aksa mengelak.Alina hanya mengangguk-angguk percaya saja.“Oh ya, kira-kira mau makan di mana?” tanya Alina sambil menunjukkan paper bag berisi makanan yang dibawanya.Aksa menoleh ke kanan dan kiri, tidak mungkin dia mengajak Alina makan di ruang tunggu yang bisa menarik perhatian staff.“Aku lihat di samping perusahaan ada taman, apa boleh makan di sana?” tanya Alina sambil menunjuk ke samping.“Boleh.” Aksa mengangguk.Aksa dan Alina makan di taman samping. Alina membuka makanan yang dibelinya, lalu memberikan pada Aksa, bahkan penuh perhatian menyiapkan alat makan dan minumnya.“Terima kasih,” ucap Aksa. Kadang dia tidak pernah berpikir, ada yang begitu peduli menyiapkan hal kecil seperti ini untuknya, selain pelayannya di rumah. Aksa tersenyum.“Kenapa k
Flo memandang pada Karissa yang sedang duduk sambil mengangkat kaki di meja. Modelnya itu sekarang sedang melihat rekaman video dari ponsel.“Apa kamu yakin akan melakukan itu?” tanya Flo sambil mendekat pada Karissa. Dia masih mengamati sikap Karissa.Flo tahu rencana Karissa yang ingin menyebar video pertemuan dengan Aksa di restoran, tetapi akan diblur bagian wajah Aksa.“Yakin,” jawab Karissa, “kenapa?” tanyanya kemudian sambil menatap heran pada Flo.“Apa kamu tidak takut kalau Aksa akan marah dan bertindak. Bukankah kamu tahu, dia adalah orang yang tidak bisa kamu sentuh sembarangan?” tanya Flo agak cemas. Dia takut kalau Karissa terkena masalah karena mengganggu Aksa.Karissa malah tersenyum melihat kecemasan di wajah Flo.“Kenapa harus takut? Lagian Kak Aksa tidak bisa melakukan apa pun padaku karena dia juga menghormati papaku. Jangan lupakan, papaku berjasa besar dalam setiap bisnisnya, jadi palingan juga dia menegurku saja,” jawab Karissa dengan entengnya.“Tapi, kalau Aksa
“Kenapa kamu?” tanya Aksa masih bersikap biasa meski dalam hatinya sudah panik karena berita itu.Alina meletakkan ponsel, lalu menjawab, “Tidak apa-apa.”Aksa ingin menghela napas lega, tetapi kembali mendengar Alina bicara.“Hanya heran saja, kenapa foto itu mirip dengan siluet tubuhmu?” Alina menatap datar pada Aksa.Aksa diam, sampai Alina kembali bicara.“Tapi mana mungkin, kamu juga tidak punya pakaian seperti itu, kan?” tanya Alina lagi.Aksa menggeleng pelan.Akan tetapi, Alina tiba-tiba ingat, bukankah Aksa pernah pulang-pulang memakai pakaian bagus? Sudah dua kali Alina melihatnya?Aksa mencoba tenang di tengah kepanikan melanda.“Apa mungkin itu kamu? Secara Karissa dekat denganmu?” tanya Alina dengan mata menyipit. Dia terlihat serius seolah menyelidik lewat tatapan matanya.“Mana mungkin aku. Dua hari ini aku benar-benar sibuk. Kamu tahu sendiri, saat kamu mencariku, aku pun ada di perusahaan,” ujar Aksa mengelak.Alina diam. Pikirannya berusaha untuk percaya, tetapi hati
Kaira merasa aneh dengan permintaan Alina. Bahkan dia sampai diam cukup lama. “Kenapa kamu tidak pastiin saja langsung ke suamimu?” tanya Kaira, rasanya itu akan lebih memuaskan daripada mencari tahu dari orang lain.“Sudah, tapi Aksa bilang jika bukan dia.”Dahi Kaira berkerut halus mendengar jawaban Alina.“Terus?” tanya Kaira keheranan.“Ya, aku masih tidak percaya saja, Kai. Entahlah, aku merasa ada yang aneh saja, karena itu aku perlu pembuktian lagi. Tolong bantu aku,” pinta Alina memelas dari seberang panggilan.Kaira menghela napas pelan, lalu akhirnya berkata, “Baiklah, tapi aku janji jika mungkin takkan sesuai ekspektasimu.”“Iya, yang terpenting aku yakin,” balas Alina.Kaira mengakhiri panggilan setelah meyakinkan Alina. Dia menoleh pada Ilham yang sedang menunggunya. Kaira kembali ke sofa menghampiri Ilham.“Ada apa?” tanya Ilham penasaran.“Tidak ada. Biasa curhat masalah wanita,” jawab Kaira.Ilham tak banyak bertanya lagi begitu mendengar jawaban Kaira.Kaira diam sam
Ternyata Aksa pamit keluar untuk membeli sesuatu, karena itu Alina bisa menghubungi Kaira dengan bebas. Aksa sendiri keluar apartemen karena ingin menghubungi Bams untuk membahas soal Karissa.“Dia berulah lagi, Pak.”Aksa mendengar suara Bams dari seberang panggilan. Bawahannya itu seolah paham dengan semua masalah yang sedang menimpanya.“Hapus semua berita itu, bagaimanapun caranya aku ingin berita itu hilang dari akun mana pun yang memostingnya!” perintah Aksa sambil memijat kepala yang terasa pening.“Saya akan segera melakukannya, Pak. Tapi, saya harap Anda bisa lebih tegas pada Karissa karena saya merasa dia tidak bisa diajak berdiskusi. Apalagi masalah berita ini tidak ada habisnya, begitu dihapus satu, akan muncul yang lainnya.” Aksa mendengarkan saran yang diberikan Bams.“Akan kulakukan. Tapi segera hapus berita itu,” perintah Aksa lagi.“Baik, Pak,” balas Bams dari seberang panggilan, “Pak, ada satu lagi yang mau saya sampaikan,” kata Bams.“Apa?” tanya Aksa dengan dahi b
“Apa yang kamu bilang, hah?” Aksa naik pitam. Dia mendekat ke arah Bima.“Aku tidak akan membiarkan Alina terus dimanfaatkan olehmu!” balas Bima dengan sikap menantang.Aksa langsung mencengkram kemeja yang dipakai Bima. Tatapan matanya begitu tajam dan berapi-api.“Berhenti mencampuri urusanku dan Alina!” Aksa bicara dengan nada penekanan sambil mempererat cengkraman pada kemeja Bima.Bima mencoba melepas tangan Aksa, tetapi tidak berhasil.“Aku akan terus mencampuri urusanmu, sampai kamu melepas Alina!” balas Bima.Aksa melayangkan kepalan tangan hingga menghantam pipi Bima dengan sangat keras. Bima tak tinggal diam. Dia membalas pukulan Aksa tepat mengenai pipi, lalu kembali mendapat balasan dari Aksa.Bima terhuyung ke samping dan hampir terjerembab ke batu paving yang terpasang di bawah kakinya. Dia menatap pada Aksa penuh amarah karena berani menghajarnya.“Berani mencampuri urusanku lagi, aku pastikan tamat riwayatmu!” ancam Aksa sambil menunjuk pada wajah Bima.Bima tidak ter
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.