Aksa melihat pria yang baru saja meneriaki istrinya sebagai pelakor melempar telur ke arah mereka. Dengan sigap Aksa memeluk Alina lalu memutar tubuh mereka hingga berganti posisi, saat itu telur yang dilempar tepat mengenai punggungnya.“Aksa!” Alina sangat terkejut dengan yang terjadi karena semuanya begitu cepat.Aksa tampak biasa, tetapi sebenarnya dia begitu murka. Dia menoleh Bams yang sudah meringkus pria tadi setelah melempar telur, dalam satu anggukan, Bams pasti paham apa yang harus dilakukan.“Kamu tidak apa-apa?” tanya Alina sangat cemas.“Aku baik-baik saja,” jawab Aksa.“Dia itu wanita iblis! Wanita ular!” teriak pria yang sudah diringkus Bams dan dua security.Alina menatap sedih disebut seperti itu. Aksa yang melihat tatapan sendu sang istri pun semakin murka. Aksa memberi kode pada Bams agar segera membawa pergi pria itu, sedangkan Aksa langsung membawa Alina ke ruang kerjanya lagi.Aksa terus merangkul Alina hingga mereka sampai di ruang kerja. Aksa tidak menyangka,
Aksa dan Alina sudah pulang. Dani yang mendapat kabar soal penyerangan setelah konferensi pers, lantas datang ke rumah Alina.Mereka kini berkumpul di ruang keluarga, menyaksikan siaran ulang konferensi pers di salah satu saluran berita.“Meski masalahnya sampai seperti ini, tapi aku tidak menyangka Kak Alina sangat cantik jika berdandan,” puji Dani sambil menatap wajah sang kakak yang terus disorot.“Apaan, sih?” Alina malu.“Serius, Kak Alina tidak pernah dandan, sekalinya dirias, bisa secantik ini. Aku tidak sabar melihat Kak Alina memakai gaun indah saat acara kalian nanti,” ucap Dani sambil menatap kagum pada sang kakak.Di saat Dani sedang mengagumi penampilan sang kakak, ada Aksa yang sedang kesal.Aksa tidak menonton siaran berita di televisi, tetapi di tablet pintar yang dipegangnya. Dia mengecek akun berita di sosial media dan menemukan banyak komentar dari akun dengan nickname pria yang memuji kecantikan Alina. Apa dia senang? Tentu saja tidak!Alina menoleh pada Aksa yang
“Saat tidak bersamaku, jangan pernah berpenampilan seperti tadi.”Dahi Alina berkerut. Dia menoleh pada Aksa yang sedang mengganti pakaian dengan piyama. Bukannya marah, Alina malah menahan senyum.“Ada apa, hm? Kamu cemburu?” tanya Alina teringat dengan semua komentar yang tadi dilihat Aksa.“Aku hanya tidak mau kalau istriku dipandang pria lain,” balas Aksa dengan ekspresi datar.Alina mengulum bibir, menahan tawa karena gemas.Aksa berjalan menghampiri Alina, lalu menggandeng tangan istrinya itu mengajak duduk di ranjang.“Pesta pernikahan kita sudah disiapkan. Nantinya akan dirayakan di hotel milik keluarga Radjasa,” ujar Aksa saat mereka sudah ada di ranjang.Alina diam. Dia ragu dengan rencana itu.“Bagaimana kalau ada masalah lagi?” tanya Alina sambil menatap cemas pada Aksa.“Masalah apa?” tanya Aksa.“Ya, mungkin ada kejadian pelemparan telur part dua, atau insiden lainnya? Aku tidak mau mempermalukanmu juga keluargamu,” ujar Alina.Bagaimana tidak Alina berpikiran demikian? S
Keesokan harinya. Alina sudah di dapur untuk membuat sarapan seperti biasa. Dia tetap melakukan kebiasaannya tanpa ada larangan dari Aksa. Bahkan pelayan di sana tidak ada yang berani mencegah karena mereka sudah mendapat instruksi dari Aksa.Ketika Alina berada di dapur, maka semua pelayan akan pergi, kecuali Alina memanggil. Mereka tidak ada yang berani mengganggu karena takut terkena teguran dari Aksa.Saat Alina sedang fokus meracik bahan makanan, tiba-tiba ada yang memeluknya dari belakang. Alina sempat terkejut, tetapi langsung menebak.“Kamu sudah bangun,” ucap Alina saat suaminya bergelayut manja di belakangnya.Aksa mengangguk-angguk. Dia memperhatikan apa yang akan dimasak Alina.“Mau kopi? Biar aku buatkan,” kata Alina hendak melepas tangan Aksa, tetapi suaminya belum mau melepas.“Sebentar,” kata Aksa masih memeluk sambil menyandarkan kepala di pundak Alina.Alina membiarkan saja suaminya masih memeluk. Setelah semua yang terjadi, Aksa memang agak manja ketika mereka hanya
“Beraninya kamu melakukan itu pada anakku, hah! Lihat saja, aku akan memenjarakanmu!” amuk Dimas sambil mencengkram kerah jas Ilham dengan sangat kuat.Dahi Ilham berkerut, bingung dengan maksud ucapan Dimas.Saat itu security datang karena melihat pemukulan yang dilakukan Dimas. Dua security langsung melerai dengan melepas cengkraman tangan Dimas dari jas Ilham.“Ada apa sebenarnya? Kenapa Anda tiba-tiba menuduh dan memukul saya?” tanya Ilham tetap bersikap sopan.“Kamu masih bertanya ada apa? Kamu memang tidak tahu diri! Kamu pikir dengan melakukan itu ke putriku, lalu aku akan menerimamu? Jangan harap!” amuk Dimas.Dahi Ilham semakin berkerut. Dia benar-benar tidak paham dengan apa yang terjadi.“Kamu pikir, dengan cara licik seperti itu bisa menaikkan derajatmu yang hanya seorang asisten? Kamu mimpi terlalu tinggi!” amuk Dimas sambil menghina status Ilham.Ilham diam.Saat itu, Aksa baru saja tiba. Dahinya berkerut melihat keributan di depan lift. Aksa berjalan menghampiri untuk m
Alina pergi ke rumah Kaira bersama Bams. Saat sampai di sana, mobil mereka berhenti di depan gerbang karena tertutup rapat.“Saya akan turun bertanya,” kata Bams sambil melepas seatbelt.“Biar aku saja. Satpam rumah mengenalku,” balas Alina lalu segera turun dari mobil.Bams mengangguk, dia tetap turun untuk mengawal Alina.Alina mendekat ke gerbang lalu memanggil satpam.“Pak, apa Kaira ada?” tanya Alina setelah menyapa satpam.“Ada, tapi Tuan tidak mengizinkan siapa pun bertamu,” jawab satpam.Alina terkejut.“Tapi kenapa? Saya temannya, Bapak tahu, kan? Kenapa saya tidak boleh masuk?” tanya Alina mencoba membujuk, mendengar Kaira menangis saat menghubunginya, membuat Alina begitu cemas.“Soal itu, saya hanya mengikuti perintah Tuan saja. Beliau melarang saya menerima tamu yang ingin bertemu Non Kaira, kecuali ada Tuan di rumah.”Alina kecewa dan bingung. Dia menatap rumah Kaira, lalu memandang ke satpam. Dia tidak bisa memaksa karena tak ingin membuat masalah untuk satpam itu. Akhi
Saat sore hari. Ilham, Aksa, dan Alina pergi ke rumah Dimas. Mereka diperbolehkan masuk karena Dimas sudah ada di rumah. “Aku harap bisa bertemu dengan Kaira dan menenangkannya,” kata Alina saat mereka siap turun dari mobil. “Kita lihat dulu, bagaimana sikap ayahnya. Semoga pria itu tidak sulit diajak bicara,” balas Aksa sambil merapikan jasnya. Alina memandang pada suaminya yang baru saja akan turun, lalu menatap pada Ilham yang tadi duduk di depan dan kini sudah membuka pintu mobil. “Bams, tetaplah di mobil,” ucap Aksa sebelum turun. “Baik, Pak.” Bams mengangguk. Dia yang mengantar ke rumah Kaira. Alina berjalan menuju pintu bersama Aksa dan Ilham, lalu bertemu dengan pelayan. “Silakan masuk, saya panggilkan Tuan dulu,” kata pembantu di rumah itu. Alina mengangguk lalu masuk bersama Aksa dan Ilham. Saat akan duduk, Aksa melihat Ilham yang terlihat tegang. “Kamu nanti diam saja dulu, biar aku yang bicara,” kata Aksa bertanggung jawab sesuai janjinya untuk membantu. Ilham m
“Saya akan bertanggung jawab. Saya menyukai Kaira dan serius dengan hubungan yang kami jalani. Andai Anda takut saya tiba-tiba dipecat, maka saya akan berusaha menghidupi Kaira tanpa bantuan Anda.”Alina dan Aksa benar-benar tidak menyangka Ilham akan mengatakan itu semua. Mereka sampai menatap dengan rasa tak percaya.“Kamu pikir aku akan percaya dengan semua omong kosongmu?” Dimas menatap datar pada Ilham.“Saya tidak minta Anda percaya begitu saja, tapi setidaknya beri saya kesempatan,” balas Ilham.Dimas tersenyum miring.“Kamu berlagak sanggup menghidupi Kaira, memangnya kamu ini punya apa? Kaira sudah biasa hidup mewah, lalu kamu mau mengajaknya hidup susah? Itu maksudmu?”Ilham menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan pelan. Dia menjawab, “Saya punya tabungan dan saya punya sedikit saham di perusahaan Pak Aksa. Jika tidak bisa bekerja di tempat Pak Aksa, saya masih bisa mengajak Kaira ke kampung, saya ada perkebunan buah di sana.”Alina melongo. Apa yang dikatakan Ilham semu
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.