Kakak semua yang aku sayangi, jangan lupa komentarnya ya. Yang belum kasih ulasan dan suka buku ini, jangan lupa kasih ulasan dan bintang lima. Mamaci, sayang kalian banyak-banyak
Keesokan harinya. Alina sudah di dapur untuk membuat sarapan seperti biasa. Dia tetap melakukan kebiasaannya tanpa ada larangan dari Aksa. Bahkan pelayan di sana tidak ada yang berani mencegah karena mereka sudah mendapat instruksi dari Aksa.Ketika Alina berada di dapur, maka semua pelayan akan pergi, kecuali Alina memanggil. Mereka tidak ada yang berani mengganggu karena takut terkena teguran dari Aksa.Saat Alina sedang fokus meracik bahan makanan, tiba-tiba ada yang memeluknya dari belakang. Alina sempat terkejut, tetapi langsung menebak.“Kamu sudah bangun,” ucap Alina saat suaminya bergelayut manja di belakangnya.Aksa mengangguk-angguk. Dia memperhatikan apa yang akan dimasak Alina.“Mau kopi? Biar aku buatkan,” kata Alina hendak melepas tangan Aksa, tetapi suaminya belum mau melepas.“Sebentar,” kata Aksa masih memeluk sambil menyandarkan kepala di pundak Alina.Alina membiarkan saja suaminya masih memeluk. Setelah semua yang terjadi, Aksa memang agak manja ketika mereka hanya
“Beraninya kamu melakukan itu pada anakku, hah! Lihat saja, aku akan memenjarakanmu!” amuk Dimas sambil mencengkram kerah jas Ilham dengan sangat kuat.Dahi Ilham berkerut, bingung dengan maksud ucapan Dimas.Saat itu security datang karena melihat pemukulan yang dilakukan Dimas. Dua security langsung melerai dengan melepas cengkraman tangan Dimas dari jas Ilham.“Ada apa sebenarnya? Kenapa Anda tiba-tiba menuduh dan memukul saya?” tanya Ilham tetap bersikap sopan.“Kamu masih bertanya ada apa? Kamu memang tidak tahu diri! Kamu pikir dengan melakukan itu ke putriku, lalu aku akan menerimamu? Jangan harap!” amuk Dimas.Dahi Ilham semakin berkerut. Dia benar-benar tidak paham dengan apa yang terjadi.“Kamu pikir, dengan cara licik seperti itu bisa menaikkan derajatmu yang hanya seorang asisten? Kamu mimpi terlalu tinggi!” amuk Dimas sambil menghina status Ilham.Ilham diam.Saat itu, Aksa baru saja tiba. Dahinya berkerut melihat keributan di depan lift. Aksa berjalan menghampiri untuk m
Alina pergi ke rumah Kaira bersama Bams. Saat sampai di sana, mobil mereka berhenti di depan gerbang karena tertutup rapat.“Saya akan turun bertanya,” kata Bams sambil melepas seatbelt.“Biar aku saja. Satpam rumah mengenalku,” balas Alina lalu segera turun dari mobil.Bams mengangguk, dia tetap turun untuk mengawal Alina.Alina mendekat ke gerbang lalu memanggil satpam.“Pak, apa Kaira ada?” tanya Alina setelah menyapa satpam.“Ada, tapi Tuan tidak mengizinkan siapa pun bertamu,” jawab satpam.Alina terkejut.“Tapi kenapa? Saya temannya, Bapak tahu, kan? Kenapa saya tidak boleh masuk?” tanya Alina mencoba membujuk, mendengar Kaira menangis saat menghubunginya, membuat Alina begitu cemas.“Soal itu, saya hanya mengikuti perintah Tuan saja. Beliau melarang saya menerima tamu yang ingin bertemu Non Kaira, kecuali ada Tuan di rumah.”Alina kecewa dan bingung. Dia menatap rumah Kaira, lalu memandang ke satpam. Dia tidak bisa memaksa karena tak ingin membuat masalah untuk satpam itu. Akhi
Saat sore hari. Ilham, Aksa, dan Alina pergi ke rumah Dimas. Mereka diperbolehkan masuk karena Dimas sudah ada di rumah. “Aku harap bisa bertemu dengan Kaira dan menenangkannya,” kata Alina saat mereka siap turun dari mobil. “Kita lihat dulu, bagaimana sikap ayahnya. Semoga pria itu tidak sulit diajak bicara,” balas Aksa sambil merapikan jasnya. Alina memandang pada suaminya yang baru saja akan turun, lalu menatap pada Ilham yang tadi duduk di depan dan kini sudah membuka pintu mobil. “Bams, tetaplah di mobil,” ucap Aksa sebelum turun. “Baik, Pak.” Bams mengangguk. Dia yang mengantar ke rumah Kaira. Alina berjalan menuju pintu bersama Aksa dan Ilham, lalu bertemu dengan pelayan. “Silakan masuk, saya panggilkan Tuan dulu,” kata pembantu di rumah itu. Alina mengangguk lalu masuk bersama Aksa dan Ilham. Saat akan duduk, Aksa melihat Ilham yang terlihat tegang. “Kamu nanti diam saja dulu, biar aku yang bicara,” kata Aksa bertanggung jawab sesuai janjinya untuk membantu. Ilham m
“Saya akan bertanggung jawab. Saya menyukai Kaira dan serius dengan hubungan yang kami jalani. Andai Anda takut saya tiba-tiba dipecat, maka saya akan berusaha menghidupi Kaira tanpa bantuan Anda.”Alina dan Aksa benar-benar tidak menyangka Ilham akan mengatakan itu semua. Mereka sampai menatap dengan rasa tak percaya.“Kamu pikir aku akan percaya dengan semua omong kosongmu?” Dimas menatap datar pada Ilham.“Saya tidak minta Anda percaya begitu saja, tapi setidaknya beri saya kesempatan,” balas Ilham.Dimas tersenyum miring.“Kamu berlagak sanggup menghidupi Kaira, memangnya kamu ini punya apa? Kaira sudah biasa hidup mewah, lalu kamu mau mengajaknya hidup susah? Itu maksudmu?”Ilham menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan pelan. Dia menjawab, “Saya punya tabungan dan saya punya sedikit saham di perusahaan Pak Aksa. Jika tidak bisa bekerja di tempat Pak Aksa, saya masih bisa mengajak Kaira ke kampung, saya ada perkebunan buah di sana.”Alina melongo. Apa yang dikatakan Ilham semu
Alina menyedot jus yang dipesannya. Dia melirik pada Ilham yang sedang mengaduk-aduk kopi tanpa semangat. Dia lalu menoleh pada suaminya yang sedang menyesap kopi. Mereka sudah pergi dari rumah Dimas dan sekarang berada di kafe untuk membahas soal nasib asmara Ilham dan Kaira. “Jadi, bagaimana keputusanmu sekarang? Mau berhenti atau bagaimana?” tanya Aksa tiba-tiba. Alina dan Ilham langsung menatap pada Aksa, begitu juga dengan Bams yang ikut di sana. “Ya, harusnya diperjuangkan. Kaira rela menentang ayahnya agar bisa bersama Ilham, masa Ilham mau menyerah begitu saja? Kamu harus gentle, ditentang bukan berarti harus mundur.” Alina membantah karena tidak sependapat jika Ilham menyerah. Alina juga tidak bisa melihat Kaira kecewa padahal sudah berusaha agar bisa bersama Ilham. Ilham menatap Alina dan Aksa bergantian. Dia diam karena bingung. “Kenapa kamu tidak menjelaskan kalau tidak pernah tidur sama Kaira? Bisa saja papanya Kaira tidak menyukaimu karena masalah itu? Dan bisa saj
Aksa baru saja keluar dari kamar mandi. Dia dan Alina sudah selesai makan malam, kini berada di kamar untuk beristirahat. Namun, Aksa melihat Alina sibuk dengan buku sketsa, membuat Aksa berdiri sambil melipat kedua tangan di depan dada, dia menatap Alina yang sibuk sendiri. Bahkan Alina tidak sadar kalau Aksa ada di sana sedang memperhatikan. Aksa menghela napas kasar, dia merasa terabaikan dan kalah dari buku sketsa. Aksa akhirnya mendekat, lalu duduk di samping Alina. Dia melirik istrinya yang masih sibuk, membuatnya kesal karena Alina tidak menoleh sama sekali. Aksa menggeser posisi duduk sampai merapat pada Alina, bahkan lengan mereka saling bersentuhan. Dia terus mendesak, sampai akhirnya dia melihat Alina menoleh. “Kenapa?” tanya Alina. Aksa tidak menjawab. Ekspresi wajahnya begitu datar. Dia duduk bersidekap menempel pada Alina. Dahi Alina berkerut halus, ada apa lagi dengan suaminya ini? Kenapa ekspresi wajah suaminya sangat masam? Akhirnya Alina meletakkan buku sketsa
Aksa terus menatap Alina yang bercerita hingga selesai. Meski dia melihat Alina tersenyum, tetapi Aksa juga melihat kepedihan di dalam pancaran bola mata istrinya itu.“Kenapa kamu menatapku begitu? Tidak usah kasihan denganku apalagi masa laluku,” ucap Alina ketika melihat Aksa diam menatapnya.“Tidak,” balas Aksa.Aksa menghela napas kasar, lalu bangun dari pangkuan Alina. Dia duduk dengan satu tangan merangkul pundak Alina, lalu merapatkan ke tubuhnya.“Bagaimana dengan keluarga ibumu? Kamu juga tidak mau mengundang mereka?” tanya Aksa.Bukankah wajar jika sebagai suami, Aksa ingin tahu lebih jauh tentang keluarga Alina.“Aku tidak tahu,” jawab Alina.Dahi Aksa berkerut.“Kenapa tidak tahu?” tanya Aksa penasaran.“Sejak aku kecil, Mama tidak pernah membahas soal saudara dari Mama. Bahkan aku dan Dani tidak tahu, apa kami masih punya kakek dan nenek. Setiap aku tanya, Mama hanya tersenyum dan dia bilang, ‘Bukankah yang terpenting kita bersama, tidak peduli dengan yang lain. Mama han
Naya melihat wanita itu seperti gemetar. Apa wanita itu tidak menerima kedatangan mereka, atau ada hal lain sehingga respon wanita itu seperti ini?Bams mendekat pada sang ibu. Dia lalu memeluknya.Dalam sekejap, Naya melihat wanita itu menangis begitu kencang sambil mengusap punggung Bams.“Kamu akhirnya mau pulang. Ibu pikir kamu membenci ibu dan hina jika menemui ibumu ini.”Naya melihat wanita itu meraung. Dia menatap Bams yang memeluk erat tubuh wanita tua itu.“Yang penting aku pulang sekarang.”Bams melepas pelukan. Dia menatap sang ibu yang masih menangis.“Aku hanya tidak mau menjadi masalah buat Ibu. Kalau aku membencimu, untuk apa aku memintamu pindah ke sini?”Wanita itu masih menangis meski Bams sudah menjelaskan.“Aku datang karena ingin mengenalkan Ibu dengan seseorang,” ucap Bams.Wanita itu menghentikan tangisnya. Dia menatap Bams dengan wajah masih penuh air mata.Bams menggeser posisi berdiri, lalu menunjuk pada Naya.Wanita tua itu menatap ke arah Bams menunjuk. Di
“Nona, ini sudah saya buat rincian pesanan desain. Ini juga jadwal undangan Anda untuk acara fashion show tema spring.” Naya memberikan tablet pintar berisi jadwal Alina.“Terima kasih, Nay.” Alina menerima tablet itu, lalu mengecek data di dalamnya.Naya menunggu Alina merespon, lalu atasannya itu memandang ke arahnya.“Kalian jadi pergi hari ini, kan?” tanya Alina.“Jadi, makanya saya berikan dulu rincian ini agar Anda bisa menyiapkan desainnya. Anda tahu ‘kan, Anda terkenal tepat waktu, jadi jangan sampai terhambat sehari dua hari karena saya pergi,” balas Naya.Alina melebarkan senyum.“Iya, kamu memang paling mengerti aku,” ucap Alina, “jika ada apa-apa hubungi aku, ya.” Alina bicara sambil mengusap lengan Naya.Naya tiba-tiba memeluk Alina, membuat wanita itu terkejut.“Terima kasih, Nona. Anda selalu ada untuk saya dan menjadi satu-satunya keluarga untuk saya selama dua tahun ini,” ucap Naya.Alina terkesiap. Dia tersenyum lalu membalas pelukan Naya.“Kalau aku ini keluargamu,
“Dani bilang masih ada urusan di luar, jadi kita tidak perlu menunggunya makan malam,” ujar Alina setelah membaca pesan dari Daniel.Aksa baru saja berganti pakaian. Dia kemudian mendekat pada Alina yang masih duduk di tepian ranjang.“Bagaimana kondisi Anya? Dia sudah lebih baik?” tanya Aksa.Aksa juga bersimpati pada kondisi mental Anya karena selama dua tahun harus melihat sang ayah yang melakukan kekerasan pada sang ibu.“Jika dilihat dari luar, ya dia baik-baik saja. Dia bermain bersama Arlo dengan riang, bukankah itu bagus? Hanya saja, Jia tetap akan membawa Anya ke psikolog, hanya untuk memastikan saja, apa benar Anya baik-baik saja atau ada gangguan mental,” ujar Alina panjang lebar menjawab pertanyaan Aksa.Aksa mengangguk-angguk paham.Mereka pergi ke ruang makan untuk makan malam bersama. Sudah ada Naya, Bams, dan Arlo di sana.“Mama.” Arlo berlari menghampiri Alina yang baru saja datang.Aksa menghela napas, dia harus pasrah jika Alina diambil alih Arlo.Alina menggandeng
“Apa itu penting?”Pertanyaan Daniel membungkam Karin. Dia mengulum bibir dan menggeleng.Daniel sendiri tidak mau bersikap baik, jangan sampai sikap baiknya disalahartikan.Daniel melihat Karin yang diam tertunduk. Dia pun memutuskan untuk pergi daripada terlalu lama berinteraksi dengan Karin.“Tunggu, kamu tidak jadi mencari aksesoris? Aku bisa menunjukkan beberapa barang yang mungkin cocok dengan yang kamu inginkan,” ucap Karin membujuk seraya meremat jari.Daniel diam sejenak, tetapi setelahnya mengangguk. Dia mengikuti Karin menuju display khusus aksesoris anak-anak.“Anak itu biasanya suka apa? Bando, jepit rambut, kalung, atau gelang mungkin?” tanya Karin mencoba mengajak bicara Daniel.Daniel tak menjawab pertanyaan Karin. Dia lebih memilih fokus memperhatikan aksesoris yang terpajang di sana, hingga tatapannya tertuju pada gantungan ponsel yang lucu dan menggemaskan.“Itu lucu,” ucap Karin.Daniel tetap tak bicara pada Karin.Karin diam memperhatikan Daniel yang begitu dingin,
Siang itu, Aksa masih berada di ruang kerjanya dengan banyaknya tumpukan berkas di meja. Dia sedang membaca beberapa perencanaan bisnis untuk mengembangkan perusahaannya.“Masih sangat sibuk?”Aksa terkejut mendengar suara Alina. Dia langsung menoleh dan melihat istrinya ternyata sudah berada di ruangannya. Aksa tersenyum lebar, karena terlalu fokus bekerja, membuatnya sampai tidak menyadari kalau Alina datang.“Aku tidak mendengar kamu mengetuk pintu,” ucap Aksa langsung berdiri dari tempat duduknya untuk menghampiri Alina.“Aku memang tidak mengetuk pintu,” balas Alina.Aksa mengajak Alina duduk. Alina membawa paper bag berisi makan siang seperti yang dijanjikannya pagi tadi.“Arlo tidak rewel tahu kamu akan ke sini dan tidak diajak?” tanya Aksa.“Oh, dia pergi bersama Naya dan Bams. Katanya mau main ke rumah Anya. Nanti aku ke sana setelah dari sini,” jawab Alina seraya mengeluarkan kotak makanan dari dalam paper bag.“Ternyata dia mau lepas darimu karena Anya?” Aksa keheranan.“Iya
Aksa sudah sampai di perusahaan. Seperti biasa Ilham akan langsung menemani masuk ruangan lalu membacakan jadwal harian Aksa.“Ada yang mau Anda ubah, Pak?” tanya Ilham setelah selesai membacakan laporannya.Aksa tak langsung menjawab. Dia malah menatap Ilham.“Ada apa, Pak?” tanya Ilham panik karena tatapan Aksa. Apa dia membuat kesalahan?Aksa menghela napas pelan, lalu menyandarkan punggung.“Apa kamu benar-benar tidak mau mengubah keputusanmu untuk mengambil alih perusahaan mertuamu? Bukankah ini menguntungkan untuk kariermu?” tanya Aksa sekali lagi setelah berulang kali Ilham berkata akan tetap menjadi sekretarisnya.Aksa hanya tak ingin dianggap menghambat Ilham berkembang. Meski dia juga berat melepas Ilham yang sudah bertahun-tahun ikut dengannya dan menjadi pekerja terbaiknya, tetapi Aksa juga ingin masa depan Ilham semakin baik.Namun, bukannya mendapat jawaban, Ilham malah membalas, “Anda mau memecat saya?”Pertanyaan Ilham tentu saja membuat Aksa sampai menegakkan badan.“
Hari berikutnya. Alina dan yang lain sarapan seperti biasanya. Rumah itu sekarang begitu ramai dan semakin hangat dengan banyaknya orang yang menempati rumah itu.“Aku lupa bilang,” ucap Daniel di sela sarapan.Semua orang menatap pada pria itu sekarang.“Lupa bilang apa?” tanya Alina penasaran.Daniel menatap ke semua orang lalu membalas, “Waktu itu aku bicara dengan Paman, dia menawariku untuk mengelola perusahaan di sini. Karena Kak Alina akan tinggal di sini, jadi kurasa aku juga akan tetap di sini.”Alina cukup terkejut. Namun, dia juga senang karena adiknya tidak akan jauh darinya.“Itu bagus, aku setuju,” balas Alina.Lagi pula Daniel sekarang pandai mengelola bisnis, perusahaan sang paman pun dipimpin dengan baik.Daniel mengangguk-angguk lega dan senang melihat Alina setuju dengan niatnya.“Kamu akan tinggal di sini? Kalau iya, aku akan meminta orang menyiapkan kebutuhanmu termasuk ruang kerja,” ujar Aksa.“Tidak, aku mau mencari apartemen saja,” balas Daniel.Alina tidak menc
Malam itu Daniel berkumpul dengan Aksa dan Alina di rumah. Mereka berada di ruang keluarga membahas soal Edwin.“Edwin memang ditangguhkan penahanannya, tapi proses hukum tetap berjalan. Pengacaraku juga sudah mengajukan semua berkas laporan dan bukti untuk menjerat pria itu agar mendapatkan hukuman maksimal. Tidak akan kubiarkan dia mendapat hukuman hanya setahun dua tahun,” ujar Aksa.“Ya, pria itu memang layak mendapat hukuman yang berat. Banyak sekali tindak kejahatan yang dilakukannya,” timpal Alina.“Ini juga bagus untuk mempercepat proses perceraian Jia karena kelakuan buruk Edwin semuanya sudah terekspos,” ujar Aksa lagi.Alina mengangguk-angguk. Dia kemudian menoleh pada Daniel yang sejak tadi tak bersuara.“Kamu sedang memikirkan apa?” tanya Alina.Daniel terkejut. Dia baru menyadari kalau kakak dan kakak iparnya kini sedang menatapnya.“Tidak,” jawab Daniel seraya menggeleng pelan.Alina menaikkan kedua sudut alis.“Apanya yang tidak? Aku perhatikan seharian ini kamu banyak
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Akhirnya Jia sudah diperbolehkan pulang. “Papamu sudah menunggu di rumah lama kalian, jadi kami akan mengantarmu ke sana,” ucap Daniel.“Iya, terima kasih,” balas Jia.Akhirnya Jia harus kembali ke rumah keluarganya karena dia tidak mau tinggal di apartemen atau rumah milik Edwin yang penuh dengan kenangan pahit.Alina datang menemani Jia keluar dari rumah sakit sekalian membantu Daniel.“Apa sudah semua?” tanya Alina.Daniel mengangguk.Alina mendorong kursi roda yang Jia duduki. Mereka pergi menuju pintu depan lobby rumah sakit karena mobil yang akan membawa mereka sudah menunggu di sana.“Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot menjemput,” ucap Jia.“Apanya yang repot? Aku tidak pernah merasa repot,” balas Alina, “kita sudah kenal lama, bahkan dulu kamu membantuku memasarkan desainku, jadi anggap saja kita ini saling melengkapi dan menguntungkan,” imbuh Alina.Mereka sampai di depan lobby. Jia dibantu Alina dan Daniel masuk mobil, lalu