Dani benar-benar merasa aneh dengan situasi yang terjadi. Namun, dia berharap ini hanya perasaannya saja.“Kak.” Dani langsung menyapa saat bertemu Aksa.Dani melihat tatapan datar Aksa, ini sangat berbeda dengan Aksa biasanya. Mungkinkah tebakannya benar?“Di mana Kak Alina?” tanya Dani pada akhirnya.“Kamu punya waktu sepuluh menit untuk menemuinya,” ucap Aksa dengan ekspresi wajah dingin. Sorot matanya begitu tegas dan kalimat yang diucapkannya terdengar tak bisa dibantah.Dani terkesiap. Kenapa tiba-tiba Aksa bersikap seperti ini?“Apa maksudnya ini, Kak?” tanya Dani masih mencoba mencari tahu.“Mau bertemu dengannya atau tidak?” Hanya itu kalimat yang dilontarkan Aksa, seharusnya Dani sudah bisa membaca situasi yang sedang terjadi.Dani terdiam. Dia semakin yakin jika ada sesuatu yang tidak beres di sini. Berpikir, daripada tidak bertemu sang kakak dan tak mengetahui yang terjadi, Dani memilih mengiyakan waktu yang diberikan Aksa.Aksa mengantar Dani ke kamar. Di depan kamar suda
Sepuluh menit berlalu. Bams masuk dan meminta Dani untuk segera keluar.Dani menatap Alina yang masih menggenggam tangannya. Alina menggeleng kepala, membuat Dani benar-benar tidak bisa meninggalkannya.“Berjanjilah Kak Alina akan bertahan, aku akan berusaha membawa Kak Alina keluar dari sini,” ucap Dani tanpa suara dan hanya terlihat gerakan bibir.Alina kembali memeluk Dani, lalu berbisik, “Dan, hubungi pria bernama Pak Restu. Dia berjanji mau menolong jika aku butuh bantuan. Tolong mintalah bantuan darinya.”Dani terkejut karena Alina meminta bantuan pada Restu, padahal tahu kalau Restu adalah rekan bisnis Aksa. Dia hanya mengangguk agar sang kakak tenang. Dani harus meninggalkan Alina meski sang kakak sangat membutuhkannya. Dengan posisinya sekarang, Dani tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu.Ketika baru saja keluar dari kamar Alina. Dani bertemu dengan Aksa yang berdiri di depan kamar. Seketika itu juga Dani melayangkan pukulan ke wajah sang kakak ipar hingga menghantam sis
Dani memperhatikan Restu yang membawa dua cangkir ke arahnya lalu meletakkan salah satu cangkir di meja hadapannya. Dani masih cemas, bagaimana jika Restu tidak mau membantunya?“Minumlah dulu biar kamu lebih tenang,” ujar Restu sambil menatap Dani yang gelisah.Dani mengangguk lalu meminum teh yang dibuatkan Restu.Restu masih diam memperhatikan Dani. Jika Alina sampai meminta bantuan untuk lepas dari rumah Aksa, bukankah berarti masalahnya memang sangat rumit?“Sekarang ceritakan dulu, apa yang sebenarnya terjadi? Aku yakin tidak akan ada masalah tanpa pemicunya,” ucap Restu mencoba bersikap netral dulu, meski dalam hal ini menyangkut tentang keponakannya.Dani meletakkan cangkir di meja, tetapi sebelum bercerita, Dani malah menangis lebih dulu.Restu terkejut. Hal apa yang bisa membuat seorang pria menangis jika bukan sesuatu yang sangat menyakitkan.Dani menghapus air mata yang membasahi pipinya, sedikit menunduk dia mulai menceritakan yang terjadi tentang fakta keluarga Aksa.Res
Dani sangat syok, sampai secara impulsif mundur meski belakangnya sandaran sofa. Dia menatap tak percaya, apa pria di depannya sekarang ini sedang bercanda?“Jika memang Anda keluarga mamaku, kenapa Anda mengabaikan mamaku dan kami? Anda tidak tahu, kan? Mama dan Papa bekerja keras untuk bisa menghidupi kami dan memberikan yang terbaik buat kami. Meski semuanya akhirnya sia-sia.”Dani menatap sendu. Sungguh dia kesal karena semua orang seperti mempermainkan hidupnya dan sang kakak.“Aku punya alasan kenapa tidak pernah ada untuk kalian. Bukan aku yang menjauh dan tidak peduli, tapi mamamu yang memilih meninggalkan kami,” ujar Restu mencoba bicara.Dada Dani naik turun tak beraturan. Napasnya terasa berat dan rasanya begitu sesak menekan.Restu menceritakan semuanya. Kenapa adiknya pergi meninggalkan rumah dan keluarga tidak ada yang mencari. Restu juga menceritakan keterkejutannya saat mengetahui adiknya sudah tiada meninggalkan dua anak.“Aku benar-benar minta maaf dengan apa yang te
Restu datang ke perusahaan Aksa. Tentunya dia menemui pria itu untuk menyelidiki sesuatu.“Silakan masuk,” ucap Ilham setelah membuka pintu ruang kerja Aksa.Restu mengangguk, lalu melangkah masuk ke ruangan itu.“Pak Restu, silakan duduk.” Aksa menyambut Restu dengan ramah.Restu memperhatikan ekspresi wajah Aksa, melihat bagaimana pria itu terlihat tenang.“Maaf kemarin saya tidak bisa menemui Anda di rumah,” ujar Aksa saat Restu sudah duduk.“Aku paham, kamu pasti juga butuh privasi dan tidak ingin diganggu di luar jam kerja,” balas Restu.Aksa menipiskan senyum.“Sebenarnya, kemarin aku datang ke sana untuk membahas bisnis sekalian menumpang makan malam di sana. Tiba-tiba saja aku sangat ingin makan masakan istrimu. Tapi sayangnya kamu keberatan aku bertamu,” ujar Restu mulai memancing pembahasan tentang Alina.“Beberapa hari ini istriku tidak enak badan. Ya, Anda tahu sendiri dia sedang hamil dan memang kondisi fisiknya sedikit kurang baik,” ujar Aksa menjelaskan.Restu menganggu
Alina hanya duduk diam di ranjang tanpa melakukan apa pun. Bahkan kedua kakinya terlihat membengkak karena dia tidak melakukan aktivitas apa pun selama hampir satu minggu ini.Saat Alina masih duduk merenung. Bams masuk membawa makan siang untuk Alina. Dia berjalan ke arah nakas, lalu meletakkan nampan berisi makanan dan minuman di sana.“Makan siang Anda,” ucap Bams.Alina menatap makanan yang ada di atas nakas, lalu memandang pada Bams yang masih berdiri di samping ranjang.“Apa Anda membutuhkan sesuatu lagi?” tanya Bams.“Iya,” jawab Alina dengan sorot mata begitu dingin. Bahkan kehangatan dan kelembutan yang biasa dirasakan hanya dari tatapan mata Alina kini sudah sirna.“Aku butuh surat cerai dari atasanmu!” Alina bicara dengan nada tegas.Bams menghela napas panjang.“Apa Anda tidak bisa memikirkan ulang, setidaknya demi calon bayi Anda,” ujar Bams mencoba membujuk.Bams menjadi saksi hidup ketegangan hubungan antara Aksa dan Alina. Dia melihat bagaimana keduanya sama-sama mende
Aksa masih menunggu dokter memeriksa kondisi Alina. Hingga beberapa saat kemudian dokter melipat stetoskop dan memasukkan ke saku snelli.“Kandungannya baik-baik saja. Mungkin stres dan tekanan berat membuat asam lambungnya naik sehingga mengalami muntah berlebih. Saya sarankan Bu Alina dibawa ke rumah sakit untuk observasi lebih lanjut,” ujar dokter menjelaskan.“Tidak, rawat dia secara intensif di sini. Datangkan peralatan yang dibutuhkan untuk merawatnya. Apa pun akan kusiapkan asal dia tidak keluar dari kamar ini,” ujar Aksa dengan nada tegas.Dokter itu terkejut. Dia sampai menoleh pada Bram yang pelayan yang ada di sana, semua orang menunduk.Dokter itu bingung, tetapi demi kesehatan Alina, akhirnya dokter menyanggupi permintaan Aksa. Dia mencatat beberapa alat kesehatan sebagai penunjang untuk perawatan Alina.**Di tempat Restu. Dia sedang menunggu orang suruhannya memberi laporan. Restu tentunya sangat cemas, apalagi sampai ada dokter yang datang ke rumah Aksa.Ponsel Restu b
Hari berikutnya. Dokter datang untuk memeriksa kondisi Alina. Dia datang bersama perawat seperti biasa membawa alat yang di rumah tidak ada.“Apa Bu Alina masih muntah?” tanya dokter saat berjalan naik menuju kamar Alina bersama Bams.“Sudah tidak, mungkin karena semalaman Bu Alina tertidur,” jawab Bams.Dokter hanya mengangguk.Saat mereka sampai di depan kamar, Bams menghentikan langkah mereka.“Sesuai pesan Pak Aksa, tidak ada ponsel atau barang lain yang tak berhubungan dengan pemeriksaan yang diperbolehkan dibawa masuk kamar,” ucap Bams lalu menunjuk pada troli berisi nampan yang ada di samping pintu.Dokter dan perawat menoleh ke troli itu lalu melakukan apa yang Bams katakan. Tas dan ponsel diletakkan di sana, baru kemudian mereka diperbolehkan masuk kamar.“Bagaimana perasaan Anda hari ini?” tanya dokter menyapa.Alina hanya menatap datar apalagi ada Bams di sana.Dokter itu memeriksa detak jantung dan lainnya, lalu melirik pada Bams yang berdiri di dekat ranjang.“Saya mau me
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.
Jia dan Daniel saling pandang, sampai akhirnya Jia tersenyum lalu mengambil cangkir kopi untuk Daniel dan memberikan pada pria itu.“Minumlah,” ucap Jia.Daniel mengangguk. Dia menyesap kopi buatan Jia.Jia menatap pada Daniel yang sedang minum, hingga terbesit pertanyaan yang membuatnya penasaran.“Dan, kita sudah menjadi suami-istri, apa aku boleh bertanya sesuatu?” tanya Jia.Daniel baru saja selesai minum. Dia menatap pada Jia, lalu meletakkan cangkir di meja.“Tanya saja,” jawab Daniel.“Jangan tersinggung, ya. Aku hanya mau tanya tanpa bermaksud apa-apa,” ujar Jia.Daniel mengangguk-angguk.“Apa penyebab kamu mandul?” tanya Jia dengan sangat hati-hati.Daniel terkejut mendengar pertanyaan Jia, tetapi dia sudah berjanji untuk menjawab.“Itu karena sperma yang dihasilkan tidak bagus, bahkan terlalu sedikit,” jawab Daniel dengan senyum getir di wajah.Jia melihat Daniel yang malu, mungkin karena jawaban itu sangat pribadi untuk Daniel. Namun, mereka sudah suami istri, sudah sewajar
Acara pernikahan Jia dan Daniel diadakan sederhana bersama keluarga. “Mama, dedeknya kok belum bisa main baleng? Kan sudah besal ini?” tanya Arlo seraya menunjuk pada anak Kaira.Alina dan Kaira menoleh bersamaan mendengar suara aduan Arlo. Mereka memandang pada anak Kaira yang ada di stroller.“Dek Disya belum bisa kalau lari-lari, terus sekarang Dek Disya ngantuk. Tuh lagi minum susu,” ujar Kaira menjelaskan karena putrinya anteng seraya minum susu dari dot.“Ah, nggak asyik. Padahal Alo mau main sama dedek. Nanti kalau dedeknya Alo kelual, pokoknya halus main, nggak boleh bobok.” Setelah mengatakan itu, Arlo berlari menyusul Anya yang sedang bermain ayunan.Alina dan Kaira sampai terkejut bersamaan, dua wanita itu sampai menggeleng pelan dengan tingkah Arlo.“Lama-lama sifat anak itu seperti ayahnya. Kalau menginginkan sesuatu, harus didapat. Keras kepala dan susah sekali diaturnya,” ucap Kaira.“Nunggu punya pawang,” balas Alina.“Dih, sekecil itu. Kayaknya kamu harus ekstra saba
Saat malam hari. Arlo berada di kamar bersama Alina dan Aksa. Alina memang selalu berusaha menemani Arlo sebelum tidur, agar putranya tidak merasa kesepian atau terabaikan.“Ini dedeknya?” tanya Arlo saat melihat foto USG yang Alina berikan.“Iya,” jawab Alina.“Kok kecil sekali?” tanya Arlo seraya mengamati foto USG itu.Aksa dan Alina menahan senyum.“Iya, kan masih di dalam perut. Kalau nanti sudah keluar, dedeknya bisa besar kayak Arlo,” jawab Alina menjelaskan.Arlo mengangguk-angguk. Lalu tangan mungilnya menyentuh perut Alina.“Dedek cepat keluar, ya. Biar bisa main sama Alo.” Setelah mengatakan itu, Arlo mencium perut Alina.Alina dan Aksa saling pandang dengan seulas senyum di wajah. Mereka bersyukur karena Arlo menerima kehamilan itu dan tidak iri sama sekali.“Sekarang tidur, ya.” Alina menarik selimut. Dia dan Aksa mau berbaring di samping Arlo.“Alo mau bobok sendili,” ucap Arlo.Alina terkejut, tetapi menjelaskan, “Iya, nanti bobok sendiri. Sekarang biarkan mama dan Papa
Aksa mengantar Alina ke rumah sakit. Dia memang meluangkan waktu menemani Alina memeriksakan kandungan karena tak mau melewatkan momen melihat tumbuh kembang calon bayi mereka.“Janinnya tumbuh sangat baik. Berat dan ukurannya sangat pas dengan usianya, jenis kelaminnya--” Dokter ingin menyebutkan jenis kelamin janin Alina, tetapi langsung dicegah.“Jangan sebutkan, Dok. Biar menjadi kejutan,” potong Alina.“Padahal aku mau tahu, Al.” Aksa sudah semangat menunggu, tetapi Alina malah menolak.“Tidak usah, pokoknya biar kejutan,” kekeh Alina.Aksa melirik pada dokter yang tersenyum.“Baiklah, saya tidak akan menyebutkan jenis kelaminnya,” ujar dokter itu.Aksa menatap kecewa pada Alina, padahal dia sudah sangat antusias.Alina hanya menahan senyum melihat suaminya kecewa.“Ingat ya, Bu Alina. Makan apa pun yang Anda mau, tidak usah memantang apa pun, selama yang dimakan bagus untuk pertumbuhan janin. Mungkin makanan kemasan, beralkohol, dan fast food saja yang saya larang,” ujar dokter p