Aksa memperhatikan Bams yang diam dan terlihat panik. Alisnya berkerut saling bertautan, penasaran kenapa sikap Bams tampak aneh. “Ada apa? Kenapa kamu tidak menjawab?” tanya Aksa curiga. Bams benar-benar kebingungan. Dia sampai menunduk merasa bersalah karena sudah jujur pada Alina. Aksa semakin curiga, saat akan kembali bicara, terdengar suara pintu terbuka. Aksa dan Bams sama-sama menoleh ke arah pintu. “Ada apa? Kamu sedang memarahi Bams?” Bams terkesiap, tetapi juga lega karena Alina kembali. Aksa langsung memulas senyum. “Kamu dari mana? Kenapa lama sekali?” tanya Aksa. Alina melirik Bams yang sedikit menurunkan pandangan. Dia lalu tersenyum pada Aksa sambil mendekat. “Tadi bicara sebentar dengan Paman. Dia tahu kamu sakit tapi belum bisa menjenguk, jadi dia menitipkan ini.” Alina memperlihatkan kotak kue yang dibawanya. Bams mengedipkan mata dengan cepat. Apa Alina baik-baik saja? Kenapa dia menjadi waswas dan seperti merasa bersalah? Bams akhirnya pamit keluar dari
Hari berikutnya. Aksa akhirnya diperbolehkan pulang, Ilham dan Bams yang menjemput Aksa di rumah sakit. Sepanjang perjalanan menuju rumah, Bams sesekali melirik kaca spion tengah untuk memastikan kalau Alina dan Aksa memang baik-baik saja.“Fokus ke jalan.” Ilham menegur karena Bams terus melirik ke kaca spion.Bams terkejut sampai menoleh pada Ilham yang duduk di kursi samping kemudi.“Ini sudah fokus, kalau tidak fokus pasti nabrak,” balas Bams karena takut jika ketahuan sedang mengawasi sikap Alina dan Aksa.“Mengelak, kamu pikir aku tidak melihat apa yang kamu lakukan?” Bams mencebik. Dia memilih fokus ke jalanan.Aksa dan Alina melirik pada Bams juga Ilham secara bergantian, ada apa dengan dua pria itu sampai berdebat.“Kalian mendebatkan apa lagi?” tanya Aksa dengan tatapan curiga.Ilham hendak menjawab, tetapi Bams langsung mengulurkan tangan untuk membungkam mulut Ilham.“Apaan?” Ilham menepis tangan Bams.“Jangan ember!” balas Bams.Aksa dan Alina sampai keheranan dengan tin
Alina turun ke lantai bawah setelah memastikan Aksa istirahat. Dia bertemu dengan Kaira yang masih di sana.“Aksa sudah tidur?” tanya Kaira.“Iya,” jawab Alina.Alina melihat Kaira yang mengangguk-angguk, lalu dia tiba-tiba saja memeluk Kaira.Kaira terkejut. Dia bergeming sesaat, tetapi kemudian membalas pelukan Alina.“Tiba-tiba sekali memelukku, ada apa?” tanya Kaira.Alina melepas pelukan, lalu menatap pada Kaira.“Hanya ingin,” jawab Alina dengan senyum hangatnya.Kaira tidak bertanya lagi. Melihat Alina terus tersenyum seperti ini membuat hatinya begitu lega.“Kamu mau ke mana? Butuh sesuatu?” tanya Kaira kemudian.“Iya, aku mau ke dapur. Mau memasak untuk Aksa.” Alina berjalan menuju dapur setelah menjawab.Kaira mengerutkan alis. Bukannya Alina tidak bisa memasak setelah hilang ingatan? Kaira cemas, dia segera menyusul Alina ke dapur.Para pelayan di sana juga terkejut melihat Alina masuk dapur, apalagi Alina langsung membuka lemari pendingin.“Nyonya, Anda membutuhkan sesuatu
Alina kembali ke kamar setelah cukup lama di dapur membuat menu masakan untuk Aksa. Saat baru saja masuk kamar, dia melihat Aksa yang ternyata baru saja bangun.“Kamu sudah bangun?” tanya Alina sambil berjalan menghampiri.Aksa mengangguk pelan. Dia hendak bangun, lalu Alina buru-buru membantu karena Aksa agak kesusahan.“Kamu mau makan?” tanya Alina saat Aksa sudah duduk bersandar headboard.Aksa menatap pada Alina, lalu berkata, “Sepertinya aku butuh mandi, rasanya tidak nyaman sejak kemarin sama sekali belum menjamah air.”Alina tersenyum.“Akan kusiapkan,” balas Alina lalu berdiri.Aksa memperhatikan. Dia melihat Alina masuk kamar mandi. Dia benar-benar merasakan perbedaan sikap Alina atau mungkin hanya perasaannya saja?Alina keluar setelah beberapa saat di dalam kamar mandi. Dia datang menghampiri Aksa.“Ayo!” ajak Alina.Aksa malah bergeming menatap pada Alina, bingung.“Kenapa? Katanya mau mandi?” tanya Alina keheranan sebab Aksa hanya diam.“Kamu mau memandikanku?” tanya Aksa
Aksa terlihat tenang, tetapi sebenarnya dalam hatinya begitu terkejut mendengar pertanyaan Alina. Dia memang takut kehilangan Alina, tetapi tidak ingin egois yang bisa membuat Alina semakin membencinya.“Jika itu yang kamu inginkan, aku akan melepas,” ujar Aksa.“Kenapa?” tanya Alina cukup terkejut mendengar jawaban Aksa.“Karena aku tidak ingin semakin membuatmu terluka, jika di sampingku kamu menderita,” balas Aksa.Alina melihat senyum getir di wajah Aksa. Dia masih menggenggam erat telapak tangan pria itu.“Padahal aku berharap kamu memberikan jawaban lain,” ucap Alina lalu tersenyum kecil. Dia mencoba mencairkan ketegangan yang terjadi.“Contohnya?” tanya Aksa dengan satu sudut alis tertarik ke atas.“Ya, contohnya mungkin. Jangan pergi, tolong pikirkan aku dan Arlo. Atau, jangan pergi, aku tidak bisa hidup tanpamu. Mungkin bisa juga, aku sangat mencintaimu jadi tetaplah tinggal. Ya, semacam itu.” Alina bicara sambil menatap ke langit-langit kamar, lalu kembali menatap pada Aksa.
Saat malam hari. Aksa melihat Alina yang belum tidur dan masih bermain ponsel. Dia keheranan karena Alina terus tersenyum.“Kenapa tidak tidur?” tanya Aksa langsung menegur.Alina mengalihkan pandangan dari ponsel ke arah Aksa. Dia masih mempertahankan senyum, lantas menghampiri Aksa yang ada di ranjang.“Mama mengirim foto Arlo. Ternyata mereka mengajak Arlo naik kapal pesiar biar tidak rewel. Ini foto Arlo memancing ikan bersama Papa,” jawab Alina sambil menunjukkan foto yang dilihatnya.Tiba-tiba saja Aksa menghela napas lega. Sejenak dia sempat cemas kalau Alina bermain ponsel karena sedang berhubungan dengan pria lain. Bodohnya dia beranggapan seperti itu?Aksa melihat foto-foto yang dikirimkan. Dia melihat Arlo yang sangat senang, apalagi mendapat ikan besar.“Sejak Arlo bayi, dia tidak pernah dekat dengan kakek dan neneknya, tidak menyangka dia bisa sedekat ini dengan mereka sekarang,” ucap Aksa seraya melihat-lihat foto Arlo.Alina terus memperhatikan Aksa.“Kamu tidak mengizin
Kaira menatap pada Alina yang terlihat tenang dan biasa saja meski baru saja menghadapi pria aneh yang mendadak muncul di depan mereka. Kini Kaira dan Alina berada di kafe untuk makan siang sebelum belanja.“Kamu baik-baik saja? Sebenarnya siapa pria tadi? Penggemarmu?” tanya Kaira karena itulah yang dia tangkap dari ucapan Alina tadi pada Gabriel.“Bukan penggemar, tapi ya begitulah. Bukankah sudah seharusnya aku tegas?” Alina menjawab seraya mengaduk minumannya.Kaira mengangguk-angguk. Dia menatap pada Alina yang fokus ke ponsel, apalagi Alina tersenyum.“Aksa menghubungimu?” tanya Kaira mencari tahu.Alina mengalihkan pandangan dari ponsel pada Kaira, lalu membalas, “Iya, dia bilang kapan pulang. Padahal baru juga ditinggal satu jam.”Alina tersenyum lagi seraya membalas pesan Aksa.Kaira memperhatikan Alina yang tampak begitu bahagia, sepertinya dia tidak perlu cemas lagi karena Alina berkata ingin tetap bersama Aksa dan Arlo.“Sepertinya kita harus segera makan lalu berbelanja d
Alina pulang setelah mengantar Kaira. Sesampainya di rumah, Alina melihat Aksa duduk di ruang keluarga sambil memegang ponsel. “Kamu tidak istirahat? Sudah makan siang?” tanya Alina langsung menyapa. Dia meletakkan buah yang dibelinya di meja, lalu duduk di samping Aksa. Aksa memasang wajah datar sambil menatap pada istrinya itu. “Kenapa? Kenapa ekspresi wajahmu begitu, hm?” Alina gemas sampai mengapit kedua pipi Aksa dengan telunjuk dan jempol, lalu menggerakkannya. “Aku belum makan siang karena tidak berselera,” jawab Aksa setelah pipinya dilepas Alina. Alina tersenyum kecil. Dia menatap Aksa yang tampak menggemaskan, mirip anak kecil yang sedang merajuk karena ditinggal sendirian di rumah. “Baiklah, aku ambilkan dan suapi biar kamu bisa berselera makan. Atau mau makan di ruang makan saja?” tanya Alina menawari. Kedua sudut bibir Aksa tertarik kecil, tentu dia bahagia jika Alina perhatian setiap hari seperti ini. Alina menyiapkan makan siang untuk Aksa. Sebelum pergi dia suda
“Apa itu penting?”Pertanyaan Daniel membungkam Karin. Dia mengulum bibir dan menggeleng.Daniel sendiri tidak mau bersikap baik, jangan sampai sikap baiknya disalahartikan.Daniel melihat Karin yang diam tertunduk. Dia pun memutuskan untuk pergi daripada terlalu lama berinteraksi dengan Karin.“Tunggu, kamu tidak jadi mencari aksesoris? Aku bisa menunjukkan beberapa barang yang mungkin cocok dengan yang kamu inginkan,” ucap Karin membujuk seraya meremat jari.Daniel diam sejenak, tetapi setelahnya mengangguk. Dia mengikuti Karin menuju display khusus aksesoris anak-anak.“Anak itu biasanya suka apa? Bando, jepit rambut, kalung, atau gelang mungkin?” tanya Karin mencoba mengajak bicara Daniel.Daniel tak menjawab pertanyaan Karin. Dia lebih memilih fokus memperhatikan aksesoris yang terpajang di sana, hingga tatapannya tertuju pada gantungan ponsel yang lucu dan menggemaskan.“Itu lucu,” ucap Karin.Daniel tetap tak bicara pada Karin.Karin diam memperhatikan Daniel yang begitu dingin,
Siang itu, Aksa masih berada di ruang kerjanya dengan banyaknya tumpukan berkas di meja. Dia sedang membaca beberapa perencanaan bisnis untuk mengembangkan perusahaannya.“Masih sangat sibuk?”Aksa terkejut mendengar suara Alina. Dia langsung menoleh dan melihat istrinya ternyata sudah berada di ruangannya. Aksa tersenyum lebar, karena terlalu fokus bekerja, membuatnya sampai tidak menyadari kalau Alina datang.“Aku tidak mendengar kamu mengetuk pintu,” ucap Aksa langsung berdiri dari tempat duduknya untuk menghampiri Alina.“Aku memang tidak mengetuk pintu,” balas Alina.Aksa mengajak Alina duduk. Alina membawa paper bag berisi makan siang seperti yang dijanjikannya pagi tadi.“Arlo tidak rewel tahu kamu akan ke sini dan tidak diajak?” tanya Aksa.“Oh, dia pergi bersama Naya dan Bams. Katanya mau main ke rumah Anya. Nanti aku ke sana setelah dari sini,” jawab Alina seraya mengeluarkan kotak makanan dari dalam paper bag.“Ternyata dia mau lepas darimu karena Anya?” Aksa keheranan.“Iya
Aksa sudah sampai di perusahaan. Seperti biasa Ilham akan langsung menemani masuk ruangan lalu membacakan jadwal harian Aksa.“Ada yang mau Anda ubah, Pak?” tanya Ilham setelah selesai membacakan laporannya.Aksa tak langsung menjawab. Dia malah menatap Ilham.“Ada apa, Pak?” tanya Ilham panik karena tatapan Aksa. Apa dia membuat kesalahan?Aksa menghela napas pelan, lalu menyandarkan punggung.“Apa kamu benar-benar tidak mau mengubah keputusanmu untuk mengambil alih perusahaan mertuamu? Bukankah ini menguntungkan untuk kariermu?” tanya Aksa sekali lagi setelah berulang kali Ilham berkata akan tetap menjadi sekretarisnya.Aksa hanya tak ingin dianggap menghambat Ilham berkembang. Meski dia juga berat melepas Ilham yang sudah bertahun-tahun ikut dengannya dan menjadi pekerja terbaiknya, tetapi Aksa juga ingin masa depan Ilham semakin baik.Namun, bukannya mendapat jawaban, Ilham malah membalas, “Anda mau memecat saya?”Pertanyaan Ilham tentu saja membuat Aksa sampai menegakkan badan.“
Hari berikutnya. Alina dan yang lain sarapan seperti biasanya. Rumah itu sekarang begitu ramai dan semakin hangat dengan banyaknya orang yang menempati rumah itu.“Aku lupa bilang,” ucap Daniel di sela sarapan.Semua orang menatap pada pria itu sekarang.“Lupa bilang apa?” tanya Alina penasaran.Daniel menatap ke semua orang lalu membalas, “Waktu itu aku bicara dengan Paman, dia menawariku untuk mengelola perusahaan di sini. Karena Kak Alina akan tinggal di sini, jadi kurasa aku juga akan tetap di sini.”Alina cukup terkejut. Namun, dia juga senang karena adiknya tidak akan jauh darinya.“Itu bagus, aku setuju,” balas Alina.Lagi pula Daniel sekarang pandai mengelola bisnis, perusahaan sang paman pun dipimpin dengan baik.Daniel mengangguk-angguk lega dan senang melihat Alina setuju dengan niatnya.“Kamu akan tinggal di sini? Kalau iya, aku akan meminta orang menyiapkan kebutuhanmu termasuk ruang kerja,” ujar Aksa.“Tidak, aku mau mencari apartemen saja,” balas Daniel.Alina tidak menc
Malam itu Daniel berkumpul dengan Aksa dan Alina di rumah. Mereka berada di ruang keluarga membahas soal Edwin.“Edwin memang ditangguhkan penahanannya, tapi proses hukum tetap berjalan. Pengacaraku juga sudah mengajukan semua berkas laporan dan bukti untuk menjerat pria itu agar mendapatkan hukuman maksimal. Tidak akan kubiarkan dia mendapat hukuman hanya setahun dua tahun,” ujar Aksa.“Ya, pria itu memang layak mendapat hukuman yang berat. Banyak sekali tindak kejahatan yang dilakukannya,” timpal Alina.“Ini juga bagus untuk mempercepat proses perceraian Jia karena kelakuan buruk Edwin semuanya sudah terekspos,” ujar Aksa lagi.Alina mengangguk-angguk. Dia kemudian menoleh pada Daniel yang sejak tadi tak bersuara.“Kamu sedang memikirkan apa?” tanya Alina.Daniel terkejut. Dia baru menyadari kalau kakak dan kakak iparnya kini sedang menatapnya.“Tidak,” jawab Daniel seraya menggeleng pelan.Alina menaikkan kedua sudut alis.“Apanya yang tidak? Aku perhatikan seharian ini kamu banyak
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Akhirnya Jia sudah diperbolehkan pulang. “Papamu sudah menunggu di rumah lama kalian, jadi kami akan mengantarmu ke sana,” ucap Daniel.“Iya, terima kasih,” balas Jia.Akhirnya Jia harus kembali ke rumah keluarganya karena dia tidak mau tinggal di apartemen atau rumah milik Edwin yang penuh dengan kenangan pahit.Alina datang menemani Jia keluar dari rumah sakit sekalian membantu Daniel.“Apa sudah semua?” tanya Alina.Daniel mengangguk.Alina mendorong kursi roda yang Jia duduki. Mereka pergi menuju pintu depan lobby rumah sakit karena mobil yang akan membawa mereka sudah menunggu di sana.“Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot menjemput,” ucap Jia.“Apanya yang repot? Aku tidak pernah merasa repot,” balas Alina, “kita sudah kenal lama, bahkan dulu kamu membantuku memasarkan desainku, jadi anggap saja kita ini saling melengkapi dan menguntungkan,” imbuh Alina.Mereka sampai di depan lobby. Jia dibantu Alina dan Daniel masuk mobil, lalu
Anya masih berada di rumah sakit bersama Daniel. Dia ingin menemani Jia sebelum dijemput Alina saat sore hari. Anya akan bersama Alina sampai Jia keluar dari rumah sakit.“Mama mau ke mana?” tanya Anya saat melihat Jia bergerak ingin menurunkan kaki.“Ke kamar mandi,” jawab Jia agak kesusahan turun karena tubuhnya yang masih kaku dan tangan masih terpasang selang infus.Anya menoleh pada Daniel yang baru saja menerima telepon.“Paman, Mama mau ke kamar mandi tapi tidak bisa bawa infusnya,” kata Anya.Jia terkejut karena Anya sampai memanggil Daniel. Dia menoleh pada pria itu yang sudah memandangnya.“Aku bisa sendiri, kamu selesaikan saja urusanmu,” kata Jia karena tak enak hati jika terus merepotkan Daniel.Namun, ternyata Daniel tetap mendekat. Dia berjalan menghampiri Jia dan Anya.Jia menatap Anya yang tersenyum lebar. Sungguh dia merasa sangat sungkan karena hampir semua bantuan yang dibutuhkannya, Daniel yang mencukupi.“Kamu bisa jalan?” tanya Daniel memastikan lebih dulu.Jia
Di rumah sakit. Daniel menyiapkan sarapan untuk Jia yang tadi diberikan oleh perawat.“Kamu bisa makan sendiri?” tanya Daniel memastikan karena Jia terlihat masih lemah.Jia tersenyum kecil, lalu menjawab, “Bisa, kamu tenang saja.”Daniel mengangguk pelan. Dia kembali duduk menunggu Jia sarapan, siapa tahu Jia membutuhkan bantuannya.Jia berusaha makan sendiri meski seluruh tubuhnya terasa sakit karena lebam di sekujur tubuh. Dia memasukkan suapan pertama, lalu tatapannya tertuju pada Daniel. Dia melihat pria itu hanya diam menunggunya makan, membuat Jia merasa sedikit sungkan.“Kamu tidak sarapan?” tanya Jia.Sejak kemarin Daniel terus menunggunya di sana, bahkan tak terlihat sekalipun keluar dari kamar itu, kecuali saat kedatangan orang tua Edwin.“Kak Alina bilang akan datang membawakan sarapan, jadi aku akan menunggunya,” ujar Daniel.Jia mengangguk-angguk pelan. Dia agak canggung karena makan sendiri, sedangkan Daniel hanya duduk mengamatinya.“Makanlah dan minum obatmu. Kamu har
Alina menemui Anya yang baru saja selesai mandi dibantu pelayan.“Biar aku saja yang membantunya ganti baju, kamu keluarlah,” kata Alina pada pelayan.Pelayan mengangguk lalu keluar dari kamar itu.Alina memulas senyum pada Anya. Dia mendekat lalu duduk di tepian ranjang dan membantu Anya memakai pakaian.“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Alina.Semalam Anya dan Arlo tidur satu kamar atas permintaan Arlo, tetapi disediakan dua ranjang terpisah.Anya mengangguk seraya menatap pada Alina yang sedang memakaikan bajunya.“Kata Arlo, semalam kamu mimpi buruk sampai menangis. Apa benar?” tanya Alina memastikan apakah cerita putranya benar atau tidak.Anya terdiam. Dia menunduk tak menjawab pertanyaan Alina.Alina melihat ekspresi sedih di wajah Anya. Dia tidak bertanya lagi, tetapi memilih segera menyelesaikan membantu Anya memakai baju. Setelah itu dia juga menyisir rambut Anya.“Bagaimana kabar Mama?” tanya Anya.“Mama sudah baik. Hari ini kita ke sana untuk menjenguknya, ya.” Alina bicara ser