Aksa menatap Alina yang sedang membantunya mengancingkan manik piyama. Alina melakukannya dengan sangat hati-hati dan penuh perhatian.“Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa.“Menatap istri sendiri pun salah?”Alina tertawa kecil. Dia sudah selesai mengancingkan, lantas menatap pada Aksa.“Iya tidak salah, tapi natapnya tidak seperti itu juga,” balas Alina lantas mengambil penyangga untuk kembali dipasang.Aksa terus memperhatikan Alina yang sedang memasang alat penyangga.“Kaira tadi mengirim pesan. Dia bilang mau menemui papanya,” ujar Alina setelah selesai memasang penyangga.“Itu bagus, setidaknya mereka bisa menyelesaikan masalah,” balas Aksa.Alina menatap pada Aksa.“Bagaimana denganmu?” tanya Alina.“Aku? Kenapa?” tanya Aksa.“Bukankah hubunganmu dan Mama tidak baik. Kamu tidak mau memperbaiki hubungan kalian?” tanya Alina dengan senyum penuh arti.Aksa menghela napas pelan, lalu membalas, “Sejak kecil hubungan kami juga kurang bagus. Aku sudah be
Pelayan rumah Dimas pergi ke kamar pria itu. Dia mengetuk pintu sebelum masuk, wanita paruh baya itu berjalan ke arah ranjang Dimas.“Tuan.” Pelayan itu memanggil dengan suara pelan agar tidak mengejutkan Dimas yang masih tidur.Pria itu membuka mata. Dia melihat pelayan yang ada di sisi ranjang.“Aku belum memanggil,” ucap pria itu.“Begini, Tuan. Non Kaira datang.” Pelayan itu menyampaikan dengan rasa cemas.Saat mendengar nama Kaira, terlihat jelas ekspresi wajah Dimas yang tampak tegang. “Non Kaira ingin melihat Anda,” ucap pelayan itu.Dimas terlihat bingung. Dia seperti ingin melakukan sesuatu tetapi tidak tahu apa yang harus dilakukan. Saat Dimas ingin bangun atau tidak, dia mendengar suara Kaira..“Pa.”Tatapan Dimas langsung tertuju ke arah suara. Pelayan yang ada di sana akhirnya meninggalkan kamar itu.Dimas menatap pada Kaira yang baru saja datang bersama Ilham. Dia hanya menatap pada Kaira dengan posisi masih berbaring.“Papa sakit?” tanya Kaira sambil mendekat dengan pe
Alina masuk kamar membawa piring berisi potongan buah. Dia melihat Aksa yang sedang mengecek berkas meski tangan satunya masih sakit.“Butuh bantuan?” tanya Alina seraya mendekat. Dia meletakkan piring yang dipegangnya di meja, lalu memperhatikan apa yang dilakukan Aksa.Aksa menoleh pada Alina, lalu membalas, “Tidak usah, nanti merepotkanmu.”“Merepotkan apanya, hm?” Alina mengambil berkas dari tangan Aksa. “Kalau merepotkan, aku sudah kabur sejak kemarin,” imbuhnya seraya menoleh Aksa dengan senyum lebar.“Aku hanya sedang membaca berkas itu sebelum aku tandatangani, tidak ada yang penting,” ujar Aksa.“Oh, kupikir kamu sedang menganalisis sesuatu,” balas Alina lantas mengembalikan berkas itu pada Aksa.Alina mengambil potongan buah, lalu menyuapi Aksa.“Sepertinya aku rela sakit terus seperti ini asal mendapat perhatian darimu dan kamu pribadi yang merawatku,” ucap Aksa lalu mengunyah potongan apel yang masuk mulut.“Dih, itu maumu. Kalau aku terus merawatmu, siapa yang akan merawa
[Aku dan Papa sudah berdamai. Papa meminta kami tinggal di rumah lagi dan Ilham sudah setuju.]Alina tersenyum membaca pesan dari Kaira. Dia lega karena sahabatnya itu akhirnya bisa berdamai dengan masa lalu.[Aku sudah menyelesaikan urusanku, lalu bagaimana denganmu? Kamu masih tidak mau jujur pada Aksa? Bukankah akan lebih melegakan kalau kamu jujur?]Alina diam membaca pesan itu. Dia bingung dan sebenarnya ingin menjaga perasaan Aksa. Jika suaminya tahu kalau dia sudah ingat semuanya, akankah Aksa merasa sangat bersalah?Saat Alina masih melamun. Dia mendengar suara pintu kamar mandi terbuka yang membuatnya menoleh ke arah Aksa yang baru saja keluar dari kamar mandi.“Kenapa kamu terkejut seperti itu?” tanya Aksa sambil menatap heran pada Alina.“Tidak,” jawab Alina seraya menghampiri Aksa. Dia mengajak Aksa duduk di sofa.“Kamu mau minum jus atau makan sesuatu?” tanya Alina menawari.“Tidak,” jawab Aksa.Alina mengangguk-angguk pelan, lalu berkata, “Kaira baru saja menghubungiku.
Aksa memeluk Alina dengan satu tangan, sesekali dia menciumi pucuk kepala Alina, melimpahkan kelegaan yang tiada tara karena akhirnya bisa mendapatkan maaf sepenuhnya dari Alina.“Pantas dua hari masakannya berbeda, aku ingin bertanya tapi takut menyinggung,” ucap Aksa lalu menghela napas lega.“Berbeda bagaimana?” tanya Alina seraya melirik Aksa.“Aku sangat hafal dengan rasa masakanmu, aku yakin makanan yang disajikan beberapa hari ini adalah masakanmu, tapi aku tidak berani menanyakannya,” ucap Aksa.Alina bangun dari sandaran bahu Aksa, lantas menatap pada pria itu.“Padahal sudah tiga tahun kamu tidak merasakan masakanku, bagaimana bisa kamu masih hafal?” tanya Alina penasaran.“Karena aku tidak pernah bisa menikmati makanan selain masakanmu. Jadi ketika aku kembali makan masakanmu, aku merasa kembali mendapatkan selera makanku,” jawab Aksa menjelaskan.Alina melebarkan senyum, lalu kembali bersandar pada bahu Aksa.“Al.”“Hm ….”“Apa kamu benar-benar tidak marah dan tidak akan p
Alina benar-benar ikut Aksa ke perusahaan. Dia tidak akan pernah membiarkan suaminya bekerja sendiri padahal masih dalam kondisi sakit.Saat sampai di perusahaan. Alina berjalan di samping Aksa yang terus menggandeng tangannya.Ilham yang melihat juga sampai keheranan, tidak menyangka Alina akan ikut ke perusahaan.Para staff semuanya syok dan langsung menunduk. Mereka seperti melihat hantu ketika Alina berjalan di samping Aksa.“Mereka sepertinya ketakutan, apa mengira aku ini arwah gentayangan?” Alina berbisik di telinga Aksa.“Ilham juga awalnya mengira kamu arwah gentayangan. Tapi tidak masalah, meski jadi arwah pun kamu tetap cantik.”Alina melotot mendengar balasan Aksa, bisa-bisanya suaminya itu berkata demikian.Aksa menahan senyum, dia melirik Alina yang memasang wajah cemberut karena ucapannya.Mereka sudah sampai di ruang kerja. Seperti biasa Ilham akan membacakan jadwal Aksa meski tidak sepadat biasanya karena masih sakit.“Apa ada yang ingin Anda ubah, Pak?” tanya Ilham s
Naya pulang bersama Bams karena Daniel berkata ingin melakukan sesuatu sebelum pergi ke rumah Aksa.“Kamu dan Daniel belum pernah bertemu, kan? Lalu, bagaimana kalian kenal? Dan, sejak kapan Daniel jadi adik iparnya Pak Aksa? Apa Nona Mira sudah menikah dengan Pak Aksa tanpa sepengetahuanku?” tanya Naya begitu bingung.Bams menoleh sekilas pada Naya, lalu kembali fokus ke jalanan.“Bu Alina belum memberitahumu, ya. Nanti saja kalau ketemu dia, kamu akan mendengar semua,” balas Bams.“Jadi benar kalau Nona Mira menikah dengan Pak Aksa?” tanya Naya merasa tebakannya benar.Bams hanya memulas senyum tipis. Dia tidak banyak bicara.“Tapi, sejak kapan kamu kenal sama Daniel? Apa kalian dulu pernah mengenal? Bukankah kalau begitu kamu juga sudah mengenal Nona Mira sejak awal? Tapi … ah, kenapa aneh dan aku pusing?” Naya merasa bingung.“Sudah, jangan dipikirkan. Nanti Bu Alina akan menceritakan semuanya padamu agar tidak bingung. Yang jelas, aku mengenal Daniel sebagai Dani, duda muda karena
Daniel memperhatikan sekitar. Tidak ada yang melerai atau membantu wanita itu, membuat Daniel akhirnya maju. Apalagi dia tidak tega melihat gadis kecil di samping wanita itu menangis.“Papa jahat! Jangan pukul Mama!” Daniel melihat gadis kecil itu memeluk kaki wanita yang baru saja terkena tampar.“Anya, kemari!” perintah pria itu seraya menarik tangan gadis kecil tadi dengan kasar.“Anya maunya sama Mama!” teriak gadis itu tetap memeluk kaki sang mama.“Jangan kasar seperti itu!”Daniel melihat perdebatan itu semakin memanas. Dia tidak tega melihat wanita disakiti apalagi anak kecil diperlakukan kasar, membuatnya segera mendekat lalu melepas kasar tangan pria tadi dari tangan anak kecil yang dipanggil Anya.Daniel melihat pria itu terkejut karena dia menarik kasar tangan pria itu, sedangkan wanita tadi langsung menggendong sang putri karena takut dibawa oleh pria yang kemungkinan adalah suami wanita itu.“Siapa kamu? Jangan ikut campur!” hardik pria itu.“Kamu sudah melakukan kekera
“Apa itu penting?”Pertanyaan Daniel membungkam Karin. Dia mengulum bibir dan menggeleng.Daniel sendiri tidak mau bersikap baik, jangan sampai sikap baiknya disalahartikan.Daniel melihat Karin yang diam tertunduk. Dia pun memutuskan untuk pergi daripada terlalu lama berinteraksi dengan Karin.“Tunggu, kamu tidak jadi mencari aksesoris? Aku bisa menunjukkan beberapa barang yang mungkin cocok dengan yang kamu inginkan,” ucap Karin membujuk seraya meremat jari.Daniel diam sejenak, tetapi setelahnya mengangguk. Dia mengikuti Karin menuju display khusus aksesoris anak-anak.“Anak itu biasanya suka apa? Bando, jepit rambut, kalung, atau gelang mungkin?” tanya Karin mencoba mengajak bicara Daniel.Daniel tak menjawab pertanyaan Karin. Dia lebih memilih fokus memperhatikan aksesoris yang terpajang di sana, hingga tatapannya tertuju pada gantungan ponsel yang lucu dan menggemaskan.“Itu lucu,” ucap Karin.Daniel tetap tak bicara pada Karin.Karin diam memperhatikan Daniel yang begitu dingin,
Siang itu, Aksa masih berada di ruang kerjanya dengan banyaknya tumpukan berkas di meja. Dia sedang membaca beberapa perencanaan bisnis untuk mengembangkan perusahaannya.“Masih sangat sibuk?”Aksa terkejut mendengar suara Alina. Dia langsung menoleh dan melihat istrinya ternyata sudah berada di ruangannya. Aksa tersenyum lebar, karena terlalu fokus bekerja, membuatnya sampai tidak menyadari kalau Alina datang.“Aku tidak mendengar kamu mengetuk pintu,” ucap Aksa langsung berdiri dari tempat duduknya untuk menghampiri Alina.“Aku memang tidak mengetuk pintu,” balas Alina.Aksa mengajak Alina duduk. Alina membawa paper bag berisi makan siang seperti yang dijanjikannya pagi tadi.“Arlo tidak rewel tahu kamu akan ke sini dan tidak diajak?” tanya Aksa.“Oh, dia pergi bersama Naya dan Bams. Katanya mau main ke rumah Anya. Nanti aku ke sana setelah dari sini,” jawab Alina seraya mengeluarkan kotak makanan dari dalam paper bag.“Ternyata dia mau lepas darimu karena Anya?” Aksa keheranan.“Iya
Aksa sudah sampai di perusahaan. Seperti biasa Ilham akan langsung menemani masuk ruangan lalu membacakan jadwal harian Aksa.“Ada yang mau Anda ubah, Pak?” tanya Ilham setelah selesai membacakan laporannya.Aksa tak langsung menjawab. Dia malah menatap Ilham.“Ada apa, Pak?” tanya Ilham panik karena tatapan Aksa. Apa dia membuat kesalahan?Aksa menghela napas pelan, lalu menyandarkan punggung.“Apa kamu benar-benar tidak mau mengubah keputusanmu untuk mengambil alih perusahaan mertuamu? Bukankah ini menguntungkan untuk kariermu?” tanya Aksa sekali lagi setelah berulang kali Ilham berkata akan tetap menjadi sekretarisnya.Aksa hanya tak ingin dianggap menghambat Ilham berkembang. Meski dia juga berat melepas Ilham yang sudah bertahun-tahun ikut dengannya dan menjadi pekerja terbaiknya, tetapi Aksa juga ingin masa depan Ilham semakin baik.Namun, bukannya mendapat jawaban, Ilham malah membalas, “Anda mau memecat saya?”Pertanyaan Ilham tentu saja membuat Aksa sampai menegakkan badan.“
Hari berikutnya. Alina dan yang lain sarapan seperti biasanya. Rumah itu sekarang begitu ramai dan semakin hangat dengan banyaknya orang yang menempati rumah itu.“Aku lupa bilang,” ucap Daniel di sela sarapan.Semua orang menatap pada pria itu sekarang.“Lupa bilang apa?” tanya Alina penasaran.Daniel menatap ke semua orang lalu membalas, “Waktu itu aku bicara dengan Paman, dia menawariku untuk mengelola perusahaan di sini. Karena Kak Alina akan tinggal di sini, jadi kurasa aku juga akan tetap di sini.”Alina cukup terkejut. Namun, dia juga senang karena adiknya tidak akan jauh darinya.“Itu bagus, aku setuju,” balas Alina.Lagi pula Daniel sekarang pandai mengelola bisnis, perusahaan sang paman pun dipimpin dengan baik.Daniel mengangguk-angguk lega dan senang melihat Alina setuju dengan niatnya.“Kamu akan tinggal di sini? Kalau iya, aku akan meminta orang menyiapkan kebutuhanmu termasuk ruang kerja,” ujar Aksa.“Tidak, aku mau mencari apartemen saja,” balas Daniel.Alina tidak menc
Malam itu Daniel berkumpul dengan Aksa dan Alina di rumah. Mereka berada di ruang keluarga membahas soal Edwin.“Edwin memang ditangguhkan penahanannya, tapi proses hukum tetap berjalan. Pengacaraku juga sudah mengajukan semua berkas laporan dan bukti untuk menjerat pria itu agar mendapatkan hukuman maksimal. Tidak akan kubiarkan dia mendapat hukuman hanya setahun dua tahun,” ujar Aksa.“Ya, pria itu memang layak mendapat hukuman yang berat. Banyak sekali tindak kejahatan yang dilakukannya,” timpal Alina.“Ini juga bagus untuk mempercepat proses perceraian Jia karena kelakuan buruk Edwin semuanya sudah terekspos,” ujar Aksa lagi.Alina mengangguk-angguk. Dia kemudian menoleh pada Daniel yang sejak tadi tak bersuara.“Kamu sedang memikirkan apa?” tanya Alina.Daniel terkejut. Dia baru menyadari kalau kakak dan kakak iparnya kini sedang menatapnya.“Tidak,” jawab Daniel seraya menggeleng pelan.Alina menaikkan kedua sudut alis.“Apanya yang tidak? Aku perhatikan seharian ini kamu banyak
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Akhirnya Jia sudah diperbolehkan pulang. “Papamu sudah menunggu di rumah lama kalian, jadi kami akan mengantarmu ke sana,” ucap Daniel.“Iya, terima kasih,” balas Jia.Akhirnya Jia harus kembali ke rumah keluarganya karena dia tidak mau tinggal di apartemen atau rumah milik Edwin yang penuh dengan kenangan pahit.Alina datang menemani Jia keluar dari rumah sakit sekalian membantu Daniel.“Apa sudah semua?” tanya Alina.Daniel mengangguk.Alina mendorong kursi roda yang Jia duduki. Mereka pergi menuju pintu depan lobby rumah sakit karena mobil yang akan membawa mereka sudah menunggu di sana.“Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot menjemput,” ucap Jia.“Apanya yang repot? Aku tidak pernah merasa repot,” balas Alina, “kita sudah kenal lama, bahkan dulu kamu membantuku memasarkan desainku, jadi anggap saja kita ini saling melengkapi dan menguntungkan,” imbuh Alina.Mereka sampai di depan lobby. Jia dibantu Alina dan Daniel masuk mobil, lalu
Anya masih berada di rumah sakit bersama Daniel. Dia ingin menemani Jia sebelum dijemput Alina saat sore hari. Anya akan bersama Alina sampai Jia keluar dari rumah sakit.“Mama mau ke mana?” tanya Anya saat melihat Jia bergerak ingin menurunkan kaki.“Ke kamar mandi,” jawab Jia agak kesusahan turun karena tubuhnya yang masih kaku dan tangan masih terpasang selang infus.Anya menoleh pada Daniel yang baru saja menerima telepon.“Paman, Mama mau ke kamar mandi tapi tidak bisa bawa infusnya,” kata Anya.Jia terkejut karena Anya sampai memanggil Daniel. Dia menoleh pada pria itu yang sudah memandangnya.“Aku bisa sendiri, kamu selesaikan saja urusanmu,” kata Jia karena tak enak hati jika terus merepotkan Daniel.Namun, ternyata Daniel tetap mendekat. Dia berjalan menghampiri Jia dan Anya.Jia menatap Anya yang tersenyum lebar. Sungguh dia merasa sangat sungkan karena hampir semua bantuan yang dibutuhkannya, Daniel yang mencukupi.“Kamu bisa jalan?” tanya Daniel memastikan lebih dulu.Jia
Di rumah sakit. Daniel menyiapkan sarapan untuk Jia yang tadi diberikan oleh perawat.“Kamu bisa makan sendiri?” tanya Daniel memastikan karena Jia terlihat masih lemah.Jia tersenyum kecil, lalu menjawab, “Bisa, kamu tenang saja.”Daniel mengangguk pelan. Dia kembali duduk menunggu Jia sarapan, siapa tahu Jia membutuhkan bantuannya.Jia berusaha makan sendiri meski seluruh tubuhnya terasa sakit karena lebam di sekujur tubuh. Dia memasukkan suapan pertama, lalu tatapannya tertuju pada Daniel. Dia melihat pria itu hanya diam menunggunya makan, membuat Jia merasa sedikit sungkan.“Kamu tidak sarapan?” tanya Jia.Sejak kemarin Daniel terus menunggunya di sana, bahkan tak terlihat sekalipun keluar dari kamar itu, kecuali saat kedatangan orang tua Edwin.“Kak Alina bilang akan datang membawakan sarapan, jadi aku akan menunggunya,” ujar Daniel.Jia mengangguk-angguk pelan. Dia agak canggung karena makan sendiri, sedangkan Daniel hanya duduk mengamatinya.“Makanlah dan minum obatmu. Kamu har
Alina menemui Anya yang baru saja selesai mandi dibantu pelayan.“Biar aku saja yang membantunya ganti baju, kamu keluarlah,” kata Alina pada pelayan.Pelayan mengangguk lalu keluar dari kamar itu.Alina memulas senyum pada Anya. Dia mendekat lalu duduk di tepian ranjang dan membantu Anya memakai pakaian.“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Alina.Semalam Anya dan Arlo tidur satu kamar atas permintaan Arlo, tetapi disediakan dua ranjang terpisah.Anya mengangguk seraya menatap pada Alina yang sedang memakaikan bajunya.“Kata Arlo, semalam kamu mimpi buruk sampai menangis. Apa benar?” tanya Alina memastikan apakah cerita putranya benar atau tidak.Anya terdiam. Dia menunduk tak menjawab pertanyaan Alina.Alina melihat ekspresi sedih di wajah Anya. Dia tidak bertanya lagi, tetapi memilih segera menyelesaikan membantu Anya memakai baju. Setelah itu dia juga menyisir rambut Anya.“Bagaimana kabar Mama?” tanya Anya.“Mama sudah baik. Hari ini kita ke sana untuk menjenguknya, ya.” Alina bicara ser