Kakak sekalian, ramaikan kolom komentarnya, ya. Biar buku ini makin menyala, wkwkwkw mamaciii :)
Aksa menggendong Arlo ke kamar, lalu membaringkan di ranjang agar bisa segera tidur.“Kenapa Mama belum pulang-pulang? Apa Mama akan pelgi lama sepelti dulu?” tanya Arlo sambil menatap sendu.Arlo menatap penuh harap pada papanya. Sorot matanya benar-benar menunjukkan kegelisahan dan ketakutan jika kehilangan sang mama lagi.Aksa mengusap lembut rambut Arlo, lalu berkata, “Mama tidak akan pergi lagi, Arlo tidak perlu takut.”“Kalau tidak pelgi lagi, kenapa tidak pulang-pulang?” tanya Arlo.Aksa mencium kening Arlo, lalu menjawab, “Karena Mama masih ada urusan, seperti Papa kalau ke luar kota untuk mengurus bisnis.”“Lusa papa juga harus ke luar kota untuk urusan bisnis. Arlo mau di rumah Bibi Kaira atau di rumah Nenek?” tanya Aksa karena kali ini tidak bisa mengajak Arlo.“Kalau Papa pelgi, nanti pulangnya bawa Mama pulang sekalian, ya.” Arlo menatap penuh harap. Dia tidak bisa lama-lama berjauhan dari Mira.Aksa diam sejenak, lalu membalas, “Papa tidak janji.”**Di tempat Mira. Dia
Aksa pergi ke kota tempat undangan acara akan diadakan. Namun, dia pergi sendiri karena Ilham tidak ikut. Asistennya itu harus mengurus Kaira yang sedang hamil muda dan kondisi fisiknya kurang baik.Aksa menginap di hotel yang akan dijadikan tempat pesta. Kini dia duduk di tepian ranjang sambil menatap pada ponselnya. Aksa sedang ragu, membuatnya terus memandangi benda pipih itu, tanpa tahu harus berbuat apa.Sampai akhirnya Aksa mengetik pesan, lalu dikirimkan ke Mira.[Kamu sedang sibuk?]Aksa menunggu balasan dari Mira, tetapi ternyata pesannya sama sekali belum dibalas.“Apa dia sibuk?” Aksa bertanya-tanya sambil terus berpikir.Aksa masih gelisah, terutama karena
Aksa melihat Mira yang salah tingkah. Dia tersenyum kemudian berkata, “Tapi tidak harus sekarang juga.”Mira terkesiap. Dia menatap pada Aksa, apa pria itu benar-benar ingin dia kembali ke rumah itu? Tetapi, statusnya membuat Mira tidak nyaman di sana. Jangan sampai ada yang berpikir dia ingin memanfaatkan karena wajahnya mirip Alina.“Jika kamu sudah tak terlalu sibuk. datanglah ke rumah, Arlo pasti sangat senang. Dia selalu menanyakanmu setiap hari, sepertinya dia sudah terbiasa denganmu,” ujar Aksa.“Tentu,” balas Mira sambil mengangguk-angguk pelan.“Kamu tidak keberatan kalau Arlo bersikap berlebihan dengan menganggapmu sebagai ibunya, kan?” tanya Aksa memastikan.Mira mena
Aksa masih diam di tempatnya. Dia terus memperhatikan dua orang yang baru saja masuk lobby dan berjalan menuju ballroom.Satu hal yang membuat ekspresi wajahnya berubah. Wanita yang dilihatnya adalah Mira, kini berjalan dengan seorang pria yang merangkul pinggang.Bisa bayangkan bagaimana kepala Aksa ingin meledak melihat istrinya dirangkul pria lain? Andai Mira tidak hilang ingatan, Aksa pasti akan langsung menghampiri lalu menghajar pria yang berani menyentuh istrinya.Sial!Aksa ingin sekali mengumpat. Dia sampai mengepalkan telapak tangan begitu geram, tetapi tetap mencoba mengontrol emosinya.Aksa memilih pergi ke tempat pesta. Saat baru masuk, Aksa mengedarkan pandangan untuk mencari keberadaan Mira, tetapi karena
Mira sangat syok dengan yang dilakukan Aksa. Pria itu masih memagut bibirnya, sampai membuat Mira meremat kedua sisi jas Aksa.Bukankah seharusnya dia bisa menolak? Tetapi kenapa Mira tidak mendorong pria itu lalu menamparnya dengan keras? Kenapa dia tidak sanggup melakukan penolakan seperti yang biasa dia lakukan ketika ada pria yang menggodanya. Mungkinkah karena dia juga mengharapkannya?Mira merasakan ciuman itu melonggar. Aksa melepasnya lalu menatapnya dengan mata sayu siap tertutup.“Jangan membuatku kesal.” Kalimat terakhir terucap dari bibir Aksa, sebelum pria itu menjatuhkan kepala di pundak Mira.Mira sangat terkejut. Dia langsung menahan tubuh Aksa agar tidak jatuh. Pria itu berat!“Aksa!&r
Sinar matahari mulai menyelinap masuk ke celah jendela kamar Presidential Suite yang ditempati Aksa. Aksa membuka kelopak mata perlahan meski kepalanya masih terasa sangat berat. Dia hendak bangun, tetapi baru menyadari jika lengannya terasa berat seperti ada yang menindih.Aksa membuka matanya lalu terkejut ketika melihat siapa yang kini berada satu ranjang bersamanya.‘Mira, kenapa dia …,’ batin Aksa dengan ekspresi wajah syok.Aksa mencoba mengingat kejadian semalam, dia hanya ingat jika minum sampanye setelah melihat Mira bersama pria lain, tetapi kenapa sekarang wanita itu ada bersamanya, di ranjangnya?Aksa menurunkan pandangan ke tubuh, dia bernapas lega mendapat pakaiannya utuh, begitu juga dengan Mira. Apa dia semalam mabuk, lalu Mira membantu membawanya ke kamar?Saat Aksa masih larut dalam lamunan, Mira ternyata bangun dan melihat Aksa sudah sadar.Tanpa sadar keduanya saling pandang, masih dengan posisi Mira menjadikan lengan Aksa sebagai bantal.Baik Aksa dan Mira sama-s
Mira pergi dari hotel menggunakan taksi. Dia diam di dalam taksi sambil memperhatikan jalanan yang dilewati.‘Aksa tanya soal Angga, apa dia cemburu?’Mira bertanya-tanya dalam hati. Semalam Aksa tiba-tiba menatapnya dingin, kemudian menariknya pergi tanpa kata, hingga berakhir menciumnya. Gila, Mira benar-benar tidak pernah membayangkan hal itu terjadi padanya. Akan tetapi, Mira juga menepis dugaan itu. Untuk apa Aksa cemburu? Mereka tidak memiliki hubungan? Atau mungkin, Aksa bertindak seperti itu karena menganggap Mira adalah Alina?Ekspresi wajah Mira berubah suram. Bukankah bisa saja begitu, apalagi semalam Aksa mabuk. Jika memang semalam Aksa menganggap jika Mira adalah Alina, maka Mira harus menelan kekecewaan begitu dalam sebab semua yang diucapkan Aksa, pastilah ditujukan untuk Alina.‘Apa aku cemburu?’Tiba-tiba saja Mira merasa gelisah. Dia tidak mau jika dianggap sebagai orang lain.Di hotel. Aksa masih diam berpikir. Dia mencoba untuk mengingat kejadian semalam, tetapi ti
Mira pergi ke rumah Angga. Dia langsung masuk rumah, lalu bertemu dengan pelayan di sana.“Angga mana, Bi?” tanya Mira.“Ada di belakang,” jawab pelayan sambil menunjuk ke belakang menggunakan jempol.Mira mengangguk sebagai tanda terima kasih, lalu berjalan menuju halaman belakang untuk menemui Angga. Namun, sebelum sampai pintu belakang, ternyata Mira bertemu dengan Shinta.“Kamu sudah sarapan?” tanya sang bibi ketika melihat Mira.Mira memulas senyum. Dia menghampiri bibinya itu lalu mencium pipi kanan dan kiri Shinta.“Belum, Bi,” jawab Mira.“Kalau gitu sarapan di sini, ya. Biar bibi siapkan. Kamu mau makan apa?” tanya Shinta penuh perhatian.“Apa saja boleh, Bi. Aku juga sebenarnya ke sini karena mau tanya sesuatu ke Bibi, tapi mau ketemu Angga dulu,” ujar Mira.Shinta mengangguk-angguk. Dia berkata akan menyiapkan sarapan, lalu membiarkan Mira pergi menemui Angga.Mira pergi ke halaman belakang, ternyata Angga sedang berenang. Mira berdiri di tepian kolam, menunggu sampai sepup
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.