Mira merasa aneh melihat reaksi Angga. Dia sampai menyipitkan mata, pasti ada sesuatu yang diketahui sampai Angga seperti itu.“Jadi, kamu tahu sesuatu?” tanya Mira.“Aku? Memangnya aku tahu apa soal kehidupan pribadimu dulu? Aku dulu ‘kan di luar negeri, jadi kurang tahu bagaimana kehidupanmu dan Daniel, apalagi asmaramu,” ucap Angga lalu tersenyum canggung dan hambar hanya untuk menutupi kepanikannya.Mira diam. Dia merasa ada yang aneh. Meski Angga berada di luar negeri bertahun-tahun, tetapi jika mereka tinggal dan tumbuh bersama selama ini, bukankah seharusnya Angga sedikit tahu bagaimana kehidupan Mira dan Daniel?“Jika kamu mau tanya soal kehidupanmu sebelum hilang ingatan, mungkin yang tahu lebih pasti hanya Mama, Papa, dan Daniel. Jujur, meski sekarang kita dekat, tapi tidak dengan dulu. Aku benar-benar berkata jujur, jadi jangan paksa aku bicara, takutnya aku salah bicara,” ucap Angga karena panik.“Lagi pula, bukankah dokter melarangmu mengingat masa lalu? Kenapa kamu malah
Aksa duduk di sofa sambil menatap ponselnya. Harusnya hari ini dia pulang, tetapi karena masalah semalam membuatnya tidak bisa pergi begitu saja sebelum bicara dan menjelaskan pada Mira soal apa yang sudah dilakukannya tanpa sengaja.Sekarang Aksa sedang bingung, haruskah dia menghubungi Mira dan mengajak bertemu? Tetapi bagaimana kalau Mira masih marah dan tak mau bertemu dengannya?Aksa masih berpikir, dia tidak bisa diam saja seperti ini. Aksa akhirnya nekat menghubungi Restu.“Halo, Pak Restu.”“Apa ada masalah sampai kamu menghubungiku?” tanya Restu dari seberang panggilan.“Tentu ada. Saya ingin minta alamat tempat tinggal Mira. Saya ingin menemuinya untuk suatu alasan. Anda tidak akan menghalangi saya, kan?”Aksa yakin Restu takkan menolak permintaannya, sehingga dia berani menghubungi pria itu.**Mira diam di mobil yang sudah terparkir di basement apartemen miliknya. Dia menghela napas kasar, jawaban sang bibi tidak membuatnya lega sama sekali, malah membuat Mira semakin pena
Mira masih menatap bergantian Aksa dan Daniel, apalagi keduanya saling tatap seperti orang yang saling mengenal.“Kalian pernah bertemu sebelumnya?” tanya Mira memastikan lagi.Daniel menoleh sambil tersenyum pada Mira, lalu menjawab, “Iya kenal.”“Jadi, apa kita bisa bicara sebentar di luar?” tanya Daniel sambil menatap pada Aksa.Mira kini menatap pada Aksa yang sedang memandang pada Daniel.“Tentu.” Aksa berdiri menghadap Daniel.“Kenapa harus bicara di luar?” tanya Mira sambil menatap bergantian dua pria itu.Aksa dan Daniel menatap bersamaan pada Mira, lalu Aksa yang menjawab, “Ada urusan pribadi sedikit.”Dahi Mira berkerut halus. Dia penasaran, kenapa mereka saling mengenal padahal sebelumnya Daniel bilang kurang tahu? Sepertinya memang ada sesuatu yang disembunyikan darinya.Aksa dan Daniel keluar dari unit apartemen Mira. Mereka berada di depan untuk bicara berdua.“Kamu sudah tahu semua, kan? Lalu untuk apa kamu ke sini? Ingin memaksanya agar ingat kalau dia Alina?” Daniel b
Daniel gelagapan mendengar pertanyaan Mira. Dia tampak panik karena jujur bisa saja membuat Mira memaksa mengingat masa lalu.“Kakak mendengar itu dari mana?” tanya Daniel mencoba mengelak.“Kalian pikir aku tidak memasang Cctv tambahan di depan unit?” Mira menatap datar pada sang adik.Daniel sangat terkejut. Tentu saja dia tidak menyangka akan hal itu.“Jika memang ada sesuatu yang seharusnya aku ketahui, kalian tidak bisa menyembunyikannya dariku begitu saja.” Mira bicara dengan nada tegas meski tubuhnya masih lemas.Aksa melihat Daniel panik dan bingung. Akhirnya dia berdiri lalu mendekat dan berlutut di dekat Mira.“Kami akan jujur, tapi juga kamu harus janji agar tidak terlalu memaksa untuk mengingat masa lalu,” ucap Aksa.Mira diam tanpa memberi balasan.Daniel sendiri terkejut dengan sikap Aksa, tetapi tak bisa berbuat apa-apa karena Mira sudah mendengarnya sendiri.“Benar, aku suamimu di masa lalu, itu sebabnya Arlo memanggilmu Mama,” ujar Aksa jujur daripada menambah kebohong
Mira duduk diam di dalam kamar. Dia merenungi semua yang terjadi padanya. Mira tidak tahu, apakah dia harus menerima semua fakta itu, sedangkan dia benar-benar merasa aneh dengan apa yang baru saja diketahuinya.Mira diam cukup lama, sampai akhirnya menoleh pada ponsel yang ada di sampingnya. Dia mengambil benda pipih itu, kemudian mencari nomor Kaira.Bukankah Kaira bilang kalau kenal Alina sejak sekolah, mungkin saja Kaira bisa memberikan penjelasan dan alasan masuk akal untuknya memercayai cerita Aksa.“Halo, Mira.” Mira mendengar suara Kaira dari seberang panggilan. Dia agak ragu saat akan bicara, tetapi karena sudah terlanjur menghubungi, membuat Mira menyampaikan maksudnya.“Kai, aku mau tanya sesuatu, tapi kuharap kamu jujur,” ucap Mira.“Iya, memangnya kamu mau tanya apa?” tanya Kaira dari seberang panggilan.Mira menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan perlahan.“Jawab jujur, apa benar aku ini Alina? Apa kamu tahu soal itu? Dan, apa kamu bisa membuktikan kalau aku Alina
Aksa memasukkan makanan ke mulut dengan sangat pelan. Dia melirik pada Mira yang duduk berhadapan dengannya dan bersikap dingin meski tampak biasa.Daniel tiba-tiba ada keperluan, meninggalkan Aksa di apartemen itu hanya berdua dengan Mira.Saat Aksa bingung harus bagaimana menghadapi Mira, dia melihat wanita itu kini menatapnya.“Apa? Kenapa makanannya tidak dimakan? Tidak enak?” tanya Mira ketus.Aksa tak menjawab. Dia buru-buru memasukkan makanan ke mulut dan mengunyah agar tidak terkena omel Mira.“Apa aku sangat membencimu sampai memilih menjauh darimu?” tanya Mira.Aksa berhenti mengunyah dan segera menatap pada Mira.“Aku tidak tahu seberapa besar rasa bencimu padaku waktu itu. Aku hanya tahu kalau kita pernah menghabiskan waktu bersama dengan bahagia dan sama-sama berharap bisa membesarkan Arlo dengan baik,” jawab Aksa.Mira diam dengan tatapan terus tertuju pada Aksa.“Aku bukan ibu susu, tapi ibu kandung Arlo?” Mira memastikan lagi.“Iya.” Aksa mengangguk.Mira menghela napa
Arlo terus memperhatikan Nenek Agni yang tampak senang. Bahkan nenek buyutnya itu mengangguk-angguk dengan pandangan begitu bahagia.“Tentu, tentu, aku akan menunggu kepulangan kalian,” ucap Nenek Agni seperti ingin menangis.Aksa mengatakan kalau Mira sudah tahu jika sebenarnya adalah Alina. Meski masih hilang ingatan, tetapi Mira mau kembali demi Arlo.“Kenapa Nenek Buyut sangat senang?” tanya Arlo penasaran.Nenek Agni baru saja mengakhiri panggilan dari Aksa, lalu menatap pada Arlo.“Papa baru saja telepon. Dia bilang akan mengajak mamanya Arlo pulang, jadi Arlo harus sabar. Apa Arlo senang?” tanya Nenek Agni dengan suara lembut.“Benalkah?” tanya Arlo memastikan.“Iya, benar.” Nenek Agni menjawab sambil mengangguk-anggukkan kepala.Secara spontan Arlo melompat-lompat kegirangan karena begitu senang.“Asyik! Mama mau pulang!” Arlo sampai berlari mengelilingi ruangan karena begitu bahagia.Sasmita dan Mirza yang baru saja akan bergabung di ruang keluarga sampai keheranan melihat Ar
Mira menahan senyum. Dia melirik Aksa yang berwajah masam setelah tahu kalau pria yang bersamanya di pesta adalah Angga.Ternyata tebakan Mira benar, Aksa cemburu pada Angga. Dan, Mira juga akhirnya tahu alasan Aksa cemburu, karena Mira adalah istri Aksa.“Saat sampai di sana, apa aku harus mengubah panggilanku menjadi Alina atau aku tetap akan memakai Mira?” tanya Mira.“Mana yang lebih kamu suka, pakai itu,” jawab Aksa seraya menoleh pada Mira yang duduk di sampingnya.Mira menghela napas pelan. Dia dan Aksa sudah ada di bandara sekarang.Keduanya duduk diam lagi. Tiba-tiba merasa canggung karena Mira sudah tahu statusnya.Mira berjanji tidak akan mengingat atau menanyakan masalah yang membuat mereka dulu bertengkar. Dia sendiri masih meyakini kalau mengalami kecelakaan saat hamil karena kabur dari Aksa, lalu hilang ingatan dan berpura-pura mati.Aksa sendiri mengiyakan apa yang Mira yakini. Untuk saat ini, itu yang lebih baik.Mereka melakukan penerbangan pendek sebelum sampai di k
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.