Arlo terus memperhatikan Nenek Agni yang tampak senang. Bahkan nenek buyutnya itu mengangguk-angguk dengan pandangan begitu bahagia.“Tentu, tentu, aku akan menunggu kepulangan kalian,” ucap Nenek Agni seperti ingin menangis.Aksa mengatakan kalau Mira sudah tahu jika sebenarnya adalah Alina. Meski masih hilang ingatan, tetapi Mira mau kembali demi Arlo.“Kenapa Nenek Buyut sangat senang?” tanya Arlo penasaran.Nenek Agni baru saja mengakhiri panggilan dari Aksa, lalu menatap pada Arlo.“Papa baru saja telepon. Dia bilang akan mengajak mamanya Arlo pulang, jadi Arlo harus sabar. Apa Arlo senang?” tanya Nenek Agni dengan suara lembut.“Benalkah?” tanya Arlo memastikan.“Iya, benar.” Nenek Agni menjawab sambil mengangguk-anggukkan kepala.Secara spontan Arlo melompat-lompat kegirangan karena begitu senang.“Asyik! Mama mau pulang!” Arlo sampai berlari mengelilingi ruangan karena begitu bahagia.Sasmita dan Mirza yang baru saja akan bergabung di ruang keluarga sampai keheranan melihat Ar
Mira menahan senyum. Dia melirik Aksa yang berwajah masam setelah tahu kalau pria yang bersamanya di pesta adalah Angga.Ternyata tebakan Mira benar, Aksa cemburu pada Angga. Dan, Mira juga akhirnya tahu alasan Aksa cemburu, karena Mira adalah istri Aksa.“Saat sampai di sana, apa aku harus mengubah panggilanku menjadi Alina atau aku tetap akan memakai Mira?” tanya Mira.“Mana yang lebih kamu suka, pakai itu,” jawab Aksa seraya menoleh pada Mira yang duduk di sampingnya.Mira menghela napas pelan. Dia dan Aksa sudah ada di bandara sekarang.Keduanya duduk diam lagi. Tiba-tiba merasa canggung karena Mira sudah tahu statusnya.Mira berjanji tidak akan mengingat atau menanyakan masalah yang membuat mereka dulu bertengkar. Dia sendiri masih meyakini kalau mengalami kecelakaan saat hamil karena kabur dari Aksa, lalu hilang ingatan dan berpura-pura mati.Aksa sendiri mengiyakan apa yang Mira yakini. Untuk saat ini, itu yang lebih baik.Mereka melakukan penerbangan pendek sebelum sampai di k
Mira sangat terkejut melihat Sasmita berlutut. Dia buru-buru memegang kedua lengan wanita itu dan mengajaknya berdiri.“Aku benar-benar tidak ingat dengan yang terjadi. Andaipun dulu mungkin aku marah atau membencimu, tapi aku tidak merasakan itu sekarang karena aku tidak tahu apa-apa.” Mira mencoba bicara karena itulah yang dia rasakan.Sasmita menatap Mira yang begitu lembut saat bicara, membuat bulir kristal bening luruh dari kelopak mata begitu saja. Dia menangis sambil menundukkan kepala, tidak berani menatap pada Mira.Mira bingung harus bagaimana. Meski Sasmita sudah mengakui kesalahan pada Alina, tetapi itu tidak mengubah perasaan apa pun pada Mira karena dia tidak ingat. Dia tidak bisa merasakan sakit atau kekecewaan pada Sasmita.“Aku benar-benar minta maaf. Aku bersyukur karena masih diberi kesempatan meminta maaf, meski aku tahu tidak berhak mendapatkan maaf itu.”Mira akhirnya memeluk Sasmita dan mencoba menenangkan wanita itu.“Meski sudah mendengar cerita darimu dan ke
Aksa dan Mira ada di dapur, menikmati kopi buatan Mira sambil duduk berdua saling berhadapan.“Coba aku tebak, apa aku dulu suka membuatkan kopi untukmu?” tanya Mira karena dia melihat Aksa yang terlihat begitu menikmati kopi buatannya.Aksa sedang menyesap kopi saat mendengar pertanyaan Mira. Dia melirik sekilas pada wanita itu, lalu meletakkan cangkir di meja.“Bukan hanya sering. Tapi hampir setiap hari, pagi dan malam kamu tidak pernah lupa membuatkanku kopi. Bahkan kamu yang memasak untukku,” jawab Aksa menjelaskan.“Benarkah?” Mira terkejut. Selama hilang ingatan, dia bahkan tidak tahu apakah bisa memasak atau tidak.“Ya, kamu pandai memasak. Bahkan Nenek sangat suka masakanmu. Kamu ingat mie yang aku buat waktu itu, mie bisa enak karena kamu yang mengajariku memasaknya,” ujar Aksa lagi. Dia sebenarnya rindu masakan Alina.Mira tampak begitu terkejut, dia tak menyangkaa pandai memasak.“Aku tidak pernah masak sebelumnya, bahkan mie saja tidak. Rasanya luar biasa mengetahui aku b
“Hal manis? Hal apa?” Ekspresi wajah Mira berubah panik mendengar ucapan Aksa. “Kamu sudah janji meski aku kembali, tapi bukan berarti aku harus melayanimu sebagai istri.”Aksa terbatuk-batuk karena tersedak. Dia menatap Mira yang panik, hingga beberapa saat kemudian Aksa menahan senyum.“Kamu ini memikirkan apa?” Aksa benar-benar ingin tertawa mendengar penolakan Mira yang sepertinya sudah salah paham.Mira terkesiap dan baru menyadari kalau sudah berpikiran berlebihan. Dia mencoba mengelak.“Memangnya aku memikirkan apa?” Mira buru-buru menurunkan pandangan. Dia menyantap mie miliknya untuk menghindari tatapan Aksa.Aksa masih menahan senyum, meski mengelak tetapi ekspresi Mira sudah menunjukkan semuanya.“Aku ingin mengajakmu liburan bersama Arlo, ke tempat yang pernah kita datangi dulu,” ucap Aksa menjelaskan.Mira memberanikan diri menatap pada Aksa yang baru saja selesai bicara. Pria itu sudah tak menatapnya dan kini sedang menyantap mie.“Liburan?” Mira memastikan. Bodoh sekali
Mira setuju pergi liburan bersama Arlo dan Aksa. Hari itu mereka bersiap-siap untuk pergi setelah Aksa mengosongkan jadwal pekerjaannya.“Mama mau pelgi lagi?” tanya Arlo ketika melihat Mira sedang mengemas pakaian.Mira menoleh pada Arlo yang sudah memasang wajah masam dan sedih, membuatnya tersenyum karena Arlo sangat menggemaskan.“Iya, tapi sama Arlo dan Papa. Kita mau liburan,” ucap Mira karena memang belum memberitahukan rencananya dan Aksa pada Arlo.“Liburan?” Arlo terkejut tetapi sedetik kemudian senyumnya mengembang. “Asyik!” Arlo berteriak sangat senang karena akan jalan-jalan dengan kedua orang tuanya.Aksa kebetulan sedang masuk kamar Mira saat melihat Arlo melompat-lompat sambil berteriak senang. “Sudah siap?” tanya Aksa.Arlo dan Mira menoleh bersamaan. Arlo berlari ke Aksa lalu meminta gendong pada papanya itu.“Sebentar lagi selesai,” jawab Mira.Aksa mengangguk mendengar jawaban Mira.Arlo masih berada dalam gendongan Aksa, lalu dia bertanya, “Apa benar kita mau lib
Mira meremas kuat kemeja bagian depan Aksa saat pria itu terus memagut bibirnya. Dia masih memejamkan mata dengan napas tertahan karena ciuman tanpa jeda yang dilakukan oleh Aksa.Saat keduanya masih terlena dalam ciuman yang membuat keduanya lupa, terdengar suara memanggil hingga membuat mereka membuka mat.Aksa melepas bibir Mira, lalu tatapannya tertuju ke pintu kamar.“Arlo,” lirih Mira karena mendengar suara putranya memanggil.Aksa dan Mira saling tatap sejenak, tampak jelas rona merah tercetak di wajah keduanya karena ciuman panas yang baru saja mereka lakukan.“Mama!” teriak Arlo lagi membuyarkan lamunan Aksa dan Mira.Mira buru-buru bangun. Dia berlari ke kamar untuk melihat Arlo.Aksa melipat bibir. Dia menyentuh permukaan bibirnya. Tiba-tiba baru menyadari kalau dia gila, bagaimana bisa dia memaksa mencium Mira seperti tadi? Bagaimana kalau tadi Mira menolak lalu mengamuknya karena dianggap kurang ajar? Meski nekat, tetapi hasilnya sesuai dengan yang dia harapkan, kan?Apa
“Ikannya boleh Alo lawat?” tanya Arlo sambil memandang ikan kecil yang ada di ember.Aksa berhasil mendapat ikan, tetapi ikan tangkapannya sangat kecil.Aksa dan Alina saling tatap, kemudian keduanya tersenyum bersama.“Ikannya tidak bisa kita bawa pulang,” ujar Aksa. Tidak mungkin ikan itu mereka bawa naik pesawat.“Lho, Alo mau ikannya,” rengek Arlo.“Nanti beli saja, ya. Nanti beli sama mama, yang warna-warni,” bujuk Alina.Arlo menatap pada Alina. Sang mama terlihat serius, akhirnya dia menganggukkan kepala, setuju.Ikan yang dipancing Aksa akhirnya dilepas lagi ke danau. Arlo melambai-lambai ke danau karena sedih ikannya malah dilepas.Meski tidak mendapat ikan, tetapi mereka menikmati kebersamaan hari itu. Setidaknya Aksa dan Alina bisa kembali bersama, membicarakan masa depan Arlo, meski Alina masih tak bisa mengingat apa pun.Tujuan Aksa bukan untuk mengembalikan ingatan Alina, tetapi ingin menyulam kenangan baru bersama dan melupakan semua kejadian di masa lampau, termasuk pe
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.