Jangan lupa tinggalkan komentarnya, ya. Mamaciii
“Ikannya boleh Alo lawat?” tanya Arlo sambil memandang ikan kecil yang ada di ember.Aksa berhasil mendapat ikan, tetapi ikan tangkapannya sangat kecil.Aksa dan Alina saling tatap, kemudian keduanya tersenyum bersama.“Ikannya tidak bisa kita bawa pulang,” ujar Aksa. Tidak mungkin ikan itu mereka bawa naik pesawat.“Lho, Alo mau ikannya,” rengek Arlo.“Nanti beli saja, ya. Nanti beli sama mama, yang warna-warni,” bujuk Alina.Arlo menatap pada Alina. Sang mama terlihat serius, akhirnya dia menganggukkan kepala, setuju.Ikan yang dipancing Aksa akhirnya dilepas lagi ke danau. Arlo melambai-lambai ke danau karena sedih ikannya malah dilepas.Meski tidak mendapat ikan, tetapi mereka menikmati kebersamaan hari itu. Setidaknya Aksa dan Alina bisa kembali bersama, membicarakan masa depan Arlo, meski Alina masih tak bisa mengingat apa pun.Tujuan Aksa bukan untuk mengembalikan ingatan Alina, tetapi ingin menyulam kenangan baru bersama dan melupakan semua kejadian di masa lampau, termasuk pe
Arlo duduk bersama Alina dan Aksa di depan perapian. Mereka sedang melihat gambar buatan Arlo.“Lihat ini. Ini Mama, Papa, sama Alo.” Arlo menunjuk ke gambar orang lidi dan rumah di buku sketsa milik Alina.“Mama kurus sekali,” protes Alina dengan nada candaan.“Alo juga kuyus. Nih, Papa saja yang besal.” Arlo menunjuk ke gambar yang terdapat gelombang-gelombang kecil di bagian lengan. Mungkin Arlo ingin membuat otot.Alina tertawa.“Memangnya tangan papa seperti itu?” tanya Aksa dengan dahi berkerut. “Iya,” jawab Arlo sambil mengangguk.“Kasihan sekali papa. Lengan saja yang besar, kaki dan kepalanya kecil,” seloroh Aksa.Arlo tertawa karena candaan sang papa.“Besok lagi, Alo bikin yang bagus,” balas Arlo.Alina mengusap kepala Arlo yang memiliki tekad besar untuk memperbaiki apa yang sedang dibuatnya.Saat tangan Alina hendak turun ke pundak Arlo, dia merasakan tangannya digenggam, membuat Alina menoleh dan melihat kalau Aksa menggenggam erat telapak tangannya.Pria itu menoleh se
Aksa menatap dua bola mata Alina bergantian. Mencari makna dari ucapan Alina. Dia menggenggam kedua telapak tangan Alina yang menyentuh pipinya, lantas menciumnya bergantian. “Aku tidak akan pernah melepasmu, tapi jika kamu ingin pergi, aku tidak akan menahanmu. Aku hanya ingin kamu bahagia,” ucap Aksa dengan tatapan tak teralihkan dari wajah Alina. Aksa tidak ingin kejadian sebelumnya terulang. Cukup sekali dia pernah egois menahan Alina yang berakhir kehilangan. Alina melihat tatapan sendu Aksa. Pria itu pasti sangat menderita selama dia pergi. Namun, itu masa lalu ‘kan? Sekarang Alina mencoba kembali. Alina merapat pada Aksa, lalu sedikit berjinjit hingga bisa mengecup bibir pria itu. Saat bibir Alina menyentuh bibir Aksa, pria itu merengkuh pinggang Alina, membuat wanita itu tak bisa mundur sehingga dia bisa menautkan lebih dalam daging tak bertulang keduanya. Alina mengalungkan kedua lengan di leher Aksa, memejamkan mata sambil menikmati sesapan lembut di bibirnya. Dia terbu
Arlo mengucek matanya. Dia terbangun karena merasa tempat tidurnya sangat sempit. Saat Arlo baru saja membuka mata, dia melihat Alina masih tidur di hadapannya, tetapi dia juga melihat tangan lain melingkar di perut sang mama.Arlo buru-buru bangun, hingga melihat papanya tidur di belakang sang mama, sambil memeluk pinggang Alina.“Kok, Papa bobok di sini? Katanya Papa nggak bobok sama Mama?” Arlo langsung memprotes sambil memukul bantal.Aksa dan Alina terkejut. Keduanya membuka mata dan melihat Arlo yang bersidekap sambil memasang wajah kesal.“Ini mamanya Alo. Papa jangan ikutan!” Arlo kembali melayangkan protes.Alina mengulum bibir sambil melirik Aksa, mau mendengar bagaimana alasan Aksa untuk membujuk Arlo.Aksa berdeham sambil bangkit dari posisi berbaring. Dia lantas berpindah posisi ke samping Arlo, kemudian menjelaskan, “Iya, mamanya Arlo, tapi juga istrinya papa. Boleh bobok sama-sama, karena Mama sudah izinin.”“Tapi kemalin Papa bilang kalau Mama bobok sama Papa, jadinya
Alina benar-benar mencemaskan Aksa. Dia semakin yakin jika sudah terjadi sesuatu, sampai Aksa memintanya segera pulang dan pria itu sendiri pergi ke tempat lain.“Pak, apa terjadi sesuatu di rumah atau perusahaan?” tanya Alina pada sopir yang sedang fokus mengemudi.Alina melihat sopir itu terkejut, membuat Alina semakin yakin kalau dugaannya benar.“Itu, Nyonya. Biar Tuan saja nanti yang memberitahu,” ujar sopir itu.Alina semakin resah karena sopir pun tidak mau bicara. Dia akhirnya harus memendam rasa penasaran sampai Aksa pulang.Sesampainya di rumah. Para pelayan juga terus menunduk dan seperti menghindari kontak mata dari Alina. Meski begitu Alina tidak bertanya dan memilih langsung pergi ke kamar.“Arlo mandi dulu baru bobok, ya.” Alina mencoba bersikap biasa di depan Arlo.Arlo mengangguk. Dia segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Alina mengeluarkan ponsel, lalu menghubungi Kaira. Dia merasa yakin kalau Kaira pasti tahu dengan apa yang terjadi.“Halo, Mira.” Sua
Aksa menatap secara bergantian Arlo dan Alina yang sudah tidur. Dia menghela napas pelan, lalu turun dari ranjang dan keluar dari kamar itu.Aksa pergi ke lantai bawah menuju ruang kerja. Ternyata Bams masih terjaga dan langsung menghampirinya.“Kamu sudah meminta orang untuk menyelidiki penyebab kebakaran itu?” tanya Aksa sambil menarik kursi meja kerjanya.Dia menghempaskan tubuhnya ke kursi, terlihat jelas raut wajahnya yang lelah dan frustasi.“Sudah, Pak.” Bams berdiri di depan meja Aksa saat menjawab.“Bagaimana dengan butik milik Alina?” tanya Aksa.Butik itu masih terus beroperasi di bawah pengawasan Kaira.“Butik Bu Alina ada di lantai dua, jadi tidak terkena kobaran api yang hanya sampai di lantai tiga. Tapi tetap saja pasti ada kerusakan di sana,” ujar Bams menjelaskan.Aksa memijat pangkal hidung. Sepanjang sejarah mall itu berdiri, baru kali Radja Mall mengalami tragedi fatal seperti ini.“Perintahkah orang untuk memantau kondisi mall selama investigasi, jangan sampai ada
Aksa mengadakan rapat bersama para pemegang saham, sebelum nantinya menemui klien dan para penyewa toko di Radja Mall.“Kebakaran ini harus diselidiki dengan detail. Jangan sampai ada unsur kesengajaan yang merugikan kita. Apalagi kerugian akibat kebakaran ini mencapai miliaran,” ujar salah satu pemegang saham.“Untuk hal itu, Anda tidak perlu cemas. Saya sudah meminta tim investigasi khusus untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh termasuk mencari tahu penyebab kebakaran terjadi. Saya juga sudah membentuk tim untuk mengunjungi dan mengurus para korban agar tidak ada masalah di belakang,” ujar Aksa.Semua pemegang saham mengangguk mengerti.“Untuk santunan dan biaya pengobatan para korban, saya sendiri yang akan bertanggung jawab penuh atas kerugian yang mereka alami,” ujar Aksa lagi.Saat Aksa baru saja selesai bicara. Ada pemegang saham yang saling bisik dengan asisten, membuat dahi Aksa berkerut halus, apalagi pemegang saham itu memandang pada ponsel.Apa ada masalah atau berita meny
Alina sangat terkejut dan panik, apalagi pengawal yang bersamanya jatuh karena dipukul dengan balok begitu keras.“Mau apa lagi kamu?” Alina waspada. Dia merasa tidak aman, Alina hendak berteriak, tetapi mulutnya langsung dibungkam.Alina memberontak saat Raffan berusaha membawanya ke mobil yang sudah siap di dekat mobil Alina.“Cepat buka pintunya!” perintah Raffan pada orang suruhannya.Alina masih memberontak saat Raffan menariknya untuk masuk mobil. Dia begitu panik dan ketakutan karena tidak tahu apa yang akan dilakukan Raffan padanya.Saat Alina terus dipaksa masuk mobil, tiba-tiba ada yang datang lalu menghajar orang suruhan Raffan.Raffan sangat terkejut karena orang suruhannya dihajar, lalu dia melepas Alina karena menghindari orang itu.Alina langsung menjauh dari Raffan. Dia begitu syok dan panik dengan yang terjadi.“Sialan!” Raffan kabur karena tidak ingin tertangkap.Saat itu pria yang menolong Alina mengejar Raffan, sedangkan Alina masih sangat panik hingga jantungnya b
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.