Aksa menatap secara bergantian Arlo dan Alina yang sudah tidur. Dia menghela napas pelan, lalu turun dari ranjang dan keluar dari kamar itu.Aksa pergi ke lantai bawah menuju ruang kerja. Ternyata Bams masih terjaga dan langsung menghampirinya.“Kamu sudah meminta orang untuk menyelidiki penyebab kebakaran itu?” tanya Aksa sambil menarik kursi meja kerjanya.Dia menghempaskan tubuhnya ke kursi, terlihat jelas raut wajahnya yang lelah dan frustasi.“Sudah, Pak.” Bams berdiri di depan meja Aksa saat menjawab.“Bagaimana dengan butik milik Alina?” tanya Aksa.Butik itu masih terus beroperasi di bawah pengawasan Kaira.“Butik Bu Alina ada di lantai dua, jadi tidak terkena kobaran api yang hanya sampai di lantai tiga. Tapi tetap saja pasti ada kerusakan di sana,” ujar Bams menjelaskan.Aksa memijat pangkal hidung. Sepanjang sejarah mall itu berdiri, baru kali Radja Mall mengalami tragedi fatal seperti ini.“Perintahkah orang untuk memantau kondisi mall selama investigasi, jangan sampai ada
Aksa mengadakan rapat bersama para pemegang saham, sebelum nantinya menemui klien dan para penyewa toko di Radja Mall.“Kebakaran ini harus diselidiki dengan detail. Jangan sampai ada unsur kesengajaan yang merugikan kita. Apalagi kerugian akibat kebakaran ini mencapai miliaran,” ujar salah satu pemegang saham.“Untuk hal itu, Anda tidak perlu cemas. Saya sudah meminta tim investigasi khusus untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh termasuk mencari tahu penyebab kebakaran terjadi. Saya juga sudah membentuk tim untuk mengunjungi dan mengurus para korban agar tidak ada masalah di belakang,” ujar Aksa.Semua pemegang saham mengangguk mengerti.“Untuk santunan dan biaya pengobatan para korban, saya sendiri yang akan bertanggung jawab penuh atas kerugian yang mereka alami,” ujar Aksa lagi.Saat Aksa baru saja selesai bicara. Ada pemegang saham yang saling bisik dengan asisten, membuat dahi Aksa berkerut halus, apalagi pemegang saham itu memandang pada ponsel.Apa ada masalah atau berita meny
Alina sangat terkejut dan panik, apalagi pengawal yang bersamanya jatuh karena dipukul dengan balok begitu keras.“Mau apa lagi kamu?” Alina waspada. Dia merasa tidak aman, Alina hendak berteriak, tetapi mulutnya langsung dibungkam.Alina memberontak saat Raffan berusaha membawanya ke mobil yang sudah siap di dekat mobil Alina.“Cepat buka pintunya!” perintah Raffan pada orang suruhannya.Alina masih memberontak saat Raffan menariknya untuk masuk mobil. Dia begitu panik dan ketakutan karena tidak tahu apa yang akan dilakukan Raffan padanya.Saat Alina terus dipaksa masuk mobil, tiba-tiba ada yang datang lalu menghajar orang suruhan Raffan.Raffan sangat terkejut karena orang suruhannya dihajar, lalu dia melepas Alina karena menghindari orang itu.Alina langsung menjauh dari Raffan. Dia begitu syok dan panik dengan yang terjadi.“Sialan!” Raffan kabur karena tidak ingin tertangkap.Saat itu pria yang menolong Alina mengejar Raffan, sedangkan Alina masih sangat panik hingga jantungnya b
Alina melihat tatapan dingin Aksa pada Gabriel, membuatnya kembali memperkenalkan pria itu.“Aksa, kalau tidak ada Tuan Gabriel mungkin Raffan sudah membawaku tadi,” ucap Alina.Aksa menoleh pada Alina, tatapan matanya berubah menghangat saat memandang pada istrinya itu. Dia lantas kembali menatap pada Gabriel dan berkata, “Terima kasih sudah menolong istriku. Aku sudah bersamanya, jadi sepertinya Anda tidak ada keperluan lagi di sini.”Alina terkejut karena Aksa mengusir secara halus, tetapi dia juga tidak bisa membantah karena Gabriel memang sudah tak ada lagi urusan di sana.Gabriel tak merespon berlebih ucapan Aksa. Tatapan mata pria itu beralih ke Alina.“Baiklah, Mira. Kalau begitu aku pamit pergi dulu,” ucap Gabriel sambil memberikan senyum hangat pada Alina.Aksa menatap tak senang karena Gabriel melempar senyuman pada Alina. Dia melihat pria itu melirik padanya, lantas mengangguk dan pergi dari sana.Alina masih memperhatikan Gabriel sampai pergi, lalu saat menoleh pada Aksa,
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Alina masih menunggu Aksa pulang. Dia duduk di kamar sambil menggambar desain. Namun, Alina tidak bisa tenang, ada kegelisahan yang tersirat dalam tatapan matanya karena Aksa juga belum pulang.Sesekali Alina menoleh ke pintu. Dia berperang dengan pikirannya sendiri, bertanya dengan kecemasan tetapi menepisnya dengan pikiran positif.“Mungkin masih banyak yang harus dia kerjakan.”Saat Alina masih menunggu. Dia mendengar gagang pintu diputar dengan pelan. Alina segera berdiri untuk melihat siapa yang masuk.Aksa baru saja pulang. Dia mengendap-endap seperti pencuri di rumah itu. Bahkan Aksa melangkah tanpa suara, sayangnya gagang pintu tidak bersahabat dengannya. Terdengar suara klik saat dia memutarnya, membuat Aksa meringis sejenak sebelum masuk lalu menutup kembali pintu dengan perlahan.Aksa memutar tubuh perlahan untuk melangkah masuk, tetapi dia dikejutkan dengan keberadaan Alina yang sampai membuatnya mundur membentur pintu.“Kenapa mengen
Aksa masih memeluk untuk menenangkan Alina yang masih menangis. Dia tidak menyangka kalau reaksi Alina bisa sampai seperti ini.“Maaf, aku benar-benar minta maaf, Al.” Aksa kembali menenangkan.Alina sudah agak tenang. Dia menghapus air matanya meski masih ada rasa kesal bercokol di dada. Aksa tidak tahu seberapa cemasnya Alina pada mental Aksa seharian ini, tapi pria itu malah dengan entengnya ingin menyembunyikan kejadian kecelakaan itu.“Aku lapar, ayo makan,” ajak Aksa untuk mengalihkan perhatian Alina.Aksa menurunkan sedikit pandangan, membuat tatapannya bertemu dengan Alina.Alina masih memasang wajah cemberut meski akhirnya mau duduk kembali bersama Aksa.Keduanya sudah duduk bersama, tetapi Aksa masih belum juga makan.“Makan, katanya lapar,” ucap Alina.Aksa malah melebarkan senyum, lalu membalas, “Lebih enak kalau kamu yang menyuapi.”Dahi Alina berkerut. Itu roti isi, bagaimana cara menyuapinya?“Itu tinggal makan, bagaimana cara menyuapinya?” Alina merasa Aksa ada-ada saj
Keesokan harinya. Aksa sudah bersiap ke kantor lebih awal karena masih harus mengurus masalah kebakaran di Radja Mall.Alina mengantar Aksa sampai mobil untuk memastikan jika pria itu tidak menyetir sendiri. Bams dan sopir ternyata sudah menunggu, Alina lega melihat hal itu.“Kalau ada apa-apa segera kabari aku,” ucap Alina.“Iya,” balas Aksa.Aksa hendak masuk mobil, tetapi terhenti dan kembali menoleh pada Alina.“Ada apa?” tanya Alina.“Ada yang ketinggalan,” jawab Aksa.Dahi Alina berkerut, lalu bertanya, “Apa yang ketinggalan?’Aksa tersenyum kecil. Dia kemudian menunjuk ke pipi.Alina terkejut. Manja sekali sekarang?Alina menggeleng. Dia malu karena di sana ada Bams dan sopir.Aksa melirik pada Bams, memberi isyarat agar anak buahnya itu mengalihkan pandangan. Begitu Bams menoleh ke arah lain, Aksa kembali menatap pada Alina sambil menunjuk pipi.Alina mencebik, tetapi sebenarnya sedang malu-malu. Dia akhirnya mendekat lalu mencium pipi Aksa dengan sangat cepat.“Sudah,” lirih
Di rumah. Nenek Agni berkunjung ke rumah karena mencemaskan Aksa dan Alina. Dia lega saat melihat Alina terlihat ceria.“Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Nenek Agni.“Tentu saja baik, Nek. Kenapa tidak baik?” tanya balik Alina.“Ya, karena Radja Mall kebakaran sampai kamu dan Aksa harus pulang liburan lebih awal. Aksa juga pasti lelah memikirkan kondisi dan akibat dari kebakaran yang terjadi,” ujar Nenek Agni.Alina mengangguk-angguk pelan.“Iya, Aksa memang tampak lelah. Tapi dia baik-baik saja, Nek.” Alina mencoba menenangkan nenek Agni.Nenek Agni menggenggam telapak tangan Alina. Dia memulas senyum lalu berkata, “Aksa bisa tenang meski mengalami masalah karena ada kamu di sisinya. Jika saja kamu tidak mendukungnya, nenek yakin dia pasti akan sangat terpuruk dan frustasi menghadapi masalah ini.”Alina mengangguk-angguk mendengar ucapan Nenek Agni.Alina masih melihat Nenek Agni yang terus tersenyum sambil menatapnya, membuat Alina salah tingkah.“Ada apa, Nek?” tanya Alina.Nenek A
“Apa itu penting?”Pertanyaan Daniel membungkam Karin. Dia mengulum bibir dan menggeleng.Daniel sendiri tidak mau bersikap baik, jangan sampai sikap baiknya disalahartikan.Daniel melihat Karin yang diam tertunduk. Dia pun memutuskan untuk pergi daripada terlalu lama berinteraksi dengan Karin.“Tunggu, kamu tidak jadi mencari aksesoris? Aku bisa menunjukkan beberapa barang yang mungkin cocok dengan yang kamu inginkan,” ucap Karin membujuk seraya meremat jari.Daniel diam sejenak, tetapi setelahnya mengangguk. Dia mengikuti Karin menuju display khusus aksesoris anak-anak.“Anak itu biasanya suka apa? Bando, jepit rambut, kalung, atau gelang mungkin?” tanya Karin mencoba mengajak bicara Daniel.Daniel tak menjawab pertanyaan Karin. Dia lebih memilih fokus memperhatikan aksesoris yang terpajang di sana, hingga tatapannya tertuju pada gantungan ponsel yang lucu dan menggemaskan.“Itu lucu,” ucap Karin.Daniel tetap tak bicara pada Karin.Karin diam memperhatikan Daniel yang begitu dingin,
Siang itu, Aksa masih berada di ruang kerjanya dengan banyaknya tumpukan berkas di meja. Dia sedang membaca beberapa perencanaan bisnis untuk mengembangkan perusahaannya.“Masih sangat sibuk?”Aksa terkejut mendengar suara Alina. Dia langsung menoleh dan melihat istrinya ternyata sudah berada di ruangannya. Aksa tersenyum lebar, karena terlalu fokus bekerja, membuatnya sampai tidak menyadari kalau Alina datang.“Aku tidak mendengar kamu mengetuk pintu,” ucap Aksa langsung berdiri dari tempat duduknya untuk menghampiri Alina.“Aku memang tidak mengetuk pintu,” balas Alina.Aksa mengajak Alina duduk. Alina membawa paper bag berisi makan siang seperti yang dijanjikannya pagi tadi.“Arlo tidak rewel tahu kamu akan ke sini dan tidak diajak?” tanya Aksa.“Oh, dia pergi bersama Naya dan Bams. Katanya mau main ke rumah Anya. Nanti aku ke sana setelah dari sini,” jawab Alina seraya mengeluarkan kotak makanan dari dalam paper bag.“Ternyata dia mau lepas darimu karena Anya?” Aksa keheranan.“Iya
Aksa sudah sampai di perusahaan. Seperti biasa Ilham akan langsung menemani masuk ruangan lalu membacakan jadwal harian Aksa.“Ada yang mau Anda ubah, Pak?” tanya Ilham setelah selesai membacakan laporannya.Aksa tak langsung menjawab. Dia malah menatap Ilham.“Ada apa, Pak?” tanya Ilham panik karena tatapan Aksa. Apa dia membuat kesalahan?Aksa menghela napas pelan, lalu menyandarkan punggung.“Apa kamu benar-benar tidak mau mengubah keputusanmu untuk mengambil alih perusahaan mertuamu? Bukankah ini menguntungkan untuk kariermu?” tanya Aksa sekali lagi setelah berulang kali Ilham berkata akan tetap menjadi sekretarisnya.Aksa hanya tak ingin dianggap menghambat Ilham berkembang. Meski dia juga berat melepas Ilham yang sudah bertahun-tahun ikut dengannya dan menjadi pekerja terbaiknya, tetapi Aksa juga ingin masa depan Ilham semakin baik.Namun, bukannya mendapat jawaban, Ilham malah membalas, “Anda mau memecat saya?”Pertanyaan Ilham tentu saja membuat Aksa sampai menegakkan badan.“
Hari berikutnya. Alina dan yang lain sarapan seperti biasanya. Rumah itu sekarang begitu ramai dan semakin hangat dengan banyaknya orang yang menempati rumah itu.“Aku lupa bilang,” ucap Daniel di sela sarapan.Semua orang menatap pada pria itu sekarang.“Lupa bilang apa?” tanya Alina penasaran.Daniel menatap ke semua orang lalu membalas, “Waktu itu aku bicara dengan Paman, dia menawariku untuk mengelola perusahaan di sini. Karena Kak Alina akan tinggal di sini, jadi kurasa aku juga akan tetap di sini.”Alina cukup terkejut. Namun, dia juga senang karena adiknya tidak akan jauh darinya.“Itu bagus, aku setuju,” balas Alina.Lagi pula Daniel sekarang pandai mengelola bisnis, perusahaan sang paman pun dipimpin dengan baik.Daniel mengangguk-angguk lega dan senang melihat Alina setuju dengan niatnya.“Kamu akan tinggal di sini? Kalau iya, aku akan meminta orang menyiapkan kebutuhanmu termasuk ruang kerja,” ujar Aksa.“Tidak, aku mau mencari apartemen saja,” balas Daniel.Alina tidak menc
Malam itu Daniel berkumpul dengan Aksa dan Alina di rumah. Mereka berada di ruang keluarga membahas soal Edwin.“Edwin memang ditangguhkan penahanannya, tapi proses hukum tetap berjalan. Pengacaraku juga sudah mengajukan semua berkas laporan dan bukti untuk menjerat pria itu agar mendapatkan hukuman maksimal. Tidak akan kubiarkan dia mendapat hukuman hanya setahun dua tahun,” ujar Aksa.“Ya, pria itu memang layak mendapat hukuman yang berat. Banyak sekali tindak kejahatan yang dilakukannya,” timpal Alina.“Ini juga bagus untuk mempercepat proses perceraian Jia karena kelakuan buruk Edwin semuanya sudah terekspos,” ujar Aksa lagi.Alina mengangguk-angguk. Dia kemudian menoleh pada Daniel yang sejak tadi tak bersuara.“Kamu sedang memikirkan apa?” tanya Alina.Daniel terkejut. Dia baru menyadari kalau kakak dan kakak iparnya kini sedang menatapnya.“Tidak,” jawab Daniel seraya menggeleng pelan.Alina menaikkan kedua sudut alis.“Apanya yang tidak? Aku perhatikan seharian ini kamu banyak
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Akhirnya Jia sudah diperbolehkan pulang. “Papamu sudah menunggu di rumah lama kalian, jadi kami akan mengantarmu ke sana,” ucap Daniel.“Iya, terima kasih,” balas Jia.Akhirnya Jia harus kembali ke rumah keluarganya karena dia tidak mau tinggal di apartemen atau rumah milik Edwin yang penuh dengan kenangan pahit.Alina datang menemani Jia keluar dari rumah sakit sekalian membantu Daniel.“Apa sudah semua?” tanya Alina.Daniel mengangguk.Alina mendorong kursi roda yang Jia duduki. Mereka pergi menuju pintu depan lobby rumah sakit karena mobil yang akan membawa mereka sudah menunggu di sana.“Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot menjemput,” ucap Jia.“Apanya yang repot? Aku tidak pernah merasa repot,” balas Alina, “kita sudah kenal lama, bahkan dulu kamu membantuku memasarkan desainku, jadi anggap saja kita ini saling melengkapi dan menguntungkan,” imbuh Alina.Mereka sampai di depan lobby. Jia dibantu Alina dan Daniel masuk mobil, lalu
Anya masih berada di rumah sakit bersama Daniel. Dia ingin menemani Jia sebelum dijemput Alina saat sore hari. Anya akan bersama Alina sampai Jia keluar dari rumah sakit.“Mama mau ke mana?” tanya Anya saat melihat Jia bergerak ingin menurunkan kaki.“Ke kamar mandi,” jawab Jia agak kesusahan turun karena tubuhnya yang masih kaku dan tangan masih terpasang selang infus.Anya menoleh pada Daniel yang baru saja menerima telepon.“Paman, Mama mau ke kamar mandi tapi tidak bisa bawa infusnya,” kata Anya.Jia terkejut karena Anya sampai memanggil Daniel. Dia menoleh pada pria itu yang sudah memandangnya.“Aku bisa sendiri, kamu selesaikan saja urusanmu,” kata Jia karena tak enak hati jika terus merepotkan Daniel.Namun, ternyata Daniel tetap mendekat. Dia berjalan menghampiri Jia dan Anya.Jia menatap Anya yang tersenyum lebar. Sungguh dia merasa sangat sungkan karena hampir semua bantuan yang dibutuhkannya, Daniel yang mencukupi.“Kamu bisa jalan?” tanya Daniel memastikan lebih dulu.Jia
Di rumah sakit. Daniel menyiapkan sarapan untuk Jia yang tadi diberikan oleh perawat.“Kamu bisa makan sendiri?” tanya Daniel memastikan karena Jia terlihat masih lemah.Jia tersenyum kecil, lalu menjawab, “Bisa, kamu tenang saja.”Daniel mengangguk pelan. Dia kembali duduk menunggu Jia sarapan, siapa tahu Jia membutuhkan bantuannya.Jia berusaha makan sendiri meski seluruh tubuhnya terasa sakit karena lebam di sekujur tubuh. Dia memasukkan suapan pertama, lalu tatapannya tertuju pada Daniel. Dia melihat pria itu hanya diam menunggunya makan, membuat Jia merasa sedikit sungkan.“Kamu tidak sarapan?” tanya Jia.Sejak kemarin Daniel terus menunggunya di sana, bahkan tak terlihat sekalipun keluar dari kamar itu, kecuali saat kedatangan orang tua Edwin.“Kak Alina bilang akan datang membawakan sarapan, jadi aku akan menunggunya,” ujar Daniel.Jia mengangguk-angguk pelan. Dia agak canggung karena makan sendiri, sedangkan Daniel hanya duduk mengamatinya.“Makanlah dan minum obatmu. Kamu har
Alina menemui Anya yang baru saja selesai mandi dibantu pelayan.“Biar aku saja yang membantunya ganti baju, kamu keluarlah,” kata Alina pada pelayan.Pelayan mengangguk lalu keluar dari kamar itu.Alina memulas senyum pada Anya. Dia mendekat lalu duduk di tepian ranjang dan membantu Anya memakai pakaian.“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Alina.Semalam Anya dan Arlo tidur satu kamar atas permintaan Arlo, tetapi disediakan dua ranjang terpisah.Anya mengangguk seraya menatap pada Alina yang sedang memakaikan bajunya.“Kata Arlo, semalam kamu mimpi buruk sampai menangis. Apa benar?” tanya Alina memastikan apakah cerita putranya benar atau tidak.Anya terdiam. Dia menunduk tak menjawab pertanyaan Alina.Alina melihat ekspresi sedih di wajah Anya. Dia tidak bertanya lagi, tetapi memilih segera menyelesaikan membantu Anya memakai baju. Setelah itu dia juga menyisir rambut Anya.“Bagaimana kabar Mama?” tanya Anya.“Mama sudah baik. Hari ini kita ke sana untuk menjenguknya, ya.” Alina bicara ser