Aksa masih memeluk untuk menenangkan Alina yang masih menangis. Dia tidak menyangka kalau reaksi Alina bisa sampai seperti ini.“Maaf, aku benar-benar minta maaf, Al.” Aksa kembali menenangkan.Alina sudah agak tenang. Dia menghapus air matanya meski masih ada rasa kesal bercokol di dada. Aksa tidak tahu seberapa cemasnya Alina pada mental Aksa seharian ini, tapi pria itu malah dengan entengnya ingin menyembunyikan kejadian kecelakaan itu.“Aku lapar, ayo makan,” ajak Aksa untuk mengalihkan perhatian Alina.Aksa menurunkan sedikit pandangan, membuat tatapannya bertemu dengan Alina.Alina masih memasang wajah cemberut meski akhirnya mau duduk kembali bersama Aksa.Keduanya sudah duduk bersama, tetapi Aksa masih belum juga makan.“Makan, katanya lapar,” ucap Alina.Aksa malah melebarkan senyum, lalu membalas, “Lebih enak kalau kamu yang menyuapi.”Dahi Alina berkerut. Itu roti isi, bagaimana cara menyuapinya?“Itu tinggal makan, bagaimana cara menyuapinya?” Alina merasa Aksa ada-ada saj
Keesokan harinya. Aksa sudah bersiap ke kantor lebih awal karena masih harus mengurus masalah kebakaran di Radja Mall.Alina mengantar Aksa sampai mobil untuk memastikan jika pria itu tidak menyetir sendiri. Bams dan sopir ternyata sudah menunggu, Alina lega melihat hal itu.“Kalau ada apa-apa segera kabari aku,” ucap Alina.“Iya,” balas Aksa.Aksa hendak masuk mobil, tetapi terhenti dan kembali menoleh pada Alina.“Ada apa?” tanya Alina.“Ada yang ketinggalan,” jawab Aksa.Dahi Alina berkerut, lalu bertanya, “Apa yang ketinggalan?’Aksa tersenyum kecil. Dia kemudian menunjuk ke pipi.Alina terkejut. Manja sekali sekarang?Alina menggeleng. Dia malu karena di sana ada Bams dan sopir.Aksa melirik pada Bams, memberi isyarat agar anak buahnya itu mengalihkan pandangan. Begitu Bams menoleh ke arah lain, Aksa kembali menatap pada Alina sambil menunjuk pipi.Alina mencebik, tetapi sebenarnya sedang malu-malu. Dia akhirnya mendekat lalu mencium pipi Aksa dengan sangat cepat.“Sudah,” lirih
Di rumah. Nenek Agni berkunjung ke rumah karena mencemaskan Aksa dan Alina. Dia lega saat melihat Alina terlihat ceria.“Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Nenek Agni.“Tentu saja baik, Nek. Kenapa tidak baik?” tanya balik Alina.“Ya, karena Radja Mall kebakaran sampai kamu dan Aksa harus pulang liburan lebih awal. Aksa juga pasti lelah memikirkan kondisi dan akibat dari kebakaran yang terjadi,” ujar Nenek Agni.Alina mengangguk-angguk pelan.“Iya, Aksa memang tampak lelah. Tapi dia baik-baik saja, Nek.” Alina mencoba menenangkan nenek Agni.Nenek Agni menggenggam telapak tangan Alina. Dia memulas senyum lalu berkata, “Aksa bisa tenang meski mengalami masalah karena ada kamu di sisinya. Jika saja kamu tidak mendukungnya, nenek yakin dia pasti akan sangat terpuruk dan frustasi menghadapi masalah ini.”Alina mengangguk-angguk mendengar ucapan Nenek Agni.Alina masih melihat Nenek Agni yang terus tersenyum sambil menatapnya, membuat Alina salah tingkah.“Ada apa, Nek?” tanya Alina.Nenek A
Aksa sudah mengabari Alina jika pulang larut. Hari itu Aksa baru saja sampai rumah di jam sepuluh malam, suasana rumah sudah sangat sepi. Dia mengayunkan langkah lambat karena begitu berat menjalani hari dengan banyaknya beban pekerjaan dan masalah yang terjadi.Aksa berjalan sambil mengusap tengkuk saat sampai di lantai atas. Dia sempat berhenti di depan kamar Alina, tetapi Aksa tidak membukanya karena takut kalau mengganggu Alina tidur. Akhirnya Aksa memilih langsung masuk kamarnya.Namun, saat tiba di kamar, Aksa terkejut karena ternyata Alina berada di kamarnya dan masih belum beristirahat.“Kenapa kamu belum tidur?” tanya Aksa.“Aku menunggumu pulang,” jawab Alina sambil mendekat untuk menghampiri Aksa.Tak hanya itu. Alina juga memeluk pria itu untuk menyalurkan sedikit energi karena melihat Aksa yang tampak lelah..Aksa tersenyum kecil. Dia memeluk erat Alina dengan helaan napas begitu lega.“Kamu pasti capek. Apa begini bisa membuatmu lebih baik?” tanya Alina masih memeluk Aks
Alina mulai membuka kelopak matanya saat pagi hari. Dia tersenyum saat melihat tangan Aksa ada di depannya, pantas saja lehernya terasa ada yang mengganjal, ternyata dia tidur berbantal lengan pria itu.Saat akan bangun, Aksa malah merengkuhnya sambil menautkan jemarinya ke tangan Alina, membuat Alina akhirnya berhenti bergerak dan diam karena dekapan pria itu.“Kamu tidak bangun?” tanya Alina.“Sangat malas,” jawab Aksa dengan suara parau.Alina memulas senyum. Dia ingin menggeser posisi berbaring, tetapi Aksa memeluknya erat, membuat Alina hanya bisa pasrah dan diam membiarkan Aksa mendekapnya.“Ini sudah pagi, apa kamu tidak mau ke kantor?” tanya Alina tak bergerak karena Aksa memeluknya erat.“Kalau bisa, aku ingin di rumah saja,” lirih Aksa.Alina diam. Aksa pasti sangat lelah, kan? Saat Alina masih diam, terdengar suara ketukan pintu kamar.“Biar aku buka dulu,” ucap Alina.“Tidak usah, lagi pula siapa yang berani mengetuk-ngetuk pintu sepagi ini.” Aksa tetap tidak mau melepas
Aksa pergi bersama Bams menuju lokasi pelaku pembakaran akan ditangkap, setelah berhasil meyakinkan Alina.“Apa anak buahmu sudah sampai lokasi?” tanya Aksa.“Sudah, mereka sedang memantau sekitar,” jawab Bams sambil menyetir.“Bagaimana perkembangannya? Kenapa tidak langsung ditangkap?” tanya Aksa sambil menoleh pada Bams.“Karena saya belum memastikan dengan jelas, apa benar pelakunya di sana atau tidak. Terlebih lokasinya di pemukiman padat penduduk, takutnya ini akan jadi masalah jika kita salah tangkap,” ujar Bams menjelaskan dengan begitu tegas.Aksa diam. Dia tahu jika Bams memang bukan tipe orang yang suka melakukan sesuatu dengan gegabah. Selama bekerja dengannya, Bams selalu hati-hati dalam bertindak.Mobil mereka akhirnya sampai tak jauh dari lokasi pelaku tinggal. Salah satu anak buah Bams langsung masuk mobil untuk memberikan laporan.“Bagaimana?” tanya Bams.“Kami memantau rumah itu sejak tadi dan tidak ada pergerakan. Ada seorang wanita tua datang membawa seperti bungku
Beberapa pemilik kios yang berada di sekitar trotoar itu melihat apa yang dilakukan Aksa, apalagi pemilik toko yang bagian depan temboknya tertabrak mobil Aksa.“Apa yang--” Pemilik toko itu ingin protes, tetapi Bams langsung menyodorkan kartu nama.“Klaim kerusakan ke sini.” Bams bicara dengan tatapan tajam.Pemilik toko itu diam.Aksa masih mencengkram erat kerah jaket pelaku. Dia sampai mendorong dan membenturkan punggung pria itu ke mobil karena tidak mau buka suara.“Katakan, siapa yang sudah menyuruhmu membakar Radja Mall!” Aksa bicara dengan penuh penekanan.“Kamu pikir aku akan bicara? Bahkan jika kamu memenjarakanku, aku tidak akan buka suara.” Pria itu bicara dengan suara tertahan karena lehernya seperti tercekik akibat tekanan tangan Aksa.Aksa tersenyum miring. Dia mendekatkan wajah hingga mengikis jarak dengan pelaku lalu berkata, “Penjara? Siapa yang mau mengirimmu ke penjara? Bahkan neraka pun masih lebih baik dari apa yang bisa kulakukan padamu. Katakan siapa yang menyu
Aksa masih menunggu informasi dari petugas bandara, hingga akhirnya petugas itu memberikan informasi yang diinginkan.“Nama yang Anda sebutkan tidak ada di penerbangan pagi ini,” jawab petugas itu.Aksa lega, itu artinya Raffan belum pergi dari kota itu. Aksa berterima kasih, lantas pergi dari bagian informasi sambil mengedarkan pandangan ke sekitar.“Tanyakan ke semua anak buahmu, apa ada yang melihat keberadaan Raffan!” perintah Aksa.Bams mengangguk. Dia langsung mengirim pesan ke seluruh anak buahnya.Selagi menunggu informasi, Aksa mencari Raffan di bandara, bukankah tidak menutup kemungkinan pria itu ada di sana untuk kabur?Bams masih fokus dengan pesan para anak buahnya yang melapor, hingga dia terkejut saat mendapat salah satu pesan dari anak buahnya.“Pak.” Bams langsung memperlihatkan isi pesan itu.Bola mata Aksa membulat sempurna membaca pesan itu.**Alina berada di rumah sesuai dengan yang Aksa perintahkan. Dia duduk sambil terus memandangi ponsel, menunggu kabar dari A
“Apa itu penting?”Pertanyaan Daniel membungkam Karin. Dia mengulum bibir dan menggeleng.Daniel sendiri tidak mau bersikap baik, jangan sampai sikap baiknya disalahartikan.Daniel melihat Karin yang diam tertunduk. Dia pun memutuskan untuk pergi daripada terlalu lama berinteraksi dengan Karin.“Tunggu, kamu tidak jadi mencari aksesoris? Aku bisa menunjukkan beberapa barang yang mungkin cocok dengan yang kamu inginkan,” ucap Karin membujuk seraya meremat jari.Daniel diam sejenak, tetapi setelahnya mengangguk. Dia mengikuti Karin menuju display khusus aksesoris anak-anak.“Anak itu biasanya suka apa? Bando, jepit rambut, kalung, atau gelang mungkin?” tanya Karin mencoba mengajak bicara Daniel.Daniel tak menjawab pertanyaan Karin. Dia lebih memilih fokus memperhatikan aksesoris yang terpajang di sana, hingga tatapannya tertuju pada gantungan ponsel yang lucu dan menggemaskan.“Itu lucu,” ucap Karin.Daniel tetap tak bicara pada Karin.Karin diam memperhatikan Daniel yang begitu dingin,
Siang itu, Aksa masih berada di ruang kerjanya dengan banyaknya tumpukan berkas di meja. Dia sedang membaca beberapa perencanaan bisnis untuk mengembangkan perusahaannya.“Masih sangat sibuk?”Aksa terkejut mendengar suara Alina. Dia langsung menoleh dan melihat istrinya ternyata sudah berada di ruangannya. Aksa tersenyum lebar, karena terlalu fokus bekerja, membuatnya sampai tidak menyadari kalau Alina datang.“Aku tidak mendengar kamu mengetuk pintu,” ucap Aksa langsung berdiri dari tempat duduknya untuk menghampiri Alina.“Aku memang tidak mengetuk pintu,” balas Alina.Aksa mengajak Alina duduk. Alina membawa paper bag berisi makan siang seperti yang dijanjikannya pagi tadi.“Arlo tidak rewel tahu kamu akan ke sini dan tidak diajak?” tanya Aksa.“Oh, dia pergi bersama Naya dan Bams. Katanya mau main ke rumah Anya. Nanti aku ke sana setelah dari sini,” jawab Alina seraya mengeluarkan kotak makanan dari dalam paper bag.“Ternyata dia mau lepas darimu karena Anya?” Aksa keheranan.“Iya
Aksa sudah sampai di perusahaan. Seperti biasa Ilham akan langsung menemani masuk ruangan lalu membacakan jadwal harian Aksa.“Ada yang mau Anda ubah, Pak?” tanya Ilham setelah selesai membacakan laporannya.Aksa tak langsung menjawab. Dia malah menatap Ilham.“Ada apa, Pak?” tanya Ilham panik karena tatapan Aksa. Apa dia membuat kesalahan?Aksa menghela napas pelan, lalu menyandarkan punggung.“Apa kamu benar-benar tidak mau mengubah keputusanmu untuk mengambil alih perusahaan mertuamu? Bukankah ini menguntungkan untuk kariermu?” tanya Aksa sekali lagi setelah berulang kali Ilham berkata akan tetap menjadi sekretarisnya.Aksa hanya tak ingin dianggap menghambat Ilham berkembang. Meski dia juga berat melepas Ilham yang sudah bertahun-tahun ikut dengannya dan menjadi pekerja terbaiknya, tetapi Aksa juga ingin masa depan Ilham semakin baik.Namun, bukannya mendapat jawaban, Ilham malah membalas, “Anda mau memecat saya?”Pertanyaan Ilham tentu saja membuat Aksa sampai menegakkan badan.“
Hari berikutnya. Alina dan yang lain sarapan seperti biasanya. Rumah itu sekarang begitu ramai dan semakin hangat dengan banyaknya orang yang menempati rumah itu.“Aku lupa bilang,” ucap Daniel di sela sarapan.Semua orang menatap pada pria itu sekarang.“Lupa bilang apa?” tanya Alina penasaran.Daniel menatap ke semua orang lalu membalas, “Waktu itu aku bicara dengan Paman, dia menawariku untuk mengelola perusahaan di sini. Karena Kak Alina akan tinggal di sini, jadi kurasa aku juga akan tetap di sini.”Alina cukup terkejut. Namun, dia juga senang karena adiknya tidak akan jauh darinya.“Itu bagus, aku setuju,” balas Alina.Lagi pula Daniel sekarang pandai mengelola bisnis, perusahaan sang paman pun dipimpin dengan baik.Daniel mengangguk-angguk lega dan senang melihat Alina setuju dengan niatnya.“Kamu akan tinggal di sini? Kalau iya, aku akan meminta orang menyiapkan kebutuhanmu termasuk ruang kerja,” ujar Aksa.“Tidak, aku mau mencari apartemen saja,” balas Daniel.Alina tidak menc
Malam itu Daniel berkumpul dengan Aksa dan Alina di rumah. Mereka berada di ruang keluarga membahas soal Edwin.“Edwin memang ditangguhkan penahanannya, tapi proses hukum tetap berjalan. Pengacaraku juga sudah mengajukan semua berkas laporan dan bukti untuk menjerat pria itu agar mendapatkan hukuman maksimal. Tidak akan kubiarkan dia mendapat hukuman hanya setahun dua tahun,” ujar Aksa.“Ya, pria itu memang layak mendapat hukuman yang berat. Banyak sekali tindak kejahatan yang dilakukannya,” timpal Alina.“Ini juga bagus untuk mempercepat proses perceraian Jia karena kelakuan buruk Edwin semuanya sudah terekspos,” ujar Aksa lagi.Alina mengangguk-angguk. Dia kemudian menoleh pada Daniel yang sejak tadi tak bersuara.“Kamu sedang memikirkan apa?” tanya Alina.Daniel terkejut. Dia baru menyadari kalau kakak dan kakak iparnya kini sedang menatapnya.“Tidak,” jawab Daniel seraya menggeleng pelan.Alina menaikkan kedua sudut alis.“Apanya yang tidak? Aku perhatikan seharian ini kamu banyak
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Akhirnya Jia sudah diperbolehkan pulang. “Papamu sudah menunggu di rumah lama kalian, jadi kami akan mengantarmu ke sana,” ucap Daniel.“Iya, terima kasih,” balas Jia.Akhirnya Jia harus kembali ke rumah keluarganya karena dia tidak mau tinggal di apartemen atau rumah milik Edwin yang penuh dengan kenangan pahit.Alina datang menemani Jia keluar dari rumah sakit sekalian membantu Daniel.“Apa sudah semua?” tanya Alina.Daniel mengangguk.Alina mendorong kursi roda yang Jia duduki. Mereka pergi menuju pintu depan lobby rumah sakit karena mobil yang akan membawa mereka sudah menunggu di sana.“Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot menjemput,” ucap Jia.“Apanya yang repot? Aku tidak pernah merasa repot,” balas Alina, “kita sudah kenal lama, bahkan dulu kamu membantuku memasarkan desainku, jadi anggap saja kita ini saling melengkapi dan menguntungkan,” imbuh Alina.Mereka sampai di depan lobby. Jia dibantu Alina dan Daniel masuk mobil, lalu
Anya masih berada di rumah sakit bersama Daniel. Dia ingin menemani Jia sebelum dijemput Alina saat sore hari. Anya akan bersama Alina sampai Jia keluar dari rumah sakit.“Mama mau ke mana?” tanya Anya saat melihat Jia bergerak ingin menurunkan kaki.“Ke kamar mandi,” jawab Jia agak kesusahan turun karena tubuhnya yang masih kaku dan tangan masih terpasang selang infus.Anya menoleh pada Daniel yang baru saja menerima telepon.“Paman, Mama mau ke kamar mandi tapi tidak bisa bawa infusnya,” kata Anya.Jia terkejut karena Anya sampai memanggil Daniel. Dia menoleh pada pria itu yang sudah memandangnya.“Aku bisa sendiri, kamu selesaikan saja urusanmu,” kata Jia karena tak enak hati jika terus merepotkan Daniel.Namun, ternyata Daniel tetap mendekat. Dia berjalan menghampiri Jia dan Anya.Jia menatap Anya yang tersenyum lebar. Sungguh dia merasa sangat sungkan karena hampir semua bantuan yang dibutuhkannya, Daniel yang mencukupi.“Kamu bisa jalan?” tanya Daniel memastikan lebih dulu.Jia
Di rumah sakit. Daniel menyiapkan sarapan untuk Jia yang tadi diberikan oleh perawat.“Kamu bisa makan sendiri?” tanya Daniel memastikan karena Jia terlihat masih lemah.Jia tersenyum kecil, lalu menjawab, “Bisa, kamu tenang saja.”Daniel mengangguk pelan. Dia kembali duduk menunggu Jia sarapan, siapa tahu Jia membutuhkan bantuannya.Jia berusaha makan sendiri meski seluruh tubuhnya terasa sakit karena lebam di sekujur tubuh. Dia memasukkan suapan pertama, lalu tatapannya tertuju pada Daniel. Dia melihat pria itu hanya diam menunggunya makan, membuat Jia merasa sedikit sungkan.“Kamu tidak sarapan?” tanya Jia.Sejak kemarin Daniel terus menunggunya di sana, bahkan tak terlihat sekalipun keluar dari kamar itu, kecuali saat kedatangan orang tua Edwin.“Kak Alina bilang akan datang membawakan sarapan, jadi aku akan menunggunya,” ujar Daniel.Jia mengangguk-angguk pelan. Dia agak canggung karena makan sendiri, sedangkan Daniel hanya duduk mengamatinya.“Makanlah dan minum obatmu. Kamu har
Alina menemui Anya yang baru saja selesai mandi dibantu pelayan.“Biar aku saja yang membantunya ganti baju, kamu keluarlah,” kata Alina pada pelayan.Pelayan mengangguk lalu keluar dari kamar itu.Alina memulas senyum pada Anya. Dia mendekat lalu duduk di tepian ranjang dan membantu Anya memakai pakaian.“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Alina.Semalam Anya dan Arlo tidur satu kamar atas permintaan Arlo, tetapi disediakan dua ranjang terpisah.Anya mengangguk seraya menatap pada Alina yang sedang memakaikan bajunya.“Kata Arlo, semalam kamu mimpi buruk sampai menangis. Apa benar?” tanya Alina memastikan apakah cerita putranya benar atau tidak.Anya terdiam. Dia menunduk tak menjawab pertanyaan Alina.Alina melihat ekspresi sedih di wajah Anya. Dia tidak bertanya lagi, tetapi memilih segera menyelesaikan membantu Anya memakai baju. Setelah itu dia juga menyisir rambut Anya.“Bagaimana kabar Mama?” tanya Anya.“Mama sudah baik. Hari ini kita ke sana untuk menjenguknya, ya.” Alina bicara ser