Bab 4: Menikahi Calon Iparku

“Aku tidak menyangka, kehidupanku akan sedramatis ini!"

Setelah mengucap ikrar dan menandatangani sejumlah dokumen pernikahan, Cal duduk seorang diri di bawa pohon rindang, sementara Al masih berkutat dengan pemberkasan di gedung catatan sipil.

Ia menatap jari manisnya, di mana cincin kawinnya dengan Al tersemat.

Seketika, Cal merasa hidupnya begitu dramatis. Takdir seolah berubah cepat, membuat dunianya jungkir balik.

Kini, usai menyandang gelar Nyonya Torres, perasaan dilema kembali dirasakannya. Namun ia pun tidak menampik jika ada secuil rasa bahagia di antara tumpukan perasaan bersalah itu.

“Kata orang tidak baik melamun di bawah pohon. Cepat pulang!”

Cal berjengit, kaget dengan kedatangan Al yang tidak diketahuinya.

“Aku kira seorang pengusaha hebat tidak percaya pada takhayul,” sarkas Cal. Wanita itu bangkit dari duduk seraya menatap sepasang iris biru safir milik Al. “Ah, satu lagi. Aku memang sudah berniat pulang. Hanya saja, aku mengalami sedikit masalah. Aku—"

Seolah tahu ke mana arah pembicaraan Cal yang kini kembali menundukkan pandangannya, Al berdecak, sebal.

“Kukira kamu pintar," sarkas Al, membalas perkataan Cal tadi. Pria itu memasukkan kedua tangannya ke kantong celana, "Tentu saja pulang ke rumahku." Al memberi jeda, sembari menatap ke arah cincin yang tersemat di jari Cal. "Maksudku, rumah kita. Bukankah kita sudah menikah?”

Setelahnya, pria itu melenggang pergi. Sedangkan Cal bergeming, memandangi punggung lebar yang perlahan menjauh selama beberapa detik sebelum akhirnya menyusul langkah tegap pria itu.

Bagaimanapun ia tinggal di negera orang lain, dan hanya Al satu-satunya orang yang bisa menampungnya, sebab ia telah dibuang keluarganya sendiri.

Namun, ketika mereka telah sampai di Mansion Torres, Cal seketika meragu. Rasa bersalah kembali ia rasakan.

Meski begitu, terlambat untuk Cal kabur dari rencana yang sudah ia setujui itu. Ditambah, ketika Al membuka pintu penumpang dan memintanya untuk turun dan ikut masuk.

“Tidak perlu takut. Kita tidak akan tinggal di sini, aku hanya mau ambil beberapa dokumen penting." Lagi, suara Al terdengar. Namun kali ini berhasil membuat Cal yang tengah gundah itu menjadi sedikit lebih tenang. "Ikuti aku, tidak baik jika kamu sendirian di sini."

Cal menggeleng spontan. “A-aku di sini saja, aku bukan anak kecil. Jadi, tidak perlu mengkhawatirkan aku."

Lelah membujuk Cal, Al pun langsung melenggang seorang diri.

Setelah kepergian pria itu, kepala Cal seketika berdenyut nyeri. Wanita itu mengusap wajahnya dengan kasar, serta menggeleng-gelengkan kepalanya ... Mencoba menjaga fokus pengelihatannya tetap baik.

Saat itulah, tiba-tiba satu tepukan keras mampir di bahunya, memaksa ia memutar tubuh.

Seorang wanita paruh baya dengan mata sembab terlihat dalam rangkulan tangan pria muda yang wajahnya sangat mirip Al.

Dialah adik bungsu Al, Galtero dan ibu pria itu. “Ck, murahan! Beraninya kamu menginjakkan kaki di sini? Dasar tidak tahu malu!"

Cal memaksakan senyumnya, berusaha tetap ramah meski rasa tidak nyaman mulai menerjang. “Aku menunggu—“

“Tidak bisakah kamu membiarkan mereka hidup bahagia?" timpal wanita paruh baya itu tampak menarik napas sebelum kembali melanjutkan, "Menjauhlah dari Al. Claira lebih membutuhkannya dibanding kamu.”

Mendengar ucapan dari ibu mertua, membuat hati Cal tersayat sembilu. Ia tahu Clair lebih meembutuhkan Al, tetapi semua ini juga bukan salahnya terbangun di atas ranjang yang sama dengan calon iparnya.

Mata ibu mertuanya itu menatap tajam ke arah jemari Cal yang kemudian membuat gadis itu menyembunyikan cincin kawinnya di balik tangannya yang lain.

“Aku harap kalian tidak menikah. Demi Clair, apa pun hubungan kalian, aku harap kamu bisa melepaskan Al secepatnya."

Wanita itu menarik tipis kedua sudut bibirnya, sebab lagi-lagi kalimat itu melukai hati Cal. Nasibnya sungguh malang, sudah diusir keluarga, sekarang keluarga suaminya pun menolak kehadirannya.

Dengan sisa keberanian yang ia miliki, sembari memintal jemarinya sendiri, Cal mencoba mejelaskan. “Tapi aku dan Al, kami—“

“Kami sudah menikah, jangan ganggu istriku." Kalimat itu terdengar tegas dari Al yang kini sudah menuruni anak tangga.

Secepat kilat, pria itu meraih pergelangan Cal dan menariknya dengan kuat, meninggalkan kediaman Torres.

Cal bisa merasakan pria itu tengah dikuasai amarah, dari langkahnya yang lebar dan cengkeramannya di tangan Cal yang begitu kuat. Bahkan Al menghempasnya sedikit kasar ke dalam mobil, wajah tampannya memancarkan aura dingin.

“Seharusnya kamu menuruti perkataanku, Cal!” cerca Al. Sebelum menutup pintu mobil pria itu berkata dengan datar, “Tidak bisakah kamu mengikuti kata-kata suamimu? Bagaimana kalau kamu pingsan lagi? Bukankah itu merepotkan?”

“Aku tidak selemah itu! Aku tidak pernah merepotkan siapa pun termasuk kamu!” sentak Cal, menggerak-gerakan mata menahan lelehan kristal bening yang sedari tadi ia tahan. “Dan jangan anggap dirimu sebagai suamiku sungguhan. Bukankah kita hanya menikah di atas kertas?” tanyanya dengan suara bergetar.

Al kemudian membanting pintu dan memutari mobil untuk masuk ke kursi kemudi dengan ekspresi yang menggelap.

Sepanjang perjalanan, keduanya ditemani sepi, baik Cal atau Al tidak mengeluarkan suara.

Cal sibuk dengan penyesalan menerima tawaran pernikahan dari Al yang ternyata membuat keluarga pria itu berkonflik. Sementara Al dengan kemarahan yang belum kunjung surut.

Setengah jam berlalu, keduanya tiba di rumah Al yang tadi disebutnya dengan 'rumah kita'. Rumah dengan pelataran yang luas serta rindang karena banyak ditumbuhi tanaman itu seolah kontras dengan raut wajah pengantin baru itu.

"Masuk!"

Dalam diam Cal membuntuti Al yang sudah berjalan lebih dulu. Wanita itu tidak banyak bicara, hanya sibuk berjalan sembari menggeret kopernya.

“Kamar kita ada di ujung lantai dua. Mulai sekarang kamu bisa menggunakannya! Anggap saja rumahmu sendiri.”

“Apa kamu juga tidur di sini?” Akhirnya Cal mengeluarkan suara. Ia menunjuk ke arah ranjang dan bertanya, “Apa kita akan berbagi kasur?”

“Menurutmu, suami istri macam apa yang tidur terpisah?" ujar Al penuh sarkasme. Pria itu menghadap Cal dengan memancarkan aura dominan dan berkata dingin, "Dengar Cal, aku pria normal yang membutuhkan sentuhan wanita. Dan aku juga menginginkan seorang anak dari istriku. Jadi, jangan coba-coba tidur di kamar lain!”

Setelahnya, pria itu meninggalkan kamar, membiarkan Cal tersenyum dengan getir.

'Sentuhan wanita?' Cal mengulang dua kata yang diucapkan Al dalam hati.

“Kamu pasti menyesal menikah denganku. Aku ....” Cal menghela napas kemudian menutup pintu kamar.