Dua hari berlalu, baik Al dan Cal seolah menganggap masalah kemarin telah selesai. Mereka sama-sama enggan membahas lebih lanjut, dan bersikap normal.“Ini ringkasan rapat pagi tadi,” Cal meletakkan tab di atas meja, tepatnya di depan Al.Pria itu manggut-manggut, menggeser setiap layar menggunakan jari telunjuk. Kemudian mengembalikannya pada Cal.Bersikap normal di sini tentu hanya berlaku untuk Cal. Sebab pada Al ... Pria itu jadi jauh lebih protektif paska mendapati Cal bersama pria lain. Di dalam gedung saja memerintah beberapa orang menguntit ke mana pun Cal melangkahkan kaki.Al khawatir, Lionel mendadak datang seperti waktu itu. Perusahan mereka sedang bekerja sama, hal itu praktis memungkinkan pimpinan dua perusahaan saling berkunjung, berdiskusi demi tercapainya target pasar.“Lalu apa jadwalku sore ini?” tanya Al sambil mengusap-usap dagu.“Kosong Pak,” jawab wanita itu, kemudian memutar tubuh, hendak kembali ke meja kerjanya.“Calantha?”Seketika Cal menghentikan langkah, s
Cal menatap lurus kembarannya. Sepintas Clair tampak sehat, walaupun tubuhnya lebih kurus. Setidaknya ia bersyukur karena saudarinya tidak tergolek di atas ranjang pasien.“Seharusnya kamu tidak ikut! Kehadiranmu tidak diinginkan, apalagi berani menghasut Al untuk menjauhi keluarganya,” tuduh Clair sambil maju mendekati adik kembarnya.Cal menggeleng cepat. “Aku tidak pernah—““Bibi Livy sakit karena setiap malam selalu mengadu padaku, merindukan anak sulungnya!” cerca Clair, satu sudut bibir bergerak ke atas. “Bibi dan Paman juga bilang tidak akan pernah menerimamu! Kasihan nasib adikku ditolak keluarga suaminya.”Jujur, mendengar kata-kata Clair, membuat Cal merasa terpojok pada sudut gelap dan dingin. Dari keberadaan saudarinya di kediaman ini saja membuktikan keluarga Al sangat menyayangi Clair“Malang sekali bukan? Makanya aku bilang, menghilanglah dari kami!” tandas wanita itu sambil bertolak pinggang. “Lihat sekarang, aku yakin tuan rumah tahu kedatanganmu, tapi tidak ada sambu
Seketika, Cal menghentikan ucapannya, sebab Al membungkam paksa bibirnya. Ciuman itu sedikit kasar dan terburu-buru. Wanita itu hanya bisa memukuli pria itu sekuat tenaga, meminta pria itu menghentikan aksinya. Setelah Al melepaskan ciumannya, Cal mendorong kuat pria itu, menatap sang suami dengan tatapan terluka. “Aku mau pulang!” ucapnya, sambil menyeka bibir. Al mengulurkan tangan, sungguh pria itu teramat menyebalkan di mata Cal. Ekor mata Cal melirik ke bawah, tangan suaminya tak tahu malu menautkan jemari mereka. Al melangkah tanpa memedulikan perasaan Cal yang remuk berkeping-keping. “Malam ini kita menginap di mansion.” Cal berusaha melepas tautan tangan, sayang semakin memberontak, Al menggenggamnya lebih erat. “Aku tidak mau! Ini bukan tempat untukku.” “Kata siapa? Kamu istriku. Orang tuaku adalah mertuamu, jadi kamu bebas berkunjung,” sanggah Al. Sebelah sudut bibir Cal berkedut. Pria itu terlalu memaksakan diri, sudah jelas pernikahan dadakan mereka ditentang o
Al mengetahui perasaan sang istri tidak baik-baik saja, maka dari itu, ia memutuskan segera membawa Cal pulang. Demi menghindari perdebatan, bahkan Al sengaja tidak berpamitan pada kedua orang tuanya. “Mau langsung tidur?” tanya Al setelah sampai di rumah, tanpa mengalihkan bola mata dari paras jelita sang istri, yang baru saja mencuci muka. “Ya, besok masih hari kerja, jadi aku—“ Cal tersentak, sebab Al merengkuh pinggangnya, merapat padu kedua tubuh. Bukannya nyaman berada sedekat ini, ia malah ingin terbebas mengingat bagaimana sang suami memperlakukan saudari kembarnya. “Hu’um, tidurlah, bukankah besok pagi kita ada rapat?” “Ya benar. Selamat malam Al.” Cal menggerakkan bahu dan lengan kanan, melepaskan diri dari suaminya. Wanita itu memutar tubuh, membelakangi Al. Satu sudut bibir Car berkedut samar, hampir saja ia meneteskan bulir bening, karena mengingat perlakuan tak menyenangkan yang diterimanya secara bertubi. Kemudian, Cal segera melangkah menuju ranjang, lalu berbari
‘Lain waktu tetaplah keras kepala membela diri! Jangan izinkan dunia memandang buruk padamu!’Kata-kata itu terngiang dalam benak Cal, setelah mendengar ucapan sang suami membuat perasaannya sedikit berubah. Namun, di sisi lain, bayang-bayang Clair membuat hidup Cal tidak nyaman, terbelenggu dalam jerat janji.“Calantha, kamu melamun?”Suara Al membuyarkan lamunan Cal. Wanita itu melihat isi troli, lalu mengembuskan napas panjang, bisa-bisanya tidak fokus di tempat umum.Selesai jam kantor, Al dan Cal bergegas mengunjungi toko bahan pangan. Cal memandangi betapa seriusnya Al memilah bahan-bahan makanan.“Kenapa memandangiku seperti itu? Aku memang tampan Cal,” ucap Al jumawa.“Kalau begitu aku harus melihat ke mana?” jawab Cal sembari mengedarkan pandangan.Al terbelalak mendapati Cal menatap seorang pramuniaga laki-laki. “Dilihat dari mana pun, suamimu lebih menarik dari orang itu, atau pria lainnya, Cal.”Tidak mau berlama-lama di pasar modern ini, Al segera memindai mandiri seluru
“Ternyata dia benar-benar pergi,” gumam Cal sembari menuruni anak tangga. Ia melangkah lebar menuju meja makan di samping dinding kaca yang menghadap ke arah taman. Cal menatap lurus ke luar. Kelopaknya mengedip-ngedip lalu mendongak, memindai seluruh interior rumah, sesuai dengan hunian impian di masa depan. Sederhana, dengan taman luas mengelilingi rumah. Wanita itu tersenyum simpul mendapati seorang pelayan menaruh sarapan di atas meja. Rasa penasarannya pun tidak tertahankan untuk bertanya keberadaan sang suami. “Apa dia menitipkan pesan?” Pelayan menunduk dalam, dan mengingat-ingat sebelum akhirnya berkata, “Tidak ada, Nyonya.” “Oh, begitu.” Cal mengangguk. “Terima kasih,” ucapnya pada pelayan. Batinnya berkata, ‘Apa yang kamu harapkan, Cal? Kamu mungkin tidak penting untuknya.’ Seusai menghabiskan makanan, wanita itu bergegas akan ke kantor. Akan tetapi, ia tercenung ketika membuka pintu rumah dan menemukan Xavi telah menunggunya sambil tersenyum sungkan. “Silakan Nyonya,
“Al, kamu ke sini?” tanya seorang wanita paruh baya, memicingkan mata menatap wajah cemas putranya.“Mom? Kenapa di luar?” Al melepas mantel, menyampirkan pada pundak sang ibu.Pagi-pagi sekali Al mendapatkan pesan, jika ibunya sejak semalam kesakitan, tetapi sekarang Livy kelihatan baik-baik saja. Setidaknya, Al jauh lebih tenang setelah mengetahui langsung daripada menunda kunjungan.“Tidak bisanya sepagi ini, ada apa? Lalu di mana istrimu?” Livy melongok kepala, sayangnya tidak menemukan siapa pun.“Cal di rumah, aku ke sini karena mencemaskan Mommy.”Pria itu memapah ibunya masuk ke dalam, mendudukkan di sofa besar. Ia mengedarkan pandangan ke penjuru mansion, Al mencari seseorang yang diyakini sebagai sumber huru-hara.“Di mana Clair?”“Ah, anak itu sibuk di dapur. Katanya sakit tapi memaksakan diri memasak. Katakan padanya untuk menjaga kesehatan!” tukas Livy.Al mengangguk paham, lantas menghampiri Clair di dapur bersih. Kembaran sang istri tampak sibuk memegang sutil dan panci
Setelah mengatakan kalimat tadi, Al kembali menyerang Cal dengan ciuman dalam.Kali ini, ciuman itu lebih menuntut. Cal bahkan sedikit kewalahan mengimbangi pria itu.Saat akhirnya pria itu memberi jeda, ia berbisik parau, “Calantha … aku menginginkanmu, sebagai wanitaku, istri—“Ucapan Al terhenti sebab wajah tegas Cal berubah gelisah, titik-titik keringat mulai bermunculan menghiasi dahi. Al meletakkan tangannya di pipi Cal, tetapi wanita itu menepis dengan kuat.“Lepaskan! Pergi!” Kedua mata Cal terpejam rapat, tangannya memukul dada bidang pria di atasnya.“Hey, Calantha tenanglah, buka matamu! Aku Al!”Cal mendorong dengan kuat tubuh kekar Al, lalu menendang perut. Sigap, ia duduk, langsung meraih bantal, menutupi area dadanya.“Brengsek! Pria kurang ajar!” sentaknya.Tubuh Cal gemetaran, kedua matanya terpejam, napasnya terputus-putus, sebab benaknya dipenuhi bayang-bayang pria bejat yang menggagahinya secara paksa.“Calantha?” Perlahan, Al mendekat, merangkul pundak sang istri,
“Selamat Tuan Hofer, bayinya lahir dengan sehat.” Dokter mengulurkan tangan kanan sambil tersenyum lebar. Liam berkaca-kaca mendengar kabar menggembirakan. Ia gegas menghubungi ibunya dan beberapa kerabat terdekat untuk menjenguk anggota keluarga baru. Setelah itu Liam memasuki ruang pemulihan. Ia melihat dua bayi menelungkup di atas dada sang istri. “Claira ….” Liam sesenggukan. Ia mengekspresikan diri karena memiliki buah cinta dari gadis pujaannya di masa sekolah. Bahkan tangan Liam tidak sanggup menyentuh kulit tipis nan lembut miliik bayinya. “Kamu memiliki dua anak laki-laki.” Claira tersenyum merekah melihat dua bayi itu sibuk mencari puncak nutrisi. “Kita. Kita memiliki dua putra. Dan kamu satu-satunya perempuan cantik diantara kami.” Liam setengah tertawa dan menangis ketika mengatakannya. Sedangkan Claira tergelak membuat kedua bayi di atas tubuhnya terkejut lalu merengek. Pasangan itu saling menatap satu sama lain kemudian tertawa bersama-sama melihat tingkah mengge
“Hamil?” Clair tercengang. Reaksi pasangan itu sangat berbanding terbalik. Liam selalu menebar senyum bahkan berbagi kebahagiaan bersama pegawai rumah sakit. Ia mentraktir makan. Sedangkan Clair tampak terpukul.“Istriku kenapa sedih? Seharusnya kamu senang.” Liam merangkul bahu Claira.Wanita itu menunduk menatap perutnya. “Kenapa aku bisa hamil? Liam aku … belum siap menjadi ibu.”Seketika senyum manis di wajah Liam menghilang. Kini pria bermata sipit itu mengetahui Claira enggan mengandung anaknya.“Kita sudah menikah, bercinta dan melakukan berulang kali. Kita tidak menunda kehamilan. Jadi … kamu menolak?” tanya Liam dengan perasaan kecewa.Clair tersadar dari pikirannya. Ia menatap wajah sendu sang suami. Kedua tangan mulus wanita itu menangkup pipi Liam.“Maksudnya bukan begitu. Liam … aku ini seorang pendosa. A-aku tidak menyangka hamil dalam waktu dekat. A-aku juga … merasa bukan ibu yang baik.” Claira melepaskan tangan dari rahang Liam lalu menunduk dalam.Liam tersenyum kec
“Aku bingung bagaimana cara mengatakannya,” gumam Claira. Raut wajah wanita itu terlihat sedih.Calantha mengernyit dan menopang dagunya. [Maksudmu?] “Aku ingin pindah rumah, tapi ibu mertuaku melarang. Alasannya kesepian, karena sebelumnya Liam sibuk bekerja.” Claira cemberut. “Kami tidak punya waktu berdua.” Calantha manggut-manggut. Ia mengerti keinginan kakak kembarnya. Istri Alessandro Javier itu tersenyum penuh arti lantas mendekatkan kepala dengan layar ponsel.[Bilang saja langsung kalau kamu ingin pacaran bersama Liam.] Calantha menaik-turunkan alisnya.“Mana bisa seperti itu!” sentak Claira.Setelah satu bulan tinggal di rumah mertua, Claira kehilangan figure Liam. Pria itu lebih sering pulang malam dan pergi pagi-pagi sekali. Bahkan satu minggu ini keduanya tidak berhubungan intim.Claira mengakhiri panggilan video bersama Cal. Ia bergegas menemui ibu mertua di lantai satu. Ia melihat wanita paruh baya itu sedang kesulitan berjalan. Buru-buru Clair membantu.“Hati-hati B
Malam pertama yang seharusnya berujung menyenangkan dengan suasana romantis, justru sebaliknya. Kini, vila pribadi Keluarga Hofer dikunjungi dokter serta perawat yang mengobati Liam. Pria itu mendadak demam paska berenang.“Bagaimana kondisinya? Perlu dirawat inap?” berondong Clair kepada dokter. Ia memperhatikan wajah pucat sang suami.Sedangkan Liam menahan malu sekaligus gundah. Pria itu merasa bersalah gagal menjadi sosok suami idaman bagi pujaan hati. Dokter berkata dengan cemas, “Demamnya cukup tinggi mencapai empat puluh derajat. Tapi Tuan Liam menolak.”Clair mendengus, lantas berjalan mendekati suaminya yang sedang berbaring tidak berdaya.“Kamu masih mau hidup?” tegas wanita itu membuat mata sipit Liam membelalak.Clair bertolak pinggang dan menatap tajam suaminya. “Kita baru menikah satu hari, kamu mau menjadikan aku janda?” Liam meneguk saliva dan menggeleng pelan. Ia tahu istrinya memang galak, tetapi tidak menyangka mulut Claira sangatlah tajam.“Jangan bilang begitu.
Satu tahun berlalu sangat cepat, kesabaran Liam membuahkan hasil. Pagi ini, Liam dan Claira telah resmi menjadi sepasang suami istri. Keduanya sedang menandatangani akta pernikahan. Calantha bersama keempat anaknya duduk di kursi paling depan. Ia menangis haru karena Clair mendapatkan belahan jiwa. Ia juga tahu Clair belum sepenuhnya melupakan Alessandro. Wanita itu beranjak mendekati kembarannya. “Haruskah aku memanggilmu Nyonya Hofer?” goda Calantha. Liam menyambar, “Tentu saja! Dia istriku, dan kamu harus memanggilku kakak meskipun kita seumuran.” Tawa pria itu. Tiba-tiba Alessandro memukul kepala Liam. Ia berkata dengan tegas, “Tidak boleh memanggil kakak! Panggil nama saja.” Seketika altar pernikahan dihiasi gelak tawa dari semua orang. Mereka melihat kedekatan putri Caldwell dan kekompakan para menantu. “Sudah seharusnya aku patuh kepada yang lebih dewasa.” Liam menyengir, menjadikan mata sipitnya tak terlihat. Alessandro memelotot karena secara tidak langsung Liam menge
Claira melempar kerikil kecil ke sembarang arah. Pikiran gadis itu dilanda gundah gulana. Ia ketakutan Alessandro memberitahu keluarga besarnya tentang sebuah kebenaran. Clair menelan ludah. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Calantha mengetahui kenangan bersama Al diambil alih olehnya.Ketika wanita itu melepar kerikil cukup besar, seseorang memekik. “Aw!”“Ya ampun!” Claira sigap menghampiri sumber suara. Ia ternganga mendapati Liam sedang mengelus kening.Sialnya, kening pria tampan itu berubah merah.“Liam, maaf. Aku tidak bermaksud—““Apa yang kamu pikirkan?” Liam meringis karena lemparan Clair sangat bertenaga.“Tidak ada!” tegas Clair. Ia tersenyum kaku.Padahal Liam sengaja meluangkan waktu setelah berminggu-minggu demi Clair. Pria itu tahu calon istrinya sedang gelisah. Hanya saja Liam pandai menutupi rahasia. Ia tidak mau ikut campur, cukup membeberkannya kepada Alessandro.Liam juga tahu Alessandro berniat mengubur masalah ini. Clair menoleh kepada Lia
“Bodoh!” teriak Alessandro di tengah hutan. Pria itu mengepalkan tangan dengan kuat hingga bagian telapak sakit dan urat-urat pada lengan menonjol. Ia memukuli udara yang tidak bersalah. Kemudian Alessandro terjatuh dengan posisi kedua lutut di atas tanah lembab.Alessandro kian tercabik ketika memeriksa ponsel dan mendapati istrinya sedang menelepon. Ia tidak kuasa menerima panggilan suara. Pria itu tenggelam jauh bersama perasaannya saat ini.Beberapa jam kemudian, Alessandro berhasil menguasai rasa sakit dalam dada. Ia bergegas menemui Claira di Mansion Caldwell. Karena hubungan sudah membaik, kedatangan Alessandro disambut oleh para pelayan. “Di mana Nona Muda Clair?”Pelayan menunduk. “Nona di perpustakaan, Tuan.” Alessandro langsung menghampiri iparnya.Claira terkejut karena sebelumnya Al tidak membuat janji. Sekarang pria itu datang dengan ekspresi dingin dan aura mencekam seketika menyelimuti ruangan.“Hi Al. A-ada a-apa?” gugup Claira. Perasaan sebagai wanita sangat peka,
Alessandro mendengus sebal lantaran Liam menguasai keempat anaknya. Sebagai ayah, ia hanya bisa mengawasi dari jarak jauh. Al juga tidak bisa berbuat apa-apa selain mengamati, sebab Calantha telah memberi izin. Liam mengambil banyak swafoto bersama ABCD. Pria itu tersenyum kecil melihat hasil jepretan kamera. Liam mengirim pesan teks dan gambar dirinya bersama Anaya kepada Clair. “Anaya semakin lucu.” Ketika Liam masih tersenyum sendirian, Alessandro berdiri tepat di belakang pria itu. “Ide brilian menggunakan anakku sebagai alibi menggoda wanita.” Alessandro langsung mengambil alih keempat bayinya. Ia tidak suka wajah polos bayinya dimanfaatkan oleh Liam. ** Satu minggu ini Liam rajin mengunjungi kediaman Alessandro. Pria itu membawa beraneka buah tangan untuk Calantha dan empat bayinya, tidak ketinggalan Liam menemani Al bermain catur. Semua dilakukan sebagai permohonan maaf. “Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Claira?” Wajah Alessandro tampak serius memandang papan
“Ajari aku caranya.” Clair menunjuk popok dan pakaian bayi. Seketika Calantha dan Lorraine menoleh ke arah wanita itu. Kening kedua ibu muda mengerut karena tidak biasanya seorang gadis belajar merawat bayi.“Kalian tidak perlu menatapku seperti itu. A-aku mau tau bagaimana melakukannya.” Clair menelan ludah karena gugup diperhatikan oleh dua pasang mata.Lorraine mengalihkan pandangan kepada Calantha untuk meminta izin. Istri kesayangan Alessandro Javier itu mengangguk. Jujur, perasaan Cal campur aduk. Ia takut kakaknya ini kelak mencari simpati di depan Al. Sungguh Calantha tidak mau rumah tangganya hancur. Apalagi sekarang keempat anak sangat membutuhkan orang tua utuh.Saat mengganti popok Anaya, wajah Claira berseri-seri. Gadis itu teringat ketika Liam mempertanyakan kesiapannya menjadi seorang ibu. Namun, waktu itu Claira diam saja karena malu. Sekarang hatinya bersorak riang.**Dua hari kemudian, Liam mengantar Clair ke bandar udara. Gadis itu harus pulang ke Zurich karena b