Setelah percakapan emosional tempo hari, rupanya Al tidak mundur dari tekadnya. Di hari minggu, ketika Cal menuruni anak tangga menuju lantai satu, ia melihat Al sedang berbincang bersama seorang wanita berpakaian formal.‘Siapa wanita itu?’ tanya Cal dalam hati.“Calantha, perkenalkan ini temanku, seorang psikolog di—“Kalimat Al tertahan di rongga mulut, pasalnya Cal tiba-tiba mengulurkan tangan pada seorang wanita yang disebut sebagai psikolog. Sebagai sambutan, senyum manis terukir lebar pada bibir tipis Cal.“Hi, aku Calantha Caldwell.”“Salam kenal Nyonya, saya Judit.”“Calantha, tolong temani tamuku,” ujar Al kemudian melenggang pergi entah ke mana.Pria itu sengaja memberi ruang dan waktu supaya Cal mengenal tamu undangannya. Selain itu, besar harapan Al agar sang istri mencoba berkonsultasi, untuk menghilang trauma di masa lalu.Namun, pada kenyataannya, hingga beberapa jam berlalu, Al tidak memperoleh hasil apa pun. Menurut laporan psikolog, Cal memang asyik diajak berbincan
“Al kenapa bajumu basah?” “Kalian bermain air? Ck, seperti anak kecil!” Dua pertanyaan itu meluncur dari mulut berbeda. Sesaat Al melirik Cal di atas sana, kemudian menggeser pandangan pada tiga wanita di hadapannya. Seorang pelayan , tampak menundukkan kepala, melaporkan kedatangan dua orang tamu; ibu dan mantan tunangan. “Cepat bersihkan tubuhmu! Mom tunggu di sini,” ujar Livy mengibaskan tangan pada Al, sekaligus merasa lucu dengan tingkah pasangan itu. “Ok, Mom, tunggu di sini, aku dan Cal tidak akan lama,” balas Al, kemudian melangkah lebar menyusul sang istri yang mematung di depan pintu kamar. “Jangan lama-lama Al, aku mau bicara empat mata denganmu!” pinta Clair setengah berteriak. Sedangkan di lantai dua, Al langsung mengisi sela jemari Cal dengan jari-jarinya, lalu masuk ke kamar, tidak memedulikan mendapat tatapan sinis dari seorang wanita yang melihatnya. “Kamu mandi duluan!” Cal menarik tangannya. Namun, pria itu malah membawa Cal ke kamar mandi, tidak menghirauka
Al dan Clair telah pergi. Tinggallah Cal dengan rasa penatnya.Untuk mengusir semua itu, Cal pun memutuskan untuk mengunjungi WellCoffee. “Terima kasih,” ucapnya pada seorang pramusaji yang baru saja menaruh secangkir café con miel, varian kopi dibuat dari campuran espresso, madu, susu serta taburan kayu manis.Ketika jemari lentiknya hendak meraih gagang cangkir, lagi, Cal tersentak mendapati seorang pria duduk di hadapannya.Pria itu segera menukar minuman kopi dengan segelas jus buah segar. Membuat suasana hati Cal bertambah buruk dengan sosok teman tak diundang.“Rupanya selain pembalap dan pengusaha kamu juga penguntit,” cemooh bibir tipis nan seksi itu.“Dan kamu selalu minum kopi di waktu sedih, bukankah itu memperburuk keadaan?” Lionel meneguk kopi milik Cal. “Aku pikir kamu pulang.”Alis Cal terangkat, matanya menatap tajam pada lawan bicara. Ia menganggap Lionel sedang meledek, sudah jelas keberadaannya di negeri ini karena dibuang, mana mungkin kembali ke Mansion Caldwell.
“Ada apa Lionel?” tanya Cal karena mantan kekasihnya itu menatap sekitar. “Oh tidak, mungkin itu penggemar beratmu.” Lionel menunjuk satu unit mobil terparkir tepat di halaman rumah. Pagi-pagi sekali Cal ditemani Lionel bergegas ke bandara, meskipun jadwal keberangkatan masih cukup lama. Wanita itu juga terpaksa mengizinkan mantan kekasihnya mengekor, pikiran Cal saat ini hanya tertuju pada sang ibu.Sepanjang perjalanan menuju bandara, berulang kali Lionel menolehkan kepala, melihat kendaraan yang melaju tepat di belakang. Pria itu berusaha tetap tenang kendati kegelisahannya tampak nyata.Cal turut melihat ke belakang, ia mengenali pengemudi serta pemilik mobil itu. Sejenak, ia sempat terdiam, kepalanya mendadak mengingat Al.Lionel menepuk pelan bahu. “Cal, kamu baik-baik saja?”“Hu’um, tentu. Mobil di belakang itu … tidak apa-apa biarkan saja!”Akan tetapi, kalimat yang dilontarkan Cal berbeda dengan relung hatinya. Wanita itu membuka tas ransel, lantas memeriksa sesuatu, ia gam
Sesampainya di rumah sakit, Al dan Cal gegas menuju ruang rawat inap. Namun, keduanya tidak diizinkan masuk oleh para pria berpakaian hitam. “Aku Calantha ….” Bibir berwarna nude itu bergetar, netra abu-abu Cal menatap penuh permohonan. “Ibuku … di dalam sana, aku ingin menjenguknya,” lirihnya. “Maaf Nona, ini perintah langsung dari Ayah Anda, Tuan Arjuna Caldwell.” Cal geleng-geleng kepala, menolak kenyataan bahwa sang ayah yang memberi perintah pada paraa pengawal. Ia menjulurkan dua tangan, mencengkeram kerah jas seorang pria berbadan besar. “Aku mohon, izinkan aku melihatnya, se-bentar sa-ja,” pinta wanita itu dengan suara serak. “Kami minta maaf, sebaiknya Nona segera pergi dari sini!” Cal tersenyum ironi, bahkan tubuhnya mendadak melemas diperlakukan secara tidak adil. Sedangkan Al langsung merangkul pundak Cal, sambil menatap tajam pada belasan pria di hadapannya. Al menggeram. “Tuanmu membenciku, biarkan Calantha masuk! Dia memiliki hak mengetahui kondisi ibunya!” “T
Setengah jam sebelumnya.Di ujung selasar, Al mengepalkan tangan di sisi tubuh, mata elangnya mengawasi Cal yang semakin menjauh bersama Lionel. Sebagai pria tentu saja tempramennya sangat buruk. Pria itu melampiaskannya pada dinding bercat putih yang tidak bersalah. Hingga mengundang dua petugas keamanan rumah sakit berdatangan.“Tolong tinggalkan kami! Dia tamuku,” kata seorang wanita bersuara lembut. Seketika petugas membungkuk hormat dan menjauh dari area rawat inap presidential suite. Al menatap senyum lebar menghiasi wajah cantik mantan tunangannya. “Clair? Kenapa tidak istirahat di mansion?”“Aku mengkhawatirkan Ibu. Lagi pula aku tidak bisa tidur tenang di mansion.” Clair mendekat dan mengulurkan tangan. “Wajahmu lebam, ini semua ulah Ayah, benar ‘kan?”Al menggeleng, mana mungkin mengatakan kejadian sebenarnya. Ia juga enggan merusak citra baik seorang ayah di depan putrinya.“Ayo Al, aku obati! Atau kita ke IGD!” Paksa kembaran Calantha itu.Al menolak, menganggap memar
Tidak jauh dari hotel terdapat apotek, sehingga Cal membeli beberapa obat pereda nyeri.Setelah kembali ke kamar hotel, ia bergegas mengompres lebam di punggung Al. Berulang kali pria itu menegakkan dan mengangkat bahu, memperlihatkan betapa sakitnya luka itu.“Tahan sebentar!” titah bibir tipis.“Seharusnya kamu memanjakan suami bukan memukul dan mencakar punggungku,” balas Al sembari memejamkan mata, lalu memekik kesakitan, “Argh, Calantha!”Meskipun penasaran, Cal enggan bertanya, perasaannya masih campur aduk lantaran peristiwa hari ini. Hati-hati Cal menggunakan jemarinya untuk mengolesi salep. “Anggap saja itu hukuman!” ketus Cal.Selesai mengobati punggung, ia segera beranjak dari tepi ranjang, merapikan salep serta alat kompres di atas meja. Sedangkan Al kebingungan, lantaran wajah lebamnya sama sekali tidak dihiraukan.“Wajahku?!” protes pria itu, sayang Cal memilih menulikan telinga.Ketika Cal sibuk
‘Dia selalu menempatkan aku di posisi sulit!’ Cal membatin.Pagi ini keduanya berada dalam taksi, menuju rumah sakit.Sesekali Cal melirik ke samping, memperhatikan wajah tampan yang berseri-seri. Alih-alih terpesona, justru ia sedang beripikir keras, mencari cara untuk menggagalkan rencana Al berkonsultasi dengan dokter kandungan. Cal berharap semesta berpihak padanya.“Sedang berusaha untuk kabur?” celetuk pria itu tiba-tiba membuat Cal menoleh.Wajah cantik Cal menekuk, pandangannya menunduk terarah ke samping tubuhnya, lalu berkata dengan tegas, “Bagaimana bisa kabur? Lihat saja!” Al melirik sekilas, bersikap tak acuh. Lagi pula ia sengaja mengikat pergelangan tangannya dengan Cal menggunakan dasi.Setelah cukup lama terdiam. Akhirnya pria itu bersuara lembut. “Itu sebabnya aku ingin kita segera memiliki anak.”Sesaat, Cal tercenung, ia menoleh dan memindai wajah tegas Al. Pria itu kelihatan serius serta penuh harap. Seketika, Cal merasa rongga dadanya tertimpa batu besar, ia bur
“Selamat Tuan Hofer, bayinya lahir dengan sehat.” Dokter mengulurkan tangan kanan sambil tersenyum lebar. Liam berkaca-kaca mendengar kabar menggembirakan. Ia gegas menghubungi ibunya dan beberapa kerabat terdekat untuk menjenguk anggota keluarga baru. Setelah itu Liam memasuki ruang pemulihan. Ia melihat dua bayi menelungkup di atas dada sang istri. “Claira ….” Liam sesenggukan. Ia mengekspresikan diri karena memiliki buah cinta dari gadis pujaannya di masa sekolah. Bahkan tangan Liam tidak sanggup menyentuh kulit tipis nan lembut miliik bayinya. “Kamu memiliki dua anak laki-laki.” Claira tersenyum merekah melihat dua bayi itu sibuk mencari puncak nutrisi. “Kita. Kita memiliki dua putra. Dan kamu satu-satunya perempuan cantik diantara kami.” Liam setengah tertawa dan menangis ketika mengatakannya. Sedangkan Claira tergelak membuat kedua bayi di atas tubuhnya terkejut lalu merengek. Pasangan itu saling menatap satu sama lain kemudian tertawa bersama-sama melihat tingkah mengge
“Hamil?” Clair tercengang. Reaksi pasangan itu sangat berbanding terbalik. Liam selalu menebar senyum bahkan berbagi kebahagiaan bersama pegawai rumah sakit. Ia mentraktir makan. Sedangkan Clair tampak terpukul.“Istriku kenapa sedih? Seharusnya kamu senang.” Liam merangkul bahu Claira.Wanita itu menunduk menatap perutnya. “Kenapa aku bisa hamil? Liam aku … belum siap menjadi ibu.”Seketika senyum manis di wajah Liam menghilang. Kini pria bermata sipit itu mengetahui Claira enggan mengandung anaknya.“Kita sudah menikah, bercinta dan melakukan berulang kali. Kita tidak menunda kehamilan. Jadi … kamu menolak?” tanya Liam dengan perasaan kecewa.Clair tersadar dari pikirannya. Ia menatap wajah sendu sang suami. Kedua tangan mulus wanita itu menangkup pipi Liam.“Maksudnya bukan begitu. Liam … aku ini seorang pendosa. A-aku tidak menyangka hamil dalam waktu dekat. A-aku juga … merasa bukan ibu yang baik.” Claira melepaskan tangan dari rahang Liam lalu menunduk dalam.Liam tersenyum kec
“Aku bingung bagaimana cara mengatakannya,” gumam Claira. Raut wajah wanita itu terlihat sedih.Calantha mengernyit dan menopang dagunya. [Maksudmu?] “Aku ingin pindah rumah, tapi ibu mertuaku melarang. Alasannya kesepian, karena sebelumnya Liam sibuk bekerja.” Claira cemberut. “Kami tidak punya waktu berdua.” Calantha manggut-manggut. Ia mengerti keinginan kakak kembarnya. Istri Alessandro Javier itu tersenyum penuh arti lantas mendekatkan kepala dengan layar ponsel.[Bilang saja langsung kalau kamu ingin pacaran bersama Liam.] Calantha menaik-turunkan alisnya.“Mana bisa seperti itu!” sentak Claira.Setelah satu bulan tinggal di rumah mertua, Claira kehilangan figure Liam. Pria itu lebih sering pulang malam dan pergi pagi-pagi sekali. Bahkan satu minggu ini keduanya tidak berhubungan intim.Claira mengakhiri panggilan video bersama Cal. Ia bergegas menemui ibu mertua di lantai satu. Ia melihat wanita paruh baya itu sedang kesulitan berjalan. Buru-buru Clair membantu.“Hati-hati B
Malam pertama yang seharusnya berujung menyenangkan dengan suasana romantis, justru sebaliknya. Kini, vila pribadi Keluarga Hofer dikunjungi dokter serta perawat yang mengobati Liam. Pria itu mendadak demam paska berenang.“Bagaimana kondisinya? Perlu dirawat inap?” berondong Clair kepada dokter. Ia memperhatikan wajah pucat sang suami.Sedangkan Liam menahan malu sekaligus gundah. Pria itu merasa bersalah gagal menjadi sosok suami idaman bagi pujaan hati. Dokter berkata dengan cemas, “Demamnya cukup tinggi mencapai empat puluh derajat. Tapi Tuan Liam menolak.”Clair mendengus, lantas berjalan mendekati suaminya yang sedang berbaring tidak berdaya.“Kamu masih mau hidup?” tegas wanita itu membuat mata sipit Liam membelalak.Clair bertolak pinggang dan menatap tajam suaminya. “Kita baru menikah satu hari, kamu mau menjadikan aku janda?” Liam meneguk saliva dan menggeleng pelan. Ia tahu istrinya memang galak, tetapi tidak menyangka mulut Claira sangatlah tajam.“Jangan bilang begitu.
Satu tahun berlalu sangat cepat, kesabaran Liam membuahkan hasil. Pagi ini, Liam dan Claira telah resmi menjadi sepasang suami istri. Keduanya sedang menandatangani akta pernikahan. Calantha bersama keempat anaknya duduk di kursi paling depan. Ia menangis haru karena Clair mendapatkan belahan jiwa. Ia juga tahu Clair belum sepenuhnya melupakan Alessandro. Wanita itu beranjak mendekati kembarannya. “Haruskah aku memanggilmu Nyonya Hofer?” goda Calantha. Liam menyambar, “Tentu saja! Dia istriku, dan kamu harus memanggilku kakak meskipun kita seumuran.” Tawa pria itu. Tiba-tiba Alessandro memukul kepala Liam. Ia berkata dengan tegas, “Tidak boleh memanggil kakak! Panggil nama saja.” Seketika altar pernikahan dihiasi gelak tawa dari semua orang. Mereka melihat kedekatan putri Caldwell dan kekompakan para menantu. “Sudah seharusnya aku patuh kepada yang lebih dewasa.” Liam menyengir, menjadikan mata sipitnya tak terlihat. Alessandro memelotot karena secara tidak langsung Liam menge
Claira melempar kerikil kecil ke sembarang arah. Pikiran gadis itu dilanda gundah gulana. Ia ketakutan Alessandro memberitahu keluarga besarnya tentang sebuah kebenaran. Clair menelan ludah. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Calantha mengetahui kenangan bersama Al diambil alih olehnya.Ketika wanita itu melepar kerikil cukup besar, seseorang memekik. “Aw!”“Ya ampun!” Claira sigap menghampiri sumber suara. Ia ternganga mendapati Liam sedang mengelus kening.Sialnya, kening pria tampan itu berubah merah.“Liam, maaf. Aku tidak bermaksud—““Apa yang kamu pikirkan?” Liam meringis karena lemparan Clair sangat bertenaga.“Tidak ada!” tegas Clair. Ia tersenyum kaku.Padahal Liam sengaja meluangkan waktu setelah berminggu-minggu demi Clair. Pria itu tahu calon istrinya sedang gelisah. Hanya saja Liam pandai menutupi rahasia. Ia tidak mau ikut campur, cukup membeberkannya kepada Alessandro.Liam juga tahu Alessandro berniat mengubur masalah ini. Clair menoleh kepada Lia
“Bodoh!” teriak Alessandro di tengah hutan. Pria itu mengepalkan tangan dengan kuat hingga bagian telapak sakit dan urat-urat pada lengan menonjol. Ia memukuli udara yang tidak bersalah. Kemudian Alessandro terjatuh dengan posisi kedua lutut di atas tanah lembab.Alessandro kian tercabik ketika memeriksa ponsel dan mendapati istrinya sedang menelepon. Ia tidak kuasa menerima panggilan suara. Pria itu tenggelam jauh bersama perasaannya saat ini.Beberapa jam kemudian, Alessandro berhasil menguasai rasa sakit dalam dada. Ia bergegas menemui Claira di Mansion Caldwell. Karena hubungan sudah membaik, kedatangan Alessandro disambut oleh para pelayan. “Di mana Nona Muda Clair?”Pelayan menunduk. “Nona di perpustakaan, Tuan.” Alessandro langsung menghampiri iparnya.Claira terkejut karena sebelumnya Al tidak membuat janji. Sekarang pria itu datang dengan ekspresi dingin dan aura mencekam seketika menyelimuti ruangan.“Hi Al. A-ada a-apa?” gugup Claira. Perasaan sebagai wanita sangat peka,
Alessandro mendengus sebal lantaran Liam menguasai keempat anaknya. Sebagai ayah, ia hanya bisa mengawasi dari jarak jauh. Al juga tidak bisa berbuat apa-apa selain mengamati, sebab Calantha telah memberi izin. Liam mengambil banyak swafoto bersama ABCD. Pria itu tersenyum kecil melihat hasil jepretan kamera. Liam mengirim pesan teks dan gambar dirinya bersama Anaya kepada Clair. “Anaya semakin lucu.” Ketika Liam masih tersenyum sendirian, Alessandro berdiri tepat di belakang pria itu. “Ide brilian menggunakan anakku sebagai alibi menggoda wanita.” Alessandro langsung mengambil alih keempat bayinya. Ia tidak suka wajah polos bayinya dimanfaatkan oleh Liam. ** Satu minggu ini Liam rajin mengunjungi kediaman Alessandro. Pria itu membawa beraneka buah tangan untuk Calantha dan empat bayinya, tidak ketinggalan Liam menemani Al bermain catur. Semua dilakukan sebagai permohonan maaf. “Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Claira?” Wajah Alessandro tampak serius memandang papan
“Ajari aku caranya.” Clair menunjuk popok dan pakaian bayi. Seketika Calantha dan Lorraine menoleh ke arah wanita itu. Kening kedua ibu muda mengerut karena tidak biasanya seorang gadis belajar merawat bayi.“Kalian tidak perlu menatapku seperti itu. A-aku mau tau bagaimana melakukannya.” Clair menelan ludah karena gugup diperhatikan oleh dua pasang mata.Lorraine mengalihkan pandangan kepada Calantha untuk meminta izin. Istri kesayangan Alessandro Javier itu mengangguk. Jujur, perasaan Cal campur aduk. Ia takut kakaknya ini kelak mencari simpati di depan Al. Sungguh Calantha tidak mau rumah tangganya hancur. Apalagi sekarang keempat anak sangat membutuhkan orang tua utuh.Saat mengganti popok Anaya, wajah Claira berseri-seri. Gadis itu teringat ketika Liam mempertanyakan kesiapannya menjadi seorang ibu. Namun, waktu itu Claira diam saja karena malu. Sekarang hatinya bersorak riang.**Dua hari kemudian, Liam mengantar Clair ke bandar udara. Gadis itu harus pulang ke Zurich karena b