Selamat hari minggu Kak. Kok belum ada komentarnya ya ಥ‿ಥ
Setengah jam sebelumnya.Di ujung selasar, Al mengepalkan tangan di sisi tubuh, mata elangnya mengawasi Cal yang semakin menjauh bersama Lionel. Sebagai pria tentu saja tempramennya sangat buruk. Pria itu melampiaskannya pada dinding bercat putih yang tidak bersalah. Hingga mengundang dua petugas keamanan rumah sakit berdatangan.“Tolong tinggalkan kami! Dia tamuku,” kata seorang wanita bersuara lembut. Seketika petugas membungkuk hormat dan menjauh dari area rawat inap presidential suite. Al menatap senyum lebar menghiasi wajah cantik mantan tunangannya. “Clair? Kenapa tidak istirahat di mansion?”“Aku mengkhawatirkan Ibu. Lagi pula aku tidak bisa tidur tenang di mansion.” Clair mendekat dan mengulurkan tangan. “Wajahmu lebam, ini semua ulah Ayah, benar ‘kan?”Al menggeleng, mana mungkin mengatakan kejadian sebenarnya. Ia juga enggan merusak citra baik seorang ayah di depan putrinya.“Ayo Al, aku obati! Atau kita ke IGD!” Paksa kembaran Calantha itu.Al menolak, menganggap memar
Tidak jauh dari hotel terdapat apotek, sehingga Cal membeli beberapa obat pereda nyeri.Setelah kembali ke kamar hotel, ia bergegas mengompres lebam di punggung Al. Berulang kali pria itu menegakkan dan mengangkat bahu, memperlihatkan betapa sakitnya luka itu.“Tahan sebentar!” titah bibir tipis.“Seharusnya kamu memanjakan suami bukan memukul dan mencakar punggungku,” balas Al sembari memejamkan mata, lalu memekik kesakitan, “Argh, Calantha!”Meskipun penasaran, Cal enggan bertanya, perasaannya masih campur aduk lantaran peristiwa hari ini. Hati-hati Cal menggunakan jemarinya untuk mengolesi salep. “Anggap saja itu hukuman!” ketus Cal.Selesai mengobati punggung, ia segera beranjak dari tepi ranjang, merapikan salep serta alat kompres di atas meja. Sedangkan Al kebingungan, lantaran wajah lebamnya sama sekali tidak dihiraukan.“Wajahku?!” protes pria itu, sayang Cal memilih menulikan telinga.Ketika Cal sibuk
‘Dia selalu menempatkan aku di posisi sulit!’ Cal membatin.Pagi ini keduanya berada dalam taksi, menuju rumah sakit.Sesekali Cal melirik ke samping, memperhatikan wajah tampan yang berseri-seri. Alih-alih terpesona, justru ia sedang beripikir keras, mencari cara untuk menggagalkan rencana Al berkonsultasi dengan dokter kandungan. Cal berharap semesta berpihak padanya.“Sedang berusaha untuk kabur?” celetuk pria itu tiba-tiba membuat Cal menoleh.Wajah cantik Cal menekuk, pandangannya menunduk terarah ke samping tubuhnya, lalu berkata dengan tegas, “Bagaimana bisa kabur? Lihat saja!” Al melirik sekilas, bersikap tak acuh. Lagi pula ia sengaja mengikat pergelangan tangannya dengan Cal menggunakan dasi.Setelah cukup lama terdiam. Akhirnya pria itu bersuara lembut. “Itu sebabnya aku ingin kita segera memiliki anak.”Sesaat, Cal tercenung, ia menoleh dan memindai wajah tegas Al. Pria itu kelihatan serius serta penuh harap. Seketika, Cal merasa rongga dadanya tertimpa batu besar, ia bur
“Ada yang tidak beres.” Al melirik pintu ruang poli. Sesaat Cal menahan napas, berharap Al tidak mencurigai sesuatu. Bagaimanapun caranya, ia harus mengalihkan fokus suaminya. “Itu hanya perasaanmu! Kalau kamu mau masuk lagi ke dalam, silakan saja! Tapi kasihan semua ibu hamil itu.” Pada akhirnya Al mengalah, pria itu menautkan jemarinya dengan milik Cal, berjalan menuju instalasi farmasi. Selesai mendapatkan obat, keduanya gegas meninggalkan rumah sakit. Awalnya, Cal ingin tetap tinggal sampai ibunya sehat. Namun percuma, sebab ia tidak memiliki akses apa pun selain mendengar informasi dari mulut orang lain. “Kamu melamun?” Interupsi Al ketika keduanya berada di dalam taksi. Cal mengangkat bahu lalu menggeleng. “Tidak melamun.” “Lalu?” Al meninggikan sebelah alisnya. “Tidak ada.” Pria itu menghela napas panjang melihat tingkah Cal, irit bicara dan tertutup. Pria itu berpikir istrinya marah karena mengetahui telah dibohongi. Sampai di kamar hotel, Cal menghempaskan tubuh ya
Napas Cal terasa berat, ia menatap Al tanpa berkedip, dan otaknya berjuang keras menemukan padanan kata yang tepat.“Obat apa ini?” ulang Al diikuti sorot mata bak elang memburu.“Itu ....” Gegas tangan Cal terjulur, merebut tabung kecil, tetapi Al menyembunyikan di balik punggung. “Itu suplemen darimu!”Mendengar jawaban meragukan, alis tebal Al saling tertaut. Ia mengangkat dagu, bola matanya kian terkunci pada satu titik—ekspresi wajah Cal. Ia sangat hapal kemasan suplemen yang diberikannya pada Cal beberapa waktu lalu.“Sudahlah Al jangan berlebihan! Umm … apa kamu tidak ingat a-ku pernah menjatuhkan suplemen itu?” ucap Cal seakan memaksa Al untuk membenarkan. Pria itu mengangguk kecil tanpa mengalihkan tatapan tajam dari wanitanya. “Kamu bilang buang yang terjatuh dan beli baru saja, ja-di a-ku ke apotek, ternyata merek yang tersedia berbeda.” Lagi, Al semakin menyudutkan Cal melalui sorot matanya. Ia tidak serta merta mempercayai s
Sepanjang perjalanan menuju kantor, Cal tidak berhenti menatap sosok rupawan di balik kemudi. Pria itu tampak fokus mengendarai mobil, sesekali juga Cal melihat sepuluh jemari Al mengetuk-ngetuk setir. Tiba di kantor, seperti biasa, Cal bertugas mendampingi ke mana pun suaminya pergi. Bahkan rumor tak sedap mulai berkeliaran bahwa Xavi akan didepak karena CEO lebih memilih bersama wanitanya. “Tidak perlu dihiraukan!” ucap Al. Cal mengangguk. “Hu’um.” Wanita itu berjalan tepat di belakang Sang CEO “Lakukan saja tugasmu! Kamu bekerja untukku bukan orang lain!” tegas Al, hatinya menggeram mendengar kabar tak mengenakan. “Hu’um.” Lagi, Cal menggerakan kepala dengan pandangan terfokus pada punggung lebar nan kokoh. “Sore ini aku dan Xavi akan berkunjung ke suatu tempat, kamu pulang lebih dulu bersama sopir kantor, mengerti?!” “Hu’um.” Lagi, tanggapan Cal terlalu irit, Al membalik badan, memperhatikan bibir tipis berwarna merah muda. Ia juga melihat ke depan dada wanitanya, Cal me
“Calantha?!” panggil suara itu dengan nada lembut.Seketika Cal memutar tumit, kelopak matanya melebar karena sosok yang dikenali berdiri sembari bertolak pinggang. “Bagaimana bisa kamu ada di sini?”“Memangnya kenapa Cal? Tidak boleh ya?” sahut suara lembut itu.Cal terkekeh kecil, lantas memeluk tubuh wanita itu, yang tidak lain adalah kakak sepupunya. Ia merasa beruntung salah satu anggota keluarga masih mengingatnya. Bahu Cal berguncang, ia terisak sambil memeluk Mitha. “Tenang Cal, tidak apa. Aku percaya kamu tidak seperti itu, mereka hanya salah paham saja!” ujar Mitha sembari menepuk punggung Cal. “Aku pasti membantumu,” sambungnya.“Terima kasih Mitha,” ucap Cal mengeratkan pelukannya.“Kalian mau berdiri sampai kapan? Cepat duduk di sini! Aku bukan penonton!” Interupsi Lionel.Cal mengurai pelukan, lalu duduk bersama Mitha tepat di hadapan Lionel. Ketiganya memesan minuman, seperti biasa Lionel melarang Cal minum kopi serta apa pun yang mengandung kafein.“Aku tidak menyang
“Ke mana dia?” gumam Al karena tidak mendapati Cal di sampingnya, di atas tempat tidur. Pagi ini Al sengaja terbangun lebih awal, pria itu melirik jam digital, lalu bergegas keluar kamar dan turun ke lantai satu. Namun, di tengah-tengah anak tangga, ia mendengar suara bising dari arah dapur. Penasaran, Al mengendap-endap mendekati area dapur. Pria itu menautkan alis, mata elangnya semakin tajam melihat area dapur berubah terang. “Dia di sini,” gumam Al, sembari duduk menempel pada sisi meja makan, lalu melipat tangan depan dada. Pria itu terkesima pada pemandangan menarik di hadapannya. Cal mencepol asal rambutnya, menyisakan banyak helaian yang menjuntai jatuh menyentuh tengkuk. Sosok bidadari cantik itu tengah berdiri membelakangi meja makan. Cal menatap mangkok berukuran sedang. Tidak lama denting oven mengalihkan atensi, buru-buru Cal mengeluarkan loyang, seketika paras cantiknya berubah kusut menatap kacang almond yang gosong. “Hah? Bagaimana ini?” Panik wanita itu, kemudia
“Selamat Tuan Hofer, bayinya lahir dengan sehat.” Dokter mengulurkan tangan kanan sambil tersenyum lebar. Liam berkaca-kaca mendengar kabar menggembirakan. Ia gegas menghubungi ibunya dan beberapa kerabat terdekat untuk menjenguk anggota keluarga baru. Setelah itu Liam memasuki ruang pemulihan. Ia melihat dua bayi menelungkup di atas dada sang istri. “Claira ….” Liam sesenggukan. Ia mengekspresikan diri karena memiliki buah cinta dari gadis pujaannya di masa sekolah. Bahkan tangan Liam tidak sanggup menyentuh kulit tipis nan lembut miliik bayinya. “Kamu memiliki dua anak laki-laki.” Claira tersenyum merekah melihat dua bayi itu sibuk mencari puncak nutrisi. “Kita. Kita memiliki dua putra. Dan kamu satu-satunya perempuan cantik diantara kami.” Liam setengah tertawa dan menangis ketika mengatakannya. Sedangkan Claira tergelak membuat kedua bayi di atas tubuhnya terkejut lalu merengek. Pasangan itu saling menatap satu sama lain kemudian tertawa bersama-sama melihat tingkah mengge
“Hamil?” Clair tercengang. Reaksi pasangan itu sangat berbanding terbalik. Liam selalu menebar senyum bahkan berbagi kebahagiaan bersama pegawai rumah sakit. Ia mentraktir makan. Sedangkan Clair tampak terpukul.“Istriku kenapa sedih? Seharusnya kamu senang.” Liam merangkul bahu Claira.Wanita itu menunduk menatap perutnya. “Kenapa aku bisa hamil? Liam aku … belum siap menjadi ibu.”Seketika senyum manis di wajah Liam menghilang. Kini pria bermata sipit itu mengetahui Claira enggan mengandung anaknya.“Kita sudah menikah, bercinta dan melakukan berulang kali. Kita tidak menunda kehamilan. Jadi … kamu menolak?” tanya Liam dengan perasaan kecewa.Clair tersadar dari pikirannya. Ia menatap wajah sendu sang suami. Kedua tangan mulus wanita itu menangkup pipi Liam.“Maksudnya bukan begitu. Liam … aku ini seorang pendosa. A-aku tidak menyangka hamil dalam waktu dekat. A-aku juga … merasa bukan ibu yang baik.” Claira melepaskan tangan dari rahang Liam lalu menunduk dalam.Liam tersenyum kec
“Aku bingung bagaimana cara mengatakannya,” gumam Claira. Raut wajah wanita itu terlihat sedih.Calantha mengernyit dan menopang dagunya. [Maksudmu?] “Aku ingin pindah rumah, tapi ibu mertuaku melarang. Alasannya kesepian, karena sebelumnya Liam sibuk bekerja.” Claira cemberut. “Kami tidak punya waktu berdua.” Calantha manggut-manggut. Ia mengerti keinginan kakak kembarnya. Istri Alessandro Javier itu tersenyum penuh arti lantas mendekatkan kepala dengan layar ponsel.[Bilang saja langsung kalau kamu ingin pacaran bersama Liam.] Calantha menaik-turunkan alisnya.“Mana bisa seperti itu!” sentak Claira.Setelah satu bulan tinggal di rumah mertua, Claira kehilangan figure Liam. Pria itu lebih sering pulang malam dan pergi pagi-pagi sekali. Bahkan satu minggu ini keduanya tidak berhubungan intim.Claira mengakhiri panggilan video bersama Cal. Ia bergegas menemui ibu mertua di lantai satu. Ia melihat wanita paruh baya itu sedang kesulitan berjalan. Buru-buru Clair membantu.“Hati-hati B
Malam pertama yang seharusnya berujung menyenangkan dengan suasana romantis, justru sebaliknya. Kini, vila pribadi Keluarga Hofer dikunjungi dokter serta perawat yang mengobati Liam. Pria itu mendadak demam paska berenang.“Bagaimana kondisinya? Perlu dirawat inap?” berondong Clair kepada dokter. Ia memperhatikan wajah pucat sang suami.Sedangkan Liam menahan malu sekaligus gundah. Pria itu merasa bersalah gagal menjadi sosok suami idaman bagi pujaan hati. Dokter berkata dengan cemas, “Demamnya cukup tinggi mencapai empat puluh derajat. Tapi Tuan Liam menolak.”Clair mendengus, lantas berjalan mendekati suaminya yang sedang berbaring tidak berdaya.“Kamu masih mau hidup?” tegas wanita itu membuat mata sipit Liam membelalak.Clair bertolak pinggang dan menatap tajam suaminya. “Kita baru menikah satu hari, kamu mau menjadikan aku janda?” Liam meneguk saliva dan menggeleng pelan. Ia tahu istrinya memang galak, tetapi tidak menyangka mulut Claira sangatlah tajam.“Jangan bilang begitu.
Satu tahun berlalu sangat cepat, kesabaran Liam membuahkan hasil. Pagi ini, Liam dan Claira telah resmi menjadi sepasang suami istri. Keduanya sedang menandatangani akta pernikahan. Calantha bersama keempat anaknya duduk di kursi paling depan. Ia menangis haru karena Clair mendapatkan belahan jiwa. Ia juga tahu Clair belum sepenuhnya melupakan Alessandro. Wanita itu beranjak mendekati kembarannya. “Haruskah aku memanggilmu Nyonya Hofer?” goda Calantha. Liam menyambar, “Tentu saja! Dia istriku, dan kamu harus memanggilku kakak meskipun kita seumuran.” Tawa pria itu. Tiba-tiba Alessandro memukul kepala Liam. Ia berkata dengan tegas, “Tidak boleh memanggil kakak! Panggil nama saja.” Seketika altar pernikahan dihiasi gelak tawa dari semua orang. Mereka melihat kedekatan putri Caldwell dan kekompakan para menantu. “Sudah seharusnya aku patuh kepada yang lebih dewasa.” Liam menyengir, menjadikan mata sipitnya tak terlihat. Alessandro memelotot karena secara tidak langsung Liam menge
Claira melempar kerikil kecil ke sembarang arah. Pikiran gadis itu dilanda gundah gulana. Ia ketakutan Alessandro memberitahu keluarga besarnya tentang sebuah kebenaran. Clair menelan ludah. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Calantha mengetahui kenangan bersama Al diambil alih olehnya.Ketika wanita itu melepar kerikil cukup besar, seseorang memekik. “Aw!”“Ya ampun!” Claira sigap menghampiri sumber suara. Ia ternganga mendapati Liam sedang mengelus kening.Sialnya, kening pria tampan itu berubah merah.“Liam, maaf. Aku tidak bermaksud—““Apa yang kamu pikirkan?” Liam meringis karena lemparan Clair sangat bertenaga.“Tidak ada!” tegas Clair. Ia tersenyum kaku.Padahal Liam sengaja meluangkan waktu setelah berminggu-minggu demi Clair. Pria itu tahu calon istrinya sedang gelisah. Hanya saja Liam pandai menutupi rahasia. Ia tidak mau ikut campur, cukup membeberkannya kepada Alessandro.Liam juga tahu Alessandro berniat mengubur masalah ini. Clair menoleh kepada Lia
“Bodoh!” teriak Alessandro di tengah hutan. Pria itu mengepalkan tangan dengan kuat hingga bagian telapak sakit dan urat-urat pada lengan menonjol. Ia memukuli udara yang tidak bersalah. Kemudian Alessandro terjatuh dengan posisi kedua lutut di atas tanah lembab.Alessandro kian tercabik ketika memeriksa ponsel dan mendapati istrinya sedang menelepon. Ia tidak kuasa menerima panggilan suara. Pria itu tenggelam jauh bersama perasaannya saat ini.Beberapa jam kemudian, Alessandro berhasil menguasai rasa sakit dalam dada. Ia bergegas menemui Claira di Mansion Caldwell. Karena hubungan sudah membaik, kedatangan Alessandro disambut oleh para pelayan. “Di mana Nona Muda Clair?”Pelayan menunduk. “Nona di perpustakaan, Tuan.” Alessandro langsung menghampiri iparnya.Claira terkejut karena sebelumnya Al tidak membuat janji. Sekarang pria itu datang dengan ekspresi dingin dan aura mencekam seketika menyelimuti ruangan.“Hi Al. A-ada a-apa?” gugup Claira. Perasaan sebagai wanita sangat peka,
Alessandro mendengus sebal lantaran Liam menguasai keempat anaknya. Sebagai ayah, ia hanya bisa mengawasi dari jarak jauh. Al juga tidak bisa berbuat apa-apa selain mengamati, sebab Calantha telah memberi izin. Liam mengambil banyak swafoto bersama ABCD. Pria itu tersenyum kecil melihat hasil jepretan kamera. Liam mengirim pesan teks dan gambar dirinya bersama Anaya kepada Clair. “Anaya semakin lucu.” Ketika Liam masih tersenyum sendirian, Alessandro berdiri tepat di belakang pria itu. “Ide brilian menggunakan anakku sebagai alibi menggoda wanita.” Alessandro langsung mengambil alih keempat bayinya. Ia tidak suka wajah polos bayinya dimanfaatkan oleh Liam. ** Satu minggu ini Liam rajin mengunjungi kediaman Alessandro. Pria itu membawa beraneka buah tangan untuk Calantha dan empat bayinya, tidak ketinggalan Liam menemani Al bermain catur. Semua dilakukan sebagai permohonan maaf. “Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Claira?” Wajah Alessandro tampak serius memandang papan
“Ajari aku caranya.” Clair menunjuk popok dan pakaian bayi. Seketika Calantha dan Lorraine menoleh ke arah wanita itu. Kening kedua ibu muda mengerut karena tidak biasanya seorang gadis belajar merawat bayi.“Kalian tidak perlu menatapku seperti itu. A-aku mau tau bagaimana melakukannya.” Clair menelan ludah karena gugup diperhatikan oleh dua pasang mata.Lorraine mengalihkan pandangan kepada Calantha untuk meminta izin. Istri kesayangan Alessandro Javier itu mengangguk. Jujur, perasaan Cal campur aduk. Ia takut kakaknya ini kelak mencari simpati di depan Al. Sungguh Calantha tidak mau rumah tangganya hancur. Apalagi sekarang keempat anak sangat membutuhkan orang tua utuh.Saat mengganti popok Anaya, wajah Claira berseri-seri. Gadis itu teringat ketika Liam mempertanyakan kesiapannya menjadi seorang ibu. Namun, waktu itu Claira diam saja karena malu. Sekarang hatinya bersorak riang.**Dua hari kemudian, Liam mengantar Clair ke bandar udara. Gadis itu harus pulang ke Zurich karena b