“Selamat Tuan Hofer, bayinya lahir dengan sehat.” Dokter mengulurkan tangan kanan sambil tersenyum lebar. Liam berkaca-kaca mendengar kabar menggembirakan. Ia gegas menghubungi ibunya dan beberapa kerabat terdekat untuk menjenguk anggota keluarga baru. Setelah itu Liam memasuki ruang pemulihan. Ia melihat dua bayi menelungkup di atas dada sang istri. “Claira ….” Liam sesenggukan. Ia mengekspresikan diri karena memiliki buah cinta dari gadis pujaannya di masa sekolah. Bahkan tangan Liam tidak sanggup menyentuh kulit tipis nan lembut miliik bayinya. “Kamu memiliki dua anak laki-laki.” Claira tersenyum merekah melihat dua bayi itu sibuk mencari puncak nutrisi. “Kita. Kita memiliki dua putra. Dan kamu satu-satunya perempuan cantik diantara kami.” Liam setengah tertawa dan menangis ketika mengatakannya. Sedangkan Claira tergelak membuat kedua bayi di atas tubuhnya terkejut lalu merengek. Pasangan itu saling menatap satu sama lain kemudian tertawa bersama-sama melihat tingkah mengge
“Apa yang kamu lakukan di kamarku?!”Wanita itu merasakan tenggorokannya tercekat. Tubuhnya gemetar, bahkan kelopak berbulu lentik tak berkedip menatap punggung pria di sampingnya yang terlelap tanpa sehelai benang pun.“Ini kamarku!” sahut suara serak khas bangun tidur pria. “Jangan berisik! Aku masih ngantuk,” sambung sosok itu dengan kelopak tertutup rapat, lalu membalik posisi saling berhadapan.“Kamu?! Bagaimana bisa ….”Seketika, Andrea Calantha Feyrin Caldwell meremas rambutnya dengan frustrasi. Ia menggeleng cepat, berusaha mengingat kejadian semalam.Sayang, Cal—panggilan akrab gadis itu, hanya mengingat ia diberi minum oleh pelayan. Semua ini karena kenekadannya yang ingin mengalihkan perasaan sesak di dada saat menyaksikan saudari kembarnya bertunangan dengan pria yang pernah mengisi hati Cal.Setelah itu, karena tidak kuat menahan perasaan tersebut, Cal memilih istirahat di kamar hotel. Namun, siapa sangka, pagi ini ia terbangun di atas ranjang bersama seorang pria yang ti
Melupakan kejadian tadi pagi, Cal berinisiatif menemui kembarannya di kantor siang ini.Namun, kembarannya itu bersikap semakin tidak acuh, tidak ingin mendengar penjelasan Cal sama sekali.“Clair dengarkan dulu, aku mohon!” pinta Cal mencekal pergelangan tangan saudarinya.“Menyingkir dari hadapanku, sekarang!” bentak Clair sembari menunjuk pintu utama gedung.Buru-buru Cal menggelengkan kepala dan menatap tegas wajah Clair. Ia tidak bergerak sedikit pun, tidak peduli kalau ia menjadi tontonan publik sekarang.“Kemarin malam aku—“Ucapan itu terputus mana kala wanita itu justru dihadiahi tamparan keras dari Clair.“Kamu pengkhianat Cal! Wanita bermuka dua tidak tahu malu, licik dan murahan!" Clair menunjuuka wajah Cal dengan pandangan jijik. "Kamu bahkan menggunakan cara kotor untuk merebut tunangan kembaranmu!”Cal membiarkan Clair meluapkan amarah dan menjadikan dirinya sasaran.Ia akui, ada andil kelalaiannya semalam. Akan tetapi, ia tidak ingin masalah itu berlarut, apalagi sampa
'Sungguh hadiah yang benar-benar tidak terduga.'Pesawat komersil yang ditumpangi Cal telah mendarat di Bandara Barajas, Madrid, tempat ia 'dibuang' oleh orang tuanya.Seorang keturuanan Keluarga Caldwell yang terbiasa hidup mewah, bekerja di perusahaan besar berskala internasional kini dipindahkan ke sebuah perusahaan kecil yang masih menjadi rekanan mereka.Belum lagi, tidak satu pun salam perpisahan ia dapatkan. Tidak dari ayahnya, ibunya, apalagi kembarannya.'Bukankah aku bagian dari keluarga juga?' gumamnya disertai gelengan kepala.Tanpa penjemputan dan hanya menggunakan taksi dari bandara, Cal bergegas menuju kantor barunya.Seharusnya, kedatangannya ke sini serupa dengan karyawan baru yang tanpa cela. Namun, entah mengapa, begitu sampai di perusahaan, Cal merasa kerdil karena terus ditatap sinis oleh rekan kerjanya. Beberapa bahkan bergunjing pelan.Beruntung seorang pria berperawakan tinggi, rambut klimis dan kacamata tebal menghampiri Cal di tengah lobi luas tak bertepi. Ca
“Aku tidak menyangka, kehidupanku akan sedramatis ini!"Setelah mengucap ikrar dan menandatangani sejumlah dokumen pernikahan, Cal duduk seorang diri di bawa pohon rindang, sementara Al masih berkutat dengan pemberkasan di gedung catatan sipil.Ia menatap jari manisnya, di mana cincin kawinnya dengan Al tersemat.Seketika, Cal merasa hidupnya begitu dramatis. Takdir seolah berubah cepat, membuat dunianya jungkir balik.Kini, usai menyandang gelar Nyonya Torres, perasaan dilema kembali dirasakannya. Namun ia pun tidak menampik jika ada secuil rasa bahagia di antara tumpukan perasaan bersalah itu.“Kata orang tidak baik melamun di bawah pohon. Cepat pulang!”Cal berjengit, kaget dengan kedatangan Al yang tidak diketahuinya.“Aku kira seorang pengusaha hebat tidak percaya pada takhayul,” sarkas Cal. Wanita itu bangkit dari duduk seraya menatap sepasang iris biru safir milik Al. “Ah, satu lagi. Aku memang sudah berniat pulang. Hanya saja, aku mengalami sedikit masalah. Aku—"Seolah tahu k
"Aku ingin menyentuhmu malam ini."Suara parau itu terdengar tidak lama setelah pintu kamar tertutup. Cal yang sudah nyaris terbuai dalam alam mimpi sontak membuka lagi matanya lebar-lebar."Kamu mabuk?" Cal merengut, merasa tidak nyaman dengan posisi Al yang kini sudah mengungkungnya dengan bau alkohol yang menyengat.Namun, pria itu justru tersenyum dan merapikan rambut Cal yang menutupi ujung mata. "Aku tidak mabuk. Aku hanya minum sedikit." Tatapan Al yang sayu itu semakin mendekat. Pria itu kembali berbisik, "Aku menginginkanmu malam ini."“Tapi aku …" tolak Cal memejamkan mata dengan rapat. Seiring dengan wajah Al yang semakin mendekat, kepalan tangan Cal yang gemetar semakin kuat. "Jangan! Aku mohon....”Suara Cal yang ketakutan, dan bergetar itu membuat Al seketika berhasil menguasai pikirannya. Pria itu menatap Cal, di mana bulir keringat mulai berjatuhan dengan wajah memucat dan napas yang memburu.“Calantha?” panggil Al dengan lembut.Merasakan cengkeraman di pergelangan ta
“Astaga ada apa ini?!”Keriuhan terdengar dari luar ruangan CEO. Gegas, Al dan Cal keluar memeriksa situasi.Kelopak mata Cal melebar, saat melihat saudarinya tergolek lemah. Wanita itu pun refleks berlari ke arah kembarannya.“Aku bantu—““Biar aku saja.” Cal membeku di tempatnya berdiri. Al menyerobot dirinya, menghampiri Clair dengan ekspresi khawatir. “Bertahan, Clair. Aku akan membawamu ke rumah sakit!”Cal sontak membeku mendengar ucapan pria itu. Sikap tidak acuh Al padanya barusan sungguh berkebalikan dengan raut kepanikan di wajah pria itu ketika melihat Clair.“Ke-kepalaku sakit, Al,” rintih Clair. Wanita itu kemudian meletakkan kepalanya di ceruk leher Al. Diam-diam, wanita itu tersenyum tipis di balik pundak Al, terlebih ketika ia melihat raut wajah Cal yang memerah menahan kesal.Sedangkan, Cal masih mematung di ujung pintu ruangan tersenyum ironi melihat kedua orang itu. Bisa-bisanya pria yang kini menjadi suaminya meninggalkan ia sendirian, sementara pria itu justru mengkhawat
Pagi harinya, Cal terbangun lebih dulu. Sementara Al masih terlelap di sampingnya dengan tangan yang memeluk tubuhnya hangat.Sesaat, Cal terlena memperhatikan figur Al yang harus ia akui memang memesona.'Dia bahkan lebih tampan saat tertidur,' batin Cal mengomentari sosok Al yang lebih menusiawi saat ini.Tidak ingin mengganggu Al, Cal dengan hati-hati bangkit dari kasur. Bersamaan dengan itu, ponselnya bergetar.Pesan singkat bernada perintah itu datang dari Clair. Kembarannya itu memintanya untuk segera ke rumah sakit.Tidak membuang-buang waktu, dan tanpa berpamitan pada sang suami, Cal langsung bergegas ke rumah sakit.Sesampainya di sana, Cal mengetuk pintu tempat Clair dirawat. Sambutan kurang bersahabat justru terlihat dari mata Clair yang menyala, seolah siap membakar Cal hidup-hidup.Sambil berjalan mendekati ranjang pasien, Cal bertanya dengan lembut, “Bagaimana keadaanmu?”“Matamu masih berfungsi, kan?! Lihat saja sendiri!” sentak wanita dari atas pembaringan.Cal menelan
“Selamat Tuan Hofer, bayinya lahir dengan sehat.” Dokter mengulurkan tangan kanan sambil tersenyum lebar. Liam berkaca-kaca mendengar kabar menggembirakan. Ia gegas menghubungi ibunya dan beberapa kerabat terdekat untuk menjenguk anggota keluarga baru. Setelah itu Liam memasuki ruang pemulihan. Ia melihat dua bayi menelungkup di atas dada sang istri. “Claira ….” Liam sesenggukan. Ia mengekspresikan diri karena memiliki buah cinta dari gadis pujaannya di masa sekolah. Bahkan tangan Liam tidak sanggup menyentuh kulit tipis nan lembut miliik bayinya. “Kamu memiliki dua anak laki-laki.” Claira tersenyum merekah melihat dua bayi itu sibuk mencari puncak nutrisi. “Kita. Kita memiliki dua putra. Dan kamu satu-satunya perempuan cantik diantara kami.” Liam setengah tertawa dan menangis ketika mengatakannya. Sedangkan Claira tergelak membuat kedua bayi di atas tubuhnya terkejut lalu merengek. Pasangan itu saling menatap satu sama lain kemudian tertawa bersama-sama melihat tingkah mengge
“Hamil?” Clair tercengang. Reaksi pasangan itu sangat berbanding terbalik. Liam selalu menebar senyum bahkan berbagi kebahagiaan bersama pegawai rumah sakit. Ia mentraktir makan. Sedangkan Clair tampak terpukul.“Istriku kenapa sedih? Seharusnya kamu senang.” Liam merangkul bahu Claira.Wanita itu menunduk menatap perutnya. “Kenapa aku bisa hamil? Liam aku … belum siap menjadi ibu.”Seketika senyum manis di wajah Liam menghilang. Kini pria bermata sipit itu mengetahui Claira enggan mengandung anaknya.“Kita sudah menikah, bercinta dan melakukan berulang kali. Kita tidak menunda kehamilan. Jadi … kamu menolak?” tanya Liam dengan perasaan kecewa.Clair tersadar dari pikirannya. Ia menatap wajah sendu sang suami. Kedua tangan mulus wanita itu menangkup pipi Liam.“Maksudnya bukan begitu. Liam … aku ini seorang pendosa. A-aku tidak menyangka hamil dalam waktu dekat. A-aku juga … merasa bukan ibu yang baik.” Claira melepaskan tangan dari rahang Liam lalu menunduk dalam.Liam tersenyum kec
“Aku bingung bagaimana cara mengatakannya,” gumam Claira. Raut wajah wanita itu terlihat sedih.Calantha mengernyit dan menopang dagunya. [Maksudmu?] “Aku ingin pindah rumah, tapi ibu mertuaku melarang. Alasannya kesepian, karena sebelumnya Liam sibuk bekerja.” Claira cemberut. “Kami tidak punya waktu berdua.” Calantha manggut-manggut. Ia mengerti keinginan kakak kembarnya. Istri Alessandro Javier itu tersenyum penuh arti lantas mendekatkan kepala dengan layar ponsel.[Bilang saja langsung kalau kamu ingin pacaran bersama Liam.] Calantha menaik-turunkan alisnya.“Mana bisa seperti itu!” sentak Claira.Setelah satu bulan tinggal di rumah mertua, Claira kehilangan figure Liam. Pria itu lebih sering pulang malam dan pergi pagi-pagi sekali. Bahkan satu minggu ini keduanya tidak berhubungan intim.Claira mengakhiri panggilan video bersama Cal. Ia bergegas menemui ibu mertua di lantai satu. Ia melihat wanita paruh baya itu sedang kesulitan berjalan. Buru-buru Clair membantu.“Hati-hati B
Malam pertama yang seharusnya berujung menyenangkan dengan suasana romantis, justru sebaliknya. Kini, vila pribadi Keluarga Hofer dikunjungi dokter serta perawat yang mengobati Liam. Pria itu mendadak demam paska berenang.“Bagaimana kondisinya? Perlu dirawat inap?” berondong Clair kepada dokter. Ia memperhatikan wajah pucat sang suami.Sedangkan Liam menahan malu sekaligus gundah. Pria itu merasa bersalah gagal menjadi sosok suami idaman bagi pujaan hati. Dokter berkata dengan cemas, “Demamnya cukup tinggi mencapai empat puluh derajat. Tapi Tuan Liam menolak.”Clair mendengus, lantas berjalan mendekati suaminya yang sedang berbaring tidak berdaya.“Kamu masih mau hidup?” tegas wanita itu membuat mata sipit Liam membelalak.Clair bertolak pinggang dan menatap tajam suaminya. “Kita baru menikah satu hari, kamu mau menjadikan aku janda?” Liam meneguk saliva dan menggeleng pelan. Ia tahu istrinya memang galak, tetapi tidak menyangka mulut Claira sangatlah tajam.“Jangan bilang begitu.
Satu tahun berlalu sangat cepat, kesabaran Liam membuahkan hasil. Pagi ini, Liam dan Claira telah resmi menjadi sepasang suami istri. Keduanya sedang menandatangani akta pernikahan. Calantha bersama keempat anaknya duduk di kursi paling depan. Ia menangis haru karena Clair mendapatkan belahan jiwa. Ia juga tahu Clair belum sepenuhnya melupakan Alessandro. Wanita itu beranjak mendekati kembarannya. “Haruskah aku memanggilmu Nyonya Hofer?” goda Calantha. Liam menyambar, “Tentu saja! Dia istriku, dan kamu harus memanggilku kakak meskipun kita seumuran.” Tawa pria itu. Tiba-tiba Alessandro memukul kepala Liam. Ia berkata dengan tegas, “Tidak boleh memanggil kakak! Panggil nama saja.” Seketika altar pernikahan dihiasi gelak tawa dari semua orang. Mereka melihat kedekatan putri Caldwell dan kekompakan para menantu. “Sudah seharusnya aku patuh kepada yang lebih dewasa.” Liam menyengir, menjadikan mata sipitnya tak terlihat. Alessandro memelotot karena secara tidak langsung Liam menge
Claira melempar kerikil kecil ke sembarang arah. Pikiran gadis itu dilanda gundah gulana. Ia ketakutan Alessandro memberitahu keluarga besarnya tentang sebuah kebenaran. Clair menelan ludah. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Calantha mengetahui kenangan bersama Al diambil alih olehnya.Ketika wanita itu melepar kerikil cukup besar, seseorang memekik. “Aw!”“Ya ampun!” Claira sigap menghampiri sumber suara. Ia ternganga mendapati Liam sedang mengelus kening.Sialnya, kening pria tampan itu berubah merah.“Liam, maaf. Aku tidak bermaksud—““Apa yang kamu pikirkan?” Liam meringis karena lemparan Clair sangat bertenaga.“Tidak ada!” tegas Clair. Ia tersenyum kaku.Padahal Liam sengaja meluangkan waktu setelah berminggu-minggu demi Clair. Pria itu tahu calon istrinya sedang gelisah. Hanya saja Liam pandai menutupi rahasia. Ia tidak mau ikut campur, cukup membeberkannya kepada Alessandro.Liam juga tahu Alessandro berniat mengubur masalah ini. Clair menoleh kepada Lia
“Bodoh!” teriak Alessandro di tengah hutan. Pria itu mengepalkan tangan dengan kuat hingga bagian telapak sakit dan urat-urat pada lengan menonjol. Ia memukuli udara yang tidak bersalah. Kemudian Alessandro terjatuh dengan posisi kedua lutut di atas tanah lembab.Alessandro kian tercabik ketika memeriksa ponsel dan mendapati istrinya sedang menelepon. Ia tidak kuasa menerima panggilan suara. Pria itu tenggelam jauh bersama perasaannya saat ini.Beberapa jam kemudian, Alessandro berhasil menguasai rasa sakit dalam dada. Ia bergegas menemui Claira di Mansion Caldwell. Karena hubungan sudah membaik, kedatangan Alessandro disambut oleh para pelayan. “Di mana Nona Muda Clair?”Pelayan menunduk. “Nona di perpustakaan, Tuan.” Alessandro langsung menghampiri iparnya.Claira terkejut karena sebelumnya Al tidak membuat janji. Sekarang pria itu datang dengan ekspresi dingin dan aura mencekam seketika menyelimuti ruangan.“Hi Al. A-ada a-apa?” gugup Claira. Perasaan sebagai wanita sangat peka,
Alessandro mendengus sebal lantaran Liam menguasai keempat anaknya. Sebagai ayah, ia hanya bisa mengawasi dari jarak jauh. Al juga tidak bisa berbuat apa-apa selain mengamati, sebab Calantha telah memberi izin. Liam mengambil banyak swafoto bersama ABCD. Pria itu tersenyum kecil melihat hasil jepretan kamera. Liam mengirim pesan teks dan gambar dirinya bersama Anaya kepada Clair. “Anaya semakin lucu.” Ketika Liam masih tersenyum sendirian, Alessandro berdiri tepat di belakang pria itu. “Ide brilian menggunakan anakku sebagai alibi menggoda wanita.” Alessandro langsung mengambil alih keempat bayinya. Ia tidak suka wajah polos bayinya dimanfaatkan oleh Liam. ** Satu minggu ini Liam rajin mengunjungi kediaman Alessandro. Pria itu membawa beraneka buah tangan untuk Calantha dan empat bayinya, tidak ketinggalan Liam menemani Al bermain catur. Semua dilakukan sebagai permohonan maaf. “Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Claira?” Wajah Alessandro tampak serius memandang papan
“Ajari aku caranya.” Clair menunjuk popok dan pakaian bayi. Seketika Calantha dan Lorraine menoleh ke arah wanita itu. Kening kedua ibu muda mengerut karena tidak biasanya seorang gadis belajar merawat bayi.“Kalian tidak perlu menatapku seperti itu. A-aku mau tau bagaimana melakukannya.” Clair menelan ludah karena gugup diperhatikan oleh dua pasang mata.Lorraine mengalihkan pandangan kepada Calantha untuk meminta izin. Istri kesayangan Alessandro Javier itu mengangguk. Jujur, perasaan Cal campur aduk. Ia takut kakaknya ini kelak mencari simpati di depan Al. Sungguh Calantha tidak mau rumah tangganya hancur. Apalagi sekarang keempat anak sangat membutuhkan orang tua utuh.Saat mengganti popok Anaya, wajah Claira berseri-seri. Gadis itu teringat ketika Liam mempertanyakan kesiapannya menjadi seorang ibu. Namun, waktu itu Claira diam saja karena malu. Sekarang hatinya bersorak riang.**Dua hari kemudian, Liam mengantar Clair ke bandar udara. Gadis itu harus pulang ke Zurich karena b