"Halo, ada apa, Mbak?" tanya seorang pria dewasa yang baru saja mengangkat sambungan telepon dari babysitter anaknya.
Dia bernama Bima Pradipta, seorang pria tampan berusia 33 tahun yang menjadi CEO sukses di bidang kuliner. Dia memiliki 5 restoran mewah diberbagai kota dan salah satunya yang paling terkenal adalah di ibu kota Jakarta."Pak Bima, Nona Kaila muntah-muntah lagi. Dia juga demam tinggi," ujar wanita dari seberang sana, dan seketika membuat Bima membulatkan matanya."Aku akan segera pulang, Mbak." Bima menutup telepon. Lalu dia bangkit dari kursi kerjanya seraya membenarkan jas dan berlalu pergi meninggalkan kantor menuju rumahnya.Saat tiba di rumah, Bima terkejut bukan main melihat anak semata wayangnya yang berusia 4 bulan itu tampak pucat dalam gendongan Weni—sang babysitter.Cepat-cepat dia pun membukakan pintu mobil untuk wanita itu masuk, kemudian masuk juga dan mengemudi."Apa Kaila alergi susu lagi, Mbak?" Sembari menyetir dengan kecepatan full, Bima menoleh kepada Weni, pria itu terlihat begitu cemas dan amat takut melihat kondisi anaknya."Sepertinya iya, Pak. Nona Kaila alergi lagi."Bima mengusap wajahnya kasar. Anaknya itu memang sejak lahir alergi susu formula, mungkin sudah berbagai macam dia coba sampai dengan tadi siang itu. Tetapi nyatanya perut Kaila tak mau menerima dan berujung pada kondisinya yang sering sakit-sakitan.Diare dan muntah selalu sering terjadi setelah dia usai menyusu.Sebenarnya, Bima sendiri masih mempunyai istri. Dia bernama Soraya Ardiana, seorang selebgram cantik dan seksi yang memiliki follower 5 juta.Memiliki cukup banyak penggemar pada akun media sosial membuat Soraya selalu menjaga penampilannya. Dan itu juga alasannya mengapa dia berhenti menyusui setelah seminggu melahirkan. Karena menurutnya, dengan menyusui tubuhnya akan menjadi gendut dan jelek.Sudah cukup dulu saja ketika hamil, timbangannya naik sampai 60 yang sebelumnya hanya 50. Sekarang setelah dia berhenti menyusui, timbangan Soraya sudah 53 dan targetnya untuk kembali ke 50.Memang bagus menjaga penampilan untuk selalu tetap cantik, tetapi tak bagus juga jika dilakukan bukan untuk suami, melainkan untuk para penggemar.Bima sendiri tak pernah mempermasalahkan bagaimana berat badan istrinya. Jujur, ada rasa lelah di dalam hati melihat kelakuannya itu. Sering berfoto dengan pakaian seksi, membeli barang-barang yang tidak terpakai, jarang ada di rumah, dan yang paling utama dia juga jarang memuaskannya di atas ranjang.Bima sudah capek kerja di kantor, saat pulang ingin dimanjakan oleh istrinya. Tetapi dia tak pernah mendapatkan hal itu.Di dalam perjalanan itu mendadak turun hujan yang lumayan deras, Bima segera mengurangi kecepatan. Dari kejauhan terlihat ada seorang gadis yang memakai seragam putih abu-abu sekolah dengan jaket hitam tengah melambaikan tangan di depan.Entah karena alasan apa, tetapi terlihat jelas gadis itu seperti meminta pertolongan. Wajahnya yang basah karena air hujan itu tampak meringis, tangannya menyentuh perut.Meski sedang keadaan genting, nyatanya Bima tak tega melihat seseorang kesusahan. Lantas dia pun memberhentikan mobilnya dan menurunkan kaca."Om ... boleh aku minta tolong?" pinta gadis itu. Setelah dilihat lebih dekat, wajahnya sangat cantik. Tetapi tampak pucat."Tolong apa?""Antarkan aku ke rumah sakit, Om. Aku mau melahirkan."Bima terkejut dengan mata yang terbelalak, sungguh dia benar-benar tak menyangka jika gadis itu sedang hamil. Sebab perutnya tak terlihat buncit, mungkin itu efek bajunya yang besar dan jaket yang dia pakai cukup jumbo.Sudah begitu dia juga terlihat masih belia. Bima yakin, jika gadis itu hamil pasti karena pergaulan bebas."Ayok cepat masuk! Aku juga kebetulan mau ke rumah sakit."Gadis itu mengangguk, sambil menahan rasa sakit pada perutnya dia berusaha naik ke mobil, lalu duduk di kursi belakang.***Setelah tiba, Bima langsung turun dari mobil kemudian berteriak."Tolong bawakan brankar untuk wanita yang mau melahirkan!" teriak Bima pada siapa saja yang mendengar.Sebelum itu dia sudah menyuruh Weni untuk membawa Kaila ke UGD. Nanti biar dia menyusul. Tak mungkin juga dia meninggalkan wanita hamil begitu saja.Sayang sekali, beberapa kali meminta tolong tak mendapat respon. Perawat dan satpam pun tak terlihat di mana-mana."Om ... tolong aku, bayiku sudah ingin keluar," lirih gadis itu sembari mengatur napasnya naik turun.Aliran darah segar dan air kekuningan itu mengalir dari paha menuju betis, dia sudah sangat tak kuat ingin segera mengeluarkan bayi yang ada di dalam kandungannya.Bima segera menggendongnya, lalu berlari menuju ruangan bersalin. Dia merebahkan gadis itu di atas ranjang persalinan, dan ada dokter wanita berambut pendek yang datang menghampirinya. Dia memakai masker medis, penutup kepala dan sarung tangan."Dok, dia mau melahirkan," ujar Bima seraya menatap gadis itu dan langsung dianggukan oleh dokter.Baru saja Bima hendak melangkah keluar dan membuka pintu, tetapi lengannya segera dicekal oleh suster."Bapak mau kemana? Temani istri Anda melahirkan!""Tapi aku bukan suami ...." Ucapan Bima menggantung kala tiba-tiba suster itu sudah menarik kasar tangan Bima, membawanya hingga duduk di kursi kecil di samping gadis itu.Bima terlihat bingung harus bagaimana, dia memang sudah pernah mengantar istri melahirkan tetapi dulu Soraya melakukan operasi cesar. Dan saat ini sekujur tubuhnya merinding akibat mendengar suara erengan gadis yang kini tengah berjuang melahirkan."Eeeuughhhh!" lenguuh gadis itu sekuat tenaga, matanya mendelik ke atas menatap cahaya lampu.Salah satu tangannya memegang besi ranjang. Tetapi yang satunya justru refleks terulur ke arah pundak Bima, lalu mencengkeram kuat hingga membuat pria itu terbelalak dan merintih."Aaww!" pekik Bima."Sakit banget, Dok!" seru gadis itu sambil menangis, sekujur tubuhnya terasa tegang dan sakit. Apa lagi pada inti tubuhnya."Sedikit lagi keluar Nona, tarik napas pelan-pelan ... lalu keluarkan," ujar dokter itu memberikan instruksi. Gadis itu pun langsung melakukannya.Di sisi lain, ingin rasanya Bima menepis tangan gadis itu yang sejak tadi berada di pundaknya. Selain sakit dengan cengkramannya, dia juga ingin pergi dari sana untuk melihat kondisi anaknya."Eeeuughhhh ... huh ... huh ... huh ... Eeuuugh!" Gadis itu mengejan lagi, dia mengatur napasnya naik turun dan kembali melakukan hal yang sama.Dut!Terdengar suara nyaring yang berasal dari pantaat Bima yang menempel kursi, mendadak perutnya mules dan seperti ingin ikut mengejan juga.'Sakit perut lagi, pengen berak.' Bima baru menarik tubuhnya untuk bangun, tetapi tangan gadis itu sudah berpindah pada rambut kepalanya. Dia menjambak kasar dan mengejan lagi."Aawww! Sakit!" teriak Bima."Eeeuughhhh ...!" Satu tarikan napas akhirnya dia berhasil mengeluarkan bayi itu dengan selamat."Alhamdulillah," ujar dokter sambil menghela napasnya dengan lega.Bayi yang masih terlihat merah itu berada dalam gendongannya, tetapi kening dokter itu seketika mengerenyit heran sebab bayi itu terlihat diam saja dengan mata yang terpejam.Bahkan saat baru keluar pun dia tak menangis.***Hai... selamat datang dan selamat membaca di karya pertamaku di GoodNovel.jangan lupa subscribe...tolong kasih support dengan cara berikan vote, ulasan bintang 5 dan komen perbabnya.Jangan lupa follow. Follow juga di Inst**gramku @rossy_dildara. karena di sana banyak visual novel dan informasi menarik lainnya tentang novel-novelku yang lain.Oke segitu saja.... Happy reading (✿ ♡‿♡)Dokter itu menempelkan tubuh sang bayi ke dadanya, lalu menepuk-nepuk bokong. Tetapi tetap, bayi itu tak bersuara."Kenapa, Dok?" tanya Bima seraya berdiri. Tangan gadis itu sudah terlepas dari rambutnya."Ini, bayinya nggak nangis."Dokter itu menempelkan telinga kirinya ke arah wajah bayi mungil itu, tak ada udara yang berhembus. Lalu beralih ke dada, dan detak jantungnya tak terdengar.Tak ingin menyerah, dokter itu langsung membaringkan bayi itu pada boxs, kemudian menyentuh pergelangan tangan untuk mengecek denyut nadi.Tetapi nyatanya kosong, bayi itu juga terlihat pucat sekarang."Innalilahi wa innailaihi ro'jiun. Bayi Anda meninggal dunia, Pak," katanya yang mata membuat Bima terbelalak."Innalilahi wa innailaihi ro'jiun." Bima melirikkan matanya ke arah gadis yang masih berbaring itu. Matanya terlihat berkaca-kaca dan tak lama keluar buliran bening pada sudut matanya, dia pun menangis terisak-isak sembari menutupi wajah."Kamu yang sabar ...." Bima mengelus pundak gadis itu s
Seminggu kemudian....Suara deringan ponsel yang berada di dekat bantal lantas membangunkan gadis yang tengah tertidur. Lantas dia pun mengerjapkan matanya dan segera mengangkat panggilan masuk yang tertera nama Bu Nur."Jenny! Kemana saja kamu?!" Pekikan dari sambungan telepon itu langsung membuat gadis yang bernama Jenny itu menjauhkan ponselnya pada telinga, sebab terasa berdengung."Aku sakit, Bu.""Sakit sakit, kamu ini sakit-sakitan terus! Sekarang kamu pulang ke kontrakan! Kalau nggak aku akan membuang seluruh pakaianmu!" ancamnya.Jenny membulatkan matanya dengan lebar, tetapi ada rasa bingung di otaknya. "Maksud Ibu apa? Kok bawa-bawa pakaian?""Kamu aku usir! Sudah ada yang mau menempati kontrakanku!""Kok Ibu usir aku? Aku 'kan hanya telat sebulan. Nanti aku bayar kalau ada uang.""Nggak! Aku nggak suka sama orang yang sering nunggak. Mau sebulan atau seminggu sekali pun ... aku nggak suka!" tegasnya terdengar emosi. "Aku tunggu kamu sampai sore, kalau kamu nggak datang ...
"Memangnya penampilanku seperti pengemis?" Jenny bertanya-tanya sendiri. Mungkin ini adalah pengalaman pertamanya dituduh sebagai pengemis. Jujur, ada rasa sakit di dalam hati sebenarnya. Tetapi dia mencoba memaklumi sebab mungkin saja pria itu sering bertemu pengemis yang minta-minta. Jadi dia salah paham.Jenny menundukkan kepalanya sambil memperhatikan apa saja yang dia pakai di tubuhnya. Pertama sendal jepit berwarna hijau, ketebalannya sudah lumayan tipis. Celana panjang dengan bahan kolor berwarna hitam, memang sudah terlihat butut.Dan kaos putih yang dia kenakan. Kaos itu tidak terlalu jelek, menurut dia sih masih bagus. Hanya saja warnanya kelunturan dengan bajunya yang berwarna hijau, jadi terlihat seperti buluk. Rambut panjang Jenny diikat dengan karet."Mungkin iya kali ya aku seperti pengemis, padahal 'kan niatku ingin bertanya tentang rumahnya Pak Bima. Apa aku pulang saja dari sini?" Jenny memandangi rumah mewah itu dari balik celah gerbang. Terlihat sangat indah sekali
"Itu dadamu banyak busa behha. Kamu cuci dulu lalu lepaskan behhamu. Nanti kalau Nona Kaila tersendak bagaimana, Jen?" Weni yang begitu teliti mengurus anak majikannya itu tentu tak mungkin membiarkan itu terjadi. "Kamu juga bau asem, belum mandi, ya?" Setelah duduknya lebih dekat, Weni mencium aroma asem pada tubuh gadis itu. Ditambah rambutnya juga bau matahari.Jenny mengangguk. "Iya, aku belum mandi dari sore, Mbak.""Dih jorok banget. Mandi dulu sana. Lalu ganti pakaian dan behhamu. Tubuhmu harus bersih saat menyusui, nanti dimarahi Pak Bima kalau dia tahu," tegur Weni."Maaf, Mbak. Aku nggak tahu. Ya sudah aku mau mandi dulu deh. Tapi ini Nona Kailanya nangis, gimana?""Biar aku timang-timang dulu. Kamu mandinya yang cepat tapi bersih." Weni mengambil Kaila di tangan Jenny, lalu menimang-nimangnya.Jenny mengangguk, dia langsung berjongkok untuk membuka tas jinjingnya. Lalu mengambil pakaian. Weni melihat apa saja yang dia ambil, yakni baju tidur lengan pendek, tetapi Jenny terl
Jenny mencoba mendorong-dorong dada bidang pria itu, tetapi tampak kesusahan. Kaki Jenny yang hendak berontak juga dijepit oleh kakinya, pria itu seperti mengunci Jenny dalam kungkungannya.Perlahan kedua tangan pria itu meraba dada tanpa bra itu, kemudian mulai meremmasnya. Seketika Jenny pun membulatkan matanya, lalu merasakan air susunya keluar membasahi baju.Kreek...Baju Jenny tiba-tiba ditarik olehnya hingga robek. Bukan karena tarikannya yang begitu keras, hanya saja baju Jenny memang sudah rapuh hingga cepat robek meski ditarik sedikit.Lumattan kasar yang membuat Jenny sesak napas itu langsung terlepas, gadis itu pun segera menghirup oksigennya dalam-dalam."Bapak siapa dan ... Aaakkkhhh!" Jenny mengerang kuat saat pria itu tengah menghisap salah satu dadanya dengan kasar, lalu puncak dada satunya dia jepit di antara jari tengah dan telunjuk. Baru setelahnya dia remat dengan kasar."Tolong!" teriak Jenny sekencang-kencangnya. Dia tak peduli kalau Kaila terbangun akibat kaget
"Tapi aku Pak Bima." Bima menepuk dadanya dan seketika membuat langkah Jenny terhenti."Pak Bima? Jadi Bapak yang—""Ada apa, Jen?" tanya Weni yang baru saja berlari menuruni anak tangga, dia menghampiri gadis itu sebab sempat mendengar teriakannya.Jenny langsung memeluk tubuh Weni, lalu beringsut ke belakangnya. Entah apa yang dilakukan, tetapi yang jelas saat ini dia bingung bercampur takut."Pria itu yang mencoba memperkosaku semalam, Mbak," ujarnya lirih sambil menatap mata Bima sebentar.Sontak—Weni dan Bima membulatkan matanya dengan lebar. Mereka tampak kaget."Aku mencoba memperkosamu?" Bima mengulang perkataan Jenny dengan wajah bingung."Dia Pak Bima, Jen. Bosmu," kata Weni."Tapi dia orang yang sama yang mencoba memperkosaku semalam.""Masa, sih? Tapi rasanya nggak mungkin." Weni menggeleng cepat. Dia benar-benar tak percaya sebab selama dirinya kerja dengan Bima, pria itu tak pernah melakukan tindakan asusila.Weni memang tahu, jika Bima sering mabuk kalau pulang malam. N
Mata Jenny seketika membulat, lalu dia pun menepis tangan Bima. Bisa-bisanya Bima dengan enteng mengatakan ingin menikahinya.Ya mungkin dia merasa bertanggung jawab atas apa yang dia perbuat. Tetapi Jenny tentu tahu jika Bima masih mempunyai istri. Dia tidak mau menjadi istri kedua dan terlebih Jenny pun tak punya perasaan pada pria itu."Pak, berhenti di sini," pinta Jenny pada sang sopir angkot yang mana dianggukan olehnya. Setelah mobil merah itu terhenti, Citra langsung membayar lalu turun. Bima juga melakukan hal yang sama."Jen, aku akan bertanggung jawab. Aku akan menikahimu." Bima berlari mengejar Jenny yang berjalan cepat disisi jalan raya, gadis itu benar-benar seperti menghindarinya."Aku nggak mau, Pak." Jenny menggeleng cepat seraya menghentikan langkah. Jujur, dia saat ini bingung mau kemana. "Bapak sekarang pulang saja," ujarnya tanpa melihat ke arah Bima. Bahkan sejak dalam angkot pun dia tak menatapnya."Aku akan pulang denganmu.""Tapi aku 'kan sudah bilang kalau ak
"Selingkuh? Siapa yang selingkuh?!" Bima menyahutinya dengan sebuah teriakan. Kedua mulut manusia itu saling berbicara dengan nada tinggi dan itu membuat telinga Jenny berdengung sakit.Weni yang baru saja turun dari anak tangga segera menghampiri Jenny yang berdiri mematung, dia pun langsung merangkulnya dan membawanya pergi menuju lantai atas."Mas nggak usah ngelak, aku sudah dengar kalau Mas memperkosanya!" tuduh Soraya dengan kedua tangan yang mengepal kuat."Kamu dengar dari siapa? Siapa yang memberitahu?" Bima mengatur napas dan emosinya yang sudah naik ke ubun-ubun. Jika sudah bicara dengan Soraya, terkadang ada saja yang membuatnya emosi."Bi Ijah!"Bi Ijah adalah pembantu di rumah itu."Itu nggak benar!" tegas Bima. "Aku nggak memperkosanya, itu cuma baru mau tapi nggak beneran terjadi.""Mas bohong!" teriak Soraya tak percaya. "Pengemis itu bajunya sampai robek, aku nggak percaya kalau dia dan Mas nggak ngapa-ngapain!""Namanya Jenny, bukan pengemis!" tegas Bima. Dia pun me
"Husss!! Jangan ngomong kayak gitu!" Bima menasehati dengan suara yang lembut, namun penuh ketegasan. Tangannya mengusap dahi Jenny dengan penuh kasih, mencoba menghapus ketakutan yang menghantui pikirannya. "Lebih baik kita berdo'a sama Allah, dan berpikir positif. Aku sendiri yakin... semuanya akan baik-baik saja."Dengan kata-kata Bima, Jenny menemukan sedikit ketenangan. Dia mengangguk, menerima saran Bima untuk terus berdoa dan memelihara pikiran positif. Mereka bersama-sama memohon kepada Allah, berharap dan percaya bahwa segala sesuatunya akan berjalan dengan baik.Selama kehamilan kedua ini, Jenny hampir tidak pernah absen dari kontrol kehamilan. Bima, dengan kepeduliannya yang tak pernah surut, selalu mengingatkan dan bahkan sering kali lebih bersemangat dari Jenny sendiri untuk memastikan semuanya berjalan lancar.Wajar begitu, Bima sendiri merasa sangat bahagia dan bersyukur karena diberikan kesempatan untuk menjadi seorang Ayah dari darah dagingnya sendiri.Kabar tentang ha
"Ya sudah, kalian hati-hati dijalan, ya? Semoga semuanya berjalan dengan lancar," ucap Eka seraya mengusap pipi anaknya lalu memeluk tubuh Jenny sebentar."Amin, Bun," jawab Bima lalu mencium tangan Eka, kemudian disusul oleh Jenny. "Ya udah, kami berangkat. Assalamualaikum.""Walaikum salam."**Setelah datang ke kantor polisi dan memberikan keterangan, Jenny langsung diarahkan ke rumah sakit untuk melakukan visum.Pihak polisi mengajukan, selain itu Bima juga sempat memintanya. Semua itu demi membuktikan, apakah Jenny sempat diperk*sa dalam keadaan tidak sadar atau tidak. Karena jika bertanya langsung kepada Lukman, itu akan sia-sia saja.Seperti pepatah mengatakan, mana ada maling ngaku. Kalau ada, penjara akan penuh.Setelah selesai dengan urusan polisi, keduanya pulang ke rumah kemudian berlanjut pergi ke mall bersama Eka, Kaila dan juga Weni.*Hari ini terasa sangat melelahkan bagi Jenny, na
'Dia masih belum tidur, kenapa ya?' pikiran itu berkecamuk dalam benak Bima, membuatnya merasa bingung dengan perilaku Jenny. Dalam kebingungan itu, dia memutuskan untuk memejamkan mata, berharap dengan begitu, Jenny akan tergoda untuk segera tidur. "Zzzzz ...." Hanya dalam hitungan menit, suara dengkuran halus dan ritmis itu mengisi udara malam, memecah keheningan yang sebelumnya memenuhi ruangan. Jenny, yang sebelumnya menahan diri, kini membuka mata kembali. Matanya menatap Bima, yang tampak begitu tenang dalam tidurnya. "Ish!!" Gumamnya pelan, rasa sebal memenuhi hatinya. Melihat Bima yang dengan mudahnya memasuki dunia mimpi, sementara dirinya masih terjaga, membuat Jenny merasa frustrasi. Bagaimana bisa pria itu lebih dulu terlelap ketimbang dirinya, padahal Jenny tengah berjuang melawan hasrat dalam dirinya yang begitu kuat dan mendalam.***Keesokan harinya, Bima terbangun perlahan-lahan dan terhanyut oleh aroma wangi sabun yan
Pak Polisi yang sebelumnya menginterogasi Lukman mengambil sikap tegas. Dia menatap Lukman yang terlihat putus asa. "Meskipun Anda mengelak, itu akan sia-sia, Pak. Bukti yang ada sangat kuat menunjukkan bahwa Anda bersalah. Kita hanya perlu menunggu keterangan dari saudari Jenny, dan setelah itu Anda akan ditahan sebagai tahanan di sini." Lukman menolak dengan cepat, menggelengkan kepalanya. "Enggak! Aku nggak mau, Pak! Aku nggak bersalah, ngapain dipenjara? Aku di sini hanya ingin membantu Jenny, menyelamatkan hidupnya dari kebahagiaan palsu dengan Bima. Karena hanya aku yang bisa membuatnya bahagia!" Lukman berteriak dengan putus asa. Dia terlihat kehilangan akal sehatnya, bahkan melawan saat dua polisi menyeretnya keluar dari ruangan. "Lepas!! Lepaskan akuuuu!! Lily sayaaaang, tolong selamatkan aku!!" Lukman berteriak sembari berusaha melepaskan diri, meskipun terlihat sia-sia. "Jangan penjarakan akuuu!! Aku nggak bersalaaahhh!!"Lukma
Polisi itu mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Sebelumnya mohon maaf, Ibu ini siapanya Pak Lukman? Saya ingin bertemu saudari Lily, istri dari Pak Lukman." Lily dengan tegas menjawab, "Aku Lily, Pak. Aku adalah istri dari Lukman." "Baik, kebetulan sekali. Saya ingin meminta Ibu datang ke kantor polisi, untuk memberikan keterangan terkait kasus yang sedang ditangani. Saat ini... Pak Lukman sedang ditahan di kantor polisi karena kasus penculikan dan percobaan pelecehan terhadap saudari Jenny Salsabila," jelas Pak Polisi dengan penuh kehati-hatian. Soraya dan Lily sama-sama terkejut, suara mereka terdengar serempak, "A-apa?!" Soraya menatap Lily dengan wajah penuh kebingungan, mencari kepastian. Lily, yang masih terkejut, menegaskan, "Bagaimana mungkin itu terjadi, Pak? Itu nggak mungkin! Lukman nggak mungkin melakukan hal seperti itu!" Soraya mencoba memahami situasi dengan bertanya, "Jenny yang dimaksud Pak Polisi itu, s
"Bagaimana keadaan istriku, Dok? Apakah dia baik-baik saja?" Dokter tersebut, dengan wajah yang penuh empati, menjawab, "Istri Anda baik-baik saja, Pak. Hanya saja, dia tampaknya sempat mengalami serangan panik yang cukup parah hingga menyebabkan dia pingsan," jelasnya dengan tenang dan detail. Bima merasa sedikit lega, menghela napas dalam-dalam. Meski begitu, masih ada pertanyaan lain yang mengganjal di hatinya. "Kalau kandungannya bagaimana, Dok?" "Kandungan istri Anda juga dalam keadaan baik dan sehat, Pak," jawab Dokter. "Tapi, untuk sementara waktu... Saya sarankan agar dia banyak beristirahat. Hindari aktivitas berat dan berikan dia ketenangan hati serta pikiran. Nona Jenny, istri Anda, sepertinya pernah mengalami trauma di masa lalu. Hal ini tentu tidak baik untuk kesehatannya, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini." "Trauma apa yang dimaksud, Dok?" Meski dia sudah memiliki dugaan sendiri, tapi Bima ingin mendapatkan penjelasan langs
"Om mau apa? Aku nggak mau ... eemmmppptt!!" Ucapan Jenny terhenti begitu saja ketika Lukman berhasil membungkam mulutnya dengan sebuah ciuman. Kedua matanya langsung terbelalak, terkejut dengan tindakan tak terduga ini. Perasaan takut dan kebingungan memenuhi pikirannya. Braakkkk!! Tiba-tiba, pintu kamar itu terbuka dengan kasar. Bima, yang masuk dengan tergesa-gesa, terkejut melihat apa yang sedang terjadi. Wajahnya penuh dengan kejutan dan kemarahan. Dia tidak bisa mempercayai apa yang dia lihat, bahwa Lukman berani menyentuh istri yang dicintainya. "Brengseek kau, Lukman!! Berani-beraninya menyentuh istriku!!" geram Bima dengan suara yang penuh emosi. Hatinya terbakar oleh kemarahan yang tak terbendung. Amarah yang memuncak membuatnya langsung berlari menuju Lukman dan menendang tubuhnya dengan kasar, membuat pria itu terjatuh dari ranjang. Bima merasa penuh dengan kekuatan dan tekad untuk melindungi orang yang dia cint
Dengan tubuh gemetar dan penuh ketakutan, Jenny berjuang sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari cengkraman pria tersebut. Dia mendorong dengan keras dan berteriak sekuat tenaga, berharap ada seseorang yang mendengar dan datang menyelamatkannya."Toloooongg!!""Siapa pun tolong selamatkan aku!! Aku mohoooonn!!!" Namun, pria itu tetap erat memeluk Jenny, mengabaikan teriakan dan perlawanan putus asanya. Bahkan secara cepat, dia langsung mencium bibir Jenny.Cup~Mata Jenny kembali membulat. Seketika dia merasakan dejavu, karena peristiwa pemaksaan seperti ini kerap kali dia dapatkan dimasa lalu.Dengan buru-buru, tangan Jenny meraba sembarang. Mencari apa pun benda untuk bisa menyelamatkannya.Dalam keputusasaannya, akhirnya Jenny mendapatkan sesuatu di sekitarnya. Sebuah ponsel terjatuh ke tangannya. Tanpa ragu, dia langsung menghantamkan benda itu ke kepala pria tersebut dengan kencang. Buuugghh!!
Dengan sigap, pria itu mengangkat tubuh Jenny sebelum dia terjatuh. Kemudian, dia memasukkan tubuh Jenny ke dalam box kosong di atas troli. Dia memang sengaja membawa benda itu, dengan tujuan memasukkan Jenny ke dalam sana. Setelah memastikan situasinya aman, pria itu dengan cepat mendorong troli tersebut menjauh. Pergi dari tempat kejadian. Tak lama setelah kepergiannya, Eka keluar dari toilet sambil mengusap-usap kebayanya dengan tissue. Dia baru saja selesai membersihkan diri. "Lho, kukira Jenny sudah keluar duluan? Ternyata belum?" Saat tidak melihat kehadiran menantunya, Eka mulai khawatir. Tanpa ragu, Eka kembali masuk toilet untuk mencari Jenny. Jenny sudah cukup lama berada di dalam, membuat Eka semakin gelisah."Jen ... belum selesai juga kamu?" tanya Eka dengan suara agak keras pada salah satu bilik toilet. "Apa kamu kesusahan? Mau Bunda bantu nggak, Jen?" tawarnya, lalu dengan hati-hati membuka pintu tersebut. Cek