"Itu dadamu banyak busa behha. Kamu cuci dulu lalu lepaskan behhamu. Nanti kalau Nona Kaila tersendak bagaimana, Jen?" Weni yang begitu teliti mengurus anak majikannya itu tentu tak mungkin membiarkan itu terjadi. "Kamu juga bau asem, belum mandi, ya?" Setelah duduknya lebih dekat, Weni mencium aroma asem pada tubuh gadis itu. Ditambah rambutnya juga bau matahari.
Jenny mengangguk. "Iya, aku belum mandi dari sore, Mbak."
"Dih jorok banget. Mandi dulu sana. Lalu ganti pakaian dan behhamu. Tubuhmu harus bersih saat menyusui, nanti dimarahi Pak Bima kalau dia tahu," tegur Weni.
"Maaf, Mbak. Aku nggak tahu. Ya sudah aku mau mandi dulu deh. Tapi ini Nona Kailanya nangis, gimana?"
"Biar aku timang-timang dulu. Kamu mandinya yang cepat tapi bersih." Weni mengambil Kaila di tangan Jenny, lalu menimang-nimangnya.
Jenny mengangguk, dia langsung berjongkok untuk membuka tas jinjingnya. Lalu mengambil pakaian. Weni melihat apa saja yang dia ambil, yakni baju tidur lengan pendek, tetapi Jenny terlihat kebingungan memilih bra sebab semua branya sama seperti yang dia pakai, yaitu koyak.
"Jangan pakai behha deh, Jen," saran Weni.
"Iya." Jenny mengangguk cepat, dia pun memasukkan kembali 3 bra itu ke dalam tas, kemudian merogoh CD berwarna cream. Weni melihat cellana dalam itu sama saja tak layak pakai, ada lubang di bagian tengah seperti digigit tikus dan kolornya pun seperti sudah kendor.
Akan tetapi Weni hanya diam saja dan geleng-geleng kepala sambil menatap punggung Jenny yang sudah menghilang dari balik pintu kamar mandi.
'Perasaan Jenny masih muda, kok pakaiannya jelek semua? Apa dia nggak malu atau risih gitu pakai pakaian seperti itu? Harusnya 'kan sudah dibuang,' batin Weni dengan kening yang mengerenyit.
*
*
Jenny terlihat meringis sambil merem melek kala merasakan hisapan bibir Kaila yang tengah melahap puncak dadanya. Hisapannya itu cukup kasar dan tampak jelas kalau dia benar-benar haus.
"Lebay banget ekspresimu, Jen. Sambil merem melek begitu," ujar Weni sambil terkekeh saat memperhatikan wajah Jenny, terlihat mengemaskan sekali dan kedua pipinya juga merona.
"Geli campur sakit, Mbak." Jenny ikut terkekeh. Dia merasakan buku kuduknya berdiri.
"Beda ya, Jen, rasanya dengan menyusui bayi gede."
"Bayi gede?" Alis mata Jenny bertaut. "Memang ada bayi gede? Udah gede mah nggak bakal nyusu kali, Mbak."
"Itu suamimu, kan dia bayi gede. Pasti doyan nyusu juga, kan?"
"Aku nggak punya suami." Jenny menggeleng.
"Oh, sudah bercerai?"
Jenny tampak terdiam beberapa saat, lalu menggeleng.
"Maaf, Mbak. Itu terlalu pribadi. Aku nggak nyaman untuk menceritakannya."
"Ah maafkan aku. Sepertinya aku terlalu kepo." Weni tersenyum tipis lalu mengusap punggung Jenny dengan lembut. "Aku memang kadang suka begitu, kalau sudah tanya malah banyak bertanya. Dan rasanya bibirku gatal saja, soalnya aku baru punya teman yang bisa diajak ngobrol di sini."
"Memangnya Mbak kerja di sini sendirian? Nggak ada pembantu?"
"Ada, tapi orangnya ngeselin."
"Ngeselinnya gimana?"
"Nanti kamu juga tahu sendiri. Oh ya, nanti besok kamu beli pakaian dallam, Jen. Apalagi behha. Kamu musti ganti itu, sudah nggak layak pakai."
"Buat belinya aku nggak ada uang, Mbak."
"Belinya yang murah, yang 20 ribu juga ada perasaan, nanti beli aja lima buat gonta ganti."
"Masalahnya aku hanya pegang uang dua puluh lima ribu sekarang, Mbak. Belum buat ongkos sekolah dan masa aku nggak pegang uang sama sekali?"
"Kamu masih sekolah?"
Jenny mengangguk. "Iya."
"Kelas berapa?"
"Kelas 3 SMA."
'Masih sekolah tapi dia sudah melahirkan? Apa mungkin ... ah tapi biarkan saja. Itu 'kan urusan Jenny.' Weni menepis rasa penasaran di hatinya.
"Oh begitu. Ya sudah ... mending besok pas kamu ketemu Pak Bima kamu sekalian saja minta kasbon. Jangan lupa bilang juga karena mau beli behha. Pasti dikasih."
"Memangnya bisa dan segampang itu, Mbak, minta kasbon?"
"Ya nggak tahu juga, sih, tapi minimal coba dulu saja." Weni terkekeh, dia sendiri juga tak yakin tetapi sudah menyarankannya.
"Iya deh, besok aku coba tanya."
"Ya sudah ... berhubung ini sudah malam dan aku mengantuk ... aku tidur dulu, ya? Aku ada di kamar sebelah. Yang kamarnya kecil itu." Weni mengambil Kaila di tangan Jenny sebab bayi itu sudah terlihat pulas dan seperti kenyang habis minum susu. Lalu setelah itu merebahkannya di atas ranjang lalu menutup kelambunya. Takut jika ada nyamuk masuk dan dia digigit.
"Aku ditinggalin di sini? Dan terus aku tidur di mana?"
"Yang kamu duduki itu 'kan kasur. Kamu tidur di situ." Weni menunjuk apa yang dia maksud.
"Kenapa Mbak nggak tidur denganku saja di sini? Masa aku sendirian? Nanti kalau Nona Kaila bangun butuh apa-apa bagaimana?"
"Nona Kaila jarang bangun kalau malam, tapi kalau semisal bangun dan kamu bingung ... kamu langsung masuk saja ke kamarku, kamarnya nggak akan aku kunci." Bukan Weni tidak mau menemani, tetapi kasurnya terlalu kecil hingga tak cukup untuk dua orang. Tidak mungkin juga dia tidur di lantai, karena di sana tak ada tikar atau pun kasur lantai.
"Ya sudah deh." Jenny mengangguk pasrah. Sebelum Weni pergi dari sana dia menunjukkan kamar yang dia maksud terlebih dahulu, supaya nanti Jenny tak salah masuk nanti. "Selamat malam, Mbak."
"Malam."
Jenny menutup pintu kamar, lalu dia pun berjalan menuju ranjang Kaila. Ingin memastikan bayi itu sudah tidur lelap atau belum, sebelum dirinya tidur.
Tiba-tiba terdengar suara pintu yang dibuka dan sedikit keras hingga handle pintu itu menghantam tembok. Jenny berbalik badan dan seketika matanya membulat kala melihat seorang pria berjas tengah berjalan sempoyongan masuk ke dalam. Wajahnya tampak merah dan penuh keringat, matanya juga sayu.
"Raya ... ternyata kamu di sini? Pantes aku cari-cari di kamar nggak ketemu," ucapnya lirih sambil tersenyum.
"Bapak siapa?" tanya Jenny dengan langkah mundur saat pria itu mulai mendekatinya.
"Kok kamu panggil aku Bapak? Biasanya 'kan Mas?" Pria itu makin mendekat hingga tubuh Jenny terjatuh di atas kasur sebab betis belakangnya tersandung ranjang.
Bruk!
Melihat Jenny sudah terlentang, dengan cepat pria itu pun langsung naik ke atas kasur dan menghimpit tubuhnya. Jenny seketika terbelalak lantaran terkejut dengan apa yang dia lakukan. Mulutnya terbuka hendak berteriak, tetapi sayangnya tak jadi sebab pria itu sudah membungkamnya dengan bibirnya sendiri.
Cup~
Pria itu melummat kasar bibir Jenny dan sedikit menekan kepalanya sebab tampak jelas gadis itu sejak tadi tak bisa diam.
Tubuh Jenny langsung bergetar hebat, seluruh bulu kuduknya seketika berdiri. Rasa takut itu menyelimuti seluruh jiwanya.
'Ya Allah, siapa dia? Apa dia akan memperkosaku? Aku nggak mau!" batin Jenny menyeru.
Jenny mencoba mendorong-dorong dada bidang pria itu, tetapi tampak kesusahan. Kaki Jenny yang hendak berontak juga dijepit oleh kakinya, pria itu seperti mengunci Jenny dalam kungkungannya.Perlahan kedua tangan pria itu meraba dada tanpa bra itu, kemudian mulai meremmasnya. Seketika Jenny pun membulatkan matanya, lalu merasakan air susunya keluar membasahi baju.Kreek...Baju Jenny tiba-tiba ditarik olehnya hingga robek. Bukan karena tarikannya yang begitu keras, hanya saja baju Jenny memang sudah rapuh hingga cepat robek meski ditarik sedikit.Lumattan kasar yang membuat Jenny sesak napas itu langsung terlepas, gadis itu pun segera menghirup oksigennya dalam-dalam."Bapak siapa dan ... Aaakkkhhh!" Jenny mengerang kuat saat pria itu tengah menghisap salah satu dadanya dengan kasar, lalu puncak dada satunya dia jepit di antara jari tengah dan telunjuk. Baru setelahnya dia remat dengan kasar."Tolong!" teriak Jenny sekencang-kencangnya. Dia tak peduli kalau Kaila terbangun akibat kaget
"Tapi aku Pak Bima." Bima menepuk dadanya dan seketika membuat langkah Jenny terhenti."Pak Bima? Jadi Bapak yang—""Ada apa, Jen?" tanya Weni yang baru saja berlari menuruni anak tangga, dia menghampiri gadis itu sebab sempat mendengar teriakannya.Jenny langsung memeluk tubuh Weni, lalu beringsut ke belakangnya. Entah apa yang dilakukan, tetapi yang jelas saat ini dia bingung bercampur takut."Pria itu yang mencoba memperkosaku semalam, Mbak," ujarnya lirih sambil menatap mata Bima sebentar.Sontak—Weni dan Bima membulatkan matanya dengan lebar. Mereka tampak kaget."Aku mencoba memperkosamu?" Bima mengulang perkataan Jenny dengan wajah bingung."Dia Pak Bima, Jen. Bosmu," kata Weni."Tapi dia orang yang sama yang mencoba memperkosaku semalam.""Masa, sih? Tapi rasanya nggak mungkin." Weni menggeleng cepat. Dia benar-benar tak percaya sebab selama dirinya kerja dengan Bima, pria itu tak pernah melakukan tindakan asusila.Weni memang tahu, jika Bima sering mabuk kalau pulang malam. N
Mata Jenny seketika membulat, lalu dia pun menepis tangan Bima. Bisa-bisanya Bima dengan enteng mengatakan ingin menikahinya.Ya mungkin dia merasa bertanggung jawab atas apa yang dia perbuat. Tetapi Jenny tentu tahu jika Bima masih mempunyai istri. Dia tidak mau menjadi istri kedua dan terlebih Jenny pun tak punya perasaan pada pria itu."Pak, berhenti di sini," pinta Jenny pada sang sopir angkot yang mana dianggukan olehnya. Setelah mobil merah itu terhenti, Citra langsung membayar lalu turun. Bima juga melakukan hal yang sama."Jen, aku akan bertanggung jawab. Aku akan menikahimu." Bima berlari mengejar Jenny yang berjalan cepat disisi jalan raya, gadis itu benar-benar seperti menghindarinya."Aku nggak mau, Pak." Jenny menggeleng cepat seraya menghentikan langkah. Jujur, dia saat ini bingung mau kemana. "Bapak sekarang pulang saja," ujarnya tanpa melihat ke arah Bima. Bahkan sejak dalam angkot pun dia tak menatapnya."Aku akan pulang denganmu.""Tapi aku 'kan sudah bilang kalau ak
"Selingkuh? Siapa yang selingkuh?!" Bima menyahutinya dengan sebuah teriakan. Kedua mulut manusia itu saling berbicara dengan nada tinggi dan itu membuat telinga Jenny berdengung sakit.Weni yang baru saja turun dari anak tangga segera menghampiri Jenny yang berdiri mematung, dia pun langsung merangkulnya dan membawanya pergi menuju lantai atas."Mas nggak usah ngelak, aku sudah dengar kalau Mas memperkosanya!" tuduh Soraya dengan kedua tangan yang mengepal kuat."Kamu dengar dari siapa? Siapa yang memberitahu?" Bima mengatur napas dan emosinya yang sudah naik ke ubun-ubun. Jika sudah bicara dengan Soraya, terkadang ada saja yang membuatnya emosi."Bi Ijah!"Bi Ijah adalah pembantu di rumah itu."Itu nggak benar!" tegas Bima. "Aku nggak memperkosanya, itu cuma baru mau tapi nggak beneran terjadi.""Mas bohong!" teriak Soraya tak percaya. "Pengemis itu bajunya sampai robek, aku nggak percaya kalau dia dan Mas nggak ngapa-ngapain!""Namanya Jenny, bukan pengemis!" tegas Bima. Dia pun me
"Semoga saja nggak, nanti aku lihatin kamu dari lantai atas. Kalau Bu Raya bersikap kasar ... aku akan menghampirimu dan membantumu, Jen." Weni tahu bagaimana karakter Soraya, wanita itu memang suka main tangan. Dia sendiri juga sering ditampar hanya masalah sepele saja."Iya, Mbak." Jenny mengangguk. Sebelum pergi Weni mengolesi dulu salep pada pipi kiri bekas tamparan. Pipi kiri gadis itu tampak lebam kemerahan."Bismillah dulu, Jen," tegur Weni saat melihat gadis itu hendak keluar kamar. Jenny tersenyum dan mengangguk kecil. Lalu berjalan keluar dari kamar.Rasanya seperti Dejavu, kejadian ini seperti apa yang dia alami tadi pagi. Dipanggil oleh seseorang yang berada di ruang tamu.Hanya saja bedanya kini Soraya tengah duduk dengan kaki menyilang menumpang di atas meja. Jenny menghampirinya dengan membungkuk sopan dan menundukkan wajahnya."Apa Ibu memanggilku?" tanya Jenny dengan lembut sambil tersenyum kecil.Soraya menatap Jenny dari ujung kaki ke ujung kepala. Baginya tak ada y
"Kenapa? Bu Raya harus diadukan sama Pak Bima. Itu 'kan bukan kesalahanmu." Weni mengambil ponselnya dari tangan Jenny, dia hendak mengetik panggilan itu tetapi tak jadi lantaran Jenny berkata,"Nanti Bu Raya malah makin marah sama aku, Mbak. Jangan lakukan itu. Aku barusan habis digaji dan aku nggak mau cari masalah." Jenny menggeleng cepat."Digaji?" Kening Weni mengernyit. "Kamu baru kerja sudah digaji? Benarkah? Berapa itu, Jen?" Mata Weni berbinar, dia tampak bahagia mendengarnya."Aku nggak boleh memberitahu siapa pun tentang gajiku, Mbak. Bu Raya yang melarang.""Kenapa memangnya? Eemm ... ada 4 juta? Sama denganku?"'4 juta? Jadi Mbak Weni digaji segitu? Besar juga, ya? Ah ... tapi 'kan dia kerjanya capek. Wajar juga kalau besar.'"Hei! Ditanyain malah ngelamun kamu!" seru Weni sambil menepuk paha Jenny hingga membuat gadis itu terhenyak. Dia pun langsung tersenyum manis."
"Jenny, apa pipimu itu ...." Ucapan Bima menggantung, kala Jenny sudah turun duluan dari mobil angkot. Dan memang sudah sampai. "Biar aku yang bayar, ini, Pak." Bima menyerobot tangan Jenny yang hendak membayar ongkos mobil.Setelah itu Jenny pun langsung berlari masuk ke dalam saat gerbangnya dibukakan oleh Muklis. Dia takut jika nantinya Raya akan cemburu saat mengetahui Bima pulang dengannya."Bapak kok naik angkot sama Jenny?" tanya Muklis ketika Bima masuk ke dalam gerbang."Aku nggak sengaja ketemu dengannya. Oh ya, tolong ambil mobilku di pertigaan sana, Klis.""Kuncinya, Pak?" Muklis menadahkan tangannya ke arah Bima."Ada di mobil."Bima pun melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, terlihat ada Weni yang sedang duduk di sofa sambil mengajak Kaila bercanda."Duh, anak Papa yang paling cantik. Wangi banget nih, kayaknya sudah mandi, ya?" Bima menghirup aroma segar bayi, jelas memang Kaila baru selesai mandi. Segera dia pun mendekatinya lalu mengambil alih bayi cantik itu dari
"Iya, Mbak." Jenny mengangguk patuh, dia pun mengambil piring dan segelas air putih di atas meja. Perlahan Jenny menurunkan tubuhnya, mungkin sedikit lagi bokongnya yang sintal itu mendarat ke lantai. Tetapi secara tiba-tiba ada sebuah lengan kekar yang menahannya.Jenny mendongakkan wajahnya, seketika matanya membulat kala tangan itu ternyata milik Bima. Pria tampan itu lantas mengangkat bokongnya hingga dia berdiri kembali."Sejak kapan Bibi menjadi majikan di sini?!" seru Bima dengan suara lantang. Bi Ijah yang tengah menuangkan nasi ke atas piringnya itu langsung menoleh, matanya seketika membulat."Apa maksud Bapak?" tanya Bi Ijah dengan kening yang mengerenyit. Dia menatap tangan Bima yang berada di pinggang Jenny. Cepat-cepat Jenny menjauhkan tubuhnya dari Bima, tetapi pria itu mencekal tangannya."Maksud Bapak, maksud Bapak. Memangnya aku nggak tahu, tadi Bibi meminta Jenny makan di bawah? Aku melihatnya!" Kedatangan Bima ke dapur ingin meminta Bi Ijah untuk membuatkan kopi, t
"Husss!! Jangan ngomong kayak gitu!" Bima menasehati dengan suara yang lembut, namun penuh ketegasan. Tangannya mengusap dahi Jenny dengan penuh kasih, mencoba menghapus ketakutan yang menghantui pikirannya. "Lebih baik kita berdo'a sama Allah, dan berpikir positif. Aku sendiri yakin... semuanya akan baik-baik saja."Dengan kata-kata Bima, Jenny menemukan sedikit ketenangan. Dia mengangguk, menerima saran Bima untuk terus berdoa dan memelihara pikiran positif. Mereka bersama-sama memohon kepada Allah, berharap dan percaya bahwa segala sesuatunya akan berjalan dengan baik.Selama kehamilan kedua ini, Jenny hampir tidak pernah absen dari kontrol kehamilan. Bima, dengan kepeduliannya yang tak pernah surut, selalu mengingatkan dan bahkan sering kali lebih bersemangat dari Jenny sendiri untuk memastikan semuanya berjalan lancar.Wajar begitu, Bima sendiri merasa sangat bahagia dan bersyukur karena diberikan kesempatan untuk menjadi seorang Ayah dari darah dagingnya sendiri.Kabar tentang ha
"Ya sudah, kalian hati-hati dijalan, ya? Semoga semuanya berjalan dengan lancar," ucap Eka seraya mengusap pipi anaknya lalu memeluk tubuh Jenny sebentar."Amin, Bun," jawab Bima lalu mencium tangan Eka, kemudian disusul oleh Jenny. "Ya udah, kami berangkat. Assalamualaikum.""Walaikum salam."**Setelah datang ke kantor polisi dan memberikan keterangan, Jenny langsung diarahkan ke rumah sakit untuk melakukan visum.Pihak polisi mengajukan, selain itu Bima juga sempat memintanya. Semua itu demi membuktikan, apakah Jenny sempat diperk*sa dalam keadaan tidak sadar atau tidak. Karena jika bertanya langsung kepada Lukman, itu akan sia-sia saja.Seperti pepatah mengatakan, mana ada maling ngaku. Kalau ada, penjara akan penuh.Setelah selesai dengan urusan polisi, keduanya pulang ke rumah kemudian berlanjut pergi ke mall bersama Eka, Kaila dan juga Weni.*Hari ini terasa sangat melelahkan bagi Jenny, na
'Dia masih belum tidur, kenapa ya?' pikiran itu berkecamuk dalam benak Bima, membuatnya merasa bingung dengan perilaku Jenny. Dalam kebingungan itu, dia memutuskan untuk memejamkan mata, berharap dengan begitu, Jenny akan tergoda untuk segera tidur. "Zzzzz ...." Hanya dalam hitungan menit, suara dengkuran halus dan ritmis itu mengisi udara malam, memecah keheningan yang sebelumnya memenuhi ruangan. Jenny, yang sebelumnya menahan diri, kini membuka mata kembali. Matanya menatap Bima, yang tampak begitu tenang dalam tidurnya. "Ish!!" Gumamnya pelan, rasa sebal memenuhi hatinya. Melihat Bima yang dengan mudahnya memasuki dunia mimpi, sementara dirinya masih terjaga, membuat Jenny merasa frustrasi. Bagaimana bisa pria itu lebih dulu terlelap ketimbang dirinya, padahal Jenny tengah berjuang melawan hasrat dalam dirinya yang begitu kuat dan mendalam.***Keesokan harinya, Bima terbangun perlahan-lahan dan terhanyut oleh aroma wangi sabun yan
Pak Polisi yang sebelumnya menginterogasi Lukman mengambil sikap tegas. Dia menatap Lukman yang terlihat putus asa. "Meskipun Anda mengelak, itu akan sia-sia, Pak. Bukti yang ada sangat kuat menunjukkan bahwa Anda bersalah. Kita hanya perlu menunggu keterangan dari saudari Jenny, dan setelah itu Anda akan ditahan sebagai tahanan di sini." Lukman menolak dengan cepat, menggelengkan kepalanya. "Enggak! Aku nggak mau, Pak! Aku nggak bersalah, ngapain dipenjara? Aku di sini hanya ingin membantu Jenny, menyelamatkan hidupnya dari kebahagiaan palsu dengan Bima. Karena hanya aku yang bisa membuatnya bahagia!" Lukman berteriak dengan putus asa. Dia terlihat kehilangan akal sehatnya, bahkan melawan saat dua polisi menyeretnya keluar dari ruangan. "Lepas!! Lepaskan akuuuu!! Lily sayaaaang, tolong selamatkan aku!!" Lukman berteriak sembari berusaha melepaskan diri, meskipun terlihat sia-sia. "Jangan penjarakan akuuu!! Aku nggak bersalaaahhh!!"Lukma
Polisi itu mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Sebelumnya mohon maaf, Ibu ini siapanya Pak Lukman? Saya ingin bertemu saudari Lily, istri dari Pak Lukman." Lily dengan tegas menjawab, "Aku Lily, Pak. Aku adalah istri dari Lukman." "Baik, kebetulan sekali. Saya ingin meminta Ibu datang ke kantor polisi, untuk memberikan keterangan terkait kasus yang sedang ditangani. Saat ini... Pak Lukman sedang ditahan di kantor polisi karena kasus penculikan dan percobaan pelecehan terhadap saudari Jenny Salsabila," jelas Pak Polisi dengan penuh kehati-hatian. Soraya dan Lily sama-sama terkejut, suara mereka terdengar serempak, "A-apa?!" Soraya menatap Lily dengan wajah penuh kebingungan, mencari kepastian. Lily, yang masih terkejut, menegaskan, "Bagaimana mungkin itu terjadi, Pak? Itu nggak mungkin! Lukman nggak mungkin melakukan hal seperti itu!" Soraya mencoba memahami situasi dengan bertanya, "Jenny yang dimaksud Pak Polisi itu, s
"Bagaimana keadaan istriku, Dok? Apakah dia baik-baik saja?" Dokter tersebut, dengan wajah yang penuh empati, menjawab, "Istri Anda baik-baik saja, Pak. Hanya saja, dia tampaknya sempat mengalami serangan panik yang cukup parah hingga menyebabkan dia pingsan," jelasnya dengan tenang dan detail. Bima merasa sedikit lega, menghela napas dalam-dalam. Meski begitu, masih ada pertanyaan lain yang mengganjal di hatinya. "Kalau kandungannya bagaimana, Dok?" "Kandungan istri Anda juga dalam keadaan baik dan sehat, Pak," jawab Dokter. "Tapi, untuk sementara waktu... Saya sarankan agar dia banyak beristirahat. Hindari aktivitas berat dan berikan dia ketenangan hati serta pikiran. Nona Jenny, istri Anda, sepertinya pernah mengalami trauma di masa lalu. Hal ini tentu tidak baik untuk kesehatannya, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini." "Trauma apa yang dimaksud, Dok?" Meski dia sudah memiliki dugaan sendiri, tapi Bima ingin mendapatkan penjelasan langs
"Om mau apa? Aku nggak mau ... eemmmppptt!!" Ucapan Jenny terhenti begitu saja ketika Lukman berhasil membungkam mulutnya dengan sebuah ciuman. Kedua matanya langsung terbelalak, terkejut dengan tindakan tak terduga ini. Perasaan takut dan kebingungan memenuhi pikirannya. Braakkkk!! Tiba-tiba, pintu kamar itu terbuka dengan kasar. Bima, yang masuk dengan tergesa-gesa, terkejut melihat apa yang sedang terjadi. Wajahnya penuh dengan kejutan dan kemarahan. Dia tidak bisa mempercayai apa yang dia lihat, bahwa Lukman berani menyentuh istri yang dicintainya. "Brengseek kau, Lukman!! Berani-beraninya menyentuh istriku!!" geram Bima dengan suara yang penuh emosi. Hatinya terbakar oleh kemarahan yang tak terbendung. Amarah yang memuncak membuatnya langsung berlari menuju Lukman dan menendang tubuhnya dengan kasar, membuat pria itu terjatuh dari ranjang. Bima merasa penuh dengan kekuatan dan tekad untuk melindungi orang yang dia cint
Dengan tubuh gemetar dan penuh ketakutan, Jenny berjuang sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari cengkraman pria tersebut. Dia mendorong dengan keras dan berteriak sekuat tenaga, berharap ada seseorang yang mendengar dan datang menyelamatkannya."Toloooongg!!""Siapa pun tolong selamatkan aku!! Aku mohoooonn!!!" Namun, pria itu tetap erat memeluk Jenny, mengabaikan teriakan dan perlawanan putus asanya. Bahkan secara cepat, dia langsung mencium bibir Jenny.Cup~Mata Jenny kembali membulat. Seketika dia merasakan dejavu, karena peristiwa pemaksaan seperti ini kerap kali dia dapatkan dimasa lalu.Dengan buru-buru, tangan Jenny meraba sembarang. Mencari apa pun benda untuk bisa menyelamatkannya.Dalam keputusasaannya, akhirnya Jenny mendapatkan sesuatu di sekitarnya. Sebuah ponsel terjatuh ke tangannya. Tanpa ragu, dia langsung menghantamkan benda itu ke kepala pria tersebut dengan kencang. Buuugghh!!
Dengan sigap, pria itu mengangkat tubuh Jenny sebelum dia terjatuh. Kemudian, dia memasukkan tubuh Jenny ke dalam box kosong di atas troli. Dia memang sengaja membawa benda itu, dengan tujuan memasukkan Jenny ke dalam sana. Setelah memastikan situasinya aman, pria itu dengan cepat mendorong troli tersebut menjauh. Pergi dari tempat kejadian. Tak lama setelah kepergiannya, Eka keluar dari toilet sambil mengusap-usap kebayanya dengan tissue. Dia baru saja selesai membersihkan diri. "Lho, kukira Jenny sudah keluar duluan? Ternyata belum?" Saat tidak melihat kehadiran menantunya, Eka mulai khawatir. Tanpa ragu, Eka kembali masuk toilet untuk mencari Jenny. Jenny sudah cukup lama berada di dalam, membuat Eka semakin gelisah."Jen ... belum selesai juga kamu?" tanya Eka dengan suara agak keras pada salah satu bilik toilet. "Apa kamu kesusahan? Mau Bunda bantu nggak, Jen?" tawarnya, lalu dengan hati-hati membuka pintu tersebut. Cek