Pukul lima sore Salsa mulai mengerjapkan matanya, perlahan kelompok matanya terbuka sempurna. Salsa mengedarkan pandangannya, ia menangkap sosok pria yang tak lain adalah Dewa, suaminya. Terlihat jika pria berkemeja navy itu tengah duduk di sofa dengan, matanya fokus pada layar leptop yang ada di pangkuannya.
Perlahan Salsa bangkit dan duduk, ia melihat jika Dewa benar-benar sibuk dengan leptop yang berada di pangkuannya itu. Salsa teringat akan kejadian siang tadi, di mana Sinta yang tak lain ibu mertuanya itu sudah habis-habisan memaki dan menghinanya. Tak terasa air mata yang sedari tadi ia tahan kini luruh juga. Dewa yang menyadari sang istri sudah bangun, dengan segera ia bangkit dari duduknya.
"Salsa kamu sudah bangun?" tanya Dewa seraya berjalan menghampiri sang istri.
"Sudah, Om." Salsa mengangguk lalu dengan cepat menghapus air matanya.
Dewa duduk di sebelah istrinya itu, sementara Salsa nampak gelisah. Wanita bermata teduh itu masih memikirkan kejadian saat berada di resto. Dewa merasa heran dengan istrinya yang terlihat aneh itu. Tidak biasanya Salsa diam seperti itu, pria berkemeja navy itu terus memperhatikan raut wajah Salsa yang terlihat gusar itu.
"Salsa, kamu baik-baik saja kan?" tanya Dewa, tangan besarnya meraih jemari mungil sang istri.
"Ah, aku nggak apa-apa kok, Om. Aku hanya lelah saja," kilahnya. Tidak mungkin Salsa menceritakan yang sesungguhnya.
"Ya sudah, oh iya sebenarnya hari ini aku mau ke rumah mama. Mama ngajakin aku untuk makan malam, tapi sepertinya aku batalkan saja. Aku khawatir dengan keadaanmu yang seperti sekarang ini," ungkap Dewa. Jujur ia benar-benar khawatir dengan keadaan istrinya itu.
"Om Dewa perhatian banget, tapi setelah dia tahu yang sebenarnya. Pasti, om Dewa akan membenciku," batin Salsa dengan raut wajah sedih.
"Om pergi saja, aku nggak apa-apa kok. Aku hanya lelah dan ingin istirahat saja," ujar Salsa. Ia ingin jika Dewa tetap pergi ke rumah orang tuanya.
"Beneran kamu nggak apa-apa aku tinggal sendirian?" tanya Dewa untuk memastikan.
Salsa mengangguk. "Iya, Om. Aku nggak apa-apa kok."
"Ya sudah, kamu hati-hati ya. Aku nggak lama kok, jangan lupa buburnya di makan," ucap Dewa memperingati.
"Iya, Om." Salsa tersenyum, dan dibalas dengan kecupan mesra di bibir ranumnya oleh Dewa.
Setelah itu Dewa beranjak keluar dari kamar, jujur ia merasa tidak tenang saat harus meninggalkan Salsa sendirian di apartemen miliknya. Dewa berjalan menuju basemen untuk mengambil mobilnya. Setibanya di sana, pria dengan balutan kemeja berwarna putih dan dibalut dengan blazer berwarna biru tua bergegas masuk ke dalam mobil. Setelah itu Dewa melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi.
***
Mobil BMW i8 berwarna putih berhenti di pelataran rumah mewah berlantai dua. Selepas itu, seorang pria berlesung pipi keluar dari mobil mewah tersebut. Siapa lagi kalau bukan Dewa, ia berjalan masuk ke dalam rumah ibunya. Setibanya di dalam Dewa bergegas menuju ruang makan di mana ibu serta kakeknya sudah menunggu.
Dewa menghentikan langkahnya saat melihat bukan hanya ibu dan kakeknya yang berada di ruang makan. Melainkan, ada Viola dan kedua orang tuanya. Jujur, Dewa merasa malas saat melihat wanita itu. Pantas saja perasaannya tidak enak, ternyata ibunya sudah merencanakan semua ini. Sinta sengaja menyuruh putranya datang karena ada maksud tertentu.
"Dewa, ayo duduk. Kami sudah lumutan nungguin kamu," ujar Sinta. Sementara Dewa hanya menyunggingkan senyumnya.
Dewa berjalan menghampiri mereka, lalu menarik kursi dan duduk tepat di sebelah Viola. Wanita berhidung mancung itu tersenyum saat melihat pria idamannya duduk di dekatnya. Sementara Dewa hanya tersenyum tipis, pikiran pria itu tertinggal di apartemen. Dalam benak Dewa hanya ada Salsa, andai ia tahu akan seperti ini, pasti ia memilih untuk tetap bersama sang istri.
"Nak Dewa, bagaimana perusahaan yang kamu kelola sekarang?" tanya Rudy ayah Viola.
"Alhamdulillah lancar, Om. Saat ini ada empat pembangunan yang sedang berjalan, salah satunya ada pusat perbelanjaan di Bandung," jawab Dewa.
"Wah, ini namanya calon menantu idaman. Iya kan, Jeng," puji Rianti, ibunda Viola.
Sinta tersenyum. "Iya, jadi nggak sabar melihat mereka menikah."
Uhuk, uhuk, Dewa terbatuk-batuk saat mendengar pembicaraan dua ibu-ibu yang berada di hadapannya. Ini yang Dewa tidak suka dengan sifat ibunya, yaitu suka maksa. Sejak SMP Sinta dan Surya kakeknya selalu menentukan apa yang akan Dewa lakukan. Bosan, itu yang ia rasakan, hidup tidak bebas tidak seperti teman-temannya.
"Dewa, kamu kenapa?" tanya Surya.
"Keselek, Kek," jawab Dewa, ia mengambil segelas air putih lalu meneguknya.
"Belum makan udah keselek," ucap Surya, sementara Rudy hanya tersenyum.
Setelah itu, mereka segera memulai ritual makan malam bersama. Meski sedang menyantap makanan mewah yang sudah Sinta suguhkan. Namun pikiran Dewa selalu tertuju pada Salsa, entah sedang apa gadis itu sekarang. Ingin rasanya Dewa berkata jujur pada ibu dan kakeknya kalau dirinya telah menikah. Akan tetapi, ia takut waktunya kurang tepat, terlebih jika kakeknya memiliki riwayat penyakit jantung.
"Dewa, kamu kenapa? Aku perhatiin dari tadi seperti tidak fokus?" tanya Viola. Wanita berhidung mancung itu menatap pria yang duduk di sebelahnya.
"Ah, enggak apa-apa kok," elaknya. Tidak mungkin Dewa menceritakan yang sesungguhnya.
"Mungkin, Dewa sedang memikirkan seperti apa resepsi pernikahan kalian nanti," celetuk Sinta. Hal ini membuat Dewa tersedak, dengan cepat pria berlesung pipi itu meraih gelas untuk minum.
"Maksud, Mama apa?" tanya Dewa dengan penuh selidik.
"Sudah-sudah, kita bahas saja kapan tepatnya kalian berdua bertunangan," sela Surya. Hal itu membuat Dewa membulatkan matanya.
"Maksud, Kakek .... "
"Iya, itu lebih baik. Dewa, mama sama kakek ingin kalian berdua segera bertunangan. Dengan begitu .... "
"Maaf. Tapi, Dewa tidak bisa." Dewa memotong ucapan ibunya. Hal itu membuat senyum Viola memudar.
"Apa-apaan ini, Dewa kami sudah mempersiapkan semua ini. Kita tinggal mencari waktu dan hari yang tepat saja!" seru Surya. Pria berusia yang usianya hampir seabad itu menatap tajam ke arah cucunya.
Usia memang sudah tua, tetapi jiwanya masih muda. Surya juga merupakan tipe pria yang keras, apa yang sudah menjadi keputusannya, mau tidak mau harus dituruti. Maka tidak heran jika cucu dan kakek ini sering adu mulut karena perbedaan pendapat.
"Nak Dewa tidak mau bertunangan dengan putri kami, Viola?" tanya Rudy. Seketika Dewa mengalihkan pandangannya ke arah pria berkemeja kotak-kotak itu.
"Dewa, bukannya kita sudah sepakat untuk .... "
"Sepakat untuk apa? Viola, aku sudah sering bilang sama kamu kalau selama ini aku cuma menganggapmu sebagai seorang sahabat, tidak lebih dari itu," potong Dewa dengan cepat, seketika mata Viola berkaca-kaca.
"Kakek tidak mau tahu, kalian berdua akan tetap bertunangan," sergah Surya dengan suara lebih tinggi.
"Kalau begitu, Kakek aja yang tunangan sama Viola. Aku sudah punya is ... pilihan sendiri." Dewa meletakkan garpu dan sendok yang ia pegang dengan sedikit kasar.
"Maaf, aku masih banyak urusan, permisi." Dewa bangkit dari duduknya dan beranjak pergi.
"Dasar cucu kurang ajar. Apa ini yang kami ajarkan padamu, tidak sopan dengan orang tua. Dewa! Mau kemana kamu, kakek belum selesai bicara! Dewa." Surya terus berteriak memanggil cucunya itu. Namun Dewa sama sekali tidak merespon.
"Sinta, lihat kelakuan anakmu itu! Bikin malu saja!" bentak Surya, seraya memegangi dadanya.
"Ayah, sabar ya. Jangan terbawa emosi, besok biar Sinta yang urus anak itu." Sinta mencoba menenangkan ayahnya itu.
"Viola, Jeng. Maafkan kelakuan, Dewa ya. Nanti biar .... "
"Iya tidak apa-apa, mungkin Dewa butuh waktu untuk berpikir," potong Rianti dengan sopan, ia tersenyum meski dalam hatinya merasa dongkol.
Kini Dewa sudah ada dalam perjalanan pulang. Pria beralis tebal itu tak henti-hentinya mengumpat kesal, ia benar-benar tidak habis pikir jika ibu dan kakeknya terus kekeh untuk melakukan perjodohan itu. Dewa pernah menolaknya dengan sopan, mereka tetap memaksa dirinya untuk bertunangan dengan Viola. Wanita yang selama ini Dewa anggap sebagai seorang sahabat, lebih dari itu.
***
Pukul sepuluh malam Dewa baru tiba di apartemen, pria beralis tebal itu segera masuk ke dalam kamar. Dewa melepas blazer yang melekat di tubuhnya, lalu melemparkannya ke sofa. Ia berjalan mendekat ke arah ranjang, terlihat jika sang istri sudah terlelap dalam mimpi indahnya. Dewa duduk seraya memandangi wajah ayu Salsa, bahkan bayangan saat ia mengganti baju Salsa masih tersimpan di memori otaknya.
"Salsa, kita memang menikah karena terpaksa. Dan mungkin lebih tepatnya, aku sudah terjebak pernikahan denganmu. Meski rasa cinta belum sepenuhnya tumbuh, tetapi aku yakin kamu adalah wanita yang dikirim Tuhan untukku. Dan kamu yang akan menjadi ibu dari anak-anakku." Dewa membelai lembut wajah istrinya itu.
Dewa mendekatkan wajahnya, pria berkemeja putih itu hendak mencium bibir ranum sang istri. Namun hal tak terduga terjadi, tiba-tiba saja mata Salsa terbuka. Seketika Salsa membulatkan matanya, bahkan wanita itu hendak berteriak jika Dewa tidak cepat membungkam mulut istrinya itu dengan bibirnya. Bahkan jemari Dewa menelusup ke sela-sela jari Salsa agar ia lebih leluasa.
Setelah cukup lama, Dewa melepas benda kenyal tersebut. Napas Salsa terengah-engah, pasalnya wanita berambut panjang itu tidak tahu cara erespon apa yang sang suami lakukan. Meski begitu, Dewa sangat menikmatinya, ia tidak peduli jika istrinya itu tidak pandai melakukannya. Itu artinya jika Salsa jauh lebih baik dari wanita lain. Karena wanita seperti Salsa sangat sulit ditemukan.
"Aku ingin hakku malam ini juga," pinta Dewa, sementara Salsa masih terdiam.
"Jika aku menurutinya, apa aku tidak berdosa. Aku takut jika kami bersaudara, itu artinya hubungan kami .... " batin Salsa tiba-tiba terpotong saat Dewa kembali menyambar benda kenyal milik istrinya itu.
Cukup lama Dewa melakukannya, hingga akhirnya Salsa dapat merespon dan menikmati apa yang sang suami lakukan. Lama-lama Salsa terbuai oleh sentuhan demi sentuhan yang Dewa berikan, desahan pelan yang keluar dari mulut istrinya itu membuat hasrat Dewa naik. Dewa tidak sabar ingin cepat menuntaskannya, mendayu di samudera cinta, agar dapat mencapai kenikmatan bersama.
"Apa kamu sudah siap?" tanya Dewa. Seakan terhipnotis, Salsa langsung menganggukkan kepalanya.
Dewa tersenyum lalu kembali memcumbu mesra sang istri. Tangannya bergerak untuk melepas kancing kemejanya satu persatu. Setelah terlepas, Dewa membuka kemeja tersebut lalu ia lemparkan ke sembarang arah. Salsa meneguk salivanya sendiri saat melihat tubuh kekar sang suami. Dada bidangnya, serta perutnya yang seperti roti sobek itu membuat Salsa tidak bisa berhenti memandanginya.
Kini tubuh kedua sudah polos tanpa sehelai benang, dan Dewa sudah bersiap-siap untuk berolahraga agar bisa mencetak goal. Salsa terlihat ngeri saat sang suami akan memulai olahraga malamnya, ini adalah untuk yang pertama kakinya ia bersentuhan dengan seorang pria. Tinggal di desa dan jauh dari perkotaan membuat wanita berambut panjang itu kurang berpengalaman.
"Om, sakit apa tidak?" tanya Salsa.
"Enggak kok, paling seperti digigit semut," jawab Dewa.
"Sakit dong, Om. Soalnya waktu kecil aku pernah digigit semut, bekas gigitannya bengkak," balas Salsa.
Dewa menghela napas. "Mungkin kamu disengat lebah, tapi kamu ngiranya digigit semut."
"Beneran semut, Om. Masa, Om .... " ucapan Salsa terhenti saat Dewa membungkam mulutnya dengan benda kenyal milik suaminya itu.
Tanpa menunggu lama lagi, Dewa langsung memulainya, ia tidak ingin mendengar apapun dari mulut istrinya itu. Perlahan jerami Salsa meremas seprai kuat-kuat saat Dewa tengah memulai olahraga malamnya. Tak terasa cairan bening itu menetes dari sudut mata Salsa. Entah bahagia atau apa yang kini ia rasakan, lantaran ia belum tahu siapa Dewa yang sesungguhnya. Rasanya campur aduk, ada rasa bahagia karena Salsa telah memberikan apa yang sangat berharga dalam hidupnya itu pada pria yang telah menghalalkannya.
Namun ada rasa sedih, jika mereka terbukti bersaudara, karena Salsa belum tahu pasti kebenarannya. Namun untuk saat ini ia tidak ingin memikirkan hal tersebut. Salsa ingin menikmati kenikmatan yang tidak ada tandingannya. Dewa cukup puas dengan apa yang ia dapat untuk malam ini, ia berharap semoga benih yang ia tanam bisa cepat berbuah. Dengan begitu tidak ada yang bisa memisahkan mereka, meski itu kakeknya sendiri.
Dewa berbaring di samping sang istri, tak lupa ia mengecup lembut kening Salsa. "Terima kasih, kamu telah menjaganya dengan baik. Dan kamu telah memberikannya pada pria yang telah sah menjadi suamimu."
"Sama-sama, Om." Salsa menganggukkan kepalanya. Rasanya tulang belulang Salsa remuk semua, pasalnya entah berapa kali Dewa mencetak goal.
"Ya Tuhan, semoga apa yang kami lakukan tidak salah," batin Salsa. Ia takut jika mereka benar-benar bersaudara.
"Om, sekarang jam berapa?" tanya Salsa.
Dewa melirik jam yang berada di atas nakas. "Jam tiga pagi, memangnya kenapa."
"Olahraganya sudah kan, Om. Aku capek, tubuhku rasanya remuk," ucap Salsa. Kepolosannya membuat Dewa merasa gemas.
"Kalau lagi, memangnya kamu masih kuat?" tanya Dewa, dan dibalas dengan gelengan kepala oleh Salsa.
"Ya sudah, sekarang kita tidur saja. Besok pagi aku ada meeting. Jadi harus bangun cepet." Dewa menarik tubuh mungil Salsa dalam dekapannya.
Kini tubuh polos keduanya hanya terbungkus oleh selimut tebal. Salsa merasa sangat nyaman ada dalam dekapan sang suami, sementara Dewa semakin erat menedekap tubuh mungil istrinya itu. Ia tidak peduli dengan kisah selanjutnya yang akan terjadi di antara mereka berdua, jika ibu serta kakeknya mengetahui pernikahan tersebut. Yang jelas, saat ini dunia terasa milik berdua, yang lain hanya mengontrak
Hari telah berganti, pukul enam pagi Dewa sudah siap dengan baju kantornya. Sementara Salsa terlihat tengah membuat kopi untuk sang suami. Selesai menyeduh kopi, wanita berambut panjang itu berjalan menghampiri Dewa yang tengah sibuk memasang dasi di lehernya. Salsa menyodorkan secangkir kopi capuccino yang masih mengebul."Kopinya, Om," ucap Salsa."Terima kasih." Dewa menerima kopi tersebut.Perlahan Dewa mulai menyeruput kopi panas tersebut, tetapi belum sempat meneguknya. Tiba-tiba Dewa menyemburkan kopi itu, Salsa yang berdiri di sebelahnya terlonjak kaget. Wanita dengan balutan kaos lengan pendek dan celana di atas lutut itu merasa heran. Apakah kopi yang Salsa buat tidak enak, sampai-sampai Dewa menyemburkannya."Kopinya tidak enak ya, Om?" tanya Salsa."Salsa, kamu buat kopi pakek apa sih. Kok rasanya asin," ujar Dewa dengan menahan amarahnya. Pria berjas hitam itu mengambil tisu untuk
Setelah menemukan kemejanya, Dewa segera mengangkat panggilan video dari ibunya itu. Pria berlesung pipi itu menutup telinganya saat ibunya yang berada di seberang sana tengah ngomel tidak jelas. Malas rasanya jika harus mendengar omelan sang ibu. Itu sebabnya Dewa memilih untuk menutup telinganya.[ Dewa, kamu dengerin mama ngomong apa nggak ][ Iya, Mamaku Sayang yang paling cantik ][ Mama mau lihat, apa ada orang selain kamu di situ ][ Nggak ada lah, Ma. Dewa kan sendirian ][ Kamu nggak lagi bohongin, Mama kan ][ Enggak, Ma ][ Ya sudah, udah malam mama mau tidur ][ Lah siapa suruh malam-malam pake acara video call segala ][ Kamu tuh ya .... ]Belum sempat Sinta melanjutkan ucapannya, Dewa lebih dulu mematikan sambungan video tersebut. Dewa melempar benda pipih miliknya itu, lalu ia merebahkan tubuhnya
Tidak terasa sebulan telah berlalu, selama sebulan ini Salsa bekerja di restoran milik Sinta, ibunda Dewa sekaligus ibu mertuanya. Selama ini Dewa tidak tahu jika istrinya bekerja di restoran milik ibunya, tetapi pria beralis tebal itu mulai merasa curiga. Pasalnya ia sering mendapati Salsa pulang larut malam. Jika ditanya, istrinya selalu beralasan pergi ke rumah temannya.Seperti malam ini, pukul sembilan Dewa sudah tiba di apartemen, tetapi sang istri belum. Saat ini Salsa masih ada dalam perjalanan pulang, jalanan macet yang membuat Salsa kerap kali pulang terlambat. Sementara itu, Dewa terlihat gelisah, karena istrinya belum juga sampai. Beberapa kali ia menelponnya, tetapi nomor tidak aktif."Salsa, kamu di mana sih. Udah malam belum juga pulang," gumam Dewa dengan kepanikan yang sudah menguasai dirinya.Selang beberapa menit, pintu apartemennya terbuka, seketika Dewa mengalihkan pandangannya. Terlihat seorang wanita dengan balutan kaos berwarna putih dan
Waktu menunjukkan pukul tiga sore, perlahan Salsa membuka kelopak matanya. Seketika terpejam kembali saat cahaya matahari masuk ke dalam kamar melalui jendela kaca. Perlahan Salsa mengerjapkan matanya untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina. Setelah cukup lama, Salsa memutuskan untuk bangkit, rasanya tulang belulangnya remuk semua. Dewa benar-benar sudah membuat tubuh Salsa seperti habis dipukuli.Salsa menoleh ke samping kiri, terlihat jika suami mesumnya itu masih berenang di alam mimpi. Ingin rasanya ia membangunkannya, tetapi tidak tega, lagi pula ini sudah sore tidak mungkin Dewa pergi ke kantor lagi. Selepas itu, Salsa memutuskan untuk beranjak dari dari tempat tidur, ia ingin berendam di air agar tubuhnya kembali fresh.Selang dua puluh menit, Salsa keluar dengan memakai handuk kimono. Wanita berambut panjang itu berjalan menuju almari untuk mengambil pakaian. Selepas itu, Salsa segera memakai pakaiannya sebelum sang suami terbangun. Setelah berpamitan, Sal
Salsa menyeka air matanya saat melihat suaminya, ia tidak ingin jika Dewa tahu tentang apa yang terjadi tadi di toilet. Salsa bisa saja mengadukan itu semua, tapi ia bukan tipe orang yang suka mengadu. Sementara itu, Dewa langsung menghampiri sang istri dengan perasaan panik. Ia tidak suka melihat wanitanya menangis."Salsa, ada apa? Kenapa kamu menangis?" tanya Dewa dengan panik, untung saja tidak ada orang lain selain mereka berdua."Eng-enggak, aku nggak nangis. Tadi habis cuci muka, makanya basah," dustanya. Salsa tidak ingin memperpanjang masalah tersebut.Dewa mengernyitkan keningnya. "Beneran kamu ... tapi matamu merah.""Oh, ini ... katanya, Om ada meeting." Salsa sengaja mengalihkan pembicaraan.Dewa menepuk jidatnya sendiri. "Oh, iya aku sampai lupa. Sekarang kamu ikut aku ke ruangan."Dewa melangkahkan kakinya dengan diikuti oleh Salsa. Wanita berambut panjang itu sedikit kewalahan mengikuti langkah suaminya, bahkan Salsa hampir saja te
Dua Minggu sudah kejadian itu berlalu, tetapi Salsa dan Dewa masih saja saling diam. Keduanya terlihat enggan dan canggung saat bertatap muka, bahkan Salsa sering menghindar jika berhadapan dengan sang suami. Hari ini Salsa sengaja datang ke kantor lebih awal, bahkan wanita itu memilih untuk naik taksi dibandingkan berangkat bersama dengan suaminya.Setibanya di kantor, Salsa bergegas untuk masuk ke ruangan. Ia ingat jika ada banyak berkas yang harus ia periksa sebelum diserahkan pada Dewa. Salsa berjalan menuju lantai empat puluh di mana ruangan Dewa berada. Namun langkahnya terhenti saat ada suara yang memanggilnya. Dengan terpaksa Salsa menghentikan langkahnya dan menoleh ke sumber suara tersebut."Bu Sinta. Mati aku," batin Salsa saat melihat jika ibu mertuanya itu yang sudah memanggilnya."Ikut aku." Sinta menarik tangan Salsa dan membawanya ke toilet."Jadi benar, kamu bekerja di sini?!" tanya Sinta dengan menahan amarahnya."I-iya, maaf kala
Setibanya di RS, Salsa segera ditangani oleh dokter, sementara itu Dewa menunggu di luar. Pria berlesung pipi itu terus saja mondar-mandir dengan perasaan yang entah. Dewa berharap semoga tidak terjadi apa-apa dengan sang istri, ia merasa bersalah karena dirinya, Salsa harus seperti ini. Andai saja Dewa bisa lebih tegas, pasti kejadian ini tidak akan terjadi.Selang beberapa menit, seorang pria datang, yang tak lain adalah Reno. Sahabat sekaligus orang kepercayaan Dewa, ia sengaja menghubunginya karena hanya Reno yang tahu tentang pernikahan itu. Dewa memang sudah menceritakan tentang pernikahannya dengan Salsa, karena ia percaya Reno tidak akan membocorkan rahasia sebelum waktunya tiba."Dewa, bagaimana keadaan Salsa?" tanya Reno, ia juga terlihat panik.Dewa menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu, Ren. Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri jika sampai terjadi sesuatu yang buruk pada Salsa."Reno menepuk pundak Dewa. "Sabar ya, kita do'akan saja semo
Dewa masih berada di resto, ia terus memperhatikan Viola yang nampak begitu kesal dengan apa yang ia katakan. Dewa berharap dengan seperti itu, Viola berhenti untuk mengejar-ngejar dirinya dan mau membatalkan perjodohan itu. Dewa sangat paham bagaimana sikap wanita berhidung mancung itu. Dia adalah tipe wanita yang tidak mudah menyerah.Tiba-tiba saja handphone Dewa berdering, dengan segera ia mengeceknya. Setelah dicek tertera nama Salsa di layar ponselnya. Takut ada yang penting Dewa pun segera mengangkatnya.[ Sayang ada apa ][ Dasar pembohong, katanya mau pergi ke kantor. Tapi nggak tahunya lagi berduaan dengan wanita lain ]Tut, tut, tut, belum sempat Dewa menjawab tiba-tiba sambungan telepon terputus. Ia bingung kenapa tiba-tiba Salsa menelepon dan bicara seperti itu, apa mungkin istrinya itu mengikutinya. Namun itu tidak mungkin, jelas-jelas saat Dewa pergi Salsa ada di apartemen. Pikiran Dewa menjadi
Lima tahun telah berlalu, kehidupan rumah tangga Dewa dan Salsa semakin membaik dan harmonis. Bahkan kini mereka akan kembali di karunia bayi kembar lagi, saat ini Salsa tengah hamil sembilan bulan. Mereka tinggal menunggu waktunya kapan bayi kembar akan lahir, dan itu adalah masa-masa yang tengah Dewa dan Salsa nanti-nantikan.Salsa merasa tenang karena sudah tidak ada lagi pengganggu. Alina dinyatakan meninggal saat kejadian dulu, di mana tubuh wanita itu tertabrak oleh truk. Sejak saat itu, Salsa merasa hidupnya tenang dan juga nyaman. Sementara itu, Vira menjalani kehidupannya dengan Sinta, ia tidak merasa kesepian lagi, kasih sayang yang Vira dambakan, kini telah ia dapatkan."Mas, kok aku tiba-tiba pengen nyium Reno ya," ucap Salsa tiba-tiba. Saat ini ia dan Dewa tengah duduk santai di taman samping rumah."Jangan sembarangan kamu, kalau minta jangan yang aneh-aneh ngapa. Masa ngidam pengen nyium Re
Tidak terasa air matanya jatuh tanpa meminta izin. Bahkan ponsel di tangannya ikut jatuh, marah dan kecewa menjadi satu. Tega-teganya orang yang sangat ia percaya berhianat. Salsa tidak pernah menyangka kalau Dewa bisa berbuat hal serendah itu."Kamu tega, Mas. Kamu bilang mau ke kantor, tapi nyatanya ... sudah cukup aku bertahan, aku tidak sanggup lagi," lirihnya, Salsa menyeka air matanya, lalu memandangi si kembar yang tengah tertidur.Selang berapa menit, terdengar suara deru mobil, sudah dapat dipastikan jika itu adalah Dewa. Dan benar saja, tidak butuh waktu lama pintu kamar terbuka. Terlihat Dewa masuk ke dalam, bahkan pria berlesung pipi itu langsung memeluk tubuh Salsa dari belakang. Namun Salsa hanya diam, bahkan langsung melepas pelukan suaminya itu."Sayang kamu kenapa?" tanya Dewa, kedua alisnya saling bertautan, heran."Tidak usah pura-pura tidak tahu," jawab Salsa. Hatinya terasa sakit dengan foto yang ia terim
Kini Salsa sudah tiba di depan ruang rawat Dewa, saat hendak masuk terdengar samar-samar orang bicara dari dalam. Salsa berpikir jika ayahnya sudah sampai, untuk memastikan, Salsa membuka pintu ruangan tersebut. Seketika mata Salsa membulat sempurna saat melihat bukan ayahnya yang berada di dalam, melainkan wanita yang telah lama menghilang, dan sekarang dia kembali lagi."Mau apa kamu kembali lagi, lebih baik sekarang kamu pergi dari sini!" bentak Salsa. Ia tidak menyangka kalau perempuan itu kembali lagi, perempuan yang sudah banyak membuat rumah tangga Salsa dan Dewa berantakan."Apa kamu lupa kalau aku adalah calon istri, Dewa." Dengan santainya perempuan itu berjalan menghampiri Salsa, dia adalah Alina. Perempuan berhati iblis yang sudah mencelakai Salsa."Sayang, kamu benar kan akan menikahiku?" tanya Alina seraya berjalan menghampiri Dewa yang masih duduk di atas brangkar."Iya." Dewa menganggukan kepalanya."Aku ngga
Seketika Salsa dan Bram terkejut mendengar ucapan Vira. Bahkan, dunia serasa berhenti berputar, persendian Salsa terasa lemas seketika. Ia tidak menyangka kalau Vira akan memakai kesempatan ini demi keuntungannya sendiri."Kamu sudah gila! Kamu pikir kamu siapa hah!" bentak Salsa, ia benar-benar geram dengan apa yang Vira ucapkan."Jangan mentang-mentang kamu anak, Mama Sinta. Jadi bisa seenaknya seperti ini, iya." Salsa menatap tajam wanita yang berdiri di sebelah Sinta."Silahkan kamu mau teriak atau apa, aku tidak peduli. Nyawa suamimu ada di tanganku," ujar Vira dengan santai."Kamu bukan Tuhan, jadi kamu tidak bisa menentukannya," sahut Salsa. Seketika Vira menatap tajam ke arah Salsa."Sudah, jangan bertengkar lagi. Salsa, mama minta maaf, jika keputusan mama ini salah. Namun demi kebaikan Dewa, tolong .... ""Enggak, Ma. Aku nggak mau pisah sama, mas Dewa. Bagaimana dengan anak-anak nanti," potong Salsa,
Kini Dewa dan Salsa sudah berada di rumah sakit, Dewa langsung mendapat penanganan oleh dokter. Bahkan saat ini pria berlesung pipi itu berada di ruang ICU, kondisinya kritis. Benturan di kepala yang keras membuat Dewa mengalami pendarahan di otak, bahkan saat ini ia membutuhkan donor darah. Namun, sampai sekarang belum ada darah yang cocok.Berbeda dengan Salsa, luka yang ia alami memang tak separah suaminya. Namun, Salsa harus rela kehilangan calon anaknya yang masih dalam kandungan. Akibat benturan yang keras membuatnya keguguran, saat ini Salsa sudah sadarkan diri bahkan ia tengah menemani suaminya yang tergeletak tak berdaya, dengan beberapa alat medis menempel di badan.Sinta, dan Bram sudah ada di rumah sakit, bahkan Arman yang mendengar kabar itu seketika terbang ke Indonesia. Arman memang sosok ayah yang sangat peduli dengan anaknya. Mereka hanya bisa berdo'a semoga Dewa bisa secepatnya mendapatkan donor darah. Arman memang bisa mendonorkan darahny
Kakek Surya menghembuskan napas terakhirnya, lantaran terkena serangan jantung. Dewa tidak menyangka kalau kakeknya akan pergi dengan cara seperti itu. Begitu juga dengan Sinta. Ia merasa bersalah, karena masalah yang ia ciptakan, menjadi akhir hidup seseorang yang sangat ia sayangi.Jenazah sudah dimandikan, bahkan sudah dikafani dan dishalatkan. Kini mereka tengah menunggu kabar dari makam, apakah sudah selesai membuat makam atau belum. Banyak tetangga, kerabat bahkan teman-teman kakek Surya yang datang. Pengusaha dan para pejabat pun saling berdatangan, terlebih kematian yang mendadak membuat mereka tidak percaya.Dewa duduk tepat di samping kepala almarhum kakek Surya, ia merasa sedih dengan kematian kakeknya yang mendadak itu. Sementara Sinta duduk berseberangan dengan putranya, ia tak kalah sedih, bahkan air matanya terus mengalir. Selang sepuluh menit, Salsa datang bersama dengan Bram. Wanita hamil itu bergegas masuk ke dalam dan duduk di sebelah sua
Sementara telepon itu masih saja berbunyi, Vira terus meminta tolong pada Dewa, dengan suara tangisannya yang begitu memekakan telinga. Sementara Dewa bingung harus berbuat apa. Di sisi lain ia merasa kasihan, tetapi ia juga tidak mau bertengkar lagi dengan istrinya."Kalau dia lebih penting, silahkan pergi. Tapi jika aku lebih penting, tetap di sini," ujar Salsa. Bukannya mau egois, tapi ia istrinya. Seharusnya Dewa lebih mementingkan istri dari pada orang lain.Dewa menghela napas, ia bingung harus berbuat apa. Tidak mungkin ia memaksa pergi, bisa-bisa nanti istrinya tidak mengizinkan dirinya untuk bertemu dengan si kembar dan sang istri. Dewa menoleh Salsa yang masih memunggunginya, sementara ponselnya masih saja berbunyi.[Maaf, saya tidak bisa. Saya sedang ..... ]Terdengar jika Vira berteriak memanggil kakaknya, bahkan suara tangisannya semakin kencang. Dewa benar-benar merasa tidak tega, ia bingung harus berbuat apa. Mana yang har
Satu minggu telah berlalu, dan selama seminggu ini Salsa tinggal di rumah Bram, bersama dengan si kembar. Sementara Dewa, memilih untuk mengalah, dan setiap dari kantor, ia selalu menyempatkan diri untuk berunjuk ke rumah ayahnya, menemui istri dan anak-anak. Rasanya sehari saja tidak melihat mereka, sudah seperti satu bulan.Lalu, untuk masalah ibunya dan Vira, Dewa masih mencari informasi tentang hubungan mereka berdua. Dewa berharap semoga ibunya tidak menyembunyikan apapun dari dirinya. Sudah cukup dulu Sinta menyembunyikan siapa ayah kandung Dewa. Kali ini, ia tidak ingin ada rahasia lagi yang tersembunyi antara mereka.Sementara itu, Vira juga masih bekerja di kantor Dewa, memang jika diperhatikan, ada yang tidak beres dengan wanita itu. Namun, Dewa akan tetap mempertahankannya, sampai rahasia tentang Vira terkuak. Dan apa hubungannya dengan Sinta, sejak Dewa memergoki kedua wanita itu di rumah sakit, pria berlesung pipi itu menyuruh orang kepercayaan
Keduanya masih beradu pandang, tetapi tiba-tiba ponsel wanita itu berdering. Dengan cepat ia bangkit dan beranjak dari tempat tersebut. Sementara Sinta masih memandangi punggung wanita itu yang kini menghilang di balik dinding."Ya, Allah. Gadis itu ... apa mungkin dia ... tidak mungkin, dia pasti hanya mirip," gumam Sinta, ia pun memilih untuk beranjak pergi. Pikiran Sinta kacau, sudah tua kali ia bertemu gadis itu.Di dalam ruangan, Bram tengah menemani putrinya. Salsa terus merengek meminta pulang, padahal dokter belum mengijinkan. Dan yang membuat Bram berpikir dua kali adalah, Salsa meminta pulang ke rumahnya, bukan ke rumahnya sendiri."Yah, boleh ya. Salsa ingin menenangkan pikiran, Salsa akan membawa si kembar juga," bujuknya. Salsa terus berusaha membujuk ayahnya agar mengijinkan dirinya untuk pulang ke rumahnya.Bram menghembuskan napasnya. "Baiklah, terserah kamu saja, tapi kamu harus izin dulu sama Dewa. Karena bagaiman