“Omong-omong aku tidak sengaja mendengar kau berkata, kau memukulinya agar dia mengingat masa lalu …” Geva tengah menggendong Delvin di pelukannya setelah ia merindukan putranya meski hanya pergi beberapa jam saja. Sementara Santi yang masih syok dengan kejadian itu sedang di wawancarai oleh detektif yang masih tinggal di lokasi mereka untuk mengumpulkan bukti. Mereka berada di lantai bawah, di ruang tamu.Delvin menjadi tenang di pelukan Geva setelah kejadian itu. Sementara di sampingnya Axton tengah menikmati secangkir teh hangat buatan Geva malam itu. Lelaki itu masih belum tenang meninggalkan Geva sendirian di rumah. Mendengar perkataan Geva, Axton memperlambat seruputan tehnya. Dengan mata mendelik dari balik cangkir, ia menatap dalam ke arah Geva. Ia teringat akan masa lalunya. Di mana saat itu, Axton dan keluarganya memulai hidup baru bagi orang biasa. Saat itu ia masih sangat kecil, ia belum mengerti apapun dengan keputusan kedua orang tuanya. Tapi mereka berdua orang baik
Indah baru saja turun dari mobil silver. Ia tak menoleh kebelakang dan berlalu dengan sempoyongan. Indah menuju ke rumah yang remang, ia tak menyadari hari sudah larut malam.“Dari mana saja kau?” Tanya suara berat dari seorang lelaki.Damas berdiri di sana dengan wajah yang tak karuan, bekas memar benar-benar terlihat di sana. Damas berkacak pinggang dan mulai menatap Indah dengan tajam. Ia mengerutkan dahinya, raut wajahnya kesal. “Kau mabuk?!” tanya Damas dengan kesal setelah mendekati beberapa langkah dari Indah.Bau menyengat tercium dari nafas Indah, tak hanya itu bau tubuh Indah juga tercium berbagai bau rokok dan parfum yang menyengat.Seketika tamparan tanpa sadar melayang di wajah Indah. Dia tengah setengah menyipit, tanganya bersandar pada dinding sementara tangannya yang lain memegang tas belanjaan dengan berbagai merk terkenal.“Ouch! Apasih …” keluh Indah.Ketika di tampar oleh Damas dengan kencang, Indah masih setengah sadar hingga terhuyung dan menghantam tembok. Ia b
“Lagi pula ada apa sih dengan badannya itu?” pikir Indah.Ia duduk di kantornya. Dia teringat sejam yang lalu ketika dia bangun dari tidurnya, bersiap untuk berangkat ke butik dan mendapati tubuh Damas menyisakan babak belur. Sejak itu Damas tak lagi menegurnya, Indah hanya ingat ia bertengkar dengan Damas. Dia ingat beberapa kata, dan perselingkuhannya dengan Bagas menjadi salah satu.Ponsel Indah berdering seiring ia terus memikirkan apa yang akan ia lakukan dengan ancaman Damas. Ia ingat Damas di waktu Indah ingin berangkat kerja sempat mengancam dirinya akan membocorkan pada Damas tentang kehidupan lama Indah.“Bagas?” ucapnya ketika melihat nama di panggilan ponselnya.Jantung Indah berdetak kencang, “Apa si brengsek itu sudah melakukannya?” pikir Indah.Untuk beberapa detik, ia termakan oleh ancaman yang di berikan oleh Damas. Ia mengangkat panggilan Bagas namun hanya diam saja untuk sejenak.“Indah?” panggilnya. Indah masih tak menjawab beberapa kali namanya dipanggil sampai di
Damas meminta uang pada Indah, ia menadahkan tangannya dan menagih uang pada Indah dengan wajah dingin.Indah yang melihat itu mengerutkan dahinya, “Apa-apaan ini. Bukannya harusnya kau yang memberiku nafkah?” celetuk Indah kesal.“Kau sudah berjanji akan memberiku hasil uang yang sudah kau hasilkan dari pengusaha itu. Kita sudah sepakat akan hal ini bukan?” celetuk Damas dengan wajah serius. Dia benar-benar percaya diri akan membuat Indah menyesal jika tidak mematuhi kesepakatan.Indah menjadi sangat kesal, moodnya mudah berubah. “Ya ya!” gertak Indah. “Akan aku berikan nanti. Kau pergilah bekerja, sialan. janganDia baru pulang dan mengabaikan Damas di ruang tamu. Ketika melewati Damas, Indah melihat Warda dan Lina mengintip dari balik pintu kamar Warda yang berada seberang kamarnya. Indah melirik ke arah lubang yang terbuka dengan wajah sombong.Indah menenteng beberapa tas belanjaan dan berjalan melenggok di depan dua beranak itu. “Kalau kalian ingin hadiah, datang saja ke kamarku
Geva menyuapi sesendok demi sesendok makanan hangat ke mulutnya. Di depannya, Axton menyeruput kopi hangat, mereka saling diam satu sama lain sejak beberapa menit lalu setelah memutuskan makan siang bersama di café dekat kantor.Axton tak ingin dan paling anti makan di kantin karena dia akan bertemu orang-orang yang terus membicarakannya. Entah itu hal baik atau buruk. Juga salah satu orang yang sangat ia hindari, yaitu anggota ekseklusif lain yang tak lain tak bukan adalah anggota keluarga besar keluara Agam.“Kau kemana malam itu?” tanya Geva membuka suara ketika ia berhenti mengunyah dan selesai minum.“Setelah makan malam itu?” Tanya balik AxtonGeva hanya mengangguk. “Kau terlihat buru-buru dan paginya kau benar-benar terlihat tidak baik-baik saja. Apa yang terjadi?” Geva mulai menunjukkan perhatiannya. Dia terlihat khawatir dan ingin semakin tahu tentang Axton.“Apakah terlihat jelas?” tanya Axton. Dia tersenyum kecil memberikan kesan kepada Geva bahwa dia baik-baik saja. Bahka
Egar tengah berbaring di atas ranjang rotan di tepi pantai. Ia di atapi payung besar yang hanya mampu menghalau sinar matahari menutupi dari kepala hingga pinggangnya. Egar membaringkan badannya dengan celana boxer yang menempel dan tanpa pakaian atas. Tak lupa kaca mata hitam yang membantu menghalau sinar terik matahari untuk pandangannya.“Aigo … apa yang sedang mereka lakukan ya?” pikir Egar yang kedua tangannya bertumpu di kepala. Di tengah pantai yang sepi, Egar akhirnya bisa merasakan senyuman merekah di bibirnya. Tapi seketika dia memikirkan Axton dan Geva yang akan sibuk selama satu minggu tanpa dirinya.“Hahaha!” Egar tiba-tiba tertawa keras di balik payung yang meneduhinya.Beberapa karyawan yang berdiri tak jauh dari tempat Egar hanya menatap bingung. Dia tak mendengar sang tuan penyewa seluruh pantai tengah memanggilnya.Egar telah di beri konpensasi dan satu minggu libur tanpa membawa laptop atau bekerja jarak jauh. Selain itu Axton membiarkan Egar menyewa seluruh pantai
Axton menghela nafas panjang, namun seorang wanita muda yang Axton kenal sebagai sepupunya yang juga menepati posisi anggota eksekutif di perusahan melewatinya. Dia langsung menepuk pundak lelaki di depan Axton dengan keras.“Kau sudah pulang dan tidak menemuiku?!” sentak wanita itu.Axton kini merasa pusing. Dia memegangi ujung pangkal hidungnya dan menekan pelan. Melihat dua sepupunya yang menyebalkan tak cukup membuat Axton kesal. Dia melihat ke arah Geva.Segera dia menarik tangan Geva dan menjauh dari dua orang itu. Dua orang yang kini berada di belakang punggung Axton membuat keributan, mereka saling bersahutan dan berteriak.“Apa-apaan kau ini kak! Datang-datang kau langsung menarik telingaku, kau pikir ini hanya pajangan?!” bela lelaki muda itu. “Lihat Sepepu Axton meninggalkan kita karena kau mengacau!” gerutunya.Suara mereka benar-benar berisik dan menganggu kedamaian makan siangnya. Di tambah Axton tak enak hati karena Geva harus melihat itu semua. Dia terus menggenggam ta
“Karena seharian aku ikut kau ke sana kemari. Mencicipi makanan yang katanya kau belum pernah lakukan sebelumnya aku harus mengerjakan laporan di luar jam kerja.” Geva menggerutu pada Axton yang sejak tadi mengajak Geva berkeliling di restoran buffet yang baru buka.Restoran buffet itu anak restoran dari perusahan yang akan menjalin kerja sama bersama perusahan Agam. Axton di undang untuk peresmiannya dan tak ingin pergi jika Geva tak ikut di sampingnya. Geva yang sudah lelah karena rapat dua jam lalu akhirnya hanya bisa menurut dan kini dia harus mengabaikan tugas lanjutannya, yaitu memeriksa hasil kerja notaris dan membuat laporan akhir untuk Axton lalu di jadikan dokumentasi ke dokumen pertemuan. \“Jangan menggerutu begitu, di sini banyak makanan manis yang bagus untuk menjernihkan pikiran kita setelah diskusi panjang dan panas itu.”Axton memberikan piring yang kosong, Geva mengikuti Axton dari belakang. Sementara lelaki itu berjalan perlahan dari ujung meja dan mengambil satu pe
Setelah seharian Delvin diberi perawatan di IGD, akhirnya dia sadar ketika di ruangan itu hanya ada mereka bertiga. Geva terus duduk di samping Delvin, wanita itu tersenyum dan terus menggegam tangan mungil Delvin.“Delvin, putra ibu … apa kau merasakan sakit nak?” tanya Geva dengan lembut. Dia melebarkan senyumannya, tak membiarkan matanya terlihat jelas merah dan sembab.Sementara Axton dan Xavel duduk di kursi penunggu di sudut ruangan yang dingin. Mereka berdua duduk saling berhadapan dan diam satu sama lain. Sesekali mereka saling menatap tajam dan lalu membuang wajah dengan cepat. Di hari sebelumnya, Xavel sudah berusaha meminta maaf pada Geva. Dan Ibu muda itu sudah memaafkan Xavel, dia bahkan tak menganggap itu adalah kesalahan Xavel. Tapi lelaki pemilik restoran itu menyadari keteledorannya karena dia sendiri yang menentukan setiap menu makan malam dan sarapan mereka. Sementara Axton yang sudah pernah melihat Xavel ingin menggagalkan lamarannya membuat dia menjadi tidak me
Geva mondar mandir di depan ruang pemeriksaan, sementara Axton sedikit menjauh dari Geva dengan ponselnya. Untuk beberapa saat Axton mengerutkan dahinya, dia menekan suaranya ketika berbicara dari balik telepon. Geva mulai menggigit ujung jarinya, matanya berkaca-kaca, pandangannya fokus melihat Delvin dari balik kaca kecil di pintu rawat darurat. Setelah beberapa saat, sang dokter yang memeriksa Delvin keluar menghampiri Geva yang sudah memasang wajah khawatir. Axton meliriknya sekilas sebelum akhirnya dia mematikan ponselnya sepihak dan ikut berdiri di samping Geva. Lelaki itu dengan lembut menaruh tangannya di sisi pundak Geva dan mengelusnya dengan pelan, mencoba menenangkan ibu muda itu.“Dok, apa yang terjadi dok? Putra saya tidak apa-apa kan?” tanya Geva yang terburu-buru. Geva tak mengindahkan penenangan Axton, melihat sang dokter baru keluar dari ruangan, dia langsung menghampirinya dan memasang wajah cemas. Sang dokter mengangkat alisnya, dia memberikan isyarat pada Geva
Hari di mana mereka akan hiking tiba, Geva tak membawa banyak barang karena dia menyewa pemandu yang juga membawakan barangnya. Jadilah dia bisa menggendong Delvin seorang, tanpa gangguan. Tapi sejak semalam dia menghindari pembicaraan dengan semua orang“Perjalan ini tak akan panjang kan? Aku benci berjalan kaki,” celetuk Feya. Sementara Santi menyadari gelagat aneh Geva. Dia memelankan langkahnya yang awalnya berada di tengah kini mundur menjadi paling akhir, dia membiarkan yang lainnya berjalan lebih dulu. Di depan mereka tim reparasi tengah asik sendiri mengobrol dengan seru. “Gev, kau kenapa?” tanya santi. “Sudah lelah?” tanyanya lagi dengan khawatir.“Tidak kok mba, Delvin juga tidak begitu berat. Aku memang ingin jalan paling belakang agar bersama dengan pemandu, lebih dekat dengan barang-barang delvin,” ujarnya memberi alasan.“Lalu kemana Axton dan Xavel? Kenapa mereka tidak ikut dengan kita sekarang? kudengar mereka memilih menyusul sebenarnya apa yang terjadi?” tanya San
Geva tersenyum dengan perlakuan manis Xavel. Di saat yang bersmaaan, Axton menatap Geva dan Xavel. “Xavel!” teriaknya. Suaranya terdengar sangat marah ketika dia melihat Xavel berjongkok di depan Geva. Dia mengahampiri Xavel dan menarik kerahnya, “apa kau mencoba mengambil gadisku?” tanay Axton dengan keras di depan Geva. Geva yang masih bersama Delvin seketika bingung, “Axton! Delvin masih di sini, jangan mempertontonkan kekerasan padanya!” Geva mengucapkannya dengan tegas. Saat tengah bertengkar begitu, Axton tak sengaja menjatuhkan sebuah kotak cincin di dekat Geva. Geva yang melihat itu sempat bingung tapi kemudian dia mengajak Delvin pergi dari sana. dia memilih mengabaikan Axton dan Xavel yang ingin bertengkar dan memukul satu sama lain. Xavel tertawa kecil, “Jadi kau berniat menembak Geva? Bagaimana jika kita bersaing? Aku sejak tadi memang memikirkan hal yang sama, aku memang tak punya cincin untuk Geva tapi aku bisa memberikan ini padanya.” Xavel menunjukkan kalungnya. “I
Di malam pertama mereka merayakan hari kebahagiaan dan kemenangan itu, Geva mengajak mereka semua makan malam dan istirahat di hotel Xavel. Keesokan harinya baru mereka akan melakukan pendakian kecil sampai ke tempat di mana mereka akan membuka tenda untuk camp dan barbeque.Di saat semaunya tengah berkumpul, Geva dan Axton berada di kursi yang bersebelahan, di sebelah lainnya ada Santi dan putrinya. Lalu Di samping Santi ada Xiao Ling dan Egar. Di sisi lain meja ada tim reparasi dan Xiao Ling termasuk ke dalam sisi lain itu. Di saat mereka tengah menunggu karyawan restoran menyiapkan semua makan malam mereka, Xavel datang. Axton awalnya terkejut, lalu dia menatap ke arah Geva, “Kau mengundangnya juga?” tanya Axton. Padahal dia belum selesai dengan rasa cemburu ketika beberapa jam lalu Geva menjelaskan mereka bertemu hari itu tanpa sengaja.“Hi Gev, terima kasih sudah mengundangku!” seru Xavel dengan wajah sumringah. Geva buru-buru berdiri dan menyambut Xavel. “Hi! Untung kau datang
Geva dan Axton turun dari mobil Van bersamaan ketika ketiga Van lainnya sampai. Tapi Van hitam terlihat sangat aneh, mereka memarkirkan mobil mereka jauh dari parkir yang ada, mereka parkir di dekat jalan masuk toilet luar atau umum. “Itu mobil yang tadi kan?” celetuk Geva dan Xiao Ling secara bersamaan.“Kau melihatnya juga Gev? Mereka seperti orang gila. Mengebut dengan kecepatan itu di jalanan yang tidak sepi. Aku akan mendatanginya dan melapor ke polisi terkait yang kulihat tadi.” Xiao Ling memprotes dan mulai berjalan ke arah mobil Van hitam itu.Dan saat Geva dan Xiao Ling mendekati mobil van itu, seorang wanita duduk di tanah di depan kap mobil van itu. “A-ada apa?!” tanya Geva yang sedikit terkejut dengan kondisi Feya, dia belum tahu bahwa itu adalah tim reparasi teman dari Egar. Yangg Geva lihat dia wanita yang seperti membutuhkan pertolongan. Jadilah Geva langsung menghampirinya dan hendak ingin menolongnya. Tapi saat Geva berlutut di depan wanita yang terlihat ngos-ngosan
“Kak Xiao, bersediakah kau ikut bersamaku?” Tanya Egar dengan tatapan sendu di depan Xiao Ling.Kejadian itu seketika mengundang perhatian dua staf yang tertahan di depan pintu. Mereka berdua seperti memergoki dua sejoli yang sedang mabuk kasmaran dan karena tak ingin mengganggu, dua orang itu memilih bersembunyi dari balik dinding. Dan ketika ada staff lain yang ingin masuk, mereka menahannya. Mereka berdua malah mengajak staf lain ikut mengintip dan menguping pembicaraan intens Egar Dan Xiao Ling. “Ayo! Terima dia kak Xiao!” ujar salah satu staf dengan suara berbisik, dia setengah berteriak dan menyoraki dua orang itu yang membuat mereka ikut merona di masing-masing pipi mereka. ***“Dasar Axton sialan!” gerutu Egar di dalam mobil Van hitam yang musiknya dinyalakan. Egar mengomel sejak dua hari lalu. Sejak dua hari lalu, karena Axton yang menolak ajakan pertemuan dengan pak Kim, dia harus menerima rumor dia tengah berkencan dengan Xiao Ling. Dan yang lebih buruk adalah, Pak Kim
Saat mereka telah sampai di depan rumah Geva. Geva turun dan berbicara dari luar, “Jadi apa kau menemukan jawaban?” tanya Geva pada Xavel setelah turun dari mobilnya.“Ya, begitulah ternyata itu hanya kebetulan sama saja. Aku dulu Sekolah menengah pertama di distrik Biru sebelah barat. Ternyata kita tidak pernah satu sekolah.” Ujar Xavel pada Geva dari dalam. Dia tidak ikut turun karena masih ada pekerjaan yang ingin dia lakukan.Geva hanya bisa menatap punggung mobil itu semakin jauh, dan masuk ke dalam rumah. “SMP distrik Biru Barat?” Geva bergumam kecil di saat dia masuk ke rumahnya. Banyak hal yang sudah terjadi selama 33 tahun, banyak hal yang Geva coba lupakan termasuk bekas pembuliannya sejak dia masih menginjak sekolah dasar. Jika di total, mungkin ada sekitar sepuluh kali dia berpindah sekolah. Ketika SD menjadi bahan bulian para siswi yang iri pada Geva, karena dia termasuk keluarga berada. Lalu saat SMP dia yang di bully di satu bulan sekolah pertamanya, hanya karena dia
Xavel menunggu di samping mobilnya yang dia parkirkan tepat di depan hotelnya. Dia tengah menelpon sebelum melihat Geva keluar dari pintu utama dengan menenteng banyak makanan take away. Xavel kemudian melambaikan tangan dan menuju ke Geva. “Biar aku bantu,” ujarnya ketika dia selesai menelpon dan memasukkan kembali teleponnya di saku celana. “Ayo, mobilku di sana,” Ajak Xavel. Geva hanya termenung, “Hah? trvel ku,” gumam Geva yang sejak keluar dari tadi tak melihatnya. “Kemana sih dia?” gumamnya lagi kali ini dengan kesal. Sementara belanjaannya sudah di bawa Xavel. Geva mau tak mau mengikuti langkah Xavel, “Apa kau yang menyuruh travelku meninggalkanku?” Tanya Geva dengan nada serius. Dia memang sudah merasa bingung dengan sikap Xavel sejak tadi ketika masih di depan resepsionis restoran.“Iya,” jawabnya dengan polos. “Aku kan sudah mengatakan akan mengantarkanmu, ada yang ingin aku bicarakan,” jelasnya dengan lugas. “T-tapi aku belum membayarnya!” gertak Geva lagi setengah kesa