“Dasar cewe murahan sialan!” teriak Damas ketika melihat mobil yang akan masuk ke dalam pekarangan rumah Geva. Damas dengan nekat memberhentikan mobil Axton dengan berdiri di depannya. Axton yang terkejut mengerem mendadak. “Ada apa dengannya? Apa itu Damas?” “I-iya.” Geva menjawab dengan khawatir. Axton memegang tangan Geva, ia meremas lembut tangan mungil Geva. “Kau tidak perlu keluar jika tidak ingin. Biar aku yang mengusirnya.” Ucap Axton menyakinkan. Ia merogoh ponselnya dan menelpon seseorang dengan suara tegas. “Hallo detektif Cho. Aku ingin membuat laporan tentang seseorang pria pemabuk yang menerobos ke properti pribadi. Aku akan mengirim alamatnya melalui pesan. Tolong segera datang, ada balita yang sedang terancam.”Geva mendengar itu namun ia mengabaikan fakta bahwa Axton menambah-nambahi informasi yang ada. Ia melepas tangan Axton dan menghela nafas. “Tidak, aku harus keluar. Aku tidak takut dengan pria prengsek itu.” Geva berkata dengan yakin sembari membuka pintu.
“Omong-omong aku tidak sengaja mendengar kau berkata, kau memukulinya agar dia mengingat masa lalu …” Geva tengah menggendong Delvin di pelukannya setelah ia merindukan putranya meski hanya pergi beberapa jam saja. Sementara Santi yang masih syok dengan kejadian itu sedang di wawancarai oleh detektif yang masih tinggal di lokasi mereka untuk mengumpulkan bukti. Mereka berada di lantai bawah, di ruang tamu.Delvin menjadi tenang di pelukan Geva setelah kejadian itu. Sementara di sampingnya Axton tengah menikmati secangkir teh hangat buatan Geva malam itu. Lelaki itu masih belum tenang meninggalkan Geva sendirian di rumah. Mendengar perkataan Geva, Axton memperlambat seruputan tehnya. Dengan mata mendelik dari balik cangkir, ia menatap dalam ke arah Geva. Ia teringat akan masa lalunya. Di mana saat itu, Axton dan keluarganya memulai hidup baru bagi orang biasa. Saat itu ia masih sangat kecil, ia belum mengerti apapun dengan keputusan kedua orang tuanya. Tapi mereka berdua orang baik
Indah baru saja turun dari mobil silver. Ia tak menoleh kebelakang dan berlalu dengan sempoyongan. Indah menuju ke rumah yang remang, ia tak menyadari hari sudah larut malam.“Dari mana saja kau?” Tanya suara berat dari seorang lelaki.Damas berdiri di sana dengan wajah yang tak karuan, bekas memar benar-benar terlihat di sana. Damas berkacak pinggang dan mulai menatap Indah dengan tajam. Ia mengerutkan dahinya, raut wajahnya kesal. “Kau mabuk?!” tanya Damas dengan kesal setelah mendekati beberapa langkah dari Indah.Bau menyengat tercium dari nafas Indah, tak hanya itu bau tubuh Indah juga tercium berbagai bau rokok dan parfum yang menyengat.Seketika tamparan tanpa sadar melayang di wajah Indah. Dia tengah setengah menyipit, tanganya bersandar pada dinding sementara tangannya yang lain memegang tas belanjaan dengan berbagai merk terkenal.“Ouch! Apasih …” keluh Indah.Ketika di tampar oleh Damas dengan kencang, Indah masih setengah sadar hingga terhuyung dan menghantam tembok. Ia b
“Lagi pula ada apa sih dengan badannya itu?” pikir Indah.Ia duduk di kantornya. Dia teringat sejam yang lalu ketika dia bangun dari tidurnya, bersiap untuk berangkat ke butik dan mendapati tubuh Damas menyisakan babak belur. Sejak itu Damas tak lagi menegurnya, Indah hanya ingat ia bertengkar dengan Damas. Dia ingat beberapa kata, dan perselingkuhannya dengan Bagas menjadi salah satu.Ponsel Indah berdering seiring ia terus memikirkan apa yang akan ia lakukan dengan ancaman Damas. Ia ingat Damas di waktu Indah ingin berangkat kerja sempat mengancam dirinya akan membocorkan pada Damas tentang kehidupan lama Indah.“Bagas?” ucapnya ketika melihat nama di panggilan ponselnya.Jantung Indah berdetak kencang, “Apa si brengsek itu sudah melakukannya?” pikir Indah.Untuk beberapa detik, ia termakan oleh ancaman yang di berikan oleh Damas. Ia mengangkat panggilan Bagas namun hanya diam saja untuk sejenak.“Indah?” panggilnya. Indah masih tak menjawab beberapa kali namanya dipanggil sampai di
Damas meminta uang pada Indah, ia menadahkan tangannya dan menagih uang pada Indah dengan wajah dingin.Indah yang melihat itu mengerutkan dahinya, “Apa-apaan ini. Bukannya harusnya kau yang memberiku nafkah?” celetuk Indah kesal.“Kau sudah berjanji akan memberiku hasil uang yang sudah kau hasilkan dari pengusaha itu. Kita sudah sepakat akan hal ini bukan?” celetuk Damas dengan wajah serius. Dia benar-benar percaya diri akan membuat Indah menyesal jika tidak mematuhi kesepakatan.Indah menjadi sangat kesal, moodnya mudah berubah. “Ya ya!” gertak Indah. “Akan aku berikan nanti. Kau pergilah bekerja, sialan. janganDia baru pulang dan mengabaikan Damas di ruang tamu. Ketika melewati Damas, Indah melihat Warda dan Lina mengintip dari balik pintu kamar Warda yang berada seberang kamarnya. Indah melirik ke arah lubang yang terbuka dengan wajah sombong.Indah menenteng beberapa tas belanjaan dan berjalan melenggok di depan dua beranak itu. “Kalau kalian ingin hadiah, datang saja ke kamarku
Geva menyuapi sesendok demi sesendok makanan hangat ke mulutnya. Di depannya, Axton menyeruput kopi hangat, mereka saling diam satu sama lain sejak beberapa menit lalu setelah memutuskan makan siang bersama di café dekat kantor.Axton tak ingin dan paling anti makan di kantin karena dia akan bertemu orang-orang yang terus membicarakannya. Entah itu hal baik atau buruk. Juga salah satu orang yang sangat ia hindari, yaitu anggota ekseklusif lain yang tak lain tak bukan adalah anggota keluarga besar keluara Agam.“Kau kemana malam itu?” tanya Geva membuka suara ketika ia berhenti mengunyah dan selesai minum.“Setelah makan malam itu?” Tanya balik AxtonGeva hanya mengangguk. “Kau terlihat buru-buru dan paginya kau benar-benar terlihat tidak baik-baik saja. Apa yang terjadi?” Geva mulai menunjukkan perhatiannya. Dia terlihat khawatir dan ingin semakin tahu tentang Axton.“Apakah terlihat jelas?” tanya Axton. Dia tersenyum kecil memberikan kesan kepada Geva bahwa dia baik-baik saja. Bahka
Egar tengah berbaring di atas ranjang rotan di tepi pantai. Ia di atapi payung besar yang hanya mampu menghalau sinar matahari menutupi dari kepala hingga pinggangnya. Egar membaringkan badannya dengan celana boxer yang menempel dan tanpa pakaian atas. Tak lupa kaca mata hitam yang membantu menghalau sinar terik matahari untuk pandangannya.“Aigo … apa yang sedang mereka lakukan ya?” pikir Egar yang kedua tangannya bertumpu di kepala. Di tengah pantai yang sepi, Egar akhirnya bisa merasakan senyuman merekah di bibirnya. Tapi seketika dia memikirkan Axton dan Geva yang akan sibuk selama satu minggu tanpa dirinya.“Hahaha!” Egar tiba-tiba tertawa keras di balik payung yang meneduhinya.Beberapa karyawan yang berdiri tak jauh dari tempat Egar hanya menatap bingung. Dia tak mendengar sang tuan penyewa seluruh pantai tengah memanggilnya.Egar telah di beri konpensasi dan satu minggu libur tanpa membawa laptop atau bekerja jarak jauh. Selain itu Axton membiarkan Egar menyewa seluruh pantai
Axton menghela nafas panjang, namun seorang wanita muda yang Axton kenal sebagai sepupunya yang juga menepati posisi anggota eksekutif di perusahan melewatinya. Dia langsung menepuk pundak lelaki di depan Axton dengan keras.“Kau sudah pulang dan tidak menemuiku?!” sentak wanita itu.Axton kini merasa pusing. Dia memegangi ujung pangkal hidungnya dan menekan pelan. Melihat dua sepupunya yang menyebalkan tak cukup membuat Axton kesal. Dia melihat ke arah Geva.Segera dia menarik tangan Geva dan menjauh dari dua orang itu. Dua orang yang kini berada di belakang punggung Axton membuat keributan, mereka saling bersahutan dan berteriak.“Apa-apaan kau ini kak! Datang-datang kau langsung menarik telingaku, kau pikir ini hanya pajangan?!” bela lelaki muda itu. “Lihat Sepepu Axton meninggalkan kita karena kau mengacau!” gerutunya.Suara mereka benar-benar berisik dan menganggu kedamaian makan siangnya. Di tambah Axton tak enak hati karena Geva harus melihat itu semua. Dia terus menggenggam ta