“Ah bukan begitu Pak.” Geva menjawab dengan bingung, dia lalu menatap ke arah Levias.“Iya. Saya Levias asisten manager dari pak Kim. Dan ya, kebetulan saya teman lama Geva di SMA distrik Mentari. Kami satu sekolah dan satu kegiatan ekstrakurikuler. Bahkan kami satu kampus, tapi sepertinya Geva tidak menyadari itu atau mungkin dia lupa.” Levias masih menjabat tangan Axton dan menjelaskan dengan rinci, “Ya. saya tidak masalah jika Geva tak mengingat begitu jelas. Karena itu sering terjadi sejak dia masih SMA.” Tambahnya lagi.Axton hanya menyimpulkan ujung bibirnya dengan senyuman datar, “Wah anda sangat mengenal baik sekretaris Geva Kariana, ya.” Axton berucap dengan nada kekaguman.Tapi bagi Geva mereka berdua nampak saling menyembunyikan taring dari balik senyum mereka. Geva bingung dan akhirnya menyela pembicaraan keduanya yang nampak tak bagus, “Ya … Levias datang kemari untuk menyampaikan pesan pak Kim secara langsung, Pak.”“Dan bertemu teman lama saya, Sekretaris Geva.” Levias
Levias kaget dengan ekspresi dan suara marah Geva, dia mengangkat tangannya karena di sekeliling mereka banyak orang yang berlalu lalang. Dia tak ingin di adukan sebagai orang yang tengah melakukan sesuatu perbuatan cabul.“Baik, baik. Jangan meluapkan emosi dari hasil kerjamu padaku Gev.” Dengan entengnya Levias menyeletuk.Geva yang tadinya dadanya sesak, bertambah panas. Tenggorokkanya bahkan kering dan tercekat, dia menelan salivanya berulang sebelum menahan nafas, “Apa katamu?! Emosi hasil kerja? Hei!” teriak Geva sekali lagi, kali ini matanya membulat dan wanita itu mengeraskan rahangnya, “Kau memang bajingan yang tidak pernah sadar diri ya! Apa kau pikir aku masih memiliki perasaan yang sama denganmu setelah semua perbuatan mu hari itu?!”Levias menatap Geva dan mematung, dia mengatupkan bibirnya rapat-rapat. “Gev, kau ingat hari itu?”“Aku sudah lupa dan bajingan yang entah dari mana muncul dan… membuat aku mengingatnya,” jelas Geva dengan dingin. kali ini dia berdiri dengan j
Axton menaruh berkas-berkas di atas meja dengan entengnya menyuruh Geva melanjutkan pekerjaan lain. Dia bahkan tidak perduli dengan ekspresi Geva yang terlihat sangat lelah. Jam makan siang bahkan sudah hampir dekat, dan dia tak mengharapkan Geva keluar untuk makan siang.Sementara Geva hanya diam saja sejak dia duduk di kursi di depan meja Axton. Axton kemudian duduk di kursinya, dan menatap Geva, “Kenapa kau diam saja?” tanya Axton dengan datar.Geva hanya diam dan berdiri, “Baik akan saya lakukan, Pak.” Jawabnya dengan pasrah. Geva mengangkat lembaran kertas yang menumpuk di depan matanya dan membawa keluar. Dia tidak mengeluh, tidak menghela nafas, bahkan sebenarnya Geva tak terkejut jika akan di perlakukan begitu oleh Axton.Geva kembali di mejanya dan menghentakkan lembaran arsip, Ling Xiao yang melihat itu mendelik. Dia berhenti memeriksa data bawahannya, dan pergi ke meja Geva. “Apa yang terjadi? ini bahan revisi atau kerjaan lainnya?”Geva hanya diam dan menatap Ling Xiao den
Geva sudah hampir selesai dengan menyortir arsip dan memasukkannya di dalam kotak arsip tahunan. Ketika dia berusaha mengangkat kotak demi kotak, Axton dengan tinggi badan semampai berdiri di depan Geva dan merebut satu kotak di kedua tangan Geva.“Eh? Apa mau di periksa ulang?”Axton tak mengindahkan pertanyaan Geva. Dia menumpuk satu kotak dan kotak lainnya lalu mengangkat itu dan keluar dari ruangan, sebelum keluar Axton menatap Geva yang lesu, “Aku harap kau belum lelah, Nona sekretaris.”Geva hanya tersenyum kecil dan kembali mengemasi mejanya. Pekerjaan menyortir sudah selesai, dan Geva kembali dengna pekerjaan sebelumnya memeriksa ketentuan syarat dari klien untuk dia masukan ke dalam kontrak kerja sama.Lalu setelah beberapa menit, lelaki itu muncul lagi di depan Geva. Dia berdiri menatap Geva di meja kerjanya, hanya diam dan memperhatikan Geva yang tengah mengetik dan membuka tutup soft-file.Geva yang tak tahan dengan tingkah Axton, yang sjeak tadi hanya membolak balikkan be
Axton dengan elegan duduk di seberang sofa dengan menyilangkan kakinya, sementara Geva duduk di sofa lainnya sembari mengetik dan menggulir lembar demi lembar soft-file yang sedang dia kerjakan.Sesekali Geva menyumpit Sushi dan memasukkan kemulutnya. Geva makan siang sembari bekerja, hal itu mengundang perhatian Axton yang terbiasa makan dan bekerja di kegiatan yang terpisah.Axton mendiamkan perilaku Geva yang sebenarnya akan membuat Axton risih jika itu orang lain, tapi karena rasa cintanya pada Geva, dia tak mengindahkan pemandangan tak mengenakkan itu. Axton masih mengunyah makanannya dengan tenang sembari memperhatikan Geva, sampai di mana Geva tersedak dan buru-buru Axton menyodorkan minuman miliknya.Geva terdiam dan memilih berdiri untuk mengambil minumannya di sudut meja, mereka saling diam satu sama lain dan Geva melanjutkan kegiatannya. Tapi baru ingin menyumpit makanannya, Axton menahan tangan Geva.“Kau kerjakan itu saja, aku menunggu berkasnya sampai sore.” Axton memeri
Mobil Axton berhenti di parkiran depan rumah Geva, Axton mendapati sesuatu yang mengganjal dari halaman rumah Geva yang kosong melompong. Axton melepas sabuk pengamannya dan hendak keluar dari mobil, “Harushkah-”Sementara Geva di samping Axton nampak gelisah, sejak tadi dia menggenggam tangnnya dengan erat. Namun Geva tak ingin kehilangan kesempatan itu, di saat Axton ingin mengatakan sesuatu, Geva menarik kerah lelaki itu. Suara Axton terpotong sebab Geva menarik kerah pakaian atas Axton dan wajah mereka bertemu dengan sangat dekat.Axton dan Geva saling menatap dengan raut wajah yang berbeda. Geva menatap Axton dengan membulatkan mata, sementara Axton menatap Geva dengan terkejut. Untuk sepersekian detik, Axton membeku karena matanya melihat ekspresi Geva yang tak biasa.“A-ada apa G-”Lagi-lagi ucapan Axton terpotong tapi kali ini karena setelah menarik kerah Axton, Geva menempelkan bibirnya yang pucat ke bibir Axton yang masih lembab. “Apa dia menggunakan lipgloss sepanjang waktu
Lina baru saja selesai masak untuk dirinya, beberapa hari ini bahkan dia tidak melihat keberadaan Indah. Ya, indah sudah beberapa hari tidak pulang kerumah, tapi dia masih belum mengemasi barang-barangnya. Jadi Lina yakin, Indah hanya kerayapan tak tentu arah.Tiba-tiba suara pintu rumah di ketuk dengan keras. Suara seorang pria dewasa memanggil nama Damas dengan keras dan tegas. “Ya, siapa?” tanya Lina.Orang itu mendesak Lina untuk membukakan pintu, dan Lina yang bingung hanya membuka namun betapa terkejutnya dia ketika mendapati seseorang dengan pakaian semi-formal di depan rumahnya. Lina seketika mematung, matanya terbuka lebar, bibirnya sedikit menganga, dia yang tadinya meremas celemek seketika menjadi lemas ketika orang itu mengenalkan diri sebagai seorang petugas kepolisian.“A-ada apa?” tanyanya terbata setelah beberapa detik membeku. Seketika dahi Lina mulai berkeringat, rasa bingung, penasaran dan khawatir beraduk menjadi satu di tubuhnya.Seseorang itu mengeluarkan lalu m
Damas sedikit gelisah sejak berangkat kerja. Sehari yang lalu ketika pulang, dia sudah mendapati ibunya meraung memanggil namanya. Sementara Damas tak bisa menghubungi Indah, dan wanita itu memang sudah tidak di rumah sejak beberapa hari lalu.Hari itu, Damas Sejak pagi dia sudah melihat para petugas polisi menunggu dirinya di loby, mereka menunggu Damas hingga orang itu mau keluar menemui dirinya. Sementara petugas itu tidak diizinkan masuk ke dalam kantor.Damas memiliki posisi di bawah managernya, tapi dia memegang kaki sang manager hingga orang itu harus menjaga nama baiknya.“Kau harus selesaikan kasusmu sendiri! Aku tidak akan bisa membantumu selalu.” Ucap sang manager di dalam toilet. Mereka berdua sedang sama-sama sibuk di dalam bilik kecil yang bersebelahan.“Beri aku beberapa uang untuk pergi dari kota ini. Aku akan bungkam sampai situasi menjadi aman.”Brak!Bunyi dinding yang di pukul dengan keras oleh bilik di samping bilik Damas. “Jangan bertingkah!” gertak sang manager