Geva turun dari mobil Axton, di saat mereka sudah memarkirkannya di parkiran besar di dasar gedung Mall. Sementara Geva turun, Axton malah termenung di depan kemudinya, membuat Geva yang sudah turun kembali membuka pintu, menghampiri Axton lagi. “Ada apa?”tanya Geva ketika dia membuka kembali pintu sisi lain kemudi. Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Axton, dan dia hanya menggeleng kecil. Dia lalu ikut turun dan mencari-cari seseorang di sekitar mereka. “Apa dia sungguh-sungguh akan mengawasi kami?” pikir Axton. Dia senang akhirnya bisa membuat Geva ikut bersamanya, itu artinya dia bisa menunjukkan kepada Levias perkataannya benar adanya. Axton ingin menunjukkan bahwa dia lebih pantas berada di sisi Geva. Meskipun dia tidak melakukan itu karena cemburu buta pada Levias, orang lama yang baru saja datang ke kehidupan Geva. “Yah, kami memang sama-sama orang baru. Tapi aku jauh di atasnya, aku selalu ada untuk Geva, aku akan mengorbankan apapun untuk wanita itu,” Axton berbicara pada d
Setelah Levias berhasil menghubungi orang rumahnya, dia kembali berbelanja, dia tadinya tidak sengaja mendengar suara tawa Geva tapi setelah itu dia tidak melihat keberadaan Geva. “Aishh gimana bisa aku lupa dengan rencana awalku,” Levias mengomel sendiri sembari berjalan di depan kasir. Setelah membayar dan keluar dari market itu, Levias membaca struk yang di foto ibunya, dia kemudian pergi ke toko makanan dan bahan pokok. Di sana Levias menjadi seribu kali lebih bingung, “Astaga!” gumamnya. Levias tidak pernah membayangkan masuk ke toko bahan pokok akan lebih rumit dari yang dia bayangkan.Dia harus mencari dan memilah sayur hanya dari namanya, memilah bumbu dapur hanya dari namanya. Begitu banyak macam jenis sayur dan buah-buahan di depan matanya, dan dia harus belajar memilah dengan teliti.“Ingat, pilihlah sayur yang masih segar, buah yang masih segar dengan permukaan yang halus dan bersih. Jangan salah pilih, jangan memilih yang rusak, warna yang pudar dan berbeda …” semua pe
Geva tersenyum kecil, dia lalu menepuk pundak Levias dua kali, “Sudahlah yang berlalu biarlah berlalu.” Geva menenangkan orang di depan matanya. Lalu dia membalikkan badan dan berjalan lagi, sembari memilah sayuran dan buahan, geva membuka suara, “ Aku tidak biasanya memaafkan seseorang loh. Tapi kasusmu berbeda, saat itu kita masih sama-sama anak kecil. Yah bisa di bilang itu seperti cinta monyet,” ucap Geva dengan suara santai.Dia lalu memberikan intruksi pada Axton terkait bahan pokok yang di butuhkan orang itu, berasal dari satu kata nama makanan yang Axton berikan. Geva lalu menerka isi dari nama makanan itu, “Aku bukan penebak yang handal tapi kurasa isinya kurang lebih adalah ini,” Geva mencatatnya di secari kertas dan memberikannya pada Axton. Dia juga bahkan menuliskan beberapa bumbu tambahan yang mana nantinya bisa saja di butuhkan Axton jika di rasa masakannya kurang. Levias masih termenung di tempatnya, dia seperti membeku beberapa saat sebelum akhirnya dia memilah belan
Mereka berakhir larut malam setelahnya, setelah berbelanja bulanan Geva. Axton mengantar Geva sampai ke depan rumahnya. Setelah memarkirkan mobilnya, geva keluar lebih dulu agar bisa mengangkut barang-barangnya dengan cepat. Karena hari sudah sangat larut dan dia merasa tak enak hati pada Axton yang lagi lagi dia repotkan.Tapi Axton tak tinggal diam. dia juga buru-buru keluar dan menahan Geva, "sudah biar aku saja yang membawa semua belanjaannya ke dalam. Kau masuklah, hari mulai semakin dingin. Delvin mungkin ingin melihatmu." Ucap Axton yang menawarkan dirinya dan mererbut dua kantong yang hendak di angkat Geva.Axton lalu mengambilnya dan mengambil alih pekerjaan itu. Dia lagi lagi menyuruhku Geva masuk dan menemui Delvin. "Tapi ini sudah larut kan," ucap Geva masih tak enak hati pada Axton. "Larut apanya. Ini baru jam 9, bukannya besok akhir pekan. Delvin pasti menunggumu untuk bisa tidur bersama sampai esok kan. Itu jadwal kalian biasanya." Ujar Axton menyakinkan Geva.Ya itu
Axton mengambil alih gelas tadi dan mulai memanaskan air. Sembari menunggu air panas di teko listrik, dia berdiri di meja yang dapur. Axton membalikkan badannya, dia menatap Geva yang duduk sembari menggoyangkan badannya untuk menenangkan Delvin yang tengah tertidur di pelukan Geva.Axton tersenyum melihat itu, hatinya menghangat. Itu semua membuat dia mengingat kembali ibunya yang sangat hangat seperti Geva. Ibunya tidak pernah mengomeli dirinya, Omelan Omelan kecil hanyalah tentang kedisiplinan akan sikapnya. Axton tanpa sadar termenung sambil melipat tangannya di dada sembari memperhatikan Geva yang masih asik bersenandung sembari menepuk nepuk punggung Delvin yang semakin lama semakin pulas."Naiklah ke atas Gev, baringkan dia. Akan ku bawakan coklat panas ke lantai atas." Axton menawari bantuan lagi dan lagi pada Geva. Suaranya begitu tulus dan hangat, seketika Geva yang membalikkan badan menatap tatapan tulus Axton menjadi luluh. Jantungnya berdetak kencang, darahnya berdesir.
"Setelah sekian lama aku baru melihatmu. Kau kemana saja Ndah?" Tanya warda dengan nada sinis. Mereka tinggal di asrama pekerja klub lain. Yang mana di asrama itu terdapat delapan kasur yang berbeda.Sejak hari di mana mereka di pindah bersama, Warda tak pernah bertemu Indah. Dan hari ini Indah baru saja kembali dan berada di kamarnya. Dia tidak diizinkan memainkan ponselnya. Dan aturan itu hanya berlaku untuk Indah seorang pun. Bahkan Warda yang satu angkatan masih diizinkan membawa ponsel dan memainkannya sepanjang waktu kecuali di saat shiftnya. Indah yang duduk di kasurnya hanya diam menata sinis Warda. "Diamlah jangan berbicara padaku. Anggap saja kita tidak pernah kenal." Gertaknya. Indah masih bersikap sama, dia masih bersikap keras kepala dan enggan menyapa Warda. Karen baginya jika bukan karena warda, dia tidak akan berada di tempat menjijikkan itu. Indah selalu menyalahkan semuanya pada keluarga Lina. "Aku sial karena berada di keluarga mu. Aku menyesal menjadi selingkuhan
Di akhir persidangan, Lina membuat ulah dengan merusuh dan berteriak. Dia tak terima dengan keadaan Damas, dia menunjuk Geva sebagai pembawa sial. Tapi geva yang dia kucilkan berbeda dengan Geva sekarang. Geva keluar dari pintu ruangan sidang, dan dia melihat Lina di tahan oleh beberapa petugas keamanan, di sana Geva berdiri bersama Axton, Santi dan Egar. Geva berdiri dengan tegak menatap Lina. Dia berpakaian sangat anggun dan rapi, dia menjadi jauh lebih cantik dan elegan dari Geva yang sebelumnya.Lina menunjuk ke arah Geva dengan tatapan marah, “Lepaskan aku!” gertak Lina pada petugas yang menahannya. Itu adalah petugas perempuan, dua petugas sekaligus untuk menenangkan Lina yang menggila.“Ibu! Tenanglah jangan memberontak dan jangan membuat kerusuhan, kami bisa menjatuhkan hukuman penangkapan jika ibu tidak bisa bekerja sama dan masih saja keras kepala ingin menghampiri saksi persidangan.” Jelas sang petugas pengaman itu.“Gev,” panggil Axton yang menggunakan setelan dengan dasi
Lina hanya diam sepanjang jalan di dalam mobil patroli, dia bahkan tak berbicara atau menjawab pertanyaan sang petugas patroli perempuan itu. “Bu! Anda harus memberitahukan lokasi anda, jika tidak bagaimana kami akan mengantar anda.” Ujar sang petugas yang menyupir. “Sudahlah, tak apa, biar aku minta alamatnya dengan petugas lainnya di kantor.” Bela saang petugas lain yang berada di samping partner kerjanya itu. dia kemudian menelpon orang kantornya, dan meminta alamat dari tersangka yang melakukan pemalsuan, penggelapan dana dan pelaku KDRT.“Ini,” orang itu mulai menyeting alat gmaps mereka dan membiarkan temannya yang mengemudi untuk melihat alamat yang di arahkan ke rumah Lina. “Tidak jauh dari sini,” ujar orang itu. Sementara orang itu hanya mengangguk. Lalu petugas yang mengemudi itu mulai menuju ke rumah Lina. Dia sedikit menaruh jengkel pada ibu dari pelaku yang tidak bisa menerima keputusan hakim di persidangan. Jadi dia hanya mendiamkan Lina yang keras kepala sejak tadi.
Setelah seharian Delvin diberi perawatan di IGD, akhirnya dia sadar ketika di ruangan itu hanya ada mereka bertiga. Geva terus duduk di samping Delvin, wanita itu tersenyum dan terus menggegam tangan mungil Delvin.“Delvin, putra ibu … apa kau merasakan sakit nak?” tanya Geva dengan lembut. Dia melebarkan senyumannya, tak membiarkan matanya terlihat jelas merah dan sembab.Sementara Axton dan Xavel duduk di kursi penunggu di sudut ruangan yang dingin. Mereka berdua duduk saling berhadapan dan diam satu sama lain. Sesekali mereka saling menatap tajam dan lalu membuang wajah dengan cepat. Di hari sebelumnya, Xavel sudah berusaha meminta maaf pada Geva. Dan Ibu muda itu sudah memaafkan Xavel, dia bahkan tak menganggap itu adalah kesalahan Xavel. Tapi lelaki pemilik restoran itu menyadari keteledorannya karena dia sendiri yang menentukan setiap menu makan malam dan sarapan mereka. Sementara Axton yang sudah pernah melihat Xavel ingin menggagalkan lamarannya membuat dia menjadi tidak me
Geva mondar mandir di depan ruang pemeriksaan, sementara Axton sedikit menjauh dari Geva dengan ponselnya. Untuk beberapa saat Axton mengerutkan dahinya, dia menekan suaranya ketika berbicara dari balik telepon. Geva mulai menggigit ujung jarinya, matanya berkaca-kaca, pandangannya fokus melihat Delvin dari balik kaca kecil di pintu rawat darurat. Setelah beberapa saat, sang dokter yang memeriksa Delvin keluar menghampiri Geva yang sudah memasang wajah khawatir. Axton meliriknya sekilas sebelum akhirnya dia mematikan ponselnya sepihak dan ikut berdiri di samping Geva. Lelaki itu dengan lembut menaruh tangannya di sisi pundak Geva dan mengelusnya dengan pelan, mencoba menenangkan ibu muda itu.“Dok, apa yang terjadi dok? Putra saya tidak apa-apa kan?” tanya Geva yang terburu-buru. Geva tak mengindahkan penenangan Axton, melihat sang dokter baru keluar dari ruangan, dia langsung menghampirinya dan memasang wajah cemas. Sang dokter mengangkat alisnya, dia memberikan isyarat pada Geva
Hari di mana mereka akan hiking tiba, Geva tak membawa banyak barang karena dia menyewa pemandu yang juga membawakan barangnya. Jadilah dia bisa menggendong Delvin seorang, tanpa gangguan. Tapi sejak semalam dia menghindari pembicaraan dengan semua orang“Perjalan ini tak akan panjang kan? Aku benci berjalan kaki,” celetuk Feya. Sementara Santi menyadari gelagat aneh Geva. Dia memelankan langkahnya yang awalnya berada di tengah kini mundur menjadi paling akhir, dia membiarkan yang lainnya berjalan lebih dulu. Di depan mereka tim reparasi tengah asik sendiri mengobrol dengan seru. “Gev, kau kenapa?” tanya santi. “Sudah lelah?” tanyanya lagi dengan khawatir.“Tidak kok mba, Delvin juga tidak begitu berat. Aku memang ingin jalan paling belakang agar bersama dengan pemandu, lebih dekat dengan barang-barang delvin,” ujarnya memberi alasan.“Lalu kemana Axton dan Xavel? Kenapa mereka tidak ikut dengan kita sekarang? kudengar mereka memilih menyusul sebenarnya apa yang terjadi?” tanya San
Geva tersenyum dengan perlakuan manis Xavel. Di saat yang bersmaaan, Axton menatap Geva dan Xavel. “Xavel!” teriaknya. Suaranya terdengar sangat marah ketika dia melihat Xavel berjongkok di depan Geva. Dia mengahampiri Xavel dan menarik kerahnya, “apa kau mencoba mengambil gadisku?” tanay Axton dengan keras di depan Geva. Geva yang masih bersama Delvin seketika bingung, “Axton! Delvin masih di sini, jangan mempertontonkan kekerasan padanya!” Geva mengucapkannya dengan tegas. Saat tengah bertengkar begitu, Axton tak sengaja menjatuhkan sebuah kotak cincin di dekat Geva. Geva yang melihat itu sempat bingung tapi kemudian dia mengajak Delvin pergi dari sana. dia memilih mengabaikan Axton dan Xavel yang ingin bertengkar dan memukul satu sama lain. Xavel tertawa kecil, “Jadi kau berniat menembak Geva? Bagaimana jika kita bersaing? Aku sejak tadi memang memikirkan hal yang sama, aku memang tak punya cincin untuk Geva tapi aku bisa memberikan ini padanya.” Xavel menunjukkan kalungnya. “I
Di malam pertama mereka merayakan hari kebahagiaan dan kemenangan itu, Geva mengajak mereka semua makan malam dan istirahat di hotel Xavel. Keesokan harinya baru mereka akan melakukan pendakian kecil sampai ke tempat di mana mereka akan membuka tenda untuk camp dan barbeque.Di saat semaunya tengah berkumpul, Geva dan Axton berada di kursi yang bersebelahan, di sebelah lainnya ada Santi dan putrinya. Lalu Di samping Santi ada Xiao Ling dan Egar. Di sisi lain meja ada tim reparasi dan Xiao Ling termasuk ke dalam sisi lain itu. Di saat mereka tengah menunggu karyawan restoran menyiapkan semua makan malam mereka, Xavel datang. Axton awalnya terkejut, lalu dia menatap ke arah Geva, “Kau mengundangnya juga?” tanya Axton. Padahal dia belum selesai dengan rasa cemburu ketika beberapa jam lalu Geva menjelaskan mereka bertemu hari itu tanpa sengaja.“Hi Gev, terima kasih sudah mengundangku!” seru Xavel dengan wajah sumringah. Geva buru-buru berdiri dan menyambut Xavel. “Hi! Untung kau datang
Geva dan Axton turun dari mobil Van bersamaan ketika ketiga Van lainnya sampai. Tapi Van hitam terlihat sangat aneh, mereka memarkirkan mobil mereka jauh dari parkir yang ada, mereka parkir di dekat jalan masuk toilet luar atau umum. “Itu mobil yang tadi kan?” celetuk Geva dan Xiao Ling secara bersamaan.“Kau melihatnya juga Gev? Mereka seperti orang gila. Mengebut dengan kecepatan itu di jalanan yang tidak sepi. Aku akan mendatanginya dan melapor ke polisi terkait yang kulihat tadi.” Xiao Ling memprotes dan mulai berjalan ke arah mobil Van hitam itu.Dan saat Geva dan Xiao Ling mendekati mobil van itu, seorang wanita duduk di tanah di depan kap mobil van itu. “A-ada apa?!” tanya Geva yang sedikit terkejut dengan kondisi Feya, dia belum tahu bahwa itu adalah tim reparasi teman dari Egar. Yangg Geva lihat dia wanita yang seperti membutuhkan pertolongan. Jadilah Geva langsung menghampirinya dan hendak ingin menolongnya. Tapi saat Geva berlutut di depan wanita yang terlihat ngos-ngosan
“Kak Xiao, bersediakah kau ikut bersamaku?” Tanya Egar dengan tatapan sendu di depan Xiao Ling.Kejadian itu seketika mengundang perhatian dua staf yang tertahan di depan pintu. Mereka berdua seperti memergoki dua sejoli yang sedang mabuk kasmaran dan karena tak ingin mengganggu, dua orang itu memilih bersembunyi dari balik dinding. Dan ketika ada staff lain yang ingin masuk, mereka menahannya. Mereka berdua malah mengajak staf lain ikut mengintip dan menguping pembicaraan intens Egar Dan Xiao Ling. “Ayo! Terima dia kak Xiao!” ujar salah satu staf dengan suara berbisik, dia setengah berteriak dan menyoraki dua orang itu yang membuat mereka ikut merona di masing-masing pipi mereka. ***“Dasar Axton sialan!” gerutu Egar di dalam mobil Van hitam yang musiknya dinyalakan. Egar mengomel sejak dua hari lalu. Sejak dua hari lalu, karena Axton yang menolak ajakan pertemuan dengan pak Kim, dia harus menerima rumor dia tengah berkencan dengan Xiao Ling. Dan yang lebih buruk adalah, Pak Kim
Saat mereka telah sampai di depan rumah Geva. Geva turun dan berbicara dari luar, “Jadi apa kau menemukan jawaban?” tanya Geva pada Xavel setelah turun dari mobilnya.“Ya, begitulah ternyata itu hanya kebetulan sama saja. Aku dulu Sekolah menengah pertama di distrik Biru sebelah barat. Ternyata kita tidak pernah satu sekolah.” Ujar Xavel pada Geva dari dalam. Dia tidak ikut turun karena masih ada pekerjaan yang ingin dia lakukan.Geva hanya bisa menatap punggung mobil itu semakin jauh, dan masuk ke dalam rumah. “SMP distrik Biru Barat?” Geva bergumam kecil di saat dia masuk ke rumahnya. Banyak hal yang sudah terjadi selama 33 tahun, banyak hal yang Geva coba lupakan termasuk bekas pembuliannya sejak dia masih menginjak sekolah dasar. Jika di total, mungkin ada sekitar sepuluh kali dia berpindah sekolah. Ketika SD menjadi bahan bulian para siswi yang iri pada Geva, karena dia termasuk keluarga berada. Lalu saat SMP dia yang di bully di satu bulan sekolah pertamanya, hanya karena dia
Xavel menunggu di samping mobilnya yang dia parkirkan tepat di depan hotelnya. Dia tengah menelpon sebelum melihat Geva keluar dari pintu utama dengan menenteng banyak makanan take away. Xavel kemudian melambaikan tangan dan menuju ke Geva. “Biar aku bantu,” ujarnya ketika dia selesai menelpon dan memasukkan kembali teleponnya di saku celana. “Ayo, mobilku di sana,” Ajak Xavel. Geva hanya termenung, “Hah? trvel ku,” gumam Geva yang sejak keluar dari tadi tak melihatnya. “Kemana sih dia?” gumamnya lagi kali ini dengan kesal. Sementara belanjaannya sudah di bawa Xavel. Geva mau tak mau mengikuti langkah Xavel, “Apa kau yang menyuruh travelku meninggalkanku?” Tanya Geva dengan nada serius. Dia memang sudah merasa bingung dengan sikap Xavel sejak tadi ketika masih di depan resepsionis restoran.“Iya,” jawabnya dengan polos. “Aku kan sudah mengatakan akan mengantarkanmu, ada yang ingin aku bicarakan,” jelasnya dengan lugas. “T-tapi aku belum membayarnya!” gertak Geva lagi setengah kesa