Menjalani hari di pesantren memang tidak sebebas di rumah. Di pesantren itu penuh dengan aturan tapi tidak untuk mengekang, melainkan mengendalikan. Namanya juga kita sedang belajar mendalami ilmu agama, tentunya sebisa mungkin meminimalisir hal-hal yang sekiranya bisa berpengaruh dalam proses belajar kita.
Belajar tentu untuk mencari ilmu dan ilmu tak jauh dari adab. Di pesantren dua hal itu sangat ditekankan, berilmu tapi tidak beradab akan terasa percuma karena dari ilmunya tidak akan bisa menghasilkan kebaikan, bahkan tak sedikit orang yang berilmu tapi kelihatan arogan dan merasa paling benar karena minimnya adab.
Sebaliknya, orang yang beradab atau berakhlak mulia walaupun ilmunya sedikit tetap akan terpancar kebaikan dari dirinya, tetap akan dikenal sebagai pribadi yang mulia maka dari itu banyak sekali anjuran dari ulama-ulama untuk mendahulukan adab daripada ilmu. Karena orang beradab akan lebih mudah menerima ilmu.
"Kamu lagi menghafal buat setoran besok pagi atau lagi menghayal om-om sih?"
"Eh, sejak kapan kamu disini?" tanyaku pada Rifah. Sembarangan anak ini, orang aku lagi merenungkan ngaji sama bapak tadi sore.
"Astaghfirullah, kamu ya kalau lagi ngehaluin om-om jiwanya hilang dari raga!"
"Mati dong?"
Rifah langsung membungkam mulutku. "Jangan dulu dong, nanti siapa yang bantuin aku ngerjain tugas!" ujarnya diakhiri dengan pelukan, orang ini sedikit lebay memang.
Rifah yang tadinya duduk di salah satu pojokan mushola putri itu mendekat lalu menyodorkan qurannya. "Tolong simak sebentar setoran ku, agak senut-senut ini kepala!"
Aku menerima mushafnya lalu Rifah mulai menghafal Al furqon ayat 68-77. Kita berdua memang selalu menyimak satu sama lain sebelum besok pagi setoran pada Ibuk Syifa, anjuran juga sih dari beliau, harus sering-sering minta di simak teman sebelum disetorkan.
Jumlah ayat per setoran tidak sama antara satu dan yang lain, Rifah dan beberapa teman yang sekolah biasanya ibuk menargetkan satu halaman quran kudus tiap setoran agar ngaji dan sekolah mereka tetap berjalan.
Bagi yang tidak sekolah biasanya targetnya satu lembar quran kudus tiap setoran. Yang otaknya paling encer ya Mbak Rahma itu, sekali setoran bisa satu setengah lembar. Ibuk juga menganjurkan memakai quran kudus untuk hafalan, mungkin masih agak asing ya apa itu quran kudus? Mushafnya ya sama seperti yang lain kok, cuma mungkin dinamai berdasarkan nama penerbitnya dan jumlah ayat dalam satu halamannya sedikit berbeda dengan cetakan lain.
Di Quran kudus ayatnya selalu selesai disetiap halaman jadi tidak ada ayat yang terpotong ke halaman berikutnya, ada juga yang menyebutnya quran pojok. Eh gimana ya kok aku ngomongnya agak belibet! Kalau ada yang bingung bisa beli saja nanti paham yang aku maksud.
"Sekali lagi ya Mak! Dua ayat terakhir belum lancar!" titahku pada sahabat baikku ini.
"Inggih Bu nyai!"
Malah ngeledek ya!
Meskipun tertawa dulu akhirnya Rifah mengulang setorannya sampai benar-benar lancar. Selanjutnya aku yang minta tolong disimak setoran ku, manfaatnya emang banyak sih saling menyimak begini. Rasanya akan berbeda ketika menghadap ibu, lebih percaya diri aja gitu.
"Jam 11 eh, cepet banget perasaan!" keluh Rifah saat selesai menyimak ku.
"Tidur aja dulu nanti susah bangun tahajud!"
"Hehe, tadi aku udah merem sebentar jadi mau nderes aja sampai waktu tahajud. Nih amunisiku udah banyak!" ujarnya sambil menunjukan jajan nya.
"Baguslah! Kalau begitu aku yang mau tidur. Setengah jam ya, nanti minta tolong bangunin!"
"Mau cara halus apa kasar?"
"Cara sayang!" jawabku dan langsung mendapat lemparan bantal kecil darinya.
Kebetulan dilempar pakai bantal. Aku langsung merebahkan diri di mushola, agak mager jalan ke kamar, kalau di kamar nanti tidurnya nyenyak dan nyaman, membuatku yang tukang molor ini susah bangun.
Dan seperti sudah ada alarm otomatis, aku terbangun walaupun lebih dari setengah jam sih tidurnya. Hampir jam 12 malam ini masih ada beberapa yang nderes, ada juga yang masih mengerjakan tugas sekolah. Dan ada juga yang pengen banget diketawain. Perasaan tadi ada yang bilang nggak mau tidur, tapi nyatanya malah nyenyak banget walaupun tanpa selimut.
Aku sengaja ke kamar mandi dulu untuk wudlu sebelum membangunkan Rifah, sepertinya memang kelelahan ini anak. Setelah siap baru aku membangunkannya karena sebentar lagi pasti ada bel tanda semua harus bangun sholat tahajud.
"Jadi sebenarnya apa guna segelas kopi, dua bungkus keripik sama satu bungkus biskuit coklatnya tadi?"
"Haha, berguna kok buat aku melek. Tapi pas semuanya habis langsung ngantuk, ya gimana dong!!"
Aku meninggalkan Rifah yang masih sibuk menguap. Aku berhenti beberapa langkah sebelum masuk ke mushola utama komplek ini.
Gus Zein dan Gus Alfa jam segini masih ngobrol di depan rumah, sudah bangun atau belum tidur? Dan apa urusannya sama kamu Kinan??
Aku dan tiga teman lain berjalan melewati mereka berdua, kebetulan mushola utama berada di depan ndalem.
"Mau tahajudan ya?" tanya Gus Zein, entah pada siapa aku hanya ikut nunduk bareng ketiga temanku tadi.
"Nitip doa ya! Belum tidur soalnya mau ikut sholat!" tambahnya diakhiri ringisan pelan. Lagi-lagi aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis, lalu pamit segera masuk ke mushola. Sebelum menjauh aku melirik sebentar Gus Alfa yang diam saja, fokus ke ponselnya berbeda dengan Gus Zein yang menyapa kami.
Laki-laki sebenarnya tidak jauh dari wanita dalam hal ngobrol, buktinya dua Gus yang masih asyik mengobrol. Dua pria berbeda generasi itu masih belum pindah posisi ketika para santri sudah selesai tahajud.
Sebelum aku masuk ke komplek putri, samar aku mendengar bapak menegur mereka berdua, barulah mereka pindah mengangkut semua makanan dan kopi yang membuat mereka betah ngobrol. Lucu sih kalau melihat tingkah mereka ketika ditegur bapak.
"Kinan, aku ngantuk banget!" keluh Rifah. Tangannya sibuk mengucek mata.
"Mau maju duluan?" tawarku. Seusai sholat shubuh kita masih antri maju setoran sama Ibuk Syifa.
"Kamu terakhir nggak apa-apa?" tanyanya.
"Enggak!"
Rifah tersenyum lebar merasa misinya berhasil. Hafal banget sama kelakuannya, Rifah selalu menghindari urutan terakhir untuk setoran. Biasanya di kegiatan habis shubuh begini Ibuk minta Mbak Rahma untuk membantu mengajar ngaji bagi santri-santri baru dan yang tidak menghafal agar tidak terlalu lama selesainya.
Kegiatan sorogan sehabis shubuh terkadang banyak yang kurang fokus. Mungkin ada yang terburu-buru punya tugas sekolah tak terkecuali Rifah ini, alhasil aku harus rela maju terakhir.Dan saat tiba giliranku alhamdulillah halaman pertama setoran lancar, tapi dihalaman kedua aku harus mati-matikan menjaga konsentrasi karena ada sedikit gangguan yang tiba-tiba datang dan cukup menimbulkan suara berisik di mushola putri ini.
"Bunda, jadinya mau diantar Alfa atau bareng Kak Sean?" tanya Gus Alfa yang tiba-tiba dari luar membuka jendela mushola dekat tempat ibuk duduk.
"Ya Allah Alfa! Ngagetin!" tegur ibuk dan hanya tanggapi senyuman biasa oleh Gus Alfa. Senyuman biasa bagiku tapi tidak bagi teman-teman dibelakang yang semakin santer Bisik-Bisik.
"Gimana? Mau diantar Alfa?" tanyanya lagi.
"Iya, tunggu sebentar Bunda selesaikan ngajinya Kinan dulu!"
"Siap Bunda! Kalau begitu Alfa mandi dulu!" ujar Gus Alfa, "Assalamualaikum ukhti-ukhti..!" lanjutnya sebelum menutup jendela dan jelas sekali membuat ukhti-ukhti yang disapa menjadi semakin ribut, tapi tentu saja tidak lama karena masih ada ibuk di sini.
Dengan sisa-sisa konsentrasi aku melanjutkan setoran ku.
"ulangi-ulangi!" ujar Ibuk mencoba menenangkanku karena konsentrasiku benar-benar buyar.
Akhirnya dengan susah payah dan diulangi dua kali, setoran ku selesai dengan cukup baik. Alhamdulillah.
"Maaf ya jadi keganggu ngajinya gara-gara anak iseng tadi!" ucap Ibuk ketika selesai menandai setoran ku yang berikutnya.
"mboten ibuk! Saya yang kurang nderesnya!"
Ibuk tersenyum menanggapi ucapanku. Kalau boleh jujur aku malah seneng maju ngaji terakhir begini karena biasanya ibuk ngajak ngobrol dulu sebelum kembali ke ndalem.
"Yang rajin murojaah ya, sama rajin buat setorannya. Kalau bisa ikut khataman tahun ini!"
"Insyaallah, nyuwun tambah doa pangestu, Ibuk!"
"Sudah pasti, Ibuk selalu mendoakan kalian semua anak-anak Ibuk! Oh iya Kinan, kamu siap-siap ya, jam 8 nanti ikut Ibuk!"
"Nggih, Ibuk!"
Walaupun sangat amat penasaran tujuan Ibuk tapi aku tidak mengutarakannya dan memilih menyanggupi. Kata ayah nggak boleh banyak tanya apalagi protes, ketika ada permintaan dari guru itu berarti memang guru sedang butuh bantuan kita maka dari itu nggak usah pengen tahu mau kemana langsung ikut aja.
Aku langsung bersiap, masih ada waktu satu jam, itu lebih dari cukup. Begitu siap dengan kostum putih aku langsung masuk ke ndalem, membantu Ibuk membereskan keperluannya.
Tapi ketika tahu tujuannya aku sedikit ada rasa penyesalan. Coba saja ya bisa kabur atau menghilang pasti aku nggak harus terjebak dalam acara yang sangat indah nan harmonis yang diadakan dirumah Umi Sada ini. Ternyata ibuk mengajakku ke acara keluarga, di sini hampir sebagian besar bani Ahmad kumpul. Dan aku? Hanya seorang santri kentang yang lebih memilih duduk di dapurnya Umi Sada dari mulai acara sampai makan-makan.
"Kok disini Mbak? Duduk di luar ayo, nggak apa-apa! Kok malah di dapur!"
"Terimakasih Umi, saya di sini saja!"
Aku semakin gugup ketika Umi Sada berjalan mendekatiku. "Kamu Kinan?" tanya beliau sambil memegang pundakku.
Aku hanya bisa mengangguk. Sungguh rasanya terharu campur seneng, rasanya nggak percaya juga salah satu pengasuh pesantren tahu namaku.
"Sudah sampai juz berapa setorannya?" tanya Umi Sada lagi.
"Alhamdulillah mulai 26 Umi, pangestunipun!"
"Alhamdulillah, semoga lancar ya. Di beri kemudahan sama Gusti Allah." ucap beliau sambil tersenyum manis dan langsung aku aminkan.
"Udah tahu kan sekarang?" tanya Ibu Syifa yang tiba-tiba bergabung di dapur.
"Iya, sering lihat kalau ini kan sering kamu ajak ke acara-acara. Cuma nggak hafal namanya!" jawab Umi Sada, keduanya langsung pamit keluar sempat mengajakku juga tapi aku minta izin tetap disini.
"Jadi gimana?" Samar-samar aku mendengar Ibuk Syifa bertanya lagi.
"Insyaallah Syif, baik anaknya. Kalau udah kamu percaya berarti udah lolos uji kan? Tinggal nunggu khatamnya aja, aku pengen cepet punya mantu, Si Zein itu harus di pecut dulu baru mau mencari calon istri, ternyata udah punya incaran anaknya!"
Aku benar-benar tidak mau menjadi santri yang tau diri. Bisa-bisanya aku kepedean mengira yang Umi dan Ibuk bicarakan adalah aku, Ya Tuhan ampuni Kinan..
"Kinan!"
"Eh, astagfirullah! Iya Gus!"
"Ngapain bengong?"
Aku hanya mendunduk dan tersenyum menjawab pertanyaan Gus Alfa.
"Daritadi di sini? Udah makan belum?"
"Nanti gampang Gus!"
"Puasa?" tanyanya lagi dan aku menggeleng.
"Ya sudah sana makan, atau saya panggilkan Alea ya biar nemenin kamu ambil makan!"
"Nggak usah Gus, makasih banyak. Nanti saja!" tolakku secara halus. Kalau dibilang lapar ya memang tapi aku pilih menahan lapar sampai pondok nanti daripada harus keluar mangambil makan ditengah-tengah keluarga ahmad.
"Malu ya keluar? Ini udah dibawa masuk!" sahut Gus Zein yang masuk ke dapur membawa satu piring makanan.
"Ini dimakan ya! Tante Syifa yang ngambilin!" tambah Gus Zein sambil meletakkan piring di dekatku.
"Terimakasih, Gus!"
Ya Allah... Gimana ini??
Jangan gila Kinan! Jangan GR!! Apalagi menghalu!!
Aku masih mendiamkan piring itu, malu banget masa makan didepan dua Gus ini.
"Kamu liburan bulan depan pulang nggak?" tanya Gus Zein tiba-tiba, walaupun bingung tetap aku jawab dengan anggukan. Perasaan kalau didepan Gus-gus ini aku hanya bisa mengangguk dan menggeleng ya?
"Aku keluar dulu, Bang!" pamit Gus Alfa yang sejak tadi diam menikmati tehnya.
"Al! Ikut!" teriak Gus Zein lalu berlari mengikuti adik sepupunya.
Sepeninggal mereka aku makan sambil terus beristighfar agar imajinasi dan kehaluan ngawur di otakku ini menghilang. Bisa-bisanya aku berimajinasi Gus Zein bertanya tentang kepulanganku karena mau datang kerumahku. Memang benar kata Rifah, aku ini santri Multitalenta, selain jago mandi cepat juga jago menghayal.
Astaghfirullah, sadar Kinan!!
"Mbak Kinan lagi sibuk nggak?""Enggak sih Ning, gimana?""Anterin ke minimarket ya! Mau belanja!""Boleh.."Ning Alea langsung masuk pamit sama ibuk dan Aku langsung memakai jilbabku dengan benar, lumayan bisa refreshing keluar."Seneng ya punya alasan keluar!""Wah iya dong Din, alhamdulilah! Nggak usah capek-capek mikir alasan apalagi sampai bohong sama ibuk!"Diniyah langsung melempar tatapan tajam padaku. Ada yang salah dengan ucapanku?"Kamu jangan banyak gaya di sini Kinan! Ingat siapa kita ini!" bisiknya sebelum keluar dari kamarku.Sepeninggal Diniyah, Via langsung mendekat dari ekspresinya pasti mau ghibah ini anak. Untung Rifah masih kuliah, kalau nggak bisa heboh dia ada Dini disini. "Mbak, kenapa sih Mbak Diniyah kayaknya nggak suka banget sama kamu?"Aku memegang dua pipinya yang tembeb. "Anak manis belajar saja ya, nggak usah memikirkan hal yang kurang penting!""Ah Mbak Kinan, iya deh! Mbak aku nitip ya!""Boleh!"Selagi aku masih bersiap, Via dan yang lainnya sibuk me
Jumat pagi ini seluruh penjuru komplek khodijah sedang disibukkan dengan kegiatan bersih-bersih lingkungan atau biasa disebut roan.Roan adalah hal yang melekat pada jati diri pesantren. Setiap santri dibebani untuk roan, minimal membersihkan kamarnya sendiri.Disamping kebersihan juga dianjurkan di agama kita, menjaga kebersihan juga merupakan anjuran dokter dan tentunya manfaat dari kebersihan untuk diri masing-masing.Di komplek ini, roan sebenarnya dilaksanakan setiap hari, tapi ada satu hari dalam sebulan diadakan roan akbar. Biasanya pada hari jum'at membersihkan taman-taman, lingkungan, kamar mandi, dan seluruh lokasi Pesantren. Saat-saat seperti ini sih para santri pasti semangat, taulah kenapa!Santri putra biasanya semangat berbondong-bondong ketika diutus roan di Pondok Putri. Sebenarnya begitu juga dengan santri putri sih.Tujuan roan akbar kali ini khusus untuk menyambut wali santri yang akan datang siang nanti, khususnya santri baru karena tanpa terasa 40 hari berlalu da
"Kinan! Bude kesini!"Aku mematikan kompor dan mendekat ke pintu dimana Rifah berdiri."Ibuku kesini?""Iya, cepetan minta izin dulu!"Segera saja aku menghampiri ibuk syifa untuk minta izin menemui orangtua ku. Dan setelah mendapat izin, aku segera menuju aula. Rasanya sudah tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia, ayah sama ibu selalu sukses membuat kejutan.Begitu sampai aku masih harus celingukan mencari keberadaan kedua orangtuaku karena banyaknya orang di sini. Karena memang ini sambangan pertama untuk santri baru jadi tidak ada batasan jumlah keluarga yang boleh masuk."Mbak Kinan!"Aku menoleh ke arah suara dan ternyata Nisa yang memanggil, dia sedang bercengkrama dengan keluarganya. Demi kesopanan aku mendekat dan salim ke mamanya."Terimakasih ya Mbak Kinan, tadi Nisa banyak cerita kalau selama ini banyak dibantu Mbak Kinan." ujar mamanya Nisa."Sama-sama Ibu, sudah kewajiban kita saling membantu.""Oh iya ini buat Mbak Kinan." ucap mamanya lagi, beliau mengulurkan satu kotak
"Mak, aku pengen cerita sama kamu tapi ini rahasia!""Sudah kuduga! Tumben-tumbenan kamu ngajak aku belanja ke pasar, biasanya ogah kalau sama aku katanya aku ribet, mau ke pasar aja dandannya lama---"Aku membungkam mulut gadis manis ini, kalau soal pidato memang paling jago."Mau cerita apa?"Pertanyaan Rifah tidak langsung aku jawab, masih konsentrasi memilih wortel yang segar. Baru setelah mendapatkan semua bahan sesuai catatan dari ibuk, aku cerita pada Rifah mengenai surat dari Gus Zein, ngomong-ngomong dia orang pertama yang aku pilih untuk tahu. Aku sudah siap lahir batin untuk menerima reaksinya.Tapi diluar dugaan dia malah memegang keningku. "Nggak terlalu panas sih, tapi tetap harus ke dokter karena tingkat kehaluan kamu sudah sangat parah, stadium akhir!""Kamu nggak percaya, Mak?""Kinanku sayang, aku tahu kamu begitu mengidolakan om-om itu, maaf ya kalau aku kadang ikut dukung kehaluan kamu. Tapi aku prihatin sama keadaan kamu sekarang. Mana masih muda..!""Nih, aku tah
وَمَرۡيَمَ ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ الَّتِىۡۤ اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَهَا فَنَفَخۡنَا فِيۡهِ مِنۡ رُّوۡحِنَا وَصَدَّقَتۡ بِكَلِمٰتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهٖ وَكَانَتۡ مِنَ الۡقٰنِتِيۡنَصَدَقَ اللهُ اْلعَظِيْمُAku menutup quranku dan maju untuk mencium tangan ibuk."Alhamdulillah Kinan, juz 28 sudah selesai. Yakin ini mau pulang? Nggak sekalian dikhatamkan? Dua juz lagi lho!""Saya pulang dulu Buk, insyaallah nggak lama. Kangen sama ayah dan ibu.""kemarin juga sudah ketemu kan? Nggak usah pulang aja ya?"Aku hanya bisa tersenyum sambil menggeleng, sebenarnya yang dikatakan ibuk syifa benar sih, tapi niat hati untuk pulang sudah bulat. Mumpung liburan ini juga, kalau pas libur lebaran malah nggak bisa pulang. Bukannya nggak bisa tapi nggak boleh sama ayah."Ya sudah, tapi nanti ya kamu pamitnya. Paling akhir-akhir pokoknya!" ujar Ibuk lalu keluar mushola karena aku yang ngaji terakhir.Hampir 8 tahunan aku mondok mungkin hanya dua kali aku bisa lebaran di rumah, selebihnya di sini. Kata ayah lebaran har
"Apa yang bisa Kinan bantu nih Bu?""Udah hampir selesai kok!"Aku ikut membantu ibu mengemasi nasi kuning ke plastik mika.Selama ini ibu, menjual makanan di pasar untuk membantu keuangan keluarga. Ada nasi kuning, bubur sumsum dan gorengan. Ibu biasanya menyiapkan bahan-bahannya sejak malam sebelum tidur, baru nanti jam 1 malam bangun lagi untuk masak baru paginya setelah sholat shubuh ibu berangkat ke pasar.Aku mengusap ujung mataku, kalau ngomongin ibu dan ayah rasanya nggk bisa kalau nggak nangis. Semoga aku segera bisa membantu mereka, agar mereka bisa istirahat dan gantian aku yang akan kerja."Kamu tidur lagi sana, nanti shubuh ibu bangunin lagi. Katanya mau ikut ke pasar!""Nggak apa-apa Bu, Kinan tadi udah cukup tidurnya. Kebetulan lagi nggak sholat juga.!"Dengan senang hati ibu menerima bantuanku, Alhamdulillah selesai lebih cepat dari biasanya jadi ibu bisa istirahat sebentar sambil menunggu sholat shubuh.Sementara ayah dan ibu sholat, aku menikmati mandi di rumah. Samp
"Kamu kok bisa ditelepon Ning Sean?""Aku juga nggak tau Din, udah ayo ke sana!"Dini diam walaupun wajah juteknya masih terlihat jelas. Pagi menjelang siang ini aku masih dalam suasana liburan pondok dan tanpa disangka semalam Ning Sean telepon ke nomor ayah. Beliau bilang sedang di salah satu tempat wisata daerah sini dan meminta aku kesana, katanya dipanggil Ibuk. Dan aku langsung berinisiatif ngajak Dini."Kamu yakin ibuk syifa nyuruh kita kesini?"Aku melirik Dini yang sejak tadi tidak berhenti kepo. "Insyaallah." jawabku singkat.Aku selesai memarkirkan motor dan langsung masuk mencari Ning Sean. Semalam sewaktu ayah tau Ning Sean menelponku kar
Author P.O.V"Hati-hati ya, jangan lupa selalu jaga diri dan berdoa." ucap sang ibu ketika Kinan-anak semata wayangnya pamit. Walaupun liburan pondok belum usai, Kinan sudah harus balik ke pondok, sejujurnya dalam hati Kinan masih ingin membantu orangtuanya namun dia sadar ada tanggungjawab besar yang harus segera dia selesaikan agar tidak semakin lama membebani orangtuanya."Ibu juga ya, sehat-sehat." balas Kinan sambil memeluk ibunya, entah keberapa kali.Setelah acara pamitan yang cukup drama tadi, Kinan juga menyempatkan pamit ke keluarga Dini yang tinggal sebelahan dengan rumahnya. Dan tanpa membuang waktu lama Kinan segera membonceng ayahnya yang sudah siap mengantar.Selama perjalanan Kinan pegangan erat Ke ayahnya, sambil memutar kenangan-kenangan indah di masa kecil. Dulu sewaktu kecil dia sering ikut ayahnya setor-setor sayuran ke pelanggan, lalu pulangnya pasti dibelikan roti tawar dan selai nanas. Bagi keluarga Kinan yang hidup pas-pasan makanan itu terasa mewah sekali."M
Dulu ada masanya aku pernah begitu kepikiran kenapa orangtua selalu mengutamakan bibit, bebet dan bobot jika memilih jodoh untuk anaknya. Dan kenapa agama sangat menyarankan agar kriteria utama memilih pasangan adalah yang baik agamanya. Padahal tidak ada yang tahu bagaimana hidup seseorang kedepannya. Bagaimana kalau kita cinta sama orang yang tidak baik agamanya, atau berasal dari keluarga yang tidak jelas? Bisa saja saat ini dia terlihat buruk tapi seiring berjalannya waktu kita bisa merubahnya lebih baik, atau bisa saja dia berasal dari keluarga yang kurang baik tapi pribadi nya sendiri baik dan bisa dijadikan pasangan. Dan butuh waktu lama aku bisa mendapat jawaban.. Karena menikah itu bukan hanya persoalan dua orang, tapi menyangkut keluarga besar. Menikah bukan untuk coba-coba merubah hidup seseorang, tapi harus bisa menerima segala kekurangannya dan segala keadaan keluarganya. Kembali bertanya pada hati masing-masing, sanggupkah kita merubahnya menjadi lebih baik? Atau jang
Alfarras Syafi Mubarak Tentang mengikhlaskan.. Memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Terkadang sebagai manusia, kita sudah merencanakan kehidupan dengan sedemikian sempurnanya. Terkadang juga mengeluh bahkan putus asa ketika takdir tak sesuai rencana.Salahkah?Tidak. Karena kita manusia biasa. Wajar bila mengeluh akan beratnya ujian Allah, yang tak wajar adalah ketika datang ujian tapi kita marah dan menjauh dari-Nya. Allah memberikan cobaan agar kita semakin mendekat, agar kita tidak pernah lupa bahwa diri kita hanyalah makhluk lemah tanpa kasih sayangNya.Ikhlas. Andai saja menjalaninya semudah mengucapkannya, pasti banyak orang yang bahagia walaupun mendapat ujian, karena yakin bahwa Allah membalasnya dengan pahala besar."Pulang yuk!" ajakku pada Kinan yang masih nyaman duduk di tempat favoritnya belakangan ini."Sebentar lagi ya Mas!" jawabnya pelan.Aku mengangguk dan pilih menemaninya di sini lebih lama lagi. Membiarkan dia melepas rindu dengan putra kecilnya. Putra
Pada malam hari kembali digelar acara resepsi Zein dan Ayesha, rangkaian acaranya tetap sama pada umumnya namun yang membedakan adalah jumlah tamu. Hingga malam ini, tamu dari kedua keluarga masih terus berdatangan membuat semua keluarga besar Al Anwar harus sedikit lebih banyak menyiapkan tenaga, tapi tentu saja para santri senang bisa membantu."Ay, kamu udah benar-benar sudah ikhlas menjadi istriku?" tanya Zein disela-sela acara.Ayesha mendengus pelan mendengar pertanyaan konyol dari pria yang sudah berstatus suaminya ini. "Telat tanyanya, Bapak! Kalau mau tanya ya tadi pagi!" jawabnya lalu tersenyum karena saat ini ada salah beberapa temannya yang minta foto di pelaminan. Ayesha menyapa hangat teman-temannya yang sudah datang lalu mempersilahkan mereka duduk dengan nyaman."Gimana?" tanya Zein lagi ketika deretan teman Ayesha sudah meninggalkan pelaminan."Ikhlas lillahita'ala, Mas Zein!" jawab Ayesha."Aku mau minta maaf!" ucap Zein di dekat telinga Ayesha karena memang suara mu
"Ma! Abang nggak mau bangun!"Arsha mengadu pada Sang Mama yang sedang sibuk mengarahkan santri-santri untuk menata perasmanan."Udah pakai berapa cara, Nak?" tanya Ralin, dia masih sibuk menata piring di meja."Cara halus sampai cara kasar, Ma! Nggak ngaruh sama sekali ke Abangnya!"Ralin menghela nafasnya lalu ikut Arsha munuju kamar.Hari masih gelap tapi suasana pesantren Al Anwar sudah sangat sibuk karena hari ini akan ada dua acara besar sekaligus, khataman dan pernikahan Zein.Berdasarkan hasil musyawarah keluarga setelah Zein melamar Ayesha, seluruh keluarga sepakat untuk menyatukan acara pernikahan Zein dan khataman. Hanif juga meminta agar akad nikah sekalian di pesantren ini. Walaupun lahir dan tinggal di Jakarta, ibunda Ayesha asli Semarang. Semenjak menikah dengan Habib Yakub Nur Alatas, Sang Ibunda diboyong ke Jakarta hingga menetap disana. Setelah musyawarah panjang, akhirnya keluarga Ayesha setuju untuk menggelar acara di Al anwar."Rey, bangun! Udah subuh kan?" Ralin
Di hari minggu siang kediaman Alfa dan Kinan terlihat ramai, hampir semua keluarga dan kerabat, juga tetangga berkumpul. Ditambah hadirnya beberapa santri dan juga anak-anak dari panti asuhan semakin menambah ramai suasana. Alfa sengaja mengundang orang-orang ini dalam rangka tasyakuran empat bulan kehamilan Kinan.Di sepanjang jalan komplek rumah Alfa dipenuhi mobil-mobil box yang berlogo restoran dan supermarket milik Alfa, dia sengaja mem-booking restorannya sehari itu untuk menyediakan makanan bagi para tamu. Alfa juga meminta sebagian karyawan supermarket untuk menyiapkan hampers (aka berkat) yang nantinya juga untuk tamu."Mbak Kinan beruntung sekali ya menikah sama Gus Alfa!" ujar Via saat mengintip acara di luar. Saat ini dia, Rifah, Rahma, Nur dan beberapa santri putra diajak Syifa ke rumah Alfa. Ada Dini juga tapi dia bergabung bersama keluarganya."Iya. Gagal sama om-om nggak sedih soalnya dapat gantinya kayak Gus Alfa!""Wahai anak-anak cantik! Kalian kira Gus Alfa juga n
"Kamu apa kabar, Ay? Terakhir kita ketemu pas nikahan Alfa.""Alhamdulillah baik Mas!" jawab Ayesha ketika dia sudah duduk di depan Zein, dia juga sempat tersenyum sekilas pada Ridwan yang duduk di samping Zein. "Iya, aku terakhir ke sini juga pas nikahan Alfa itu!""Kamu kapan sampai Semarang?""Tadi pagi, tidur di hotel sebentar baru kesini.""Berapa hari di sini? Maaf ya aku ganggu kesibukan kamu!""Insyaallah lima harian Mas, besok mulai auditnya sampai tiga hari kedepan terus pengen staycation di sini dua hari. Nggak pengen ngapa-ngapain juga, bener-bener pengen me time mumpung dapat libur, rindu juga sama udara Semarang."Zein tersenyum tipis, ada sesuatu yang tidak nyaman di hatinya. Ayesha wanita yang selalu tidak sungkan menegaskan keinginannya. Mungkin kalau Ridwan yang dengar, tidak ada yang aneh. Tapi bagi Zein yang sudah mengenal betul sifat Ayesha, gadis itu sedang menjelaskan bahwa selama dua hari liburnya dia sama sekali tidak mau diganggu."Nggak ganggu Mas, aku kan y
"Lagi ya?" tanya Alfa yang duduk di samping istrinya.Kinan menatap suaminya dengan wajah memelas. "nanti habis maghrib lagi ya? Bukannya aku nggak suka ngaji Mas, tapi kamu udah baca surat Yusuf tiga kali, terus surat maryam tiga kali juga."Alfa malah tertawa bahagia melihat istrinya mengeluh. Sehabis dzuhur tadi mereka berdua sudah murojaah dua juz secara estafet, setelah selesai Alfa meminta Kinan untuk menyimaknya membaca surat Yusuf dan Maryam. Seminggu terakhir ini Alfa paling rajin membaca dua surah itu."Pegel?" tanya Alfa yang diangguki Kinan. Alfa langsung memindah mushaf dari tangan Kinan ke meja lalu dia berbaring dengan pangkuan Kinan sebagai bantalnya.Kinan melepas peci Alfa dan langsung mengusap lembut rambut sang suami. Sebelah tangan Alfa terulur ke belakang tubuh Kinan untuk memijit pinggang istrinya, sambil dia mencium perut Kinan."Semoga dr. Vivian nggak ada dendam pribadi sama Kak Sean ya!""Hah?""Dulu itu dr. Vivian saingan berat Kak Sean untuk mendapat hati
"Kenapa kamu, Al?"Alfa berjalan pelan mendekati Sang Nenek yang sedang duduk santai di meja dapur bersama sang kakek. Sebelumnya dia mengintip mangkok besar yang ada di tengah meja."Ini yang masak siapa, Nenda?""Apanya? Sop?""Iya, yang kayak dibawa Tante tadi!""Itu yang masak kan Tante Naya, memang kenapa?" tanya Biya dengan ekspresi heran dengan tingkah cucunya."Beneran Tante Naya? Kok dikasih bawang putih banyak?" Alfa masih belum menyerah, dia membayangkan sedang dikerjain oleh keluarganya dan berharap Kinan benar-benar berada di sini, tiba-tiba muncul dengan senyum manisnya. Jika benar begitu dia
"....Allahumma nawwir qulubanaa bi tilawatil Qur'an.."Alfa mengulangi kalimat dalam doa khataman itu sampai tiga kali sambil menangis. Bahkan Alfa menangis hingga akhir doanya. Acara simaan kali benar-benar terasa berbeda dari biasanya. Simaan kali ini dia gunakan sebagai ajang bermunajat pada Allah, memohon keselamatan dunia dan akhirat lewat berkat khatam quran."majelis kali ini benar-benar terasa lebih hikmat dari biasanya, Gus!" ujar Yusron ketika acara sudah ditutup dan jamaah dipersilahkan makan, tapi Alfa memilih tetap di tempat menikmati tehnya."Biasanya juga begini, Yus!""Ya secara rangkaian acara sih sama, tapi aku ngerasa lebih gimana ya, haru gitu aja pokoknya."