Pesan Dari Istri Calon Suamiku
Bab 1
*****
Ting....
Sebuah pesan masuk melalui aplikasi oval berwarna biru.
Entah siapa yang mengirimkan pesan tersebut tengah malam begini.
Namun, walau aku enggan untuk membacanya, tapi tetap saja kuraih benda pipih yang berada diatas nakas tersebut.
Tanpa rasa curiga atau perasaan lain, kubaca pesan tersebut.
"Saya tidak yakin, apakah anda akan membaca pesan saya ini, atau mungkin Zainal sendiri yang membacanya."
Deg...
Tiba-tiba jantungku seperti meloncat keluar, ketika membaca pesan yang paling atas.
Entah kenapa, mata yang semula sangat mengantuk, kini kurasakan mulai memanas.
Apalagi ketika membaca pesan dibawahnya.
"Saya tidak tau seberapa dalam hubunganmu dengan Mas Zen. Namun perlu kamu ketahui, sampai detik ini, status saya masih sah sebagai istri dari Zainal Arifin. Laki-laki yang kamu panggil Ayah."
"Ketahuilah, jika suatu saat nanti terjadi permasalahan antara saya dengan Mas Zen, andalah orang pertama yang akan saya cari sekaligus saya jadikan saksi atas pertikaian kami."
Kutekan tombol off di ponsel ku.
Rasanya tak sanggup untuk meneruskan membaca pesan berikutnya.
Walau aku tau, masih banyak sekali pesan yang dikirim oleh akun tersebut.
Apalagi diantara pesan tersebut, terselip nada ancaman.
Namun, rasa penasaranku ternyata mengalahkan semuanya.
Akhirnya, kunyalakan lagi ponselku.
Sebelum aku melanjutkan membaca pesan yang masuk, kucoba meng klik profil nya.
Aprillia Rahayu, adalah nama pemilik akun yang mengirim pesan kepadaku.
Dengan foto profil wanita cantik, berusia sekitar 25 tahunan.
Wajah bulat, kulit putih dan cantik.
Mengenakan rok diatas lutut dan baju ketat berwarna oranye.
Ada banyak sekali foto-foto dia di album, yang di setting umum.
Sehingga memudahkanku untuk melihat beberapa diantara foto-fotonya.
Setelah kurasa cukup untuk mengetahui profilnya, kembali ku buka pesan yang dikirim oleh Aprillia.
"Pasangan yang sangat serasi, ya?"
Tulis salah satu pesannya, dimana dia menyertakan fotoku bersama Mas Zen, saat kami berlibur bersama teman-teman beberapa waktu lalu.
"Bagaimana perasaanmu, seandainya laki-laki yang duduk disebelahmu adalah suamimu, sementara yang disebelah adalah aku?"
Sebuah caption dia kirim bersama dengan fotoku bersama Mas Zen sambil makan es krim ditaman.
Sungguh..., aku tidak bisa melanjutkan lagi membaca pesan yang selanjutnya.
Mataku berair, pandanganku menjadi buram karena air yang mengalir dari kedua mataku ini tak bisa lagi kutahan.
Walau ingin sekali kulanjutkan membaca semua pesannya.
Dengan tangan gemetar dan perasaan yang seperti tercabik-cabik, kutumpahkan semua airmata yang sedari tadi hendak keluar.
Ternyata, dua tahun perkenalanku dengan Mas Zen tidak membuatku mengetahui banyak hal tentang siapa dirinya sebenarnya.
Bahkan, setelah lamaran tak cukup buatku untuk menyingkap identitas dirinya yang sesungguhnya.
Saat aku meringkuk disudut tempat tidur, menangisi kelanjutan nasib dan kebdohanku, kudengar pintu kamar diketuk dari luar.
Kulihat wajah Ningrum muncul dibalik pintu, yang tidak terkunci.
Wajahnya sedikit terkejut melihatku menangis.
"Miranti, kamu kenapa?" tanya nya khawatir.
Mendapat pertanyaan seperti itu, membuatku semakin tersedu.
Ningrum memelukku, menenangkan dan mengelus punggungku.
Setelah sedikit merasa tenang, kuambil HP yang tadi kubiarkan tergeletak dilantai, kusodorkan ketangan Ningrum.
Kulihat ekpresi Ningrum yang kaget, ketika membaca pesan demi pesan yang berada di telepon genggamku.
Setelah beberapa saat, kudengar Ningrum bertanya lirih padaku.
"Lalu, apa keputusanmu?"
Sebuah pertanyaan terlontar dari bibir Ningrum, pertanyaan sederhana, namun sanggup membuatku bungkam kehilangan kata-kata.
*****
Namaku Miranti Wardani, anak bungsu dari empat bersaudara.
Sebagai anak bungsu, label sebagai anak manja dan kesayangan aku sandang dari kecil.
Bukan karena aku yang meminta ataupun menginginkan itu semua.
Tak pernah kupinta perlakuan yang berbeda dari orang tuaku ataupun kakak-kakak ku.
Mungkin, karena aku adalah satu-satunya anak perempuan dari orang tuaku, dan satu-satunya adik perempuan dari ketiga kakak ku. Sehingga aku mendapatkan kasih sayang yang sangat berlebih.
Walau demikian, tidak serta merta membuatku menjadi manja ataupun tumbuh menjadi "Spoiler Kid" dalam keluarga.
Aku terbiasa mandiri, bahkan sejak duduk dibangku sekolah menengah atas, aku memutuskan untuk tinggal di asrama.
Hingga suatu ketika Ningrum, salah seorang sahabatku mengundang untuk bergabung dalam sebuah chat grup.
Dimana, sebagian besar membernya adalah teman-teman semasa SMA dulu. Walau ada beberapa diantaranya yang tidak aku kenal, mungkin dari kelas yang berbeda, atau memang tidak berasal dari sekolah yang sama.
Dari grup chat itulah, aku mengenal sosok Zainal Abidin.
Kata Ningrum, dia adalah teman yang dia kenal di akun media sosial. Karena mempunyai hobi yang sama, yaitu traveling dan hiking, makanya dia pun mengundang Zen untuk masuk dalam grup chatnya.
Awal berkenalan, tidak ada yang spesial tentang dirinya.
Karena, hampir semua postingan ataupun foto yang dia unggah, tentang keindahan alam, gunung-gunung yang pernah dia daki atau kota-kota yang pernah dia singgahi.
Dan tentu saja, dengan disertai tulisan yang begitu menyentuh hati.
"Kota kesekian yang aku lalui, namun tak kutemui jejak mu disini"
Sebuah tulisan di bawah foto trotoar dengan temaram cahaya malam.
**
"Miranti ... kamu baik-baik saja kan?"
Tepukan lembut di punggung, membuyarkan semua lamunanku.
Di depanku, Ningrum menatap dengan menautkan kedua alisnya. seolah menuntut jawaban dari pertanyaan nya semalam, juga pertanyaan yang baru saja dia lontarkan.
"A--aku baik-baik saja, sungguh."
Ku gengggam tangan sahabatku erat, meyakinkannya.
Walau aku yakin, dia tidak mempercayai ku.
"Tadi Zen menelponku, dia bertanya tentang kamu."
"Oh ya ... dia bilang apa?" selidikku.
"Kenapa kamu tidak menjawab telpon, atau membalas pesannya."
"Aku mematikan ponsel ku sejak semalam."
Kuhembuskan nafas, kemudian kuraih benda pipih yang berada di atas nakas dan memencet tombol ON.
"Miranti, aku turut prihatin dengan apa yang terjadi diantara kalian. Tapi ... sebuah masalah tak akan selesai dengan menghindar atau bersembunyi dari pokok permasalahan."
Ningrum berkata, sebelum dia melangkah keluar kamar.
Sementara aku, masih dengan luka yang menganga, tak terlihat, namun begitu sakit hingga mampu melumpahkan semua persendian ditubuhku.
Serta berjuta tanya yang menumpuk dalam kepala, berebut hendak keluar mencari jawaban.
Drrttt... drrrttt....
Setelah telepon hidupkan, puluhan pesan masuk.
Semua dikirim oleh Mas Zen.
"Bund ... tolong angkat telepon nya."
"Bund ... apa aku melakukan kesalahan? Balas pesanku."
Baru beberapa pesan kubaca, dadaku terasa begitu sesak.
Kembali teringat pesan yang kuterima kemarin. "Bagaimana perasaanmu ketika mengetahui bahwa laki-laki yang kamu panggil 'Ayah' adalah suami dari wanita lain?"
'Jika kamu bertanya, bagaimana perasaanku, benar-benar sakit.' jerit hatiku.
Kulihat beberapa pesan lain yang masuk ke gawaiku, di sana, tampak sebuah nomer tanpa nama.
Dengan sebuah profil, rantai sepeda yang putus.
Ah ... kenapa harus memilih foto itu sebagai profil?
Atau, hanya perasaanku saja yang terlalu sensitif?
Kucoba mendownload gambar yang dikirim oleh nomer tersebut, tak menunggu waktu lama, tampak seorang wanita terbaring diatas brankar dengan selang infus terpasang di tangannnya.
"Tanggal 14 Februari 2017, aku mengalami keguguran anak pertamaku, di hari dan tanggal yang sama ketika Mas Zen melamar kamu, kan?"
Pesan yang tertulis dibawah foto yang dikirim oleh nomer tersebut.
"Saat itu, aku mencoba menghubungi Mas Zen, dan berusaha memberi tahukan padanya, bahwa saat ini aku berada di rumah sakit. Kamu tau apa jawaban Zen? Dia bilang sedang tugas keluar kota."
"Kamu pasti bertanya-tanya, darimana aku tau semuanya kan? Tentang tanggal pertunangan kalian? Aku tau banyak hal tentang kamu, Miranti."
Bagai ditusuk ribuan jarum, dan di iris-iris sembilu, terkoyak-koyak.
Hati ku terasa sangat sakit, sakit sekali.
Kembali, airmata membasahi pipi tanpa bisa kubendung.
Aku menangis, menjerit....
Kutumpahkan semua rasa sakit hatiku lewat tangisan dan air mata.
**
Dulu, ketika aku masih kecil, aku sering berkhayal bahwa aku adalah malaikat bersayap.
Sayap yang akan membawaku terbang menembus cakrawala.
Suatu hari, ingin sekali membuktikan kepada kakak-kakak ku bahwa aku benar-benar malaikat.
Dari atas balkon, kurentangkan kedua tanganku, dan dalam hitungan ketiga, tubuhku sudah meluncur kebawah.
Sayap yang ku harapkan akan keluar saat aku melayang, tak kutemukan disana.
Saat tersadar, aku telah tergolek diatas brankar dengan kepala dibalut perban, dan kaki yang terpasang gip.
Kamu tau rasanya saat itu? Sakit, sakit sekali.
Tapi ... tidak lebih sakit dari rasa yang aku rasakan saat ini.
Hatiku benar-benar hancur.
Belum lagi kucari jawaban atas semua yang terjadi, kini, satu kejutan muncul kembali.
Zen, apa yang kamu sembunyikan dariku?
****
Sudah 3 hari aku mengurung diri dalam kamar.Keluar hanya ketika ingin ke kamar mandi.Selama itu pula aku menutup akses komunikasu dengan Zen. Untuk saat ini, jujur, aku belum siap untuk bertemu dengannya. Atau sekedar berbicara lewat telepon.Hanya Ningrum yang selalu setia menemani, membawakan makanan, juga mendengarkan semua keluh kesahku."Miranti, jangan biarkan dirimu larut dalam kebodohan. Bangkit, carilah kebenaran dan lawan."Sebuah pesan dari Ningrum beberapa saat setelah dia berangkat kerja tadi pagi.Ku buka aplikasi berwarna biru di telepon pintarku.Mencoba mencari titik terang tentang semua yang terjadi padaku.Wanita itu mengaku banyak tau tentang diriku, dan aku ingin memastikan tentang hal itu.Ku buka tiap status dan foto yang pernah aku posting disana, berharap bisa menemukan sesuatu.2 Januari 2017
Ku gigit bibirku, tak terasa, kedua pipi telah basah oleh air mata.Kupejamkan mata, kembali mencoba mengingat tentang awal kedekatan ku dengan Zen.Apakah aku begitu mencintainya? Sehingga sampai detik ini, tak sepatah katapun yang keluar dari mulutku untuk mencari kebenaran langsung darinya.Drrttt... drrttt....Getaran telepon genggam yang kuletakkan di atas nakas menyadarkanku dari lamunan. Sebuah pesan dari Aprillia.Entah kenapa, membaca namanya saja sudah membuatku was-was.Ada rasa ketakutan tersendiri tiap menerima pesan darinya.Ketakutan akan adanya kejutan yang tak terduga darinya, seperti yang sudah dia kirim sebelumnya.Akhirnya, ku baca pesan darinya, setelah beberapa kali menarik nafas.Berharap, tak ada kejutan lagi disana."Mbak Miranti, maaf sebelumnya jika pesan saya ini mengganggu. Saya tau, Mbak pasti tidak atau mungkin b
Kusimpan bukti pengiriman itu, lalu kukembalikan kemeja Mas Zen ketempat semula.Jika semua pertanyaanku tidak mendapatkan jawaban dari Mas Zen, maka, aku akan mencari jawaban dengan caraku sendiri.Ku buka telepon genggamku, dan mulai berselancar di akun salah satu media sosialku.Ku cari akun dengan nama Shiva, yang sebelumnya sudah aku simpan.Lalu, mataku tertuju pada sebuah unggahan foto di dalam gedung bioskop.Tampak disana, foto seorang laki-laki yang sangat aku kenal, sedang makan popcorn.Sementara di sebelahnya, duduk seorang gadis cantik yang aku ketahui bermana Miranti.Sakit, benar-benar sakit sekali hatiku melihat kemesraan mereka.Aku yang sudah menjadi istrinya saja, belum pernah sekalipun di ajak nonton film, sementara dia....Kecemburuan dan rasa sakit hatiku saat melihat kemesraan yang mereka pamerkan sungguh membunuh akal sehatku.Dengan rasa rem
Sepanjang perjalanan pulang, air mataku tak henti mengalir.Tak lagi kuhiraukan pandangan orang-orang yang menatapku penuh tanya tatkala berpapasan denganku.Hatiku remuk redam, namun di sudut hati yang lain, ada rasa lega disana.Himpitan dan tekanan yang selama ini mendera, perlahan menghilang, seiring cucuran air mata yang menganak sungai.Sesampai di kamar kos, kulihat Ningrum, sahabatku disana.Aku menghambur kearahnya, tergugu dalam pelukannya."Ranti ... kamu baik-baik saja, kan?" tanyanya setelah tangisku reda.Dia menautkan kedua alisnya, menatap diriku yang mungkin tampak begitu acak-acakan di matanya."Ningrum ... aku sudah putus dengan Zen."Kembali aku menangis setelah menjawab pertanyaan Ningrum.Lalu, ku buka telepon genggamku dan memberikan padanya.Tampak, Ningrum begitu terkejut setelah dia membaca perc
POV Zen*****Hampir satu minggu aku tidak bisa menghubungi Miranti.Gadis yang kukenal dua tahun terakhir, melalui sebuah chat grup.Seorang gadis dewasa, dan sangat matang.Dengan postur tubuh semampai dan wajah oriental yang sangat cantik.Ditambah lesung pipi, yang membuatku semakin tergila-gila padanya.Butuh perjuangan yang panjang untuk mendapatkan perhatiannya.
Setelah kurasa semua bukti lengkap, kutekan nomer telepon kakakku.Setelah beberapa saat tak ada respon, kuputuskan untuk mengirimkan pesan.Namun, belum lagi ku ketik pesan yang hendak aku kirim.Sebuah pesan dari kakakku masuk."Ranti ... pulanglah. Mama sakit."Tulis kakakku dalam pesannya.Sakit apa Mama? Kemarin aku baru saja ngobrol dengannya, dan beliau sehat-sehat saja, batinku.Kupacu mobil dengan kecepatan sedang, membelah jalanan panas kota Bandung.Walau pikiranku dipenuhi dengan kekhawatiran, namun aku berusaha tenang.Kutepis semua pikiran buruk tentang sakit yang di derita Mama.Mama memang mempunyai penyakit gula. Dan setahun terakhir ini, sudah tidak pernah kambuh lagi.Mengingat hal itu, dadaku terasa sakit.Setelah hampir satu jam, mobilku memasuki halaman rumah yang gerbangnya te
Andika menatapku penuh iba.Sementara aku, seperti orang linglung yang kehilangan akal.Yang bisa aku lakukan hanyalah bengong, sambil berkali-kali menarik nafas panjang.Seorang pelayan datang membawa pesanan makanan kami.Namun, selera makanku menjadi hilang.Andika yang semula duduk di depan kini berada di sebelahku, sambil menyodorkan secangkir mocha hangat.Ku genggam cangkir dengan kedua tanganku, merasakan hangatnya menyentuh jari jemariku."Aku akan berada di sampingmu, Ranti. Kita hadapi ini bersama-sama."Kini, selain hangat secangkir mocha, ada kehangatan lain yang kurasakan.Ketika Andika menggenggam tanganku."Terima makasih, Dika. Tapi, aku tak mau melibatkan orang lain dalam masalah ini. Apalagi ini ....""Ssssstttt ...."Kalimatku terhenti, saat Andika meletakkan dua jarinya di bibirku.
Setelah mempertimbangkan masukan dari Andika untuk melaporkan Zen, dengan UU IT, karena tindakannya tersebut berhubungan dengan perbuatan tidak menyenangkan.Dan sudah bisa dipidanakan, karena sudah ada ancaman di dalamnya.Ancaman menyebarkan foto tanpa ijin.Kuhubungi Mas Yoga, dan mengatakan akan datang ke tempat kosku sepulang kerja.Sementara Mas Bayu tidak bisa datang, karena kebetulan sangat sibuk dengan pekerjaan di kantornya.Namun Mas Bayu memberi dukungan penuh dengan keputusan yang aku buat.Aku berharap, setelah ini, tak akan lagi ada permasalahan.Sebuah panggilan masuk ke dalam ponselku.Kucari-cari benda berbunyi nyaring tersebut, hingga kudapati ia ada di dalam laci.Buru-buru kutekan tombol warna hijau untuk menerimanya.Mungkin sebuah kabar penting, karena pagi-pagi sekali sudah meneleponku.Saat sambungan telepon
Hari ini, rencananya mas Bayu akan datang ke rumah.Aku sudah bersiap-siap sejak pagi, karena semalam tidur awal, bahkan sejak sore, membuat tubuhku terasa lebih segar.Terlebih aku juga menadapat kabar bagus dari Ningrum ketika membuka ponselku."Ranti, Zen sudah dipindah ke kantor cabang, aku tidak bisa memecat dia karena urusan pribadi, terlebih, kita ada perjanjian kontrak dengannya. Jadi jalan terbaik adalah, memindahkan dia. Sementara Adele, aku merumahkannya untuk sementara waktu, sambil menunggu surat pemecatan dari HRD."Pesan yang di kirim Ningrum dan kubaca tadi pagi ketika bangun tidur.Ningrum benar, dan keputusan yang diambilnya juga sudah tepat.Lalu, dengan cepat aku menulis pesan balasan untuknya."Terima kasih, Ningrum. Kamu memang yang terbaik."Sambil kububuhi emo hati di pesan balasanku.Sekarang, aku tinggal bersiap-siap untuk menunggu kedatangan mas Bayu dan kejutan yang akan dibawanya hari ini.Kupilih
Aku meninggalkan ruanganku dengan perasaan campur aduk, rasanya, sulit sekali untuk memaafkan orang yang sama dan telah berkali-kali melukai hati dan perasaan.Aku lelah sekali, tak sanggup jika harus berurusan lagi dengan Zen.Aku dan dia sudah lama berakhir, dan akhir dari hubungan kami sangat tragis dan begitu menyakitkan, baik buatku ataupun dia. Dan aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama dua kali. Biarlah Ningrum yang akan mengurus semuanya, tentang keberadaannya di kantor, Ningrum lebih tahu apa yang harus dilakukan.Begitu juga dengan Adele, dia juga tidak bisa berlama-lama ataupun dipertahankan keberadaannya.Aku mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Ningrum, semakin cepat dia menyelesaikannya, semakin baik."Ningrum, tolong kamu urus semuanya, aku tak sanggup lagi jika harus berlama-lama berhadapan dengan mereka.""Kamu baik-baik saja, kan, Ranti?" Tanya Ningrum khawatir."Aku baik-baik saja, Ningrum. Aku hanya butuh sedikit waktu
Kali ini, aku memastikan semua rencanaku berjalan dengan lancar.Aku tidak ingin menjadi pecundang dua kali dengan kasus yang sama, dan kupastikan, mereka yang terlibat tidak akan kuberi ampun.Hari ini, aku menunggu kabar dari orang yang kupercaya untuk mencari tahu tentang Adele, baru sehari bekerja, dia sudah mengirimiku beberapa laporan yang membuatku tersenyum. Kerjanya begitu cepat, hanya dalam hitungan jam, dia sudah memberiku beberapa informasi penting, termasuk siapa saja orang-orang yang dekat dengannya.Aku tertawa melihat salah satu foto yang kudapat darinya.Seperti yang kuduga dari awal, semua pasti berhubungan dengan Zen, dan itu juga menguatkan dugaan Andika yang pernah dikatakan padaku beberapa waktu lalu.Kupandangi layar laptopku sekali lagi, kemudian aku manggil Adele dan Ningrum ke ruanganku."Bu Ranti memanggil saya?" tanya Adele yang datang lebih dulu."Iya, aku membutuhkan bantuanmu untuk melakukan sesuatu untukku,
Aku masih tak percaya dengan pemaparan dari hasil investigasi Revan.Beberapa kali aku membaca huruf demi huruf yang tertera di atas kertas yang di serahkan Revan.Adele? Kenapa harus dia?Aku sama sekali tidak mengenalnya, bahkan sebelum ini.Kualihkan tatapanku pada Ningrum, berharap dia mempunyai jawaban untukku.Namun sia-sia, kulihat Ningrum malah mengangkat kedua bahunya."Baiklah, satu-satunya jalan untuk memastikan data itu milik Adele, kita harus kembali ke kantor.Dan ini tugasmu, Ningrum."Aku menatap Ningrum sambil tersenyum, karena semua data karyawan Ningrum yang pegang."Aha ... itu baru bener," ujar Revan sambil menjentikkan jarinya."Kenapa aku ga kepikiran sampai ke situ, ya?" gumam Ningrum."Minum ini dulu, biar jernih pikiran."Revan menyodorkan gelas berisi es teh pada Ningrum.Aku hanya tersenyum melihat tingkah dua orang temanku ini. Dari dulu, mereka memang tidak akur."Jadi bagaimana Nona-Nona? A
"Aku tahu, kamu makin ketakutan."Berkali-kali aku mengeja kalimat itu, mencoba memahami maksud dari status yang diposting Adele.Namun tetap saja, aku tidak mengerti maksud di balik kalimat tersebut.Seperti tersengat belut listrik, mataku membulat dengan lebar begitu aku teringat sesuatu.Aha ....Kurasa, aku tahu maksud kalimat tersebut.Bukankah kalimat tersebut sering ditujukan pada orang-orang dengan tujuan mengintimidasi? Dan itu adalah perasaan yang beberapa hari terakhir ini menghantuiku.Aku ditakut-takuti dengan cara mengirim pesan, dan mengoyak masa laluku.Tujuannya adalah untuk menimbulkan rasa takut pada diriku.Apakah Adele?Drtt ... drrtt ....Ponsel yang ku simpan di dalam laci bergetar.Sebuah pesan masuk dalam aplikasi berwarna hijau."Aku sudah menemukan siapa pemilik nomer tersebut, Ranti."Wow ... cepat sekali kerja Revan.Dia hanya butuh waktu kurang dari setengah hari untuk menemukan pemilik n
Pagi ini, kepalaku sedikit berdenyut, karena hampir semalaman aku tidak tertidur.Pesan dari nomer tak di kenal begitu menyita waktu istirahatku.Dia seolah benar-benar ingin membuatku merasa tidak tenang dengan pesan-pesan yang dikirimkannya."Ningrum, hari ini aku datang ke kantor agak siang. Kepalaku sedikit pusing."Aku memutuskan untuk ke kantor sedikit terlambat, dan memberitahukan pada Ningrum. Hal itu kulakukan karena Ningrum bisa mengambil tugasku untuk sementara, selama aku belum datang. Ningrum adalah orang kepercayaanku.Lima menit kemudian, masuk pesan balasan dari Ningrum."Hayo ... ngapain aja kamu semalam?"Aiih ... Ningrum sepertinya sedang meledekku.Ada emo curiga di akhir pesannya. Dia pasti berpikir negatif tentangku."Kepalaku pusing bukan karena keluyuran, tapi karena teror pesan dari nomer tidak di kenal," balasku cepat.Drttt ... drtt....Ningrum menelponku.Rupanya pesan balasanku membuatnya tergerak
Double date malam ini, memberiku sebuah kejutan dan juga pelajaran.Kejutannya adalah, wanita yang di kencani oleh mas Bagus selama ini ternyata adalah Ningrum.Aku yakin, baik mas Bagus maupun Ningrum juga tidak menyangka jika pasangan kencannya adalah oranf yang sudah lama mereka kenal.Sementara pelajaran yang kupetik adalah, perjuangan tidak akan menghianati hasil.Hal itu sudah dibuktikan oleh Ningrum dan mas Bagus.Mereka berjuang untuk mendapatkan pasangan yang baik, dan keduanya di pertemukan walau dalam kesempatan yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.Kini, hanya aku yang masih tertinggal.Masih terbelenggu dan terkungkung oleh trauma kelam masa silam.Walau aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk mencoba menyembuhkan dan melawan rasa ketakutan yang muncul dari dalam diriku, namun tetap saja, selalu terbersit rasa ketakutan dari dalam diriku sendiri.Bukan karena aku tidak bisa atau belum mampu melepaskan Zen atau meneri
"Miranti, Andika?" ucapnya pelan.Aku dan Andika berpandangan sesaat, lalu kami secara bersamaan berkata."Ningrum?"Setelah beberapa saat dibuat terkejut, spontan tawaku langsung meledak."Jadi, teman kencan Mas Bayu itu Ningrum?" tanyaku di sela-sela tawa.Mas Bagus ikut tertawa, sementara Ningrum menutup wajahnya dengan kedua tangannya."Sejak kapan kalian kencan online dan saling kenal?" tanyaku lagi setelah tawaku reda."Sejak sebulan yang lalu, kami kencan online. Dan baru tahu hari ini kalau ternyata yang aku kencani adalah Ningrum."Mas Bagus menjawab pertanyaan, mendengar jawaban dari kakakku itu, kembali tawaku meledak. Aku tidak bisa membayangkan, reaksi pertama mereka pada saat tahu siapa yang mereka kencani selama ini."Kalian menggunakan akun palsu, ya?" tanyaku sambil mengedip-kedipkan mata ke arah Ningrum yang masih menyembunyikan wajah di balik kedua tangannya."Iya, iya ... kami
Dengan pelan, Zen menarik salah satu kursi di depan kami, lalu dengan sedikit canggung, dia duduk berhadapan dengan kami.Aku sedikit menahan nafas ketika Zen menatapku.Rasa tidak enak hati dan ingin secepatnya menghabiskan sisa makanan dan pergi meninggalkan tempat ini.Zen sepertinya benar-benar mengikuti gerak gerikku.Karena, dia akan selalu muncul di hadapanku setiap kali aku bertemu dengan Andika, atau teman-temanku yang lain.Sepertinya, dia memang akan melakukan niatnya untuk bisa kembali bersamaku."Kalian sudah selesai, ya?" tanya Zen membuka percakapan, sambil melihat sekilas ke piring kami, yang memang hanya menyisakan sedikit makanan di sana.Sebenarnya bukan menyisakan, namun kami belum sempat menghabiskan dan Zen keburu datang."Begitulah, karena tiba-tiba saja nafsu makanku menghilang."Andika menjawab, sambil menyuput jus yang tinggal setengah di dalam gelasnya.Sekilas, aku menangkap raut kesal di wajah Zen saa