Kusimpan bukti pengiriman itu, lalu kukembalikan kemeja Mas Zen ketempat semula.
Jika semua pertanyaanku tidak mendapatkan jawaban dari Mas Zen, maka, aku akan mencari jawaban dengan caraku sendiri.
Ku buka telepon genggamku, dan mulai berselancar di akun salah satu media sosialku.
Ku cari akun dengan nama Shiva, yang sebelumnya sudah aku simpan.
Lalu, mataku tertuju pada sebuah unggahan foto di dalam gedung bioskop.
Tampak disana, foto seorang laki-laki yang sangat aku kenal, sedang makan popcorn.
Sementara di sebelahnya, duduk seorang gadis cantik yang aku ketahui bermana Miranti.
Sakit, benar-benar sakit sekali hatiku melihat kemesraan mereka.
Aku yang sudah menjadi istrinya saja, belum pernah sekalipun di ajak nonton film, sementara dia....
Kecemburuan dan rasa sakit hatiku saat melihat kemesraan yang mereka pamerkan sungguh membunuh akal sehatku.
Dengan rasa remuk redam, kusimpan foto tersebut dalam teleponku.
Ku telepon Mas Zen, namun telepon dariku tak pernah dia jawab.
Bahkan pesanku pun tidak pernah di balas.
Hingga suatu hari, aku terima pesan darinya bahwa, dia tidak akan lagi pulang ke kontrakan.
Luka hati yang belum kering, kini kembali menganga mengetahui bahwa suamiku ternyata sudah benar-benar berpaling dariku, dan memutuskan untuk kembali tinggal bersama orang tuanya.
Ingin sekali saat itu juga, kucari wanita yang bernama Miranti, mencabik-cabik dan mencakar mukanya.
Namun, semua aku urungkan. Walau bagaimanapun, aku adalah wanita terhormat, yang tidak akan melakukan cara kasar untuk menyelesaikan suatu permasalahan.
Hingga akhirnya, dipenghujung tahun 2016 aku dinyatakan positif hamil oleh dokter.
Dan usia kanduganku saat itu sudah menginjak bulan ke empat.
Itu artinya, saat Mas Zen pergi dari rumah, aku sudah hamil.
Ku kirim pesan pada Mas Zen, memberitahukan padanya bahwa saat ini aku tengah mengandung, berharap dia akan kembali pulang ke kontrakan.
Namun, lagi-lagi aku harus menelan kekecewaan dan sakit hati.
Bukannya pulang, Mas Zen malah mengancam akan menceraikanku.
Padahal saat itu, aku begitu membutuhkan seseorang, seorang suami untuk mendampingiku melewati masa kehamilan.
Apalagi ini adalah kehamilan pertamaku.
Dan sejak saat itu, Mas Zen memutus semua komunikasi denganku, bahkan nafkahku sebagai seorang istri pun tidak pernah lagi aku terima.
Akhirnya, aku pun memutuskan untuk pulang kerumah orang tuaku.
Karena selain tidak mempunyai penghasilan untuk bertahan hidup dikontrakan, aku butuh keluargaku saat aku terpuruk.
Akhirnya, aku dijemput oleh kakakku di rumah kontrakan dan membawaku pulang kerumah orang tuaku.
***
Pagi, tanggal 14 Februari 2017, kurasakan perutku melilit, sangat sakit sekali.
Ku panggil Ibuku, sontak Ibu begitu kaget ketika mengetahui aku mengeluarkan banyak darah.
Akhirnya, dengan diantar oleh Kakak dan ditemani Ibu, aku dibawa ke rumah sakit.
Saat itu, aku berusaha menghubungi Mas Zen, baik melalui pesan maupun telepon.
Namun, semuanya tak ada balasan.
Bahkan saat Kakakku berhasil menelepon nya pun, Mas Zen tidak kunjung datang ataupun sekedar menengokku di rumah sakit.
Rasa sakit itu bertambah sakit ketika dokter datang mengabarkan pada kami, bahwa anak yang ada dalam kandunganku tidak bisa diselamatkan. Dan aku harus merelakannya, dan hari itu juga aku harus di kuret. Untuk membersihkan sisa darah yang ada dalam kandungan.
Apakah sakit hatiku berhenti sampai disitu?
Tidak!
Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga.
Itulah yang aku alami dan rasakan saat itu.
Dikala aku berjuang antara hidup dan mati, tatkala jasad tergolek lemah tak berdaya, justru dihari yang sama, suamiku saat itu justru sedang melakukan lamaran untuk pujaan hati yang lain.
Saat aku butuh belaian dan bahu untuk bersandar, justru tangan itu membelai orang lain. Dan dibahu itu, bukan aku yang bersandar, tapi wanita idaman lain.
Sakit, sesakit-sakitnya.
Bahkan sampai tak bisa lagi aku ungkapkan dengan kata-kata kesakitanku itu.
***
Setelah dua hari di rawat di rumah sakit, akhirnya aku diijinkan pulang.
Sepanjang perjalanan, pikiranku kosong. Bahkan sempat terlintas dipikiranku untuk mengakhiri hidupku sendiri.
Tepukan lembut di tanganku, membuyarkan lamunan.
Kulihat Ibu tersenyum tulus padaku. Wanita yang telah melahirkanku ini, mencoba memberiku semangat untuk menata hidupku lagi. Walau aku tau, beliau saat inipun begitu terluka dengan apa yang menimpaku.
"April, ini benar akun Zen, kan?" Kak Amel, kakakku menyodorkan ponselnya padaku.
Di layar telepon itu, kulihat Mas Zen mengunggah foto mesra di akun media sosialnya.
"Lakukan sesuatu, April!"
Ucapan Kak Amel seolah menyadarkanku, bahwa aku harus berbuat sesuatu untuk membalas perbuatan Mas Zen padaku.
Setidaknya, supaya calon istri barunya mengetahui, siapa sebenarnya Zen.
****
-Di Rumah Miranti-
Kubaca pesan dari Zen, dia mengatakan akan sampai di Bandung sekitar dua jam lagi.
Sebelum aku pergi menemui nya, kupastikan segala sesuatu telah lengkap.
Ku buka satu persatu lembaran kertas dan foto.
Ya ... kemarin aku memfoto copy beberapa foto yang Aprillia kirim padaku.
Termasuk surat nikahnya dengan Zen juga percakapanku dengan Aprillia yang sebelumnya telah aku screen shot.
Aku ingin tau, jawaban apa yang akan Zen berikan padaku saat kutunjukkan semua itu padanya.
Beberapa saat kemudian, Zen meneleponku. Bahwa dia hampir sampai ditempat kami berjanji akan bertemu.
Buru-buru kumasukkan semua foto kedalam amplop coklat besar.
Beruntung sekali, jarak tempat kosku dengan tempat kami janjian bertemu tidak terlalu jauh.
Hanya butuh waktu lima menit jalan kaki untuk sampai disana.
Dari jauh, kulihat Mas Zen duduk di dekat jendela sebuah rumah makan cepat saji.
Saat menyadari kedatanganku, buru-buru dia berdiri sambil melambaikan tangan kearahku.
"Sudah lama sampainya, Mas?" tanyaku sesaat setelah aku duduk didepannya.
"Belum, tuh ... kursinya saja masih dingin," jawabnya mencoba bercanda.
"Bund ... kamu tau ga, selama kamu tidak menghubungi, aku begitu khawatir, aku takut, takut sekali terjadi sesuatu denganmu. Bahkan kerja pun aku tidak bisa fokus," ucap Mas Zen, sambil menggenggam tanganku.
"Aku ... baik-baik saja, Mas."
Kujawab pertanyaan Mas Zen dengan berat hati, sambil kutarik tanganku yang dia genggam.
Tiba-tiba, aku merasa begitu jijik melihatnya, terlebih saat mengingat pesan yang dikirim oleh Aprillia.
"Kamu kenapa sih, Bund? Tidak biasanya kamu seperti ini," cercanya. Ada rasa kaget saat kutarik tanganku dari genggaman tangannya.
"Benar, aku baik-baik saja," jawabku.
Kutundukkan kepalaku, sambil meremas ujung baju. Rasanya, ingin sekali kutatap wajahnya saat itu, sambil berteriak di depan wajahnya, betapa aku membenci dirinya dan begitu jijik melihat tingkahnya.
Namun, semua itu hanya berputar dalam benakku saja, tanpa bisa aku ucapkan.
Justru air mataku yang mendahului memberi jawaban, menggantikan kalimat yang hilang dalam angan.
"Bund ... wajahmu pucat sekali, kamu sakit? Mau Ayah antar ke dokter?" Mas Zen memegang kedua bahuku, sambil memandang wajahku yang menunduk.
"Aku tidak apa-apa, Mas," jawabku sambil menepis kedua tangannya dari bahuku.
"Sebenarnya, apa yang terjadi padamu, Bunda sayang ...?"
Tak tahan aku mendengar dia memanggilku dengan panggilan Bunda, muak sekali aku mendengarnya.
Ku tarik nafasku dalam-dalam, perlahan, kukeluarkan amplop coklat yang ada dalam tasku.
Aku serahkan amplop itu pada Mas Zen.
Sementara, dengan tatapan penuh tanya dan rasa penasaran, Mas Zen bertanya padaku.
"Bund ... ini apa?"
"Mas buka saja, nanti akan tau apa yang ada didalam nya. Dan satu lagi, mulai sekarang, jangan panggil aku dengan panggilan Bunda. Aku tidak suka!"
Sedikit terperangah dengan jawaban yang aku berikan, Mas Zen menatapku dengan rasa tidak percaya.
Perlahan, dia membuka amplop yang ada ditangannya.
Kulihat, ekspresi kaget menghiasi wajahnya saat satu persatu isi dalam amplop tersebut berada di atas meja.
"Da--dari mana kamu mendapatkan ini semua, Bund ... Hon--ney?"
"Jadi ... semua yang ada di foto itu benar, Mas?" tanyaku, sambil menatap kedua matanya.
"Aku ... aku bisa jelaskan semua ini Honey."
"Jadi benar, Mas?" tanyaku lagi.
Kulihat Mas Zen membuang pandangannya keluar jendela. Wajahnya terlihat syok dengan apa yang baru dilihatnya.
Sementara aku, masih menatap lekat kearahnya. Menunggu jawaban yang akan dia berikan padaku.
"Mas ... semua itu benar apa tidak, Mas?" tanyaku lagi, dengan penuh penekanan.
"Iya, benar. Tapi ... ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku bisa menjelaskan semuanya. Aku dan Aprillia memang masih suami istri, namun kami sudah lama berpisah. Dia sudah bukan istriku lagi secara agama."
"Lalu ... apakah itu bisa membenarkanmu untuk menjalin hubungan dengan wanita lain dan menikah lagi, sementara kalian masih resmi suami istri secara hukum?"
"Kami sudah lama berpisah Honey, percayalah. Diantara kami sudah tidak ada kecocokan."
Mendengar semua jawaban dari Mas Zen, membuat aku benar-benar muak.
Disaat terdesak dan fakta yang ada didepannya, dia masih saja berdalih dan berkata bohong.
"Lama berpisah ya? Begitu lamanya berpisah, sampai-sampai saat Aprillia hamil. Begitu kan, Mas?" cibirku.
Mas Zen menatapku seolah tak percaya dengan apa yang baru dia dengar.
"Kenapa terkejut, Mas?" ucapku sambil menyodorkan sebuah foto, saat Aprillia berada di rumah sakit.
Dan lagi-lagi, keterkejutan jelas terlihat dari wajah Mas Zen.
"Tidak ada yang perlu dijelaskan, Mas. Dan aku rasa, tidak ada juga yang harus aku pertahankan dari hubungan kita. Kamu sudah membohongiku dari awal, Mas. Kurasa, keluarga besarku pun tak akan terima jika mengetahui hal ini. Jangan hubungi aku lagi!"
Kutinggalkan Mas Zen yang masih terpaku, sesekali dilihatnya foto-foto yang berserakan di atas meja.
Setelah keluar dari rumah makan cepat saji, setengah berlari, ku terobos para pejalan kaki di trotoar.
Air mata mengalir sepanjang perjalanan pulang, tak kuhiraukan pandangan orang-orang yang menatapku dengan rasa penasaran.
Jarak yang biasanya hanya kutempuh selama lima menit, kini terasa begitu jauh untuk sampai ditempat kosku.
****
Sepanjang perjalanan pulang, air mataku tak henti mengalir.Tak lagi kuhiraukan pandangan orang-orang yang menatapku penuh tanya tatkala berpapasan denganku.Hatiku remuk redam, namun di sudut hati yang lain, ada rasa lega disana.Himpitan dan tekanan yang selama ini mendera, perlahan menghilang, seiring cucuran air mata yang menganak sungai.Sesampai di kamar kos, kulihat Ningrum, sahabatku disana.Aku menghambur kearahnya, tergugu dalam pelukannya."Ranti ... kamu baik-baik saja, kan?" tanyanya setelah tangisku reda.Dia menautkan kedua alisnya, menatap diriku yang mungkin tampak begitu acak-acakan di matanya."Ningrum ... aku sudah putus dengan Zen."Kembali aku menangis setelah menjawab pertanyaan Ningrum.Lalu, ku buka telepon genggamku dan memberikan padanya.Tampak, Ningrum begitu terkejut setelah dia membaca perc
POV Zen*****Hampir satu minggu aku tidak bisa menghubungi Miranti.Gadis yang kukenal dua tahun terakhir, melalui sebuah chat grup.Seorang gadis dewasa, dan sangat matang.Dengan postur tubuh semampai dan wajah oriental yang sangat cantik.Ditambah lesung pipi, yang membuatku semakin tergila-gila padanya.Butuh perjuangan yang panjang untuk mendapatkan perhatiannya.
Setelah kurasa semua bukti lengkap, kutekan nomer telepon kakakku.Setelah beberapa saat tak ada respon, kuputuskan untuk mengirimkan pesan.Namun, belum lagi ku ketik pesan yang hendak aku kirim.Sebuah pesan dari kakakku masuk."Ranti ... pulanglah. Mama sakit."Tulis kakakku dalam pesannya.Sakit apa Mama? Kemarin aku baru saja ngobrol dengannya, dan beliau sehat-sehat saja, batinku.Kupacu mobil dengan kecepatan sedang, membelah jalanan panas kota Bandung.Walau pikiranku dipenuhi dengan kekhawatiran, namun aku berusaha tenang.Kutepis semua pikiran buruk tentang sakit yang di derita Mama.Mama memang mempunyai penyakit gula. Dan setahun terakhir ini, sudah tidak pernah kambuh lagi.Mengingat hal itu, dadaku terasa sakit.Setelah hampir satu jam, mobilku memasuki halaman rumah yang gerbangnya te
Andika menatapku penuh iba.Sementara aku, seperti orang linglung yang kehilangan akal.Yang bisa aku lakukan hanyalah bengong, sambil berkali-kali menarik nafas panjang.Seorang pelayan datang membawa pesanan makanan kami.Namun, selera makanku menjadi hilang.Andika yang semula duduk di depan kini berada di sebelahku, sambil menyodorkan secangkir mocha hangat.Ku genggam cangkir dengan kedua tanganku, merasakan hangatnya menyentuh jari jemariku."Aku akan berada di sampingmu, Ranti. Kita hadapi ini bersama-sama."Kini, selain hangat secangkir mocha, ada kehangatan lain yang kurasakan.Ketika Andika menggenggam tanganku."Terima makasih, Dika. Tapi, aku tak mau melibatkan orang lain dalam masalah ini. Apalagi ini ....""Ssssstttt ...."Kalimatku terhenti, saat Andika meletakkan dua jarinya di bibirku.
Setelah mempertimbangkan masukan dari Andika untuk melaporkan Zen, dengan UU IT, karena tindakannya tersebut berhubungan dengan perbuatan tidak menyenangkan.Dan sudah bisa dipidanakan, karena sudah ada ancaman di dalamnya.Ancaman menyebarkan foto tanpa ijin.Kuhubungi Mas Yoga, dan mengatakan akan datang ke tempat kosku sepulang kerja.Sementara Mas Bayu tidak bisa datang, karena kebetulan sangat sibuk dengan pekerjaan di kantornya.Namun Mas Bayu memberi dukungan penuh dengan keputusan yang aku buat.Aku berharap, setelah ini, tak akan lagi ada permasalahan.Sebuah panggilan masuk ke dalam ponselku.Kucari-cari benda berbunyi nyaring tersebut, hingga kudapati ia ada di dalam laci.Buru-buru kutekan tombol warna hijau untuk menerimanya.Mungkin sebuah kabar penting, karena pagi-pagi sekali sudah meneleponku.Saat sambungan telepon
-Pekerjaan akan cepat selesai, jika dikerjakan bersama-sama-Sambil menunggu pesanan kami datang, kami mencoba membahas hal-hal yang ringan.Walau awal percakapan terasa kaku, namun lambat laun kami menjadi akrab dan percakapan diantara kami makin cair."Mbak April, aku benar-benar minta maaf dengan apa yang pernah terjadi antara aku dan Zen," ucapku meraih tangan April."Aku sungguh-sungguh tidak tau kalau saat itu dia masih berstatus suami Mbak. Karena yang aku tau, dia adalah duda dengan satu anak. Mbak ... mau, kan, memaafkan aku?"Kulihat April nenunduk, sambil menggenggam tanganku.Aku tau, bukan hal yang mudah untuk memaafkan seseorang yang telah menyebabkan rumah tangganya di ujung kehancuran. Bahkan sampai kehilangan anak yang ada dalam kandungannya.Dihelanya nafas dalam-dalam sebelum akhirnya April berkata."Aku sudah
-POV Aprill-****Hari ini, ketika aku sibuk menyiapkan persiapan ulang tahun untuk Ibuku, sebuah panggilan masuk ke telepon genggamku.Kulihat tertulis nama Miranti di layar.Aku sengaja tidak segera mengangkatnya, karena aku selalu beranggapan bahwa, jika memang ada hal penting yang ingin dibicarakan, maka seseorang akan kembali menghubungi jika panggilan pertama tidak di jawab.Setelah dua panggilan tidak aku jawab, aku berpikir dia tak akan menelepon lagi.Ternyata aku salah.Maka, pada panggilan ke tiga, aku buru-buru menjawab panggilannya.Dari seberang, kudengar suara seorang wanita, yang aku yakini adalah suara Miranti.Suaranya terdengar sedikit gemetar.Walau kami sering berkomunikasi, tapi kami hanya berkomunikasi lewat pesan.Dan ini adalah kali pertama kami ngobrol melalui sambungan telepon.Ada rasa canggung saat kami memul
Andika yang tiba-tiba sudah ada dalam ruangan, mengagetkanku.Dia mengatakan bahwa aku ditabrak, bukan ditabrak.Mendengar apa yang dikatakan Andika, pikiranku diliputi berbagai pertanyaan.Siapa yang dengan sengaja menabrakku atau kenapa aku ditabrak dan apakah aku menegenal orang yang menabrakku?Belum lagi pertanyaan yang berputar-putar di kepalaku terjawab, Ningrum menimpali kalimat Andika, yang semakin membuat kepalaku bertambah pusing."Andika benar, Ranti. Karena aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, ketika pengendara motor tersebut sengaja menabrakmu."Ningrum mendekatkan mulutnya ke telingaku, seolah takut ada orang lain yang mendengar apa yang baru saja dia katakan."A-apa yang kalian bicarakan? Kepalaku sakit sekali."Aku berkata sambil memegang kepalaku yang tiba-tiba berdenyut dan terasa seperti dipukul benda tumpul, hingga membuatku meringis
Hari ini, rencananya mas Bayu akan datang ke rumah.Aku sudah bersiap-siap sejak pagi, karena semalam tidur awal, bahkan sejak sore, membuat tubuhku terasa lebih segar.Terlebih aku juga menadapat kabar bagus dari Ningrum ketika membuka ponselku."Ranti, Zen sudah dipindah ke kantor cabang, aku tidak bisa memecat dia karena urusan pribadi, terlebih, kita ada perjanjian kontrak dengannya. Jadi jalan terbaik adalah, memindahkan dia. Sementara Adele, aku merumahkannya untuk sementara waktu, sambil menunggu surat pemecatan dari HRD."Pesan yang di kirim Ningrum dan kubaca tadi pagi ketika bangun tidur.Ningrum benar, dan keputusan yang diambilnya juga sudah tepat.Lalu, dengan cepat aku menulis pesan balasan untuknya."Terima kasih, Ningrum. Kamu memang yang terbaik."Sambil kububuhi emo hati di pesan balasanku.Sekarang, aku tinggal bersiap-siap untuk menunggu kedatangan mas Bayu dan kejutan yang akan dibawanya hari ini.Kupilih
Aku meninggalkan ruanganku dengan perasaan campur aduk, rasanya, sulit sekali untuk memaafkan orang yang sama dan telah berkali-kali melukai hati dan perasaan.Aku lelah sekali, tak sanggup jika harus berurusan lagi dengan Zen.Aku dan dia sudah lama berakhir, dan akhir dari hubungan kami sangat tragis dan begitu menyakitkan, baik buatku ataupun dia. Dan aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama dua kali. Biarlah Ningrum yang akan mengurus semuanya, tentang keberadaannya di kantor, Ningrum lebih tahu apa yang harus dilakukan.Begitu juga dengan Adele, dia juga tidak bisa berlama-lama ataupun dipertahankan keberadaannya.Aku mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Ningrum, semakin cepat dia menyelesaikannya, semakin baik."Ningrum, tolong kamu urus semuanya, aku tak sanggup lagi jika harus berlama-lama berhadapan dengan mereka.""Kamu baik-baik saja, kan, Ranti?" Tanya Ningrum khawatir."Aku baik-baik saja, Ningrum. Aku hanya butuh sedikit waktu
Kali ini, aku memastikan semua rencanaku berjalan dengan lancar.Aku tidak ingin menjadi pecundang dua kali dengan kasus yang sama, dan kupastikan, mereka yang terlibat tidak akan kuberi ampun.Hari ini, aku menunggu kabar dari orang yang kupercaya untuk mencari tahu tentang Adele, baru sehari bekerja, dia sudah mengirimiku beberapa laporan yang membuatku tersenyum. Kerjanya begitu cepat, hanya dalam hitungan jam, dia sudah memberiku beberapa informasi penting, termasuk siapa saja orang-orang yang dekat dengannya.Aku tertawa melihat salah satu foto yang kudapat darinya.Seperti yang kuduga dari awal, semua pasti berhubungan dengan Zen, dan itu juga menguatkan dugaan Andika yang pernah dikatakan padaku beberapa waktu lalu.Kupandangi layar laptopku sekali lagi, kemudian aku manggil Adele dan Ningrum ke ruanganku."Bu Ranti memanggil saya?" tanya Adele yang datang lebih dulu."Iya, aku membutuhkan bantuanmu untuk melakukan sesuatu untukku,
Aku masih tak percaya dengan pemaparan dari hasil investigasi Revan.Beberapa kali aku membaca huruf demi huruf yang tertera di atas kertas yang di serahkan Revan.Adele? Kenapa harus dia?Aku sama sekali tidak mengenalnya, bahkan sebelum ini.Kualihkan tatapanku pada Ningrum, berharap dia mempunyai jawaban untukku.Namun sia-sia, kulihat Ningrum malah mengangkat kedua bahunya."Baiklah, satu-satunya jalan untuk memastikan data itu milik Adele, kita harus kembali ke kantor.Dan ini tugasmu, Ningrum."Aku menatap Ningrum sambil tersenyum, karena semua data karyawan Ningrum yang pegang."Aha ... itu baru bener," ujar Revan sambil menjentikkan jarinya."Kenapa aku ga kepikiran sampai ke situ, ya?" gumam Ningrum."Minum ini dulu, biar jernih pikiran."Revan menyodorkan gelas berisi es teh pada Ningrum.Aku hanya tersenyum melihat tingkah dua orang temanku ini. Dari dulu, mereka memang tidak akur."Jadi bagaimana Nona-Nona? A
"Aku tahu, kamu makin ketakutan."Berkali-kali aku mengeja kalimat itu, mencoba memahami maksud dari status yang diposting Adele.Namun tetap saja, aku tidak mengerti maksud di balik kalimat tersebut.Seperti tersengat belut listrik, mataku membulat dengan lebar begitu aku teringat sesuatu.Aha ....Kurasa, aku tahu maksud kalimat tersebut.Bukankah kalimat tersebut sering ditujukan pada orang-orang dengan tujuan mengintimidasi? Dan itu adalah perasaan yang beberapa hari terakhir ini menghantuiku.Aku ditakut-takuti dengan cara mengirim pesan, dan mengoyak masa laluku.Tujuannya adalah untuk menimbulkan rasa takut pada diriku.Apakah Adele?Drtt ... drrtt ....Ponsel yang ku simpan di dalam laci bergetar.Sebuah pesan masuk dalam aplikasi berwarna hijau."Aku sudah menemukan siapa pemilik nomer tersebut, Ranti."Wow ... cepat sekali kerja Revan.Dia hanya butuh waktu kurang dari setengah hari untuk menemukan pemilik n
Pagi ini, kepalaku sedikit berdenyut, karena hampir semalaman aku tidak tertidur.Pesan dari nomer tak di kenal begitu menyita waktu istirahatku.Dia seolah benar-benar ingin membuatku merasa tidak tenang dengan pesan-pesan yang dikirimkannya."Ningrum, hari ini aku datang ke kantor agak siang. Kepalaku sedikit pusing."Aku memutuskan untuk ke kantor sedikit terlambat, dan memberitahukan pada Ningrum. Hal itu kulakukan karena Ningrum bisa mengambil tugasku untuk sementara, selama aku belum datang. Ningrum adalah orang kepercayaanku.Lima menit kemudian, masuk pesan balasan dari Ningrum."Hayo ... ngapain aja kamu semalam?"Aiih ... Ningrum sepertinya sedang meledekku.Ada emo curiga di akhir pesannya. Dia pasti berpikir negatif tentangku."Kepalaku pusing bukan karena keluyuran, tapi karena teror pesan dari nomer tidak di kenal," balasku cepat.Drttt ... drtt....Ningrum menelponku.Rupanya pesan balasanku membuatnya tergerak
Double date malam ini, memberiku sebuah kejutan dan juga pelajaran.Kejutannya adalah, wanita yang di kencani oleh mas Bagus selama ini ternyata adalah Ningrum.Aku yakin, baik mas Bagus maupun Ningrum juga tidak menyangka jika pasangan kencannya adalah oranf yang sudah lama mereka kenal.Sementara pelajaran yang kupetik adalah, perjuangan tidak akan menghianati hasil.Hal itu sudah dibuktikan oleh Ningrum dan mas Bagus.Mereka berjuang untuk mendapatkan pasangan yang baik, dan keduanya di pertemukan walau dalam kesempatan yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.Kini, hanya aku yang masih tertinggal.Masih terbelenggu dan terkungkung oleh trauma kelam masa silam.Walau aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk mencoba menyembuhkan dan melawan rasa ketakutan yang muncul dari dalam diriku, namun tetap saja, selalu terbersit rasa ketakutan dari dalam diriku sendiri.Bukan karena aku tidak bisa atau belum mampu melepaskan Zen atau meneri
"Miranti, Andika?" ucapnya pelan.Aku dan Andika berpandangan sesaat, lalu kami secara bersamaan berkata."Ningrum?"Setelah beberapa saat dibuat terkejut, spontan tawaku langsung meledak."Jadi, teman kencan Mas Bayu itu Ningrum?" tanyaku di sela-sela tawa.Mas Bagus ikut tertawa, sementara Ningrum menutup wajahnya dengan kedua tangannya."Sejak kapan kalian kencan online dan saling kenal?" tanyaku lagi setelah tawaku reda."Sejak sebulan yang lalu, kami kencan online. Dan baru tahu hari ini kalau ternyata yang aku kencani adalah Ningrum."Mas Bagus menjawab pertanyaan, mendengar jawaban dari kakakku itu, kembali tawaku meledak. Aku tidak bisa membayangkan, reaksi pertama mereka pada saat tahu siapa yang mereka kencani selama ini."Kalian menggunakan akun palsu, ya?" tanyaku sambil mengedip-kedipkan mata ke arah Ningrum yang masih menyembunyikan wajah di balik kedua tangannya."Iya, iya ... kami
Dengan pelan, Zen menarik salah satu kursi di depan kami, lalu dengan sedikit canggung, dia duduk berhadapan dengan kami.Aku sedikit menahan nafas ketika Zen menatapku.Rasa tidak enak hati dan ingin secepatnya menghabiskan sisa makanan dan pergi meninggalkan tempat ini.Zen sepertinya benar-benar mengikuti gerak gerikku.Karena, dia akan selalu muncul di hadapanku setiap kali aku bertemu dengan Andika, atau teman-temanku yang lain.Sepertinya, dia memang akan melakukan niatnya untuk bisa kembali bersamaku."Kalian sudah selesai, ya?" tanya Zen membuka percakapan, sambil melihat sekilas ke piring kami, yang memang hanya menyisakan sedikit makanan di sana.Sebenarnya bukan menyisakan, namun kami belum sempat menghabiskan dan Zen keburu datang."Begitulah, karena tiba-tiba saja nafsu makanku menghilang."Andika menjawab, sambil menyuput jus yang tinggal setengah di dalam gelasnya.Sekilas, aku menangkap raut kesal di wajah Zen saa