“Putar balik mobilnya.” Miguel yang sebelumnya fokus menyetir kini mengerutkan kening, setelah mendengar perintah dari Clovis. "Maksud Anda, kita kembali lagi ke apartemen Meiva, Tuan?" tanya Miguel. Wajah Clovis begitu tenang, punggungnya bersandar ke kursi, jemarinya menyangga pelipis sambil memejamkan mata. Tanpa atasannya menjawab apa pun, Miguel, membaca situasi tak berani lagi bertanya. "Baik Tuan." Padahal, sekitar lima ratus meter lagi dari posisi, mereka akan sampai ke rumah Clovis. Tanpa ingin membantah, laki-laki itu lantas memutar mobil di persimpangan jalan depan.Matanya melirik ke spion tengah, Clovis sedang memegang ponsel milik Meiva yang tertinggal, awalnya Clovis membiarkan saja menunggu si pemilik untuk mengambilnya sendiri. Namun setelah itu, entah apa yang membuatnya berubah pikiran. Tak ingin mengganggu suasana hati Clovis yang sedang cerah ia langsung melajukan mobil ke apartemen Meiva. .... Meiva menyeret kopernya berjalan cepat, kemudian berhenti saat
Samar-samar indra pendengaran Meiva menangkap suara desingan vacuum cleaner, sontak saja ia menaikkan bantal ke atas kepala menurangi suara yang sudah mengganggu tidurnya. Meiva memejamkan mata tempat ini begitu nyaman dengan seprai dan bantal selembut sutra, hingga membuatnya tidak ingin bangun, tapi detik berikutnya matanya terbelalak lebar saat menyadari tempat nyaman yang dia rasakan terasa asing. “Oh tidak, aku di mana??” langsung melonjak kaget, mengedarkan pandangan ke kamar luas, gorden abu-abu menutupi jendela besar, ada rak kayu di dekat sofa yang berisi buku dan beberapa pajangan-pajangan mahal. Dengan keadaan rambut lurusnya masih tergerai, sedangkan di dahi ditempeli plaster penurun panas, kaki telanjang Meiva turun dari ranjang, ia menurunkan pandangan menatap penampilannya sendiri dari cermin besar yang ada di depannya. Pakaian kemeja putih kedodoran yang dikenakan berbeda dengan semalam. Sontak saja semakin membuatnya bingung lantas membuka pintu. “Non su
Meiva mengerjap, bahkan menatap laki-laki itu beberapa saat. Kalau ia memanfaatkan Clovis, maka akan meraih kesuksesan dangan waktu sangat singkat. Namun, jika ia melakukan itu, apa bedanya dirinya dengan Ellen? Selama ini mereka sama-sama memiliki bakat berakting yang bagus. Hanya saja, Ellen lebih memilih jalur cepat. Meiva memilih menggeleng seraya berkata, "Tidak. Keputusanku sudah bulat. Mungkin suatu saat, tapi aku mau bukan atas bantuan siapa pun. Aku mau maju dengan hasil kerja kerasku sendiri." Clovis menyunggingkan bibir, sedikit tersinggung dengan penolakan Meiva, tapi itu masih dalam hal wajar. "Sayang sekali," ucapnya sambil beranjak dari sofa. "Clovis." CLovis yang sudah berjalan beberapa langkah berhenti saat di belakang sofa, memiringkan wajahnya menatap Meiva. Gadis itu terlihat canggung mendekatinya. "Mulai hari ini aku masuk kerja. Sekali lagi, terima kasih dan maaf, sudah banyak merepotkan dan menyusahkan mu. Setelah ini aku janji, tidak akan
Meiva mulai bekerja hari ini, tidak ingin melewatkan kesempatan ini begitu saja. Ia melakukan dengan serius posisinya bagian dari tim kreatif. Sepertinya Meiva tidak bisa jauh-jauh dari industri media. Buktinya setelah Vacum menjadi aktris sekarang dia masih berperan di belakang layar, jadi bagian tim. Luna yang duduk di kursi sebelahnya sambil membuka sosial media terlihat sibuk. Bicara pada Meiva saat ditanya saja. Di jam makan siang seperti ini, mereka sedikit menganggur. Kecuali Meiva sebagai anak baru, sebab belum mengerti titik celah pekerjaannya. Dia masih sibuk menyiapkan naskan. "Oh astaga, gila, ini benar-benar gila!" Luna melototi layar ponselnya melihat berita mengejutkan. Meiva yang penasaran pun menoleh. "Apa ada berita mengejutkan?" tanyanya. "Kalian semua, harus lihat postingan Alden Gunadya!" Luna seorang yang sangat mengidolakan Alden. Seketika berdiri bahkan mengabaikan pertanyaan Meiva. suaranya menarik perhatian para perempuan yang ada di ruangan
Meiva tersenyum ramah saat wanita paruh baya itu berjalan melewatinya. Namun, beberapa langkah ke depan, Nyonya Liona kembali mundur, berhenti ketika berada di hadapan Meiva. Lagi-lagi Meiva hanya nyengir untuk menghargai atasannya itu. "Selamat siang, Nyonya," ucapnya. Tidak ada balasan. Justru Nyonya Liona terus saja menatap dirinya, seolah-olah sedang melihat sesuatu di wajah Meiva. "Apa kita pernah mengenal sebelumnya? Kenapa kamu menyapaku? Seperti memang kita pernah melihatmu,” tanyanya membuat Meiva menunduk malu sambil menggeleng. "Tidak Nyonya." Luna dan karyawan yang lain hanya saling melirik ke arah Meiva. Suasana sangat menegangkan, saat pemilik perusahaan itu masih berdiri di sana, dengan kedua tangan di belakang pinggang. "Aku rasa pernah melihatmu. Kalau tidak salah, di—" menaikkan bola matanya untuk mengingat ingat sejenak. "Pasti Anda salah orang, Nyonya. Ini adalah hari pertama saya bekerja di kantor ini," ucap Meiva sopan. "Sudah kubilang, dia it
“Berani sekali dia menolak panggilan dariku?” Clovis menatap layar seiring dengan satu alis terangkat. Sambil berdecak, dia terus saja mencoba menelepon Meiva. Tapi berikutnya ponsel gadis itu berujung dimatikan, hingga terdengar suara operator kalau nomor sedang tidak bisa dihubungi. ‘Gadis menjengkelkan.’ Menyandarkan punggung ke kursi hitamnya. Miguel terkekeh melirik bosnya itu. “Ini sedang jam sibuk, mungkin saja dia sedang banyak pekerjaan yang tidak bisa diganggu,” ucap Miguel yang sejak tadi duduk di hadapannya, diberi tugas untuk memeriksa berkas-berkas yang baru saja dikirim oleh klien.Asisten Clovis itu melirik sebentar sambil terkekeh melihat tingkah atasnya. Bahkan sampai tidak mau melepas ponselnya menunggu jawaban dari Meiva. “Miguel, bagaimana Mama bisa tahu, aku membawa Perempuan ke rumah malam kemarin? Apa kamu diam-diam menjadi informant untuknya?” tuduh Clovis menatap asistennya itu curiga. Sebab tidak ada orang lain yang tahu, selain dia. Hal itu membuat Mi
"Meiva, bukankah aku sudah menegur? Berhenti main ponsel saat jam kerja! Kamu akan dinilai tidak profesional," tegur Evelyn. Meiva mengangguk, dia sengaja menghidupkan ponsel untuk menghubungi talent. Sekalian membalas pesan dari nomor tidak dikenal, yang ternyata adalah Clovis. Meiva mematikan ponselnya lagi, memilih menggunakan telepon kantor untuk menghubungi mereka. Namun, sampai beberapa kali ia mencoba menelepon, Alden yang selaku bintang tamu tidak mau menjawab. "Evelyn, aku tidak bisa menghubungi talent," ucap Meiva. Evelyn langsung menoleh. "Jangan kurang akal, kalau tidak bisa, kamu bisa gunakan cara lain, hubungi manager, atau agency nya. Bagaimana pun caranya kita harus membuat dia hadir, kariernya sedang naik, pasti kalau dia datang akan menaikkan rating teve ini." Meiva menarik napas dalam. "Oke, aku akan menghubunginya lagi." Sambil menunggu jawaban dari pihak Alden, Meiva menghubungi perfomer lain. Di hari pertamanya kerja, Meiva sangat sibuk. Bahkan sampai la
Meiva menghidangkan mie instan berkuah di dalam mangkuk putih, menyodorkan di hadapan Clovis. "Silahkan di makan." Meiva kemudian duduk di kursi seberang meja Clovis. 'Kenapa dia datang malam-malam begini? Padahal aku punya rencana, setelah makan mie lalu menonton dracin sambil tiduran santai.' Pandangan Clovis masih menyapu ke sekeliling. Seolah tidak terbiasa di tempat seperti ini. "Uangku hanya cukup membayar rumah sewa seperti ini, makanya aku tinggal di sini sekarang." Meiva melirik ke mangkuk yang belum disentuh Clovis. Padahal dia berharap, lelaki itu segera makan lalu pulang. Dengan begitu Meiva bisa tidur dengan nyenyak. "Kamu tidak makan?" tanya Clovis. "Sebenarnya aku niat makan, makanya tadi mampir ke toko, untuk membeli sebungkus mie. Tapi, kamu tiba-tiba datang, dengan keadaan lapar." Entah dari mana kedatangan Clovis. Tiba-tiba saja dia mengacaukan waktu istirahatnya. "Kenapa kamu datang ke sini?" tanya Meiva. 'Apa seorang Presdir tidak mempunyai pekerjaan, hi
Mendadak jantung Meiva berdebar kencang saat masuk ke dalam ruangan luas yang dihuni beberapa orang di dalamnya. Tatapan mereka semua membuatnya seperti sedang ada di pengadilan sekarang, siap menghakiminya. Satu tangan Meiva menggenggam erat kertas yang dipegang, sedangkan satu lagi menyelipkan rambut ke belakang telinga sambil menelan ludah cekat. Apa lagi, saat melihat Produser yang sedang duduk menatapnya, entah kenapa sejak melihat orang itu saat pertama kali, ia merasa harapannya menjadi pemeran utama seolah terpatahkan. Meiva sangat tahu, siapa produser itu, dia adalah laki-laki yang sering menggunakan jabatannya untuk merayu para wanita dengan iming-iming akan menjadi aktris besar. Tentu saja, sengan imbalan yang Cuma-Cuma, melainkan wanita itu harus melayaninya. Begitu melihat Meiva Produser itu langsung menunjukkan tatapan tidak suka, memalingkan muka beberapa saat sebelum kemudian menatap lagi. “Meiva Sechan?” tanya casting director. Meiva mengangguk. “B
Pihak Casting director telah membuka peluang casting secara besar-besaran. Artis-artis mulai dari yang pendatang baru maupun senior turut menghadiri. Tampaknya keinginan mereka untuk menjadi aktif besar sangatlah kuat sehingga tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Mereka mengantre di depan ruangan casting. Satu persatu dipanggil masuk. Membuat Meiva pesimis antrean sangat banyak dan mereka sebagian besar adalah artis-artis yang tengah populer di tahun ini.“Aku tidak yakin aku akan diterima,” ucapannya. Emeli memperhatikan mereka yang sedang menghafal skrip. “Kita tidak tahu, mana yang beruntung di antara puluhan orang di sini. Yang penting kamu sudah berusaha, soal hasil mereka yang menentukan.” Tiga jam lamanya, mereka menunggu giliran. Tapi, belum juga dipanggil, ia mendesah pelan memegangi selembar kertas juga sebotol air mineral. Make up tipis, yang tadi dia kenakan sebelum pergi. Kini pun mulai luntur bercampur keringat. Hawa di sekitarnya terasa semakin panas, saat ia m
Sebuah wawancara tengah berlangsung. Dengan wajah congkak Alden berdiri dengan satu tangan dimasukkan saku, di depan background acara gala premiere series yang akan diperani oleh beberapa artis dari Alva, agency nya. Di sana juga ada pengurus agency dan Ellen, tersenyum ramah menyapa kamera wartawan. "Apa rahasianya, sehingga sebagian besar aktor dan aktris dari Agency mu selalu menjadi pemeran utama?" tanya wartawan yang paling ujung. "Tidak banyak rahasia, aku selalu memberi mereka motivasi, dan membantu mereka untuk menguasai teknik-teknik penting dalam berperan, hingga akting mereka sangat bagus dan menjiwai," ucap Alden bangga. "Kamu dan Meiva Sechan sempat meng-upload video penamparan. Lalu, kalian menghapusnya secara bersamaan. Sebenarnya, apa yang terjadi?" tanya Wartawan perempuan yang memakai kacamata dengan frame tebal berwarna hitam. Alden dan Ellen sama-sama saling menatap. "Maaf, sebenarnya video itu hanya kesalahpahaman. Mungkin, karena perubahan situas
Tatapan mata antara Clovis dan Meiva begitu lekat, membuat dahi Alden berkerut dalam. Dadanya terasa panas melihat Meiva bersama pria yang lebih memiliki segalanya dari pada dia. "Bagaimana bisa dia dekat dengan Clovis Mallory?" Alden terus menatap mereka berdua bahkan sampai tidak berkedip. Sebagai aktor papan atas, ia tahu betul siapa Clovis Mallory. Dia adalah salah satu pembisnis yang cukup berpengaruh pada perindustrian film. Siapa yang main dalam film garapan rumah produksinya, pasti memiliki peluang semakin terkenal. Melihatnya yang kini sedang bermesraan dengan Meiva, rasanya membuatnya hampir tidak percaya. Bahkan mereka terlihat bicara mesra. Alden berdecak mengalihkan pandangannya. Sedangkan di sisi Meiva. Meiva terlihat tersenyum canggung saat Clovis terus saja menatapnya. Tatapan yang biasa terlihat dingin, ini menjadi tatapan hangat seperti seorang pelindung baginya. "Kamu sedang apa di sini?" tanya Meiva untuk memecah kecanggungan. "Aku ke sini sengaja khusus
“Gadis sepertimu lah, krirteria yang ku inginkan menjadi manantuku.” “Uhuk!” Minuman yang baru saja ditenggak Meiva, mendadak berhenti di kerongkongan, membuatnya tersedak hingga batuk-batuk. Apa yang baru saja dia dengar? “Hati-hati Lily, kenapa buru-buru sekali, akhirnya tersedak ‘Kan?” Nyonya Liona berdiri menghampiri Meiva, memberinya botol berisi air mineral. “Minumlah.” Meiva menarik napas dalam sambil mendongak, hingga sedikit merasakan lega di bagian dadanya. “Terima kasih, Nyonya,” ucapnya sambil tersenyum mengambil botol dari tangan Liona. “Sama-sama. Tenangkan dirimu dulu, baru setelah itu, mulai makan lagi.” Liona mulai memotong daging ikan salmon lagi. “Lily, apa kamu sudah punya pacar?” tanyanya saat situasi kembali tenang. Meiva menggeleng. “Saya baru saja putus beberapa waktu yang lalu, Nyonya.” “Tepat sekali!” Meiva menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum terpaksa. Dia kurang paham dengan apa yang dibicarakan Liona. ‘Penyakitnya pa
Clovis: “Apa kamu yakin, akan mulai masuk kerja hari ini?”Meiva: “Iya, aku harus tetap bekerja untuk menyambung hidup.” Satu notifikasi balasan lagi masuk ke dalam ponsel, Meiva hanya membaca dari atas layar tanpa membukannya. Justru memilih membereskan barang-barangnya, untuk pergi kerja. “Minum susunya.” Emeli membawa dua gelas susu, memberikan satu untuk Meiva, satu lagi untuk dia minum sendiri.“Meiv, apa kamu sudah ada uangnya? Sebenarnya aku tidak tega ingin menagih, tapi … kakakku harus operasi segera.” Emeli duduk di sofa sambil menyeruput susu hangat sambil memperhatikan Meiva. “Aku akan mengusahakan secepatnya, mengganti uangmu, Emeli.” “Meiv, kenapa kamu tidak meminta Alden untuk menjual apartemennya, di situ juga ada uangmu. Kamu bisa minta bagian dari hasil penjualannya, kan?” Meiva berpikir sejenak. Kemudian kedua bahunya terangkat seiring bibir yang tersungging. “Orang playing victim seperti Alden tidak akan ingat, siapa yang mencicil apartemen itu. Dia p
Sebelumnya, Saat dokter melakukan pemeriksaan pada Meiva. Miguel datang menemui Clovis setelah kembali dari hotel. Tidak perlu menunggu lama, asisten Clovis itu dalam sekejap menemukan fakta-fakta mengenai pelayan di restoran. “Saya sudah memeriksa bagian CCTV dapur, memang benar, seorang pelayan memasukkan Vodka ke dalam gelas minuman yang kalian pesan,” ucap Miguel. Tatapan Clovis menyipit, menunjukkan kilatan kemarahan. Gara-gara pelayan itu, Clovis lah yang disangka Meiva melakukannya. “Saya langsung melaporkan pelayan itu pada pak Joseph, pemilik hotel tersebut. Yang langsung memberi perempuan itu sangsi pemecatan. Tapi, pelayan justru menolak, dia mengatakan kalau disuruh oleh seorang.” “Siapa?” tanya Clovis mengerutkan dahinya penasaran. “Salah satu aktris yang sedang naik daun, Ellen Mora. Tapi, sangat disayangkan keterangan pelayan itu tidak bisa dibenarkan, karena tidak ada bukti CCTV yang menangkap obrolan mereka sebelumnya.” Clovis lagi-lagi dibuat penasaran
Meiva terbangun saat merasakan dadanya sesak, saat membuka mata ternyata Clovis mendekapnya erat, menganggapnya seperti guling.Menggunakan seluruh tenaganya, ia mendorong ke samping, hingga tubuh Clovis bergeser menjauh. “Dasar cowok mesum!” Meiva langsung duduk bersandar pada headboard di belakangnya sambil menyilangkan kedua tangannya ke depan dada. Begitu juga dengan Clovis, kesadarannya belum sepenuhnya normal, tapi tiba-tiba sudah mendapat tendangan dari gadis yang sudah ditolongnya itu. Ia berdecak memijat pelipisnya dengan tangan. Sambil meraih ponselnya untuk menghubungi Miguel, dijawab kemudian. “Bawakan pakaian kami ke hotel.” “Baik Tuan.” Clovis memutus sambungan telepon, sama-sama bersandar ke kepala ranjang, kini ia melirik ke samping, membuat Meiva semakin memeluk dirinya sendiri erat, takut jika Clovis berbuat kurang ajar. “Ternyata kamu sama saja seperti laki-laki pada umumnya, bahkan kamu lebih licik dari pada pria mata keranjang yang kutemui sebelumnya.” M
Meiva beranjak dari kursinya, tapi belum ada beberapa detik tubuh ramping yang memakai rok hitam panjang selutut dipadu dengan kemeja putih krem berbahan satin terduduk ke lantai. Ia tak kuat walau hanya membawa berat badannya sendiri. “Kenapa kakiku lemah sekali!” rutuknya pada diri sendiri sambil memukul betisnya. Clovis segera memeriksa minuman yang sebelumnya diminum oleh Meiva. Aromanya tercium sedikit menyengat dibanding mocktail pada umumnya. Sekatika dia dapat menduga, kalau pelayan tadi salah memberikan minuman. Ya, minuman ini adalah minuman beralkohol! Tidak ingin menjadi pusat perhatian, orang-orang di sekelilingnya. Tanpa pikir panjang Clovis membereskan ponsel Meiva, memasukkan ke dalam tas kemudian mengangkat tubuh Meiva melingkarkan tangan ke pinggang gadis itu, kemudian membawa pergi. “Brengsek,” lirih Meiva merancau dalam dekapan Clovis, matanya sama-samar terbuka. Ellen yang melihat keadaan Meiva, tersenyum puas. Mengeluarkan ponselnya kemudian mereka